31 Oktober 2002

apa-apa yang kau cari kau lihat saja nanti
kubakar... kumusnahkan... kuludahi...
kenyataannya ..
setiap kalimat yang terkumandangkan tidak lah berarti banyak dalam mencabut akar - akar masa lampau
semangkuk darah dan sumsum yang tersaji di pinggan pinggan tidak jua bisa memuaskan keinginanku untuk menjeritkan tangis di kubur kubur bernama kenangan

seribu musim semi
seribu musim gugur
masih saja terpetakan nyata di imajiku ..
entah, sepertinya tiang tiang waktu yang mulai bungkuk karena tua tidaklah mampu memudarkan angan yang masih saja tersenyum melihat bintang bintang yang hampir pecah

ini siksaan,
ya ..
apalagi keberadaanmu di dunia ini serasa membuatku melihat neraca penimbang kedewasaan dan emosi diri
tapi toh apapun itu, aku tetap saja harus tenang .. bukankah begitu?
bahkan terhadap hantu hantu malampun aku sudah harus berhenti membisikkan banyak rahasia ..

lalu pada saat bulan mulai memilih mengatupkan matanya
aku pun harus bergegas mengatupkan kerongkonganku
supaya jangan ada tangis
ya, jangan ada lagi dua tiga isak yang hanya membuatku ditertawai pekat
aku cinta ..
pada kata yang masih saja setia meringkih dibelit tanya hidup
pada tangis yang masih saja terlinang menyambut malam penuh resah
pada bintang yang tetap saja bersanding mengapit langit dan purnama dikala gelap
dan pada kamu,
yang masih saja berdiri di sudut bisu dengan membawa sejuta gelisah

bahagialah .. bahagialah disana sayang, dan dengan bangga aku akan berkata "pernah kukecup bibir sang pemenang"
ada hitam
yang menertawakan di sela kisi
ada putih
menggayut air di selokan
ada mimpi
pada seorang tidur
ada riuh
pada diam
ada aku
pada semua.

29 Oktober 2002

lalu lepas
lalu hilang
lalu gelisah

diam
Slave New World (Sepultura)

Face - the enemy
stare - inside You
control - your thoughts
destroy - destroy 'em all

Your censor what we breathe
prejudice wiht no belief
senseless violence all around
who is it, that keeps us down

Once all free tribes
Chained down led lives
Blood boils inside me
We're not slaves, we're free

Face - the enemy
stare - inside You
control - your thoughts
destroy - destroy 'em all

28 Oktober 2002

Upt, 28 Oktober 2002

Gelisahkah kau benar-benar? Malam-malam ini benar mengganggu kita, hari-hari makin mendesakkan kita ke sebuah tembok. Kita sama-sama tidak bisa berdoa, karena masih adakah Tuhan di ruangan ini? Hanya menunggu seribu waktu yang kian tak menentu.

27 Oktober 2002

:For the most wonderful man that still owned my soul

mengapa tak kau kembalikan sepotong hatiku yang kau curi?
mengapa?
mengapa kau sisakan rongga tak bertuan?
tak lebih baikkah kau tikam aku sekaligus?

ini bukan hanya sekedar rindu ..
ini gairah yang menggelegak menahan asa !
ini hanya sebuah mimpi,
yang mulai meranggas di makan ngengat-ngengat lanjut usia
bayangmu memudar ..
bahkan harum tubuhmu tak lagi begitu menyiksa
satu tanya, mungkinkah sirna?

ada banyak tanya tercekat di kerongkongan malam
dan guliran tangis yang mendung tersaput dingin
ada kamu,
ada dia ..
dan bakal anakmu ..

ah,
pahit !
adakah kamu mengerti sayang?
aku hampir gila oleh cemburu
aku rindu,
siang ini ..
kepulan a mild diselingi uap panas kopi hitammu

aku rindu,
siang ini ..
mata sayu dan ikal rambut yang terjuntai di dahi

aku rindu,
siang ini ..
kecup mesra, peluk hangat, desah birahi yang bercampur bersama keringat kita

aku rindu,
siang ini ..
harum tubuhmu, tawa manjamu, bisik yang mewarnai gendang telingaku

aku rindu,
siang ini ..
hanya kamu, dan selalu kamu

-untuk kamu: kekarlah terhantam badai, aku masih setia disini menunggumu-

25 Oktober 2002

I love you,
not because you love me but because you made me love you.
I love you,
not because you understand me but because you made me understand you.
I love you,
not because you care but because you made me care for you.
I love you,
Not because I need you, but because you made me need you
and now I know then, that I exist.

love you still :(

24 Oktober 2002

Barangkali hanya waktu
yang tak pernah gugup mengganti warna langit
Barangkali hanya waktu
menggiringku seperti kambing ke tempat janji senja abadi
selayaknya air, seumpama udara,
sebagaimana matahari selalu ada walau kadang bulan
bermain petak-umpet entah di mana

Barangkali memang hanya waktu
yang tekun mengajarku
dari titik ke segiempat, dari debu
o, mengangkasa raya menjadi kapas, menjadi embun, menjadi hujan meteor.

Barangkali hanya waktu
beribu-ribu topan badai kau kucaci-maki!
berdepa-depa tangis, mimpi, hiba kau kuberhalakan,
...diam...

[Seperti aku menyalahkan waktu pada ketidak berdayaan kita, kekasih
demikianlah ia memenjarakan bayangmu di waktu yang
seakan tak pernah berputar di dada ini]

Celaka, pada apa aku harus setia jika bukan hanya pada waktu?

Barangkali...memang hanya waktu
yang kupunya.
kekal itu ......

23 Oktober 2002

aku tahu semuanya takkan semudah yang aku harapkan
melupakan hal terindah dalam hidupku
tapi ku telah bertekad melupakannya....
melupakan bahwa itu pernah menjadi satu-satunya hal yang membahagiakanku
karena aku sadar...
mengenangnya tak lagi membuatku bahagia
hanya mengiris-iris relung batinku
menghempaskanku dalam kesendirian...
walaupun dia selalu berdalih... "aku masih menyayangimu..."
ah.. omong kosong semua...
nyatanya... kini kau telah berpaling...
dan kau pun masih tetap bisa berkata... "aku masih menyayangimu..."
semakin keras aku berteriak... omong kosong semuanya....
saat-saat yang kau sisakan untukku hanya penghilang rasa sakit sementara saja...
setelah itu... ku hanya merasakan sepi...sepi.. dan sepi...
satu tahun aku bergelut dengan gundah itu
merabuk harapan kita kan bersatu lagi seperti dulu.... setahun yang lalu...
penantianku sia-sia
tak terbersit sekalipun dalam hatimu tuk kembali
hanya aku...
berteman harapan-harapanku yang hampa
terpuruk sendiri di ujung masa lalu, menari-nari riang dengan kenangan

tuntas sudah waktuku...
rapuh sudah jejakku
tak terasa... aku pun telah berubah
aku pun tak mengenal diriku kini
aku benar-benar sendiri...

terkoyak asaku...

