31 Agustus 2002

jangan salahkan aku untuk masih saja mencintaimu
salahkan saja dirimu yang begitu sempurna dimataku
jangan salahkan aku untuk masih saja merindukanmu
salahkan saja ciumanmu yang masih saja begitu manis di bibirku
dan jangan salahkan aku untuk masih membutuhkanmu
karena hanya kamu, ya .. hanya kamu .. yang mampu membuatku mengenal apa itu arti dari kata bahagia

dan bukan omong kosong ..
jika malam ini kembali kugoreskan banyak tulisan mengenaimu ..
karena hanya kamu .. ya, hanya kamu .. satu sosok yang kuijinkan untuk mengisi setiap detak dari arteriku

-aku ingin kamu, dulu .. sekarang .. kuharap tidak selamanya-
belum ada yang bisa menggantikan kamu ..
tidak juga dia, lelaki yang menerbitkan senyum di sela isakku
pernikahan
adalah
gerbang
menuju
kesejatian

jangan mati terlalu cepat sayang, belum lagi kuhisap manis air liurmu ..
dan jangan bersembunyi terlalu lama sayang, gelap bisa meracunimu
seorang kenalan bicara tentang kosong ..
aku sendiri masih saja menyerukan kepenuhan
dia bicara soal membunuh perasaan ..
aku sendiri masih berpikir bagaimana mungkin kubunuh rasa cintaku padanya sementara membunuh diriku sendiripun aku tidak bisa?

why you have to leave me? moreover, why you have to take everything that was left within me?

30 Agustus 2002

aku tak punya nyali untuk melupakan
walau dia telah melupakan dan melukakan...

you said even heroes have a right to bleed ..
thats right .. thats why i give u a right to hurt me
you said even heroes have a right to dream ..
dream on honey, i `ll do my best to help you achieve that

i love u .. i always do ...
SMS
(Jatuh Cinta Pada Bip yang pertama)

Hembusan nada dari lagu yang menenungku menghentikan kehidupanku. Suaranya lamat-lamat kedengaran di malam yang menyepi ini. Walau pegal sedari tadi tak mampu hentikan jemariku menari, karena otakku kencang berlari. Kata-kata terus meluncur, mengalir, memecah selayaknya sel-sel yang membelah diri terus menerus membentuk jaringan. Dan tubuh dari tulisan mulai rampung, tinggal diperlukan sedikit nyawa untuk menghidupkannya. Aku ingin menyihir pada segala pembacanya.
Kebiasaanku mengatakan apa yang aku yakini pada semua huruf-huruf yang berbaris rapi terkadang membuahkan sebuah tulisan walau itu terkadang adalah dialog pada diriku. Dan itu menjadi begitu nyata ketika semua nyawa-nyawa di rumah ini telah singgah pada keheningan malam. Aku mendapatkan segala percakapan pada keheningan ini, tak ada yang lebih indah dari mengungkapkannya. Bukan seperti mengigau diketidak sadaran yang aku yakini juga merupakan dialog yang terjadi di dalam mimpi. Realita yang terjadi sama, tapi mimpi kadang tak bisa dikenang kembali dengan sempurna, ingatan selalu memungkirinya. Bukankah ia hanya bunga mimpi, mekar di saat akal tertidur.

Kopi dan rokok teman yang setia, satu pelepas kantuk dan satunya lagi bagiku adalah penyambung nyawa. Hembusan yang aku yakini mampu mengalirkan kebuntuan, tercekatnya kebingungan dari mana aku harus memulai semua percakapan. Terkadang aku sedikit konyol, mengharapkan malam mampu berbicara, hanya sang penujum dan ahli bintang yang mampu bertahan menatap di kegelapan. Mataku merasa hampa pada kegelapan, pandanganku masih tak mampu menembusnya, andai aku bisa membaca segala hal di balik kegelapan. Malam bisakah kau berbicara?

Radio dari bilik tetanggaku sedikit mulai bersahabat, lagunya menemani. Tak terdengar suara-suara pemilik bilik, mungkin sudah tertidur atau mungkin ia sedang berpikir sepertiku. Lagu lama kembali melantun, sebuah lagu kenangan oleh Slank berjudul Anyer 10 maret.

Malam ini, kembali sadari ku sendiri
Gelap ini, kembali sadari kau telah pergi
Malam ini, kata hati harus terpenuhi
Gelap ini, kata hati ingin kau kembali
Hembus dinginnya angin lautan
Tak hilang ditelan bergalas-gelas arak
Dan kuterdampar…


Pengembaraanku pada jelajah ruang syair itu tergelincir, sebuah bip dari telepon genggamku (HP). Sepertinya ada SMS baru.

Apa kabarmu malam ini, aku rindu kamu
Sender : Bidadari
Sent: 12 januari 2002
1:30:14


Aku tersenyum sendiri, dia belum tidur. Bidadariku. Ingin aku membalasnya, tapi sudah dua minggu pulsaku habis. Isi dompet hanya cukup bertahan untuk makan dan membeli rokok hingga akhir bulan ini. Hanya bisa berharap dari gaji bulan berikutnya. Gaji bulan kemarin telah kupakai, sebahagian untuk membeli HP ini, sesuatu yang kurasakan kini sangat dibutuhkan untuk kemudahan komunikasi dilapangan selama peliputan berita atau tugas yang di jadwalkan padaku sebagai wartawan pemula.
…………
Malam ini, kita bernyanyi lepas isi hati
Gelap ini, kita ucap berjuta kata maki
Malam ini, bersama bulan aku menari
Gelap ini, ditepi pantai aku menangis
Tanpa dirimu ada disisiku, Aku bagai ombak tanpa air
Tanpa dirimu dekat dimataku, Aku bagai hiu tanpa air
Tanpa dirimu dekat dipelukku, Aku bagai pantai tanpa lautan
Kembali lah kasihku
Oooo…
Kembalilah kasih


Lagu itu masih melantun, belum selesai. Lagu dan isi pesan SMS, masa lalu…..

Ketika itu aku masih kuliah, diperguruan tinggi negeri yang katanya gudang ilmu. Kenyataannya justru lumbung itu penuh tikus, semua yang ada hanyalah calon-calon plagiator. Dosennya tukang jiplak penelitian dosen dari kampus lain, mahasiswa menjiplak penelitian para senior yang telah tamat duluan. Sesama tukang jiplak sungguh damai, tak ada saling menyalahkan. Rektor memberi label baru, kampus industri. Penghasil robot-robot manusia, yang telah diseting tanpa kesadaran dan nurani. Dan mahasiswa dikenal sebagai angka-angka, isi otaknya diperam dalam bilangan-bilangan jam lama perkuliahan dan kapasitas otaknya dinilai dengan bilangan-bilangan, skala 4 atau 5. Begitu juga mahasiswa, menilai dosennya dengan rupiah-rupiah.