BANGSAT !
:for my big bear, missing u on a heartbeat

dua puluh dua taun ..
dan kamu masih saja yang terbaik ..
selamat ulang tahun sayang,
aku mengasihimu .. dengan kasih yang tak terucapkan lagi maknanya ..

peluk cium,
dari seorang sahabat yang mengasihimu ..
-nie-
dicipta untuk dicinta

bahkan ungu warna
dikuas pada bunga
tak dapat lari mata
ungu ingin dicinta

air dan angin bermanja-manja
membisik-bisik suatu bisik
turun naik kilau emas bersisik
pun mereka ingin dicinta

adalah kita
bersebut manusia
berjuta jelma
berjuta rasa
berjuta kata
ingin dicinta
(walau pendosa)

22 Oktober 2002

namun aku belum siap menjadi temanmu

20 Oktober 2002

ini cuma sejuta merah di dada
yang terbakar oleh anggur jaman
membuih
sementara rindu menyesap di dada

itukah kamu, yang termenung diantara bayang kelabu?
aku rindu ..
aku rindu ..
bila angkara sirna?
bila cinta memutih?

aku rindu ..
aku rindu ..
itukah tangis, saat bola matamu bening menatap getir?
jangan,
jangan lagi menangis ..

lupakan, lupakan ..
dan biar hanya selamanya yang berkata ..
"aku letih, aku letih"
ada yang berkata padaku .. "membenci adalah awal sebuah simpati"
dan tentunya butuh beratus - ratus lembar kesakitan untuk kemudian kujadikan suatu dasar argumen bahwa MEMANG aku membencimu
kurasa lebih mudah untuk mencari beratus - ratus cara untuk membuatku orgasme yang (mungkin) bisa kujadikan kesimpulan bahwa setidaknya aku PUNYA rasa untukmu ..

ada juga yang berkata .. "hati manusia seharusnya memiliki ruangan yang luas"
yah, mungkin benar kalau dikata hatiku memiliki banyak jendela .. tapi toh pada akhirnya aku lebih memilih untuk duduk santai diberanda .. menyulut satu dua batang marlboro, menyesap satu dua cangkir kopi .. mulai kemudian meneliti kemana angin bertiup .. melihat badai yang silih berganti memporak porandakan mawar mawar yang tertidur santai di pekarangan jiwaku

dan untuk yang memberiku ide bahwa hidup adalah sebuah jalan menuju pelabuhan terakhir di pangkuanNya ..
katakan, coba beri aku jawaban kemana aku harus melangkah .. kemana aku harus merambah jalan sementara peta terakhirku telah hancur dimakan ngengat

kurasa untuk sore ini yang harus kulakukan hanyalah mencari orang yang mau mebawaku menuju ekstase demi ekstase ..
aku ingin bersetubuh .. saat ini .. (mungkin dengan begitu bisa hilang setiap nanah dan borok di hati)

-ini bukan cerita, bukan pula puisi, .. ini cuma pemikiran, dalam kegilaanku yang meradang-
Inspired by: catatan para pejalan
mungkinkah sudah saatnya setiap tanda tanya kuakhiri dengan tanda seru?

!!!!!!!!!
dan semua kenangan aku kubur bersama hari-hari kelabu yang kulalui
tak ada lagi dirinya dalam diriku
semua telah kubasuh demi ketenangan hatiku
hanya itu yang bisa aku lakukan
karena semakin lama aku jalani...
ternyata cuma aku yang menerima pahitnya perpisahan kita
dan rasa pahit itu semakin menusukku...
menghempaskanku dalam keputusasaan.
biarlah kini tiada lagi dirimu di hatiku...

mengenangmu menyesakkan jiwa...
kan kuhapus air mata hingga kudapat sembuhkan luka...


akam: antang no tien

bagaimana tidak kurus ?
3 piring terlahap, tapi
muntahkan dari ubun ubun, mata dan telinga
menetes dari jemari yang panik

bagaimana tidak kurus ?
menyuapi mulut sejarah dan esok
sementara yang terhirup
adalah bau tai waktu

aku hanya ingin memakanmu
menjilatmu
mengunyahmu
sehingga tidak ada lagi Aku Kamu.
dia jagai bumi
sementara kita melamun pejam
dia tiduri bumi
sementara kita menginjak derap

hidungnya mengembun malam rebah
matanya semerah darah
tangannya gemetar lelah
manggul peradaban antah berantah

tidurlah ........

19 Oktober 2002

aku tidak tau banyak tentangmu ..
yang kutau kau penipu
bukan dia .. tapi kamu

-kenapa? kenapa bahkan kamu mencoba mengusik ruang mimpiku?-
Sebelum waktu

Sebelum waktu membenci dan berlari,
ijinkanlah detik menyelesaikan menit
kelak masa tiada berpaling lagi.

Simpul rapat bukan lagi kekang tua menyiksa
Batasannya samar terseret dalam labirin
Erotisnya pagi pecut semua kesadaran
Bermula atau berakhir sudah

Sebelum waktu membenci dan berlari,
ijinkanlah sapaku menanti kabar
urapanku pada tergenapnya mimpimu dan dia.

Kelak bayangan akan menguap di ujung jaman,
langkahku akan berlari jauh.
Jejak kaki merapuh taburi syair-syair perjalanan
Musafir tua dengan sekantung air berlubang
dan pada oase yang terakhir,
tergeletak sebuah hati yang mengering.
Lelaki malam terkapar di sudut malam

Lelaki malam terkapar di sudut malam,
bayangan biru, tangan menari lamat sungguh lunglai
denting gelas kosong, gaung sejuta hampa.
Kecamuk yang mengamuk,
dengus rakus debat kusir nalar dan mimpi yang meracau.
Tetes menitik kikis sisi karang rapuh, tapaan segala teriakan sunyi,
……bedebah waktu yang belari cepat.

Lelaki malam terkapar di sudut malam,
mimpi,
botol arak kosong,
gelas retak,
dan sebuah bayangan
…di sana

Bekasi, 19oktober2002, pkl.1.25
sebuah surat di mulut pagi...

To : G, J.C & H.S

Shyalom,
Apa kabar sumber kasih? Tak jemukah Engkau menjaga mata airnya? Kurasakan riaknya di kehidupanku, walau kadang aku melupakan asalnya. Begitu bening dan sejuknya kau urapi kami, tiada penat yang tak berkesudahan. Walau terkadang emosi menguapkan dari mimpi yang bukan lagi bunga tidur. Kasih mu terkadang diartikan sebagai pengorbanan yang meminta imbalan, bukankah ia putik yang akan mekar tanpa kumbang meminta balas pada sang bunga? Ajarkan kami kembali memaknai kasihMu. Seperti seorang pujangga berkata; dalam bercinta seharusnya memberi tak kekurangan, menerima tak berlebihan. Tak akan ada yang mati oleh kekurangan cinta yang diberikannya, dan tak akan ada yang harus merasa berhutang budi oleh pemberian cinta yang berlebihan.
Aku pernah merasakan mati untuk ketiga kalinya, liang kuburku ada tiga. Pada setiap kematian, aku lupa padaMu sesaat dan terperosok pada sejuta kehancuran. Puing-puingnya berserakkan seperti batu-batu menara Babel yang sombong. Akupun sombong oleh kehancuranku, sombong oleh kasih setia yang aku miliki, menatap kehilafan mereka (dan aku memutuskan mereka semua). Ternyata kakiku tak bisa berpijak pada tepi yang miring, uluran tanganMu tak pernah aku sapa, meliriknya pun aku enggan. Tapi sungguh Engkau merawatku, seperti bunga bakung yang selalu anggun tanpa ada yang menyiraminya, Kau berikan ia mahkota yang indah. Kau berikan aku jalan dengan memberi kehidupan yang baru, tanpa mencoba mengingkari yang terjadi.
Pada liang-liang itu aku merasakan kehidupan yang berbeda, semua itu terjadi begitu saja. Sudah Kau gariskan, aku terpaksa berpindah dan mencari kelompok baru. Aku berjalan jauh tanpa mencoba melihat ke belakang, dan kau berikan aku tiang api menyala di depan, seperti yang Kau berikan pada Musa dan bangsa Israel menuju Kanaan. Aku rasakan semua perjalanan itu, persinggahanku memberi kehidupan dan aku menemukan oase kasih pada kehausan perjalanan yang panjang. Untuk setiap persinggahan itu, aku dirikan tenda persembahan untuk Mu dan kekasih yang menanti di mulut bibir oase hatiku. Mezbah nubuatan mu aku simpan rapat, imanku aku tambat. Mimpi kecilku menjadi malaikat berwujud sudah, tapi entah mengapa sayapku tak mampu menaungi mereka. Dan itu terjadi untuk ketiga kalinya, Kau pun menarikku untuk meneruskan perjalanan hingga aku menjumpai tiga oase yang berbeda.
Diperjalanan ku yang terakhir ini, aku masih mencari oase itu, menara api Mu masih memimpinku. Di perhentian malam ini, aku mendengar kabar dari burung elang, kekasihku yang terakhir akan menikah. Sungguh aku bahagia mendengarnya. Aku restui pernikahan mereka, urapi mereka dengan kasihMu dan keturunannya kelak biarlah layak di bumi ini. Aku tak bisa mengunjunginya, tapi biarlah kelak aku dapat menjumpainya, menemukan anaknya, keponakanku yang pasti cantik dan gagah seperti ibunya. Semoga suaminya melindungi istri dan anaknya.
Sumber kasih yang tak berkesudahan, kakiku sudah penat melangkah, aku bersandar di batu besar ini. Kuatkan kakiku, agar aku dapat berjalan terus. Aku ingin membangun liang kuburku lebih megah, dan dari jalan yang bermil-mil aku torehkan semua cerita pada nisanku. Prasasti yang megah buat anak cucuku kelak, biarlah mereka bangga berasal dari keturunan yang beradab. Syair-syair itu akan abadi dan menjadi kenangan kelak.
Kasih yang tak berkesudahan, ajarkan aku bercinta, cerita itu sudah lama kulewati. Mungkin aku sudah lupa, bagaimana merayu gadis-gadis Sion dengan rebananya. Beri aku syair-syair indah milik Raja Daud, senyum yang memikat milik Salomo dan hati yang keras milik Simson. Tapi aku tak mau jatuh oleh Delilah, atau seperti Daud yang jatuh hati pada istri pasukannya. Jadikan aku seperti Anak manusia yang mati oleh kebenaranNya di Golgota, aku ingin kasih milikNya.
Diperhentian ini aku menunggu nubuatanMu; indah pada masanya kelak di Kanaan yang baru.

Dari yang merindukanMu

Q V

18 Oktober 2002

gundah
resah ..
dimana kamu?
aku hanyut !!
Tolong
Tolong
Kumohon .. peluk aku .. walau hanya malam ini

-dalam gundah kugoreskan lagi bait bait kehancuran-
kawan..
aku pernah punya cinta ..
saat itu matahari masih sejuk dan bulan masih membuai ..
aku menengok ke atas .. dan kulihat arakan awan tersenyum bangga melihat betapa manisnya aku berjalan riang menenteng tas sekolahku

kawan ..
aku masih punya cinta ..
saat itu aku belum tau kalau aku pernah tidak diinginkan untuk dilahirkan
saat aku belum tau bahwa cuma persetebuhan terhadap jiwaku lah yang diinginkan setiap laki laki dariku

kawan ..
aku tak mau lagi punya cinta ..
karena toh rasanya cinta tak bisa menolongku melewati gigilan angin malam yang membekukan tulang
dan cinta tak bisa menghidupkan lagi jiwaku yang mati dalam nista

kawan ..
tolong ..
jangan ingatkan aku tentang cinta
kamu cemburu?

aku tidak tau .. karena toh kita adalah dua manusia yang tidak terlihat

lalu mengapa kamu merindukanku?

aku rindu ideamu, pemikiranmu, perasaanmu

kamu tau .. aku berharap ada yang rindu padaku karena aku darah dan daging .. bukan hanya sekedar kata yang berseliweran di monitor atau di layar hpmu

17 Oktober 2002

should i cry for what i am?
am i the one that shoud be blame?
all my love has flown away...
burned away by mighty flame...

Why dont you just put the weight of the world on my shoulder?

Aku merenung di tepian kolam.
sahabat ku yang begitu perduli...Ting, Nie, Blossom
terima kasih.
untuk sang murai .. tetaplah ceria.. dan untuk yang selalu memanggilku HAI... aku merindukanmu hari ini

terima kasih sahabat
dan ini bukan cinta
karena saat waktu memecah rindu pun menghambur dalam beku
kamu disana .. dan aku disini masih saja dengan getir mencari secercah senyum
untuk setiap kata yang mungkin masih saja tersimpan rapi
kutata satu nama .. kusulam dalam setiap lembar bisu bernama mimpi
kamu disana.. dan aku masih saja disini
dan hanya cinta yang layak dipertanyakan

-mengapa perih?-
tangannya basah
mtv land
dari mimpiku
selamat
orang lewat
masih asap
itu tadi temanku
tante juga tidak suka telenovela
hari ini sepi
disket habis,aku beli dulu
aku ingin menciumnya.

16 Oktober 2002

ARGH!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

15 Oktober 2002

enam bulan ..
dan masih saja kau tepiskan hadirku
enam bulan ..
dan masih saja kau usir bayangku
benarkah hanya hampa yang kau rasa
atau kau menyerah pada otakmu

hatiku mengabu !
dan kau menyerpih ..
tapi jangan dulu mati ..
aku masih merindu

-seorang bintang jatuh di tengah leukimianya-
ce me huei ni na me pen ? :(
tidak,
jangan tanyakan mengapa aku bersikeras melupakannya
karena kurasa tak satupun jawabanku akan memuaskan nafsu ingin taumu
dan akupun tak punya banyak jawaban ..
hanya satu pernyataan ..
rinduku boleh mati .. tapi hatiku tak akan kembali

masih saja menggilaimu kekasih,
masih saja .. walau bahkan angin sudah berhenti berkabar ttg mu ..
dan rintik sudah mulai sirna senandungkan hadirmu


Stop advising coz they'll say you're a dictator
Stop being friendly coz they'll say you're annoying
Stop caring coz they dont give a damn
Stop trusting coz they dont trust you
or better yet.....
Stop being human because they'll say you're an enemy

14 Oktober 2002

BANGSAT !
MANA ADILMU?
KUMINTA KAU BUNUH AKU .. MENGAPA KAU BUNUH MEREKA?

CUKUP !! CUKUP SUDAH ..
AKU MUAK MENDENGAR SETIAP MEREKA BICARA TENTANG KASIHMU

GOLGOTA?
BUKIT TENGKORAK?
DIMANA HATIMU WAKTU KAU LIAT RATAPAN SETIAP KELUARGA YANG TERTINGGAL?

biarkan dunia ini merusak semuanya dalam satu ledakan
agar lenyap sampai benar-benar senyap
segores-dua gores catatan sambil lalu...

Bendasari, 13 September 2002

Lalu sampai sejauh inilah kita semua melangkah, sejauh depa-depa dan jarak-jarak yang ada. Ada kalanya kuingat ketika angin masih menerpa kulit pipi, juga butiran debu yang mencolok tepat pada pinggiran kelopak mata. Mataku dan juga matamu, seketika kita sama-sama terkatup dalam hitungan kepersekian detik dari apa yang disebut waktu. Aku juga menemukan sesuatu yang menarik mataku, cincin-cincin pada jari, tangan pada pinggang, pinggangmu. Goresan-goresan luka pada alismu, titik -titik pada punggungmu. Semua letak, lekuk geografis tubuhmu.