Istilah kampus industri dipakai mbah rektor untuk mengimbangi pesan Mendiknas –Menteri Mendikte Nasib- dalam rangka penghapusan subsidi. Para peneliti kalang kabut mencari dana penelitian. Meneliti semut yang mengapa gandrung kerja, tinjauan kentut dalam etika kedokteran dihubungkan dengan adat istiadat atau pembelaan atas pembelaan atas pembelaan atas pembelaan studi kasus di partai beringin.

Mahluk yang selalu kutunggu di DPR (Dibawah Pohon Rindang) ini bukanlah tikus atau sejenisnya. Walau rambut sama hitam, jangan sangka ia akan terjebak oleh keju seperti tikus. Memandang kejupun ia akan berlari apalagi tikusnya. Berbaju biru celana jeans hitam dia menyapaku. Berbicara panjang kali lebar, tidak ada makna menyempit atau meluas. Semua lugas dan tak berbekas salah prasangka. Kutahu ia orang yang paling jujur kukenal setelah Tuhan.

Bunyi yang paling ku benci itu mulai bersuara. Bukan mendecit seperti tikus. Atau mengeong seperti kucing. Hanya bip. SMS masuk ke inbox.
“Lagi-lagi sms masuk, siapa sih dia?” tanyaku curiga. Aku bukan membenci teknologi atau karena aku tak memilikinya, tapi sungguh itu kurasakan terlalu mubajir. Mungkin karena aku dapat ditemukan dimana-mana karena aku selalu ada untuk tempat yang sama di tiap-tiap hari. Pagi hingga siang di kampus, sore di sekretariat, malam di rumah. Habis perkara.

“Temanku yang di Jakarta. Aku kan pernah cerita, abang ini yang membantuku dulu mencari bahan skripsi nantinya” katanya sambil tersenyum, sejuta arti ada dibibirnya.

“Isi pesannnya apa?’ tanyaku lagi menyelidik.
“Hanya biasa, tentang sekarang dia ada dimana. Dan pertanyaan apakah aku sudah makan siang”
“Bah. Kurang kerjaan dia, ibumu pun takkan seramah itu padaku. Memangnya dia mau kasih makan apa?” aku sedikit berang.
“Walah abang… inikan basa-basi. Bunga-bunga percakapan”
“Siapa pula yang merasa berbunga-bunga? Aku tak suka dengan segala keramahannya. Semua pria itu sama”
“Abang berarti melawan teknologi” ia coba mengalihkan pembicaraan, perdebatan yang kemarin-kemarin juga.
“Bukan aku melawannya. Tapi kuakui semua teknologi ada baik dan buruknya”
“Keburukannya apa sih bang?”
“Dia merayumu. Kata-kata itu berbisa, dapat meracunimu. Sejuta janji sejuta mimpi. Kebenaran dan kebohongan beda tipis bila dipakai sebagai rayuan”
“Abang marah nih, bukannya kata-kata abang lebih mengena dihati. Inikan hanya tulisan bukan elusan”godanya.
“Tapi kau akan ketagihan, seperti kerinduan bila kebiasaan itu hilang. Kau akan mengharap akan kabarnya. Mungkinkah kau sudah bosan denganku?”
“Walah bang kok segitunya. Aku juga sudah bosan menasehati abang menghentikan merokok. Bukannya itu juga ketagihan?”
“Jangan disamakan dong. Kamu melarikan pokok permasalahan nih”
“Biar abang tahu kalau abang juga egois. Mari berdemokrasi. Saling menghargai privasi.” Dia berargumentasi.
“Oh ini yang kau definisikan privasi? Oke aku tak akan memarahimu”aku meradang.
“Aku juga tak akan melarang abang merokok” dia naik pitam.

Kami diam, bisu. Angin terpana menangkap suasana dihadapannya. Suasana sejuk dibawah pohon ini mendinginkan panas di kepala perlahan-lahan. Seperti sudah ditakdirkan, lelakilah yang merayu wanita, mencoba untuk melunakkan hatinya.

“Maaf ya, aku cemburu. Aku takut kata-kata itu menculikmu dari ku” aku meminta maaf.
Dia hanya tersenyum, dia mengecup pipiku. Tapi matanya masih awas menatap pada genggamannya, HP itu.
“Bagaimana dengan deal tadi, berarti aku boleh merokok lagi dengan bebas”
“Boleh tapi tak ada ciuman” katanya ketus, marahnya bangkit lagi
Aku bengong.

Memikirkan antara pilihan berhenti merokok atau membiarkan hobi barunya, membuat aku bingung. Merokok sangat aku butuhkan, aku tak lengkap sebagai lelaki. Mencium juga kubutuhkan, aku tak lengkap sebagai pacarnya. Sama-sama kecut dibibir bila tak ada rokok dan cium. Tapi mengapa nyaliku hilang, bukannya aku bisa merayunya.

Hayalku terhenti sejenak, ada sebuah bip dari telepon genggamku . Ada SMS baru.

Yang bisa ku katakan malam ini, aku ingin selalu dekat denganmu
Mimpiku akan indah bila kau hadir di mimpiku,
peluk dan jangan lepaskan aku
Sender : Bidadari
Sent: 12 januari 2002
1:44:08


Isi pesan seperti ini, yang tak aku inginkan dikirim pada gadisku. Bukannya ini akan membuainya, seperti apa yang aku rasakan sekarang. Walau itu hanya kata-kata.

“Ok, aku setuju. Aku berhenti merokok, kau hentikan menerima sms darinya. Atau dari yang lain. Biarlah kau katakan aku kolot, tapi aku percaya kalau kata-kata dapat menghipnotismu, seperti mereka yang bercinta di cyber, di MIRC” kataku menyerah, bendera putih terkibar.

“Berhenti merokok total. Aku tak mau mendengar kau juga curi-curi merokok di belakang ku” dia memastikan kembali kesepakatan kami.
Sejak itu, jatahku kembali lancar berjalan, tak ada sunatan. Tapi bibirku tetap kecut pahit. Nikotin telah mengikat liurku. Mencium asap rokok di sekeliling aku jadi ketagihan, tak ubahnya melihat orang makan nasi goreng dan aku hanya bisa menatap sambil berlalu mencium aroma yang gratis terbang. Di kebiasaanku berkumpul dengan teman-teman, membuat aku jadi bahan cemoohan, lelaki yang penakut pada wanita. Wanita ternyata jadi sukarelawan yang terbaik dalam mengkampanyekan anti merokok. Selain rumah sakit yang menakuti dengan poster penyakit kankernya.

Kebiasaan itu tak berlangsung lama, sekali waktu aku mencuri-curi merokok setelah kami berpisah pulang. Dan kupuaskan seperti tak ada esok hari. Sungguh puas menarik asapnya. Menelan dan membuang sisanya. Dan lengkaplah kejantananku, tak perlu membeli viagara.
Namun sepertinya ia pun tak jauh berbeda denganku. Sunyi rasanya dunia tanpa bunyi bip itu. Tak ada nada yang lebih panjang dan merdu selain dari sebuah nada. BIP. Sepertinya ku bukan gagap teknologi, tapi keindahan nada tak dirasakannya lagi dari musik-musik atau siulanku. Atau bisikanku. Aku cemburu. Dia jatuh cinta? Pada BIP yang pertama?