Dan kau masih lelap, masih tetap. Sedangkan aku masih mencari kata-kata tentangmu.

Tiba-tiba semuanya serasa berputar, ingatan-ingatan terlempar, menabrak dinding-dinding kamar. Lagi tanpa meninggalkan gema-gema yang memekakkan. Aku tak ingat lagi dimana kutemukan tanganmu, tak ingat dimana letak balutan kedua kakimu. Tak ingat sungguh, setelah aku ditelan mimpi-mimpi yang sudah menganggu kita berdua di malam-malam yang kesekian. Ruangan berputar dan tubuhku goyah, lenyap pada entah, lenyap pada titik dimana kita bermula. Mula bapa, mula ibu, mula tubuh, mula gerak. Sepintas malam gelap, tangan dimana-dimana tangan, gerak dimana-mana gerak.

Dimana lalu tatapanmu malam itu, yang gelap pekat.

Aku luluh dan masih sungguh tak ingat. Cahaya-cahaya yang tanggung merasuki pandanganku, satu frame utuh, lalu setengah, lalu seperempat dan kosong. Muncul wajah-wajah, raut muka, seringai urat muka, dan terakhir terbukalah luka-luka.

Lihatlah tubuhku yang penuh luka tetapi tidak dosa, karena kita berdua tidak percaya akan dosa.

Satu garis, titik-titik, besar atau kecil tetap meninggalkan bekas yang kentara. Putih di antara coklat, coklat di antara putih, biru juga hitam juga terkadang, yang jelas pasti berbeda. Seperti tato alam, seperti tinta hitam puisi pada secarik kertas putih bersih. Warna-warna muram, tetapi cerah bila mengalir darah. Hati-hati dengan hati kita yang sudah tentu menyimpan setangkup luka rahasia yang berbahaya.

Suatu hari kau membuka celana, mencari-cari celana dan menemukan celana-celana di dalam tumpukan tasku. Celana-celanaku. Sebelumnya mari kucari sebuah buku puisi “Celana” yang bersampul putih kuning. Buku-buku puisiku yang tertinggal di suatu kamar, kamarku di kota lain yang berupa ruang tunggu, menungguku sampai jauh berdebu.

Bendasari, 22 September 2002


Cinta itu memang terkadang buta dan gelap mata.

Aku pernah merasakan cemburu yang sesuai dengan lagu, cemburu yang membunuh, mencipta luka dan menggores hati. Tetapi sekarang tak lagi bersisa kecuali diam yang buta. Lebih maut dari maut, lebih abadi dari surga-neraka. Kediaman yang ada kalanya begitu menyiksa. Aku merasa dan kau juga merasa.

Kala memang ada waktunya, waktu adalah kala. Dalam yang begitu rindu dendam, merunyakkan segala, begitu spontan dan seketika. Aku sebenarnya hanya ingin berhenti menengok sosok lelaki yang mengundang rindu dendam itu. Hanya menengok, mata yang mengandung ekstasi hidup. Mata yang sebetulnya sedang lelah, mata-mata kita yang juga merah lelah. Kemudian semuanya berubah jadi amarah.

Lelaki itu sudah hilang dalam huruf demi huruf, kata demi kata, karena terlalu banyak yang sudah tertuliskan olehnya dan aku bosan. Sedikit muak. Lalu aku terhenyak hanya untuk menemukan matamu. Yang liar, yang juga jalang.

Tak sukakah kau kusebut jalang?

Tidak hanya matamu yang kutemukan tetapi juga rasa, kekonyolan kanak remaja yang kukira sudah hilang, habis tanpa sisa. Aku dapat tertawa sederhana, mengalirkan airmata karena sesaknya dada, dan juga buang gas cuma-cuma. Di depanmu hanya, tanpa mengerti kenapa.

Cinta itu memang terkadang buta dan kasat mata.

Kukira tak harus kujawab semuanya dengan sepasang mata. Aku ingat malam yang telah lalu di antara gawang sepak bola dan alun-alun utara kota. Tiga buah rokok kretek dan satu bungkus permen rasa mint murahan. Lalu lalang motor, malam minggu, manusia sepasang-sepasang, warung angkringan malam-malam, dan wedang hangat-hangat. Genggam-peluk-cium dan selanjutnya terserah anda memang, gunakanlah selalu kondom begitu kata sepotong iklan. Bicara dan bicara. Bulan berkata pada langit mendung, malam yang romantis demikianlah adanya. Kita masih ada di antara gawang sepak bola dan alun-alun utara kota. Asap-asap mengepul dan sekali waktu suara kita serak, mata kita berkaca-kaca. Sembari menelanjangi rasa, menelanjangi diri kita.

Saat ini aku sedang jengah, sedikit resah, tidak bisa tidur seperti biasa. Aku ingin kembali pada kata-kata, pada teks dan aroma lembaran buku tua. Selebihnya aku ingin dadamu malam ini sedekat alis mata.

Bendasari, 26 September 2002

Pecah terkadang sesuatu yang tadinya satu, menyebar-sebar. Keteraturan lalu kekacauan, kekacauan lalu keteraturan. Suatu hukum, suatu siklus yang sepertinya tidak akan berhenti. Koin bersisi dua. Seimbang di tengah-tengah untuk beberapa saat lalu jatuh pada satu sisi yang menyatakan kepastian.

Adakalanya kita semua berhenti dan berjalan sendiri-sendiri. Adakalanya juga kita sama-sama berhenti dan melaju bersama-sama. Tetapi saat ini kita butuh waktu, butuh berpikir ulang tentang segala sesuatu yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi berikutnya.

Marilah kita saling mengosongkan, membuang apa yang perlu dibuang, tinggalkan apa yang perlu ditinggalkan, sampai ada saatnya kita bertemu di persimpangan jalan. Untuk saat ini hanya ingin kutitipkan sebuah puisi untuk kawan-kawan.

Cinta begitu sederhana
Sehingga kita tidak saling merasa
Bersama
Hingga habis semua
Ditelan luka doa

Kita semua begitu sederhana
Terkadang
Sehingga mati, makan, mandi, tidur bersama
Dalam suka duka
Hingga tidak terlupa
Hingga hilang
Masih ditelan luka doa


Bendasari, 30 September 2002

Ciuman itu memulai semua. Seharusnya tidak terjadi.

Seharusnya benar-benar tidak terjadi, cukup ngarai, tikar dan selimut untuk menghangatkan suasana malam yang betul-betul sebenarnya membekukan. Beku sampai ke dalam hati. Mengundang gelisah sungguh, sehingga sekarang terlempar kata-kata yang seharusnya hanya untukmu.

Seperti inikah aku?

Kegilaan sedang menyerang kita masing-masing. Alur yang tidak mengalir dan suasana yang tidak juga mencair. Sampai orang-orang terakhir, masih bisakah kita bertahan mempertahankan dulu yang kita anggap mimpi-mimpi kita bersama. Kita semua butuh bicara dengan berpasang-pasang mata.

Seperti inikah kami?

Kita, kau, aku harus sama-sama membuka luka. Di antara kita berdua lalu dengan kawan-kawan semua. Kita harus bercinta dimana-mana tetapi memang bukan seperti ini caranya.

Bendasari, 12 Oktober 2002

Kesetaraan ini mengarah kemana jika kita bicara sedikit tentang dasar-dasar sifat manusia. Ada yang membuatku sedikit berpikir, cukup sinis dan sedikit terlalu sarkas terkadang. Sampai ada kehampaan sejenak, sampai ada sebentuk jeda, sampai waktunya di antara daun-daun untuk jatuh ke tanah.