Aku pernah curi-curi melihat beberapa pesan dari inbox di messages, ketika dia lengah meletakkan HPnya. Sejak kesepakatan kami itu, dia makin tak sembarangan meletakkan HPnya. Aku pernah protes untuk itu, tapi dia bilang ia tak mau HPnya hilang, karena memang ia sedikit agak pelupa. Pesan ini tak sempat di hapusnya :

Tadi malam sejak pembicaraan terakhir
Aku tak bisa tidur, ingat kamu terus
Sender : pangeran


Sungguh siapakah yang terindah di dunia?
Bungapun tak bisa menyangkal,
Dan mereka cemburu padamu
Sender : pangeran


Bangsat. Percakapan yang panjang tentunya di tiap malam. Dan mengapa aku harus cemburu? Pada pangeran? Pangeran kodok? Sialan, aku marah. Padanya aku bongkar semua itu, aku merasa tertipu. Dia terdiam, sudah kodratnya wanita diam. Mengapa harus ada kodrat lagi?

“Sejauh ini aku tak tahu tentang perkembangan apa yang kau rasa. Mungkin cinta tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Apakah kau telah terasuk dan diracuni oleh cintanya” aku menatapnya tajam.
“Dia bisa menulis apa saja. Dan haruskah kita marah oleh semua kata-katanya. Aku akui aku tetap mencintaimu. Aku hanya bersahabat dengannya. Tak lebih” dia menatapku, mencumbui amarahku.
“Tak ada asap kalau tak ada api. Aku tak mau kau terbakar oleh perbuatanmu sendiri”
“Percayalah padaku untuk itu. Semua kata-kata itu hanyalah sekedar huruf-huruf yang tak ada makna. Ikon-ikon yang tak punya rasa dan ekpresi”
“Tetapi bila terangkai dan bersanding di suasana yang manis, sebuah katapun dapat melambangkan banyak hal. Apalagi bila kata-kata itu terus menerus hadir, penegasan makna akan lebih jelas”
“Haruskah kau cemburu pada kata-kata. Dia tak dapat mengelusku. Hanya kau” dia merayuku, dan aku lemah oleh kutukan segala kodrat ini.
“Aku orang yang paling percaya akan kejujuranmu. Itu sudah aku katakan dulu dan berkali-kali. Tuhan pun cemburu untuk itu. Tapi untuk terakhir kalinya, aku tak ingin kau membohongiku lagi. Hentikan saling membalas sms itu. Aku tak mau mengatakan pilih aku atau sms. Sungguh hina aku memberi pilihan itu. Cukup ini kesalahan yang terakhir, aku tak mau ditipu lagi” kataku menegaskan. Dia mengiyakan dipelukku. Amarahku mereda, jauh direlung hatiku aku menyadari penipuanku. Sepertinya kebohonganku dengan rokok membuahkan hal ini. Sejak saat itu aku berjanji berhenti merokok total.
Tapi yang kupandang - di minggu-minggu yang indah setelahnya - tak bisa menipu, didepanku sendiri aku membacanya. Bukan halusiansi atau mimpi :

Biar kupagut bibirmu, kuremas dadamu, indah berlekuk.
Nafasku tak putus mendapatkan
segala keindahan milikmu
Sender : pangeran


Jangan malu melakukannya, ikuti nalurimu
Buang jauh segala ragu, biarkan aku merasukimu
Segala kerinduan mencair kini
Sender : pangeran


Malam ini aku bahagia mendapatkanmu
Dalam pelukanku, jauh dilubuk hatiku
Aku tak ingin kau menjadi milik orang lain
Sender : pangeran


Aku begitu marah padanya. Segala alasan susah kuterima.
“Dia marah ketika aku cerita bahwa kau membaca sms nya yang dikirim dulu. Dan dia memancing kemarahanmu dengan mengirim sms ini. Sungguh aku tak melakukan apa-apa dengannya. Sungguh, jangan kita terjebak oleh permainan kata-katanya”, ia menangis, aku tak perduli lagi. Aku telah berjanji. Kami dulu telah sepakat. Dan aku memutuskan untuk pisah dulu. Kini sudah 4 bulan lamanya aku tinggalkan dia. Aku beri waktu untuk memikirkan semua itu.

Apa kabarmu? Semoga kau bahagia dengan kata-kata nya.

Lagu dari bilik tetangga tak pernah terhenti, mencuri hening. Seperti sebuah narasi musik bagi ziarahku. Kasidah Cinta milik Dewa mengganggu, seperti mengejek. tapi kini aku merasakan hal yang lain. Sungguh indah kini. Apakabar bidadariku :

Kujatuh cinta kepadamu
Saat pertama bertemu
Salahkah aku terlalu mencintai
Dirimu yang tak mungkin mencintai aku
Oh Tuhan tolong…
Aku langsung jatuh cinta kepadamu
Cinta pada pandangan pertama
Cinta yang bisa merubah jadi
hidupku jadi lebih berarti
Oh mungkin hanya keajaiban Tuhan
Yang bisa jadikan hambanya yang cantik
Menjsdi milikku
……………..
Aku bukanlah lakilaki
Yang mudah jatuh hatinya


Dan sms kembali datang, tapi aku tak punya pulsa :

Rasuki aku dengan nalarmu dengan lenguh mu
Bibirku masih kering, tubuhku haus oleh keringatmu
Sender : Bidadari
Sent: 12 januari 2002
2:10:27


Bang, aku hamil 4 bulan. Oleh kata-kata
Bagaimana ini bang? Dia tak mau bertanggung jawab.
Selain hanya kata-kata. Maafkan aku dulu. SMS balik aku
Sender : gadis
Sent: 12 januari 2002
2:15:47


Maaf Dika, aku salah kirim sms.
Maaf yaaa…. :)
Sender : Bidadari
Sent: 12 januari 2002
2:17:27


Aku terpana, tapi aku tak punya pulsa. Untuk memaki.
Dan radio itu masih bernyanyi, untuk semua wanita, untuk semua setan yang menemaniku.

Sender : andika
Sent : 4.10 wib, 27 Agustus 2002

29 Agustus 2002

temanku berkata .. bebas tidak akan datang jika aku tidak pernah memaafkan sosok di depan cermin
aku mau berkata .. bebas tidak akan datang jika aku tidak pernah mencoba mematahkan rantai yang karatnya telah merajam darah
angin kering panas berdebu
menyusup di sela sela gigi
di atap kerongkongan meradang
di atas goreng hati campur keju

laut terbalik dasar
burung terbang tenggadah
aku kentut dari mulut
tidur ketika berjalan

si primitif duduk di ujung arang pohon
coba ciptakan hujan dari mata
aliri sebentuk bekas sungai coklat dengan liur
dari suatu negeri bernama AKU.

"tunggu aku kawan, kita pasti menang"
kau bilang tak ingin menjalani cinta yang terpisah jarak
kau bilang itu menyakitkan
walau aku telah lakukan apa yang terbaik
kau bilang itu belum cukup
kau kandaskan perasaan dan cintaku
membuatku berpikir bahwa itu benar adanya
hingga aku terbutakan untuk menggapaimu lagi
dan kini...
saat kubutuh dirimu... kau telah berdua...
dan yang lebih menyakitkan
kau ingkari apa yang kau katakan dulu
dan mengatakan bahwa aku takkan tergantikan
apa maksud itu semua?

28 Agustus 2002


bercintalah denganku ..
kecup bibirku ..
remas payudaraku ..
ludahi aku dengan spermamu
setubuhi aku ..

tapi jangan pernah kau katakan kau cinta aku, JANGAN PERNAH!
kamu ingin hatiku?
tidak bisa .. sudah hancur berserakan
kamu ingin hatiku?
tidak bisa .. telah kuhamburkan di pelataran rumah bordil itu
kamu ingin hatiku?
mana mungkin .. sedangkan tangankupun kau patahkan


kepadamu .. lelaki yang meminta secungkil hati kemarin malam ..
AKU SUDAH TIDAK TAU LAGI MANA YANG BENAR ...
DIMANA BATAS SUATU KATA BENAR?

AKU SUDAH TIDAK PERCAYA TUHAN
SEMENTARA BIBIRKU KELU MENCINTA SETAN
KAMU JAUH
AKU PUN GETIR
LALU DIMANA HARUS KUTARUH JIWA?

27 Agustus 2002

just a sentences for tonite .. wanna kill my soul ...
aku sudah bosan membekukan musim dingin
.. bila musim semi menangis?
aku sudah bosan meludahi luka
.. bila angkuhmu runtuh?

-kuharap aku tidak membencimu, karena kuyakin aku mencintaimu-
Lingkaran
[ Siska dan dua malaikat atau dua setan (?) ]


Pagi beranjak dengan tenang, selembut langit yang pelan bersolek diri. Dan matahari mengusir gelap dengan senyum manis kelak berujung sinis. Embun-embun tak lagi bersantap masa, hilang berselingkuh digoda rona hangat angin yang mengusir mimpi. Beratus juta kebangkitan mencicipi kesadaran, melanjutkan rajutan keping-keping nasib yang berserakkan. Benang-benang nafas terpilin kusut tak jelas ujung. Sang penabur benih tersenyum suci memandang tuaian pada segala tanah yang subur, penuh bebatuan dan segala hamparan ladang kehidupan.

Pada kehidupan yang bermula di pagi, bunga berdandan molek. Kelaminnya memikat kumbang-kumbang nakal pemagut cinta, semuanya berjalan biasa. Tak ada yang merasa digerayangi, tak yang terlecehkan, tak ada dosa. Mungkinkah tak ada berahi pada mereka?

Kumbang akan menatap sedih pada bunga-bunga yang tertata rapi di meja ini. Dingin dan pelan-pelan berbisik mati. Tapi ia tidak mati sia-sia, hidup memberi arti. Keindahan dan kematiannya memberi damai, tak ada yang perlu terusik. Terusikkah mereka bila aku tetap sendiri?. Pelan pikirannya mendesah. Untuk kesekian puluh kalinya bunga-bunga ini dikirimkan padanya, pengirim yang sama. Beratus kalimat terangkai pada kertas-kertas kecil tulisan tangan, dan selalu berujung inisial yang sama. CT. Siapakah kau?

Kertas-kertas di meja jadi santapan pagi, setelah sarapan hangat dan segelas susu sajian Bik Miah di rumah tadi. Kembali ke kantor menikmati kesibukan diri, dan sorenya pulang mendapati rumah masih dingin dan sepi. Tak ada celoteh-celoteh menyambut atau kecupan hangat dari pria yang akan melindungi hingga pagi menepi kembali. Mengapa aku menjadi lemah begini? Pikiran yang tak pernah menjadi persoalan bagiku dulu, tak semenarik segala kasus yang kutangani. Aku bisa memenangi segala ajal bagi mereka kaum pesakitan, mengapa aku tak bisa membela nasibku? Ia merenung panjang.

Batinnya menari-nari, segala tanya terburai. Mungkinkah karena bunga-bunga ini, aku menjadi ingat kembali akan cinta? Akan kesendirian? Akan sepi? Bukankah itu pilihan yang aku yakini? Hidup tanpa pria bukanlah kematian. Karena patah hati bukanlah milik dewa maut lagi, itu hanya berlaku pada roman-roman usang. Gambaran lemahnya peradaban. Aku wanita mandiri yang punya hidup sendiri. Semua garis hidupku hanya satu, sendiri dan selalu menjadi nomor satu. Seperti di kantor ini, karirku telah cukup berarti. Aku memiliki kantor pengacara sendiri, dengan pegawai yang lumayan banyak. Tak ada yang pernah menatap kasihan padaku atau nada-nada ejekan sebagai perawan tua. Malah kumpulan wanita-wanita korban lelaki yang bertameng wanita karir itu, menobatkanku sebagai wanita karir untuk tahun ini. Bukanlah sebuah prestasi bagiku, tapi bergabung dengan mereka adalah sebuah penghinaan. Begitu bencinya mereka pada lelaki memunculkan pemikiranku bahwa mereka adalah kaum lemah. Bukankah Hawa dulu telah berhasil menipu Adam?

Bila dikatakan lelaki kejam, marahlah pada Adam.
Tiadalah harus keluar dari firdaus yang kekal, tiada lain bukan oleh karena bujuk Hawa. Kalah oleh kaum peng-ingin, mengidam sebelum waktunya.


Bila dikatakan lelaki itu kejam, tamparlah Adam.
Karena hanya itu yang bisa dilakukan, sebelum tangis mengalir.
Dari turunan Adam yang lemah, bibir yang kelu, lahirlah banyak kaum peng-iya.


Dan telah tertulis, Adam dungu oleh cinta.
Menjadi santapan wanita.


Tetapi tak dipungkiri, ia masih bisa ingat dia. Lelaki kecilnya pada waktu yang lalu. Matinya sebuah cinta oleh manusia berkelamin lelaki. Kini ia bukanlah mahluk pembenci lelaki, telah terlupakan semua itu. Itu justru akan melecehkan dan kesendirian bukanlah sebuah bentuk sakit hati. Ini hanya ekpresi keinginan menjadikan hidup sungguh berarti. Sungguh tiada benci. Dan ia menikmati hingga posisinya kini. Tapi sampai kapan kah aku begini? ucapnya pelan. Ohh bunga mawar, sungguh berbahaya sihirmu? Belasan tahun yang telah menguatkan, janganlah kau pergi….. next

26 Agustus 2002

tidakkah kalian bosan berbicara ttg cinta?