Tidak ada yang abadi, memang hanya lingkaran setan, orang-orang bilang.

Aku teringat dengan berita-berita, lembaran-lembaran koran, majalah atau apa saja yang bisa terlihat dan terasakan. Mereka membawakanku berbungkah-bungkah gelisah, berbungkah-bungkah resah. Mereka memojokkanku untuk menjadi sungguh-sungguh gila. Lagi dan kemudian aku terpaku pada aspal jalanan yang penuh dengan tutup-tutup botol kaleng. Suatu hiasan di sepanjang jalan kota ini yang menuju laut Selatan. Kita berhenti pada kaleng-kaleng soda, kaleng beling kaca yang menawarkan seteguk dua teguk sendawa. Mengeluarkan secercah udara sejenak dan menghantam rasa-rasa.

Sekilas kulihat sosok perempuan itu, yang membuatku terdiam sejenak untuk entah berbuat apa selanjutnya. Perempuan itu adalah ibumu. Lalu aku seperti rindu akan ibu, tetapi tidak aku masih juga tidak pulang dan masih merasa bukan waktunya untuk pulang. Tepatkah itu kukatakan ketika aku membayangkan kedua orangtuaku menungguku dengan sangat di tempat yang bernama rumah itu? Entah, aku benar-benar masih juga tidak akan pulang. Aku masih tetap akan mencari dadamu untuk pulang. Konyol memang, terlalu jujur dan lugu. Itulah yang kurasakan akhir-akhir ini, tak ada kantuk, hanya buku-buku dan asap-asap rokok yang berusaha meninabobokanku untuk satu malam saja. Sesuatu kejujuran yang menggelikan, dadamu itu. Membuatku kembali menghitung waktu-waktu dan memaki diri sendiri. Sekali lagi memaki dengan konyol dan menggelikan.

Aku memang tengah membuat gila diriku, seperempat, setengah lalu penuh gila. Gila dengan semua kekacauan-kekacauan yang tidak terlihat. Mengerikan. Jika ternyata kegilaan ini begitu penuh dengan kekosongan dan hidup benar-benar sebuah bentuk ironi komedi yang betul-betul menggelitik perut roh-roh dan tuhan-tuhan gila.

Dada-dada bicara, dengan buah atau tanpa, semua bicara. Ini dadaku dan ini dadamu, ayo perlihatkan semua. Toh, kita semua masih dada-dada yang bicara kian kemari. Membusung dan membungkuk dengan bantuan punggung. Ayo, ayo, dada-dada mari kita tetap bicara.
APAKAH KAU TAHU JIKA AKU INGIN MATI DENGAN MELIHAT BINTANG DI LANGIT MENGHITAM?

Manik-manik di gelangku berhamburan, jatuh butir per butir. Merah, oranye lalu merah lagi lalu oranye lagi. Warna-warna yang terlalu dekat denganku. Kejatuhannya mengingatkanku dengan ledakan di gedung tinggi menyusul orang-orang yang terjun dari langit. Langit merah penuh debu dan daging yang hancur jadi abu. Mata-mata menangis sampai merah gagu, dengan bibir yang juga pilu.

Aku mengingatmu di menit yang kesekian, sewaktu sel-sel di otakku macet dan tidak mau mengalir. Tiga jam sudah aku bunuh diri hari ini, tidur di bawah pancaran mentari yang menembus siluet jendela pagi-pagi sekali. Tetapi aku tak ingat berapa motor sudah melintas di depan jendela kamarmu waktu itu, pukul berapa waktu itu, yang kuingat hanya karpet merahmu dengan bekas tumpahan kopi yang membentuk peta sebuah pulau yang belantara.

Ingin mati aku ditikammu malam ini, biar tidak bangun lagi, biar nafas hilang jadi asap. Biar dunia terlelap. Diam di titik nol derajat dan tidak bergerak. Waktu buta dan semua bentuk alam buta. Tuhan buta. Biarkan kita terkubur dalam gelap.

Dan kucium bau tanah di lapangnya dadamu…

Kukira kusudah tiba di tumpukan nisan kita yang keseribu dan permukaannya yang dingin membatu. Tetapi yang terasa hanya urat tulang punggungku yang menjadi kaku, bukan bau tanah atau dinginnya batu. Hanya wangi, wangi melati dan rumput yang masih segar bugar memekar. Ini bukan pagi, ini bukan juga siang, apalagi malam, waktu hanya datang untuk mengawang-awang. Bukan seperti tendangan sepakbola yang langsung mengarah ke gawang, dia tidak menentukan kalah atau menang.

Aku hanya seperti mengejar kata-kataku yang entah menginjak jumlahnya yang keberapa ribu, ratusan ribu, juta-juta atau mungkin satu milyard sudah, adakah kita menghitung sedemikian. Lagi aku terbangun di sebuah ruang yang kosong di bawah langit-langit yang samasekali putih, pekat sekali seperti baju perawat rumah sakit yang berbau antiseptik. Kain kasur ini putih, bersih sekali dengan deterjen pemutih seperti di iklan-iklan televisi. Seperti kafan sahutku pelan.

Mengapa aku hanya bicara tentang kematian, aku mendapatkan pertanyaan-pertanyaan itu sewaktu kukorek lubang telingaku. Karena aku hanya akan menunggu huruf-huruf nisanmu yang entah tergores di atas batu, semen ataupun sepotong kayu. Satu tarikan garis lurus yang menandakan tempat terjun bebasmu atau cetakan-cetakan huruf rapi yang bagaikan stensilan. Aku memang bicara akan jurang dan kedalamannya yang tak terhitungkan, dimana kau melayang-layang di antara tatapan bintang-bintang suatu malam.

Apakah perasaanku saja yang mengatakan tentang umur kita yang tak akan panjang?

Bukan, itu bukan hanya perasaanku. Aku melihat sosokmu malam itu, lengkap dengan baju, bukan telanjang dengan jalang. Dari pucuk dahanan pohon tebing itu, sekitar dua meter di atas tempat dudukku di dahan yang lebih menjorok ke dalam. Aku benar-benar melihat sosokmu waktu itu, ketika bulan purnama membentuk lekuk tubuhmu dan bintang-bintang kau tatapi dengan mata yang terbuka. Kau berkata “Apakah kau tahu jika aku ingin mati dengan melihat bintang di langit menghitam?”, aku terdiam. Sepuluh detik, tiga puluh detik, satu menit dan kesunyian mencapai lima menit. Kubuka mulutku untuk berkata sesuatu, tetapi suara itu berubah dengan teriakan yang menghujam dinding-dinding tebing. Karena pada kesunyian menit yang ketiga kau tersenyum dan meloncat. Jatuh, jauh dengan kepala tengadah melihat bintang-bintang.

Senyum maut, senyum kematianmu.

Semenjak itu aku tak pernah lagi melihat bintang, hanya langit-langit putih pekat, bersih dan muram. Orang-orang berbaju putih itu datang lagi, membawa suntikan, suntikan untuk ketenangan. Dan aku tak pernah lagi melihat bintang, hanya bayangan-bayangan nisanmu yang juga buram tak kelihatan.

Pogung Lor/27/06/02
dengan apakah jiwa ditatah ?
sehingga kerap dihilangkan tanpa gundah.
dengan apakah cinta dirajut ?
sehingga sering hilang ditelan takut
dari manakah sumber air mata
sehingga terus mengucur dari mata bumi yang semakin melata
dengan apakah amarah tercipta ?
sehingga ...
mereka menjadi bekas manusia.