bukan aku sombong .. hanya aku sudah tak tau lagi cara melupakannya bukan aku sombong .. hanya sudah tak bisa lagi kucari cara mencintaimu ..
bukan .. bukan aku sombong .. hanya sudah terlalu getir biru ini

bukan aku angkuh .. andaikan kau tau betapa sulit jalanku
bukan aku angkuh .. andaikan aku punya banyak pilihan dalam hidupku
bukan .. bukan aku angkuh .. hanya debu ini yang tersisa

dan waktu jemarimu mengenggam dan matamu mengatup menahan tangis,
andai kau tau tangis yang sama itu pulalah yang kujelang diantara senja yang berlari

juga waktu mulutmu membisu menahan getir, dan tubuhmu menggigil butuh pelukan ..
percayalah, getir yang sama, gigil yang sama yang terpeluk saat mataku nanar menatap bayang

bukan .. bukan aku tak mau mencintaimu,
aku tak bisa ..
aku tak bisa ..
sudah terlalu biru ..
sudah jadi debu ..
sudah terlalu hancur ..

mengertilah, kumohon

25 Agustus 2002

TUHAN TIDAK PERNAH MATI .. KARENA DIA TAK PERNAH ADA!


i still love u dear .. i still love u .. please .. come back


bukan aku berhenti mencintaimu
bukan aku berhenti menyayangimu
bukan aku berhenti menginginkanmu
bukan .. bukan itu
hanya aku semakin tersiksa dan semakin tersiksa
NO SURPRISES

A heart that's full up like a landfill
A job that slowly kills you
Bruises that won't heal

You look so tired and unhappy
Bring down the government
They don't, they don't speak for us
I'll take a quiet life
A handshake of carbon monoxide

No alarms and no surprises
No alarms and no surprises
No alarms and no surprises
Silent, silent

This is my final fit, my final bellyache with

No alarms and no surprises
No alarms and no surprises
No alarms and no surprises please

Such a pretty house, such a pretty garden

No alarms and no surprises (let me out of here)
No alarms and no surprises (let me out of here)
No alarms and no surprises please (let me out of here)

by RadioHead
Aku menggugat Tuhan

Aku menatap gedung itu, mereka berteduh di sana. Bersenda gurau sambil merogoh kantong, jemarinya tak cukup menggenggam segala keping keberuntungan. Beratus juta nyawa bergayutan dileher mereka, tapi wangi parfum mereka menutupi bau keringat dan mulut dari perut yang lapar. Kuping mereka tersumbat dengan segala negosiasi kapitalisasi dan globaliasi, dering tiada henti. Mereka makelar kehidupan, sementara kami hanya coba untuk memperpanjang hidup. Untuk detik-detik nanti.

Aku hanya seorang nyawa yang mencari hidup. Bagian dari jutaan korban pembangunan, keberhasilan dari meningkatnya angka yang melek huruf. Tercampak dari gerbang pendidikan diterlantarkan pada ladang tandus, dipagari konglomerasi. Lahan subur hanya milik mereka dengan segala kemudahan fasilitas. Kami bukan pemalas, tapi hawa panas mengeringkan keringat. Dan tanah itu tak lagi bersahabat. Bukankah telah didongengkan bahwa negeri kami subur makmur, kaya raya.

Aku tak membawa massa, mereka telah terbeli. Oleh janji-janji partai. Oleh hasutan kaum agamawan bahwa semua ini takdir, ini cobaan Tuhannya. Mereka telah dihasut oleh janji-janji revolusi mereka menyembah berhala demokrasi. Bukankah ketika demokrasi lahir menumbalkan kematian, sebuah kepala yang terpenggal. Bukankah Jesus Kristus disalibkan oleh karena tuntutan suara terbanyak. Mereka membebaskan Barabas. Mereka semua berseru “Ia harus disalibkan”. Namun Pilatus, wali negeri, mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan banyak orang dan berkata “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini………”

Kinipun tak ada ubahnya, mereka mencuci tangan dengan tameng atas nama rakyat. Bukankah ini tindakan yang tidak ksatria. Ksatria akan bertarung oleh keyakinan yang benar, bukan oleh hasutan diri. Sekali pedang keadilan terhunus, kebenaran akan tegak pada mereka yang berdiri terakhir. Tapi mereka telah tuli, buta, bisu, tak punya nurani. Apakah mereka bukan manusia lagi?
Dan aku berdiri di sini, menantang untuk itu. Suaraku mungkin tak kan terdengar, tapi keyakinanku akan menjadi gunung es bagi waktunya nanti. Sebuah poster kecil bertuliskan:

“ENYAHLAH SETAN YANG MENGATAS NAMAKAN RAKYAT!!!.
Sebuah perjalanan menggugat Tuhan.”

Aku meneguk racun itu, pelan terasa pahit. Panas menjalar tubuhku, menggelepar.

Aku terbawa terbang, terangkat dari jasadku. Jauh dibawah, keduniawianku tergeletak dikerubungi oleh pemburu berita yang menemaniku selama 3 hari sebelumnya. Tangan-tangan merengkuhku, membawa ketepian perhentian. Mereka tersenyum, ruh-ruh itu. Dan yang berwajah bercahaya menyambutku “Selamat datang anakku. Damai sejahtera dibumi dan di surga”. Aku ingin protes untuk persamaan kalimat terakhir itu, tapi tak elok untuk sebuah awal perjumpaan.

“Aku ingin bertemu Tuhan. Aku menggugatNya” kataku tegas, seakan tiada waktu lagi.

“Bukankah kasihNya melingkupi kita semua disini, di surga. Berbahagialah orang percaya tapi tak melihat” Dia sepertinya mencoba mensugestiku.

“Aku hanya ingin memuaskan Nietzsche, tentang pendapatnya bahwa Tuhan sudah mati,” aku coba berkelit.

“Justru Tuhan sangat ingin berjumpa dengannya, agar ia tahu bahwa Tuhan itu hidup”

“Ajak aku menuju taman di Eden ketika sang tukang kebun hidup”

Dan kami berpindah ke sebuah waktu yang berjalan, pelan dan indah. Kedamaiaan yang mengalir menghanguskan segala gelisah dan pada cahaya yang berpendar ada sejuta garis-garis pengharapan yang menembus segala pikiran dan hati. Kami berhenti diatas sebuah taman. Disebelah timur Eden. Ada suatu sungai mengalir dari Eden membasahi taman. Berbagai pohon tumbuh indah. Sesubur negeriku. Hewan-hewan hidup damai tiada kebuasan. Apakah tidak ada hewan pemakan daging? Sebuah tanya yang urung aku tanyakan, ketika aku melihat sebuah pohon ditengah taman. Mungkin itu pohon yang memikat Hawa. Dimanakah kau ular? Aku mencari dengan sudut mata.

“Apa yang ingin kau tanyakan anakku?”, ia menatapku lembut.

“Aku ingin bertanya tentang penciptaan manusia. Sepertinya Tuhan salah memilih tanah yang menjadi bahan pembentuk manusia. Kini manusia tak ubahnya dengan setan. Semakin berkuasa semakin biadab. Semakin bersenjata semakin buas. Mungkinkah tanah itu telah tercemar sebelumnya oleh kotoran setan atau Singa atau binatang buas lainnya?”

Dia tersenyum, “Tidak anakku, Tuhan itu benar adanya. Allah melihat segala yang dijadikanNya dan semua itu sungguh amat baik”

“Tapi mengapa Hawa begitu gampangnya dihasut oleh ular. Bukankah tak ada teori-teori kehidupan yang telah menyesatkannya.”

“Ular adalah hewan yang paling cerdik dari segala binatang darat dan setan berada padanya. Setan memberinya janji untuk menjadi sama dengan Allah. Bukankah Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang tertinggi. Mempunyai akal.”

“Bagaimana dengan malaikat dan setan?”

“Malaikat melayani Tuhan, hidupnya selalu melakukan hal yang benar. Setan jatuh ke dalam dosa, hidupnya menghasut manusia untuk menemaninya nanti di neraka.”

“Sungguh yang terjadi di negeriku, para politikus itu ingin menjadi Tuhan. Mereka memaksa rakyat untuk menjadi malaikat. Mereka ingin membuat aturan agama menjadi aturan politik, undang-undang. Mungkin suatu saat akan mengundang-undangkan agama. Karena agama sendiri telah dipolitisir. Bukankah manusia diberi akal untuk memilih yang benar dan salah. Menjadi pengikut setan atau Tuhan. Tuhan bisa membinasakan manusia bila terlalu kotor seperti Sodom dan Gomora. Atau menghancurkan menara Babel untuk mimpi berlebihan internationale atau globalisasi”

Dia hanya tersenyum.

“Sepertinya buah itu telah menjadi mimpi nyata bagi mereka. Keinginan menjadi sama dengan Allah. Dan mereka terpengaruh oleh mimpi Hawa. Sungguh wanita telah menggodanya.”

“Tapi Adam tak mencegahnya, bukankah mereka menginginkan. Dan Adam mempersalahkan Hawa untuk dosanya. Hawa mempersalahkan setan. Begitulah keturunannya. ”

“Seperti suatu saat nanti, dengan gampangnya akan mempersalahkan bujukan bantuan asing itu, padahal mereka telah lama tahu akibatnya. Mereka mengatakan suara rakyat adalah suara Tuhan, tapi mereka sendiri menjadi Tuhan bagi mereka. Sesungguhnya aku ingin menggugat kembali, tidakkah Tuhan salah mengambil tanah untuk menjadi pembentuk manusia? Mungkin tanah itu telah terkontaminasi kotoran setan atau singa buas.”

“Tidak anakku. Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, Tuhan mengutuk tanah. Manusia dengan bersusah payah akan mencari rezeki dari tanah seumur hidup, dengan berpeluh akan mencari makanan, sampai kembali ke tanah, karena dari situlah manusia diambil, sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu”

“Dan kami adalah tubuh yang terkutuk. Seperti ada tanah yang subur, ada yang gersang. Tapi tanah kami subur, mengapa rezeki kami tidak subur pula?”

“Tuhan menghembuskan nafas hidup yang sama ke pada manusia.”

“Seperti panas yang dimiliki oleh bumi, seperti dingin dimiliki bumi, hidup kami tidak damai lagi. Mungkinkah tanah-tanah itu telah dikontaminasi oleh kesuburan, oleh minyak yang melimpah, oleh emas yang tertanam, oleh perak yang terpendam, oleh air yang mengalir. Atau oleh dendam mayat-mayat mati tak bersalah, tak jelas kuburannya. Atau oleh jerit darah yang terkucur deras dari perang saudara. Tanah kami yang subur telah dikutuk kembali. Oleh keserakahan, oleh pembangunan, oleh air liur yang menetes, oleh dendam, oleh kebiadaban sepatu berderap, oleh bayi-bayi tercekik, oleh mani-mani kaum sundal. Oleh decak kagum kepongahan akan masa lalu”

Dia hanya kembali tersenyum.

“Kami tak lagi memelihara tanah kami, dan tubuh kami menjadi jahat, terkutuk kembali. Dan kembali berlipat peluh ditulahkan pada kami. Tiada lagi damai. Oleh karena apa yang kami miliki, mereka menjadi serakah karena mereka punya kuasa. Sungguh mereka menikmati semua itu. Dan nun jauh di negeri lain, mereka menatap segala kesuburan dan kekayaan tanah dan air kami. Dengus rakusnya panas terasa. Tapi mengapa politisi itu mau menjadi budaknya?”

“Anakku, Adam dan Hawa telah memakan buah itu. Engkaupun menjadi tahu mana yang baik dan jahat”

“Kembalikan aku ke tubuhku, aku akan mengatakan pada bangsaku untuk memelihara tanah agar tak terkutuk ketiga kalinya. Aku ingat sesuatu, hmm…..apa yang terjadi dengan ular setelah ia berhasil membujuk Hawa?”

“Ular menjadi terkutuk. Manusia akan meremukkan kepala ular, dan keturunan ular akan meremukkan tumit manusia.”

“Baiklah. Kembalikan aku ke tubuhku”

Aku kembali menjadi cahaya yang terbang, melayang menghinggapi tubuhku. Meregang dan menyatu. Sedikit bergoncang.
Suara-suara itu menyentuh telinga, menampar ketidaksadaran. Mereka masih berkerumun, menatapku penuh tanya. Mulutnya membentuk kata-kata.

“Apa yang anda dapatkan di sana?”. Mereka menantikan hasil perjalananku. Seperti janjiku pada mereka untuk keinginanku menggugat Tuhan.

“Mari kita remukkan kepala ular di parlemen, sebelum tumit kita diremukkan mereka. Sebelum kita tak dapat lagi berjalan, berdiri pada hidup kita. Aku tak lagi melihat ular di sana. Ia telah diusir dari Eden. Mungkin ada di gedung itu, dikantung baju mereka, di mulut mereka, di hati mereka, di kelamin mereka”

Pkl 2.30 wib, 23 Agustus 2002

24 Agustus 2002

aku berusaha melupakanmu .. Tuhan tau itu (jika memang Dia itu ada adanya)
aku berusaha menyingkirkanmu .. Semua tau itu (jika memang mereka cukup peduli)
kau hilang .. sekejap ..
tapi tak pernah pergi,
karena kurasa dirimu telah mengalir bersama darah menyelubungi setiap arteri dan vena tubuhku

sampai kapan?

23 Agustus 2002

INSOMNIA

22 Agustus 2002

tak akan selamanya aku mencintaimu ..
tunggulah 1 2 juta tahun lagi,
kuyakin aku sudah melupakanmu

tak akan selamanya aku menginginkanmu ..
tunggulah sampai matahari meleleh menjadi darah,
pastilah aku sudah muak padamu

tak akan selamanya aku memimpikanmu ..
tunggulah sampai samudra berubah jadi beku
pastilah najis otakku mengingatmu

-maafkan aku, aku masih terlalu bodoh saat ini .. tapi toh apapun yang kulakukan, bagimu aku tetap jalang -
KELU

-aku masih setia pada jingga, entah sampai kapan-
pantaskah aku cemburu pada purnama?
ini bukan rindu yang terlarang .. ini cinta yang ternoda
Bukankah surat cinta itu…

Bukankah surat cinta itu manis,
Manis menutupi luka teriris
Seperti mendung mendinginkan
Tanah retak yang haus akan hujan

Bukankah surat cinta itu indah,
Indah menyimpan seribu kenangan nanti
Seperti janji matahari pada sejuta pagi
Lalui siang tanpa mimpi, sudah nyata kini

Bukankah surat cinta itu masih ku tunggu
Ku tunggu engkau di tiap lonceng sang rabi
Seperti waktu yang terus menggerogoti,
Sampai kapan aku masih bertahan?