13 Oktober 2002

Pada detik yang terhenti, lelaki itu membunuhnya

Pada detik yang terhenti, ia putuskan untuk membunuhnya. Menghunus tombak, racun yang akan menjalar, tubuh menegang, membiru, mata meninggalkan dendam, senyum yang berbuih. Habis perkara, dunia nyata tak cukup luas bagi mereka berdua. Sekarang atau mati berdiri.

Detik masih terhenti. Angin menahan nafas, binatang hutan meringkuk di gua-gua gelap yang lembab. Mereka sadar, malam ini akan ada yang terbunuh. Tapi, siapa itu yang menjadi tanya. Melihat dengus lelaki itu, seperti melihat Simson yang meremukkan beratus-ratus kepala serigala dan singa. Matanya merah seperti lautan larva yang akan menghanguskan semua jilatan yang dilewatinya.

Awan hitam berbisik, sungguh pelan, tak berani menggeserkan diri. Wujudnya samar di ujung malam. Matanya lelah menatap kaki bumi, tubuhnya memberikan kegelapan. Ruang-ruang waktu lamat berjalan, nadinya terasa berdenyut lirih. Pelan merambat. Sungguh terasa benci yang ada dari bentuk hitam yang bersandar pada batu besar itu. Tangannya terkepal seakan matahari telah digenggamnya, dan hidup menghamba pada kakinya. Tapi ada satu perkara yang mengusiknya, dan itu adalah hantu kehidupan malamnya.

Aku harus membunuhnya, bisiknya pelan. Tak pernah ia merasa seyakin ini. Dan matanya masih terus mencari mangsa buruannya, tapi malam sungguh pekat. Bayangan sudah melekat di tubuh semangnya, atau mungkin tak ada lagi tubuh, hanya bayangan-bayangan diam yang mematung.

Tak ada waktu lagi, sungguh aku telah terjajah oleh sejuta mimpi yang ditawarkannya. Aku muak oleh kerinduan akan janji esok pagi atau pertemuan yang terhenti oleh gerhana semusim. Bisik lembutnya kini adalah muntahan tinjaku, lukisan tangannya yang mengusik dadaku adalah bukan lagi tebaran bintang yang berkerlap-kerlip. Karena aku tak lagi perlu bintang-bintang itu, bongkahan gunung api sudah cukup banyak aku telan. Dari mataku tampak bara merahnya, anak sungai telah hangus olehnya, air mataku mengering lama sudah. Haruskah aku takut dalam kegelapan? Seribu tanya menyapa tak berjawab, hanya angin yang mampir dan berlalu.

Tangannya mengelus tombak, sejuta kebencian tersusun pada serpihan-serpihan yang membentuk gagang tombak. Ujungnya adalah logam meruncing yang bersinar, bukan lagi syair-syair indah yang mendamaikan. Tapi mantra-mantra sang pembebas kehidupan, ayat-ayat sakti pemberian sang dewa kematian. Dan racun itu melekat erat pada ujung tombak, bisanya akan menghentikan mimpimu, bisanya menyingkirkan sejuta keinginan. Karena membiarkanmu menelan mimpi akan membuatmu mati, ya mati kelaparan, ransummu adalah cinta yang telah basi ditanganku. Lelaki itu telah muak oleh rindumu dan ia tak ingin membuatmu dungu oleh ilusi cintamu. Racun itu menjalar pelan, memberimu kematian, menistakan bayangan cinta yang jauh dulu telah dibuang di sumur kering di pinggir jalan pulang menuju keabadian.

Langit masih hitam, awan tak bergerak duduk termangu. Bintang-bintang itu sudah tak lagi memukau sama kelamnya dengan panggung tempatnya menari. Angin sungguh penat, siulannya kini tak jelas bagai Adam baru melepaskan orgasmenya dan Hawa menahan keinginan yang belum berujung. Sungguh angin engkau takut? Atau tak sabar akan kematian yang akan ia sembahkan?

Di Timur gemuruh menderu, suara perang telah bertalu. Bala tentara angin bergerak pasti, dadanya membusung gagah, derapnya menyentuh pohon-pohon cemara yang limbung ke kiri dan kanan. Mereka menapak turun dari puncak pertapaan pada lereng-lereng gunung keabadian, berlari-lari penuh kepastian. Persembahannya telah disantap oleh mereka, dan pintanya adalah bagai lolongan serigala di puncak bukit.

Musuh yang dinanti tak lagi bisa bersembunyi. Hawa amarah lelaki itu telah membakar senyum pongahnya di tengah kegelapan. Angin mengusir awan-awan gelap itu, sekejap melemparkannya ke seluruh penjuru. Dan kini mahluk itu tak lagi mampu bersembunyi, ia menggigil sendiri. Sebuah tombak telah terayun kencang, angin menghantarkan padanya. Pada dadanya yang bulat penuh. Dan sungguh bulan telah mati di ujung malam.

Kini tak perlu ada lagi tipuan mimpi. Bulan telah menabur racun-racun pengharapan. Dan itu membius para pemimpi-pemimpi, mereka kerasukan oleh janji-janji di tiap malam. Para penyair tak perlu menyusun bait-bait dusta tentang kemolekan bulan yang sungguh tak memiliki pengharapan, hanya sebuah sinar di samudera kegelapan. Dan tak ada lagi cerita akan indahnya sinar rembulan, hanya mayat-mayat busuk yang menanti kebangkitannya oleh mantra sinar itu. Burung hantu menyimpan semua rahasia itu, matanya membelalak menatap segala dusta, dan manusia memandang penuh sayu menelan impian.

Bulan telah membuat marah lelaki itu, bulan menghujat mataharinya. Sang kekasih yang bukan lagi pemimpi. Matahari sungguh membakar sadar dan menerangi jalan yang tak lagi meraba-raba. Malam ini tak perlu ada tangis, karena awan kelam telah jauh diusir sang angin, dan mendung tak akan lagi hadir, baginya maupun para pemimpi.

Dan pada detik yang terhenti, lelaki itu membunuh bulan. Sang pemimpi.

Bekasi, 12 Oktber 2002, pkl. 4.35

Biarkan aku berjalan dengan matahariku.
Aku membencimu, sungguh Tuhan tahu itu.
Aku membunuh cintamu, ditanganku…..
"Renungan Oktober"
Tragedi 13, kesialan ataukah kebodohan
Medio 14, nuansa ataukah kenangan bagi teman
Makna 16, kedewasaan atau menuju ketidakpastian
Arti 19, permusuhan atau refleksi diri bagiku dan sahabat-sahabatku.
:untuk lelaki yang bersinar seterang surya

dan buatku .. masihkah ada cinta?
atau itu cuma dongeng yang digumamkan ibu peri untuk menidurkan malaikat nakal?

dan untukmu .. masihkah ada hati?
atau bukan hanya jiwamu yang tlah kau jual pada setan setan penghuni neraka?

dan untuk kita .. benarkah ada mimpi?
atau bahkan setiap setiap mimpi telah hancur luluh lantak ditelan waktu?

[lalu mengapa ..
mengapa aku masih saja mencinta??
mengapa aku masih saja bermimpi??]
ah ..
aku letih ..
sementara senyum tak boleh lekang dari bibirku
bilakah ..
adakah ..
yang sedikit saja mau mengerti
kepada setiap pengembara aku bertanya,
"kau temukankah rinduku yang hilang entah ke mana?"

12 Oktober 2002

pada akhirnya toh mimpi demi mimpi hanya akan terlintas menjadi sebuah kenangan beku
dan maafkan .. jika sampai saat ini tak pernah kulewatkan waktu mengenangmu tanpa setitik tangis


-beritahu aku, bagaimana kuhapus bibirmu di bibirku dengan bibirnya?-
aku mati ..
tertimpa rembulan ...

gelap, gelap, mana lilin?

10 Oktober 2002

pernah berpikir mengapa cinta bisa lembut mengalun seperti denting piano
atau malah melengking seperti jazz yang membelah malam
mengapa rindu bisa samar lewat seperti eternity
atau malah semerbak menyengat seperti poison
mengapa gairah bisa sedamai senja
atau malah mencekam seperti badai?


-jazz parfum dan insiden-
aku rindu
siang itu
dan kamu
takkan pernah tau

-hanya itu-

09 Oktober 2002

pudar ..
bayangmu jatuh ..
mana rengkuhmu?
MANA? MANA?

*adakah?*

gelap ..
perih ..
MANA? MANA?

*lupakah?*

ah .. aku cinta
MASIH .. MASIH !!!!!

*keparat !! setelah kau setubuhi ruhku, jasadku kau tinggal di tepi pemakan bangkai*

ANJING !!!
kau anjing buduk !!!

-tapi aku masih cinta, cinta liurmu, rindu taringmu .. birahi darahmu-
MANA? LUPAKAH?
[atau kau mati tertelah purnama?]
untuk "seseorang" di atas sana yang bernama TUHAN !

pernah kujanjikan bahwa aku tidak akan pernah lagi bertanya mengapa ..
berjuta janji keteguhan hati untuk tetap saja percaya
memakan setiap dogma bahwa KAU adil .. dengan keadilan yang jadi keajaiban khas diriMU
saat itu aku berharap KAU tertawa bangga,
sedikitnya tersenyum bahagia untuk setiap penghambaanku
tapi nyatanya TIDAK ! KAU tetap saja dengan keAKUanmu yang dingin seakan-akan setiap sembahku cuma debu debu kotor

pernah pula kulontarkan sumpah serapah ke mukaMU
kuteriakan marah,
ribuan pasal tuntutan agar KAU mati saja !! (atau setidaknya membiarkanku pergi dari sini)
Jujur, saat itu aku berharap KAU gusar,
kusiapkan pipiku untuk satu dua tamparan karena meragukan ribuan kata yang tersulam di kitab suci
tapi nyatanya TIDAK ! KAU tetap saja TUHAN dengan keAKUan yang seakan menulikan setiap jerit

Dan jika KAU bungkam waktu aku terjerembab
berdiam waktu terhujat
katakan, dimana sepercik emosi?
haruskah terlebih dahulu kusetubuhi malaikatmu?

-dalam diam, dalam lelah, dalam gusar, .... dengan luka-
perjalanan cinta
27 tahun menuju Vega
bertemu engkau di Nebula
kubawa menuju Pensecola

tepi pantai sisi semesta
pandangi hujan meteor seribu warna
cuma kita berdua
padu rasa dalam kecepatan cahaya

berlomba isi udara
dalam nafas dari dunia
waktu sejenak di belakang kita
tertahan sentuhan sejuta satu makna

"untuk antang yang pasti sedang pulas tertidur"

08 Oktober 2002

senja ini abu-abu adanya. entah kemana lenyapnya warna keemas-emasan yang
biasanya berpendaran di dada. sia-sia membela sinar samar yang kian tersudut!
senja ini, aku dan kau menghamburkan kata cinta. seperti demos kepada venus.
biarkan kisah lampau cairkan bening. lantas memagut, merajami geram...
adalah kita berdepakapan saat angin menderu-deru, burung memekik-mekik,
debu menggulung-gulung. angkasa raya yang sempurna menggelegar.

demikianlah biarkan malam semakin gelap, meratap. hujan menampar daun jendela
saat gelisah ini mencari barangkali ada cekikikan, dentam-dentam sesuatu agar
sekedar keraguan selesai. Inikah cinta?
kita berdua saling termangu. sunyi merobek-robek sementara di luar topan
mengamuk meyeruduk jalang sepakat menyembunyikan rembulan.

barangkali tak ada jujur mendadak yang membuatku limbung lagi. petir yang membelah.
lihat ini aku terbatuk dalam tawaku. kau bilang ini cinta?
pergilah kau seperti demos ludahi venus. takkan tersisa romantisme meluluh-lantakkan
keangkuhan lagi. senyap kutukan kutukan labgit kepada bumi yang tergores-gores kemunafikan.
asal kamu tahu, aku cinta langit sebelum, sesudah dan saat badai...


malam ini aku meringis resah
rindu meraja ..
setitik lelah ..
MATILAH !
lemah tubuhku, tak mampu berpikir dan tak mampu menjawab.
engkau kecewa, kekecewaan yang yang selama ini tidak aku ketahui, engkau sampaikan melalui alat yang terpampang didepanku saat ini dan sedang aku pergunakan. sebuah kotak surat elektronik digital

engkau mencoba menempatkan aku di sudut, yang sulit aku bergerak. engkau tidak membutuhkan pembelaan diri karena engkau bilang kecewa. dan kini persabatan itu ibarat guci yang retak. tetap menyatu tapi tetap akan ada bekas kehancuran.

sahabat maafkan aku bila kata maaf itu bisa menghilangkan sedikit kecewamu. dalam semua kata yang terucap, engkau seakan tidak ingin itu terucap. dan engkau punya keberanian mengatakan itu karena kekecewaan yang mendalam, kekecewaanmu denganku, kekecewaanmu dengan kotaku, kekecewaanmu dengan Indonesiaku.

aku mengerti engkau bukanlah bagian dari itu. dan engkau tidak dibesarkan oleh itu. dan engkau ingin melupakan itu, tetapi satu harapku jangan lupakan persahabatan itu.

untuk sahabat ku di tepi kubur.

07 Oktober 2002

Quo Vadis

Aku pernah menikmati ini, wajah manis yang kecerdasannya jujur melekat tak bercelah. Ketermanguanku bukan ilusi atau mimpi yang mencari peri. Aiihhh...... otakku tak usil bersiul nakal, belalak mataku tak rakus, pandanganku tak mampu menyapa. Bukan tak sudi, tapi kilaumu tak sanggup kulewati.

Aku pernah merasakan ini, sebuah kerinduan menanti pagi. Kehangatan Timur memangkas kebekuan, gelombangnya mengalir deras di kaki bukit penantian. Pagi menawarkan harapan, embunnya membasuh jiwa yang kerontang. Sabdamu adalah nafas yang menebas pertapaan. Saat ini kerinduan akanmu adalah penantian pada setiap pagi.

Di titik nol, ratusan kata merangkai puisi, jemari menari melukis bait-bait gundah gulana. Seperti dulu, kinipun berulang. Syair itu sungguh klise, semoga tak ada kata yang tergambar, tapi perulangan mencibirkan harapan. Sungguh kecut yang sakit memecut.

Dan kakiku hanya menari di titik nadir, menatap di balik keraguan.

Seperti dulu, kini pun aku merasakan.
Bayangan yang sama,
wajah yang berulang......

Quo Vadis Cintaku?

05 Oktober 2002

Look at the times. Back to when I crawled and begged you, mom.
me : I'll be good. I'll stay in my room
me : So please don't throw me out of home.
Back to when I waved the report of flying colors. But dad,
can't you see, oh you don't want to see
You knew exactly when the doggy shits
But you didn't even see when I scored a hit!
Well, it's dignity left for me to spit!

steal, ill, feel, bill, numb still....