Pkl 2.15 wib, 21 Agustus 2002
Aku putus rokok malam ini, lebih sakit dari putus cinta
Siapakah yang berdiri di kabut itu?

Siapakah yang berdiri di kabut itu?
Tuhan ataukah mereka

Tapak tak lagi berbekas
Tanah jijik oleh tetes keringat
Tapi kami perlu makan :
Anak-anak terus menjerit

Siapakah yang masih berdiri di kabut itu?
Perlahan turun untuk dilupakan
Tuhan ataukah mereka

Kota telah penuh, sejuta mimpi
Sawah pulas tertidur
Tapi Tuhan menanaminya
Untuk dilupakan?

Pkl. 1.30 wib, 21 Agustus 2002
Kemarau panjang, asap putih
Bulang

Kakiku menapak pada aspal , sedikit gamang dan telinga masih berdengung. Ada sedikit efek yang timbul dari penerbangan kali ini, yang memakan waktu berkisar dua jam kurang. Landasan telah menguap tampak dikejauhan. Udara panas kota ku kembali menyengat. Untuk sepuluh tahun lamanya aku telah tinggalkan. Bandara ini tak mengalami perubahan yang amat berarti, hanya polesan cat-cat ditembok dan jeruji pagar yang makin kekar. Aku ingat, dulu ada anak kebun di Dolok Masihul yang coba melihat Jakarta dengan menumpang pada sebuah pesawat udara. Bersembunyi pada ruangan roda dibawah badan pesawat. Dan dari ujung parit dekat tepi pagar sana, mereka berdua mengendap-endap ditengah malam. Sungguh perjuangan yang sulit dan berbahaya, tapi keingin tahuan mereka terpuaskan. Tipikal anak batak umunya. Dan jelas terlihat betapa rapuhnya pengamanan pada sebuah bandara sebesar ini.
Aku tak perlu harus menunggu ngantri mengambil bagasi, karena bawaanku hanyalah tas koper kecil ini. Pakaian seadanya, karena memang itu yang ku perlukan. Aku mencari taksi yang akan mengantarkanku menuju kota di luar Medan. Kabanjahe, ibukota kabupaten Karo. Tak ada yang menjemputku, aku tak mau merepotkan kolega-kolegaku. Untuk memberitahukan kedatangan pun aku tak lakukan, hanya seorang wanita tua yang menantiku.
Kota Medan masih tetap sama, tiada yang berubah selain makin banyaknya rumah toko (ruko) dibangun, tiada keindahan dari segala bangunan itu. Tidak ada mempertimbangkan nilai estetis lagi, hanya fungsi belaka. Malahan kerangkeng besi memagari jendela-jendela dari luar, seperti ketakutan yang berlebihan ataukah mungkin teraumatik dibulan Mei tahun 1998 dulu. Ketika melewati Padang Bulan, memancing lamunan melayang belasan tahun silam, saat aku masih menjadi mahasiswa di kota ini, masyarakatnya begitu menyatu dengan mahasiswa, karena mereka memang hidup dari kehidupan kampus.
Itu sebabnya daerah ini tak pernah terjamah oleh para penjarah, karena semua ruko-ruko itu dihuni anak kost dan malahan banyak mahasiswa atau para pengangguran yang patungan mendirikan usaha kecil-kecilan. Biasanya rental, warnet atau photo copy. Dan ketika di bulan Mei itu juga, mahasiswa menyatu dengan penduduk setempat mengusir aparat yang coba menyerbu kampus untuk meredam aksi yang telah berlangsung berhari-hari. Perlawanan berlangsung makin memanas ketika kampus dikepung dan mahasiswa terpaksa harus tidur dikampus, sementara para pemilik kost kesepian di rumah, khawatir akan keselamatan mereka. Dan pengusiran pada aparat terjadi, membuahkan pemandangan baru di simpang kampus, dua motor polisi dibakar dan dipajang diatas pos kecil milik polisi di sudut perempatan jalan itu. Sebuah saksi.

Wanita tua menunggu didepan pintu, bibirnya masih mengunyah, berwarna merah oleh daun sirih. Irama yang berjalan lambat memelihara tubuhnya yang memang jelas-jelas sudah usang Wanita tua itu memiliki nada tanya.. Bangkit berdiri pada tulang punggung yang jelas-jelas telah rapuh, seakan tahu irama akan kedatangan. Sepertinya kami mempunyai getar yang sama, kerinduan akan tertumpah. Aku memeluknya, badan yang cukup ringkih itu. Bibirnya mengecup pipiku, kebiasaan lamanya. Mengusap bekas merah hasil kunyahannya.next
Adam

Aku masih berkata-kata, mengalir, membanjiri. Lautan yang terus mencari palung-palung. Mata yang tak henti mencari tepi cakrawala, diujung sana bumi dibentuk. Bulat tidak lagi kosong. Tapi ruh Nya tidak lagi melayang-layang. Adam lahir ketika lelah di hari ketujuh. Dan dosa lahir dari bibir wanita.

Sungguh engkau lelaki lemah,
Mengapa ‘tak usir saja wanita itu dari tamanmu?
Sudah cukup untuk sebuah rusuk yang hilang

Bukankah ada rusuk-rusuk yang lain
Hingga dadapun tak lagi berbentuk
Tuhan takkan marah untuk itu
Karena dosa bukan untuk dipelihara
Walau merahnya masih menggoda
Air liurmu akan mengering

Bila itu hanya sandiwara
Bukankah lakon akan dipentaskan pada epik-epik berbeda

Dan cerita masih tetap sama
Semua lelaki, lemah dan dungu
……….dengan cinta

Tetapi bukankah Hawa telah diperkosa Adam?

19 Agustus 2002
Adam dan Hawa

Bila dikatakan lelaki kejam, marahlah pada Adam. Tiadalah harus keluar dari firdaus yang kekal, tiada lain bukan oleh karena bujuk Hawa. Kalah oleh kaum peng-ingin, mengidam sebelum waktunya. Mata wanita yang buas akan hal terlarang, seperti para janin sejenisnya akan benda baru. Makanan para pedagang yang mengumpulkan seketip demi seketip ujung liur mereka.

Bila dikatakan lelaki itu kejam, tamparlah Adam. Karena hanya itu yang bisa dilakukan, sebelum tangis mengalir. Dari turunan Adam yang lemah, bibir yang kelu, lahirlah banyak kaum peng-iya. Akal mati, bukankah surga lebih indah dari wanita?