I was just far long a little girl with pain in her eyes.
I was maybe ten, twelve, but feel a hundred years old.
Shrinking up my bold. I had to eat breakfast everytime with a scold.
Was I a little slut to be?
Tell then why you had to keeping yelling me and let me heard you whisper you wished I died..
I may be bad, I may be mad, I may be a lil' devil...
But please, I just want you to kiss me when I chill
And some words of `I love you` to make me feel...

If I were to die, will you simlpy say you'll miss me?

Oh, don't you worry. I doubt if you ever worried..
I'd grow not to be a criminal.
I'll stand tough eventough I fall.
I had Enid Blyton to be my all.
and Mr. Andersen who told me that an ugly duckling would find its place.
Back then, where were you, dad?
You didn't even call my name when you left
And mom kept poking my head, blaming his man, grumbling our broke
Well, how much I hoped they were all fake!
But they were all in my throat, choked..
Then if I break,
Only ghost will hear the crack!

bitchy, lonely, clumsy, crazy.. hell, you care?



*Now then.. it took many many years to understand that you were just humans, just as I am*
aku pernah berkata .. saat mata memejam dan aku mengeluh resah
bahwa hanya kau .. hanya kau yang akan jadi yang terakhir
maafkan .. aku bohong
karena saat inipun telah kutata setapak yang akan kujadikan awal untuk melangkah

di depan jalan terbentang
di belakang debu mengabu
maafkan .. aku pergi
tapi kau .. tetap akan jadi yang terakhir,
yang kuijizinkan untuk menggoreskan luka

-kenangan terakhir tentang seseorang yang istimewa, raspatih-

04 Oktober 2002

mungkin lebih baik bagiku untuk diam seribu bahasa,
karena toh apapun yang kulakukan tak bisa mengembalikan salahku menjadi putih dan ragaku kembali tak berabu
kamu terlalu istimewa, masih seistimewa saat pertama kali kuperkenalkan diriku yang mungkin telah terselubungi begitu banyak sesuatu yang mereka namakan kemunafikan
bukan salahmu, itu yang pasti .. bukan salahmu jika kamu kemudian jatuh cinta padaku dan aku jatuh cinta padamu .. karena sungguhpun aku tau kamu terlalu suci .. terlalu putih untuk mengerti bahwa aku hanya gadis kecil yang tidak akan pernah menjadi wanita sederhana seperti apa kata mimpimu
dan juga bukan salah cinta, waktu dia memutuskan untuk pergi karena jijik melihat lakuku yang tak beda dengan jalang yang menjajakan dirinya di pelosok kota .. usah salahkan kasih, yang terpaksa terbang karena muak melihat manis bibirku yang semakin mendekat untuk kemudian menggigit putus nadi lehermu
kita hanya bertemu pada kondisi yang salah, pada waktu yang berbeda .. dimana setelah nya kuputuskan untuk menutup setiap harapan dalam diriku dan kembali mati dalam beku, walau itu mungkin berarti menyakitimu .. mungkin salahku, karena melibatkan kerumitanku kedalam kesederhanaanmu .. membenamkan kompleksitas pola pikirku kedalam halusnya perasaanmu
aku hanya tidak ingin kecewa sayang .. tidak dulu waktu aku memutuskan untuk melupakan cintaku padamu dan mulai menganggap semua hal adalah permainan belaka, tidak sekarang waktu aku menolak untuk berjalan terlalu dekat kearah kutub kutub magnetmu yang masih saja mempesonaku .. tidak juga nanti, waktu kuputuskan untuk melupakanmu selamanya


maafkan, aku tidak memintamu mengerti, karena aku pun tidak pernah mengerti

:: seorang ristiwan, dalam kesederhanaanya yang begitu rumit ... ini untuk kamu ::

dan cinta mungkin tak pantas lagi terujar dari bibir kecilku ini
karena hitam darah .. dan abu raga


maafkan aku .. untuk menyakitimu
maafkan aku .. untuk membohongimu
maafkan aku .. untuk begitu lemah
maafkan aku ..
maafkan aku ..

..:: andai kau tau betapa aku bahagia bersamamu ::..

untuk seorang ristiwan dalam kesederhanaan katanya, ini untukmu ..
is is enough to love ? is it enough to breathe ?
somebody rip my heart out and leave me here to bleed...
is it enough to die ? somebody save my life...
i rather be anything but ordinary please...

to walk within the line...would make my life so boring...
i want to know that i have been...to the extreme...
so knock me off my feet...come on, give it to me...
anything to make me feel alive...

put down your defenses...use no common senses...
if you look you'll see...
that the world is beautiful, accident, turbulent, succulent, opulent, permanent no way...
i want to taste it..
don't want to waste it...away...

:"Anything but Ordinary"-Avril Lavigne-

03 Oktober 2002

......
aku ingin terus hidup setelah aku mati! dan karenanya aku berterima kasih pada Tuhn karena Ia memberiku karunia ini, yaitu kemungkinan untuk mengembangkan diriku dan mengarang, untuk melahirkan apa yang ada di dalamku.
aku bisa menyingkirkan segala sesuatu kalau sedang menulis; kesedihanku menghilang, keberanianku muncul kembali. tetapi, dan itu adalah suatu pertanyaan besar, apakah aku akan bisa menulis sesuatu yang istimewa, apakah aku akan bisa menjadi seorang jurnalis atau pengarang? kuharap kembali apabila menulis: pendapatku, tujuan dan khayalanku.
.......


catatan harian anne frank, selasa, 4 april 1944
pagi yang buta melahirkan siang yang gelap

02 Oktober 2002

jajaran betis di suatu setelah malam
turun naik menumbuki jalan
pada bumi yang semakin gepeng
hendak menghancurkan apa ?

jajaran mata di suatu setelah siang
maju mundur menumbuki udara
pada bumi yang semakin mengambang
hendak menembusi apa ?

besi besi pongah menggilas sini sana
sambil mengeluarkan kentut fosil terbakar
membawa aroma sejarah
yang sudah moksa
mengarungi sesuatu
menjaring angin
segala sesuatu adalah sia sia
di bawah matahari
siapakah yang dapat melepaskan aku
dari tubuh celaka ini ?

01 Oktober 2002

:where is my falling star?

kiss me
kiss me
kiss me under the midnite sky

let me
let me
let me be a princess just for tonite

coba,
coba ajar aku untuk sedikit saja mengerti apa yang ada di pikiranmu
sungguhpun lelah hanya jadi satu-satunya hal yang memaku kakiku di tapal tapal

coba,
coba ajar aku untuk sekali saja melihat apa yang tergurat di pendar matamu
sungguhpun kabut cuma jadi selimut yang selalu membayangi imajinasiku untuk mulai terbang mencarimu di mega mega

coba,
coba ajar aku untuk sekejap saja mendengar apa yang ada di hati dan merasuki detak detak urat nadimu
sungguhpun senyap membekap bibirku untuk berteriak mencarimu di penjuru penjuru

aku hanya bosan bodoh, bosan buta, dan bosan tuli
mengertikah?
:k.s.

biar saja buta
biar saja gila
dia

tapi masih ada kita
kami semua
yang sekali-sekali memecah
terpecah
sungguh sedang mencari titik cerah
aku bosan...kesepian...
jerat waktu mengekang badan...
aku ingin pergi...sendiri...
tanpa ikatan...tanpa tali...
aku ingin terbang...tinggi...
tak ingin melihat dunia ini lagi...
biarkan aku melayang teman...
karena tak lagi kutemukan kebahagiaan...

:kata kata dalam lamunan...