Bila dikatakan lelaki itu tak setia, bunuhlah Hawa. Telah cukup Adam berkorban demi seorang Hawa, untuk taman firdausnya. Dan ia meninggalkan majikannya. Bukankah Adam tercipta sebagai kaum yang lemah akan bujuk wanita, dan wanita tercipta oleh Hawa sang penggoda.

Dan sekali lagi, Adam dungu oleh cinta.
Atau itukah nilai terbesar yang dimiliki oleh lelaki?
Pengorbanan…..…
Menjadi santapan wanita.

19 Agustus 2002
Dan setan apakah kelaminmu?

Dan setan apakah kelaminmu?
Bukankah kau telah menggoda Hawa, yang lapar akan buah kebajikkan.
Dan mereka malu atas ketelanjangannya. Sungguh kini mereka tahu mana yang benar dan jahat.

Bukankah mereka kaum yang haus akan kebenaran? Puan segala keturunan, dari ari-ari yang ditanam. Orok yang berenang sembilan bulan lamanya. Sesungguhnya bayi-bayi itu telah mendengar segala bisikan akan kebenaran milik ibunya. Detak jantung itu yang memperpanjang kasih mereka pada sang puan.

Tiadalah mungkin lelaki akan menyakiti ibunya, tapi Adam tak memiliki ibu?
Tiadalah mungkin lelaki akan menyakiti wanita seperti ibunya,
tetapi Adam telah ditipu Hawa?

Dan setan apakah kelaminmu?
Sehingga harus ada lelaki yang menyakiti wanita, seperti kelamin ibunya.
Sehingga harus ada wanita yang melukai lelaki, sungguh mereka telah memakan buah kebajikan itu

Tetap saja wanita tak terbuka, mereka tahu itu jahat.
Buah apalagi yang kau beri pada nya?

20 Agustus 2002
Di sebuah Agustus yang merangkak

Di sebuah Agustus yang merangkak
Ada banyak tanya membengkak

Tentang waktu bergulir lambat
detik yang malas berputar
Angin masih berbisik terus
kehati-hatian…..
mungkinkah kematian?

Bandul terlalu menarik maju
Kaki terkekang erat pada nisan
tulisan kaum terkubur
Baunya milik ku
dan mayat-mayat menyingkir

Dan nadi masih berdegup
Otakku bukan milik kaum pemalas
Tapi pusara masih digerayangi belukar
Akankah sebuah mawar ku nanti?

seperti ada yang tertulis :
Cintaku seperti merah, merahnya Mawar
Yang keharumannya memenuhi udara
Ia menuntunku pada cahaya
Bukan kegelapan putus-asa


Atau waktu akan berlari
Dan kau tak ada lagi

19 Agustus 2002

21 Agustus 2002

Masih kamu sayang,
masih kamu ..
walau tamparmu di pipi belum lagi berhenti memar
dan ludahmu di selangkangku belum lagi kering

masih kamu .. ya, masih kamu ..

sebuah sms untukku siang ini

"pernah baca kisah percintaan antara chairil anwar, atau kahlil gibran dengan may?, jika mereka saja bole bercinta dengan mimpi .. mengapa aku tidak?"


sebuah jawaban untukmu malam ini ..

"bermimpilah .. itu hakmu, tapi maafkan untuk sekali lagi menolak mewujudkan mimpimu, bukan apa .. hanya terlalu pedih hati ini"

-nie-
terima kasih untuk keputusasaan yang tadi malam menyambangiku. berbincang di pojok terminal hitam. lain kali, kita bisa berbuat lebih, tidak cuma berbincang saja
---- selasa malam ----
dia : "halo, mas... lagi ngapain?"
aku : "lagi ngitung duit"
dia : "kalo udah selesai ngitung, kasihkan ke aku ya.. hihihi"
aku : "yee, duit perusahaan nih... bisa dipecat aku entar.. hehe"

---- rabu pagi ----
aku : "kamu lagi di mana? kalo udah ke surabaya, jangan lupa ngasih kabar ke aku ya"
dia : "lho, aku udah di surabaya nih, mas. kalo nggak kamis ya jumat aku pulang lagi."
aku : "pulang jumat aja yah... soalnya aku kamis libur..."
dia : "trus kenapa emangnya?"
aku : "temenin aku... daripada bengong sendirian di rumah... please.."
dia : "oke deh, mas"
aku : "makasih ya, dik"

saatnya aku memulai lembaran baru...
melupakan yang telah lalu

20 Agustus 2002

Here i am, living in a life without a life
Making friends in un-reality,
coz no one I can trust in reality,
coz I dont belong
They say, dont hope too much in un-reality.
but again.. what is real and what is not?
When u feel hurt inside you, is it not real?
And what is life without hope?
You just can't understand.
Infact, you will never be able to understand,
Unless u;ve been there. before that, u'll just laugh and telling everybody how stupid and fool i have been.
here i am, living in a life with nobody around
the only friend i have is just my work.
who stays with me from 8am to 9 pm and if i;m lucky..
it stays with me until 2am in the field where I have to go for overtime
the only friend that can make me forget about time that just never end.
the best friend i can ever find... here..,
i wish i can have more friend like that
One day I notice a conversation, a very short one..
He said "Do you miss me?"
She just smiled and then leave with a note saying :
"When u start to dream, and turns out the dreams is not real, u'll hurt your self"
Can you imagine if Graham Bell didnt dream to make a conversation from distance?
This page u are now reading will not exist.
Can you imagine if they dont dream to fly? dream to have the brightness in the night?
Dream to go to the moon?

They asked me to leave my hopes, my un-reality friends, my dreams...
I have no life. I;m dead already.
Coz here I am, living in a life without a life

19 Agustus 2002

Kota diam
Semua terpekur, mati terlentang
Matahari telah hitamkan malam
Tapi kita masih bermimpi
Dunia yang indah di balik sana

Tuhan mengapa kami harus bahagia?

Dirgahayu RI ke 57, dirgahayu RIS ke 1 ciptaan setan begundal parlemen
Anak tiri ayah dan ibu pertiwi

Ada begitu banyak guru dimuka bumi ini dan ada begitu banyak juga teori tentang kehidupan. Semua saling menarik semua melirik. Tapi adakah mereka memiliki kesetabilan akan hidupnya? Tidak adakah keresahan pada diri mereka? Bisakah mereka menjadi bentuk nyata dari mimpi yang mereka tawarkan tentang kehidupan? Bilakah yang mungkin terjadi, kita akan menjadi bagian dari orang-orang buta yang dituntun oleh orang buta pula.
Guru yang baik tidak akan menyuruh muridnya menjadi pengikut. Karena mereka akan menelan habis kepercayaan orang lain dan berhenti berpikir akan dirinya sendiri. Akan menjadi tidak merdeka, menjadi budak akan segala gagasan dan kepercayaan orang lain. Mereka mencari emas orang tolol.
Dikerimbunan perkebunan ini aku menjadi guru bagi mereka. Kaum marjinal yang puas akan hari ini. Sementara esok itu urusan lain. Dan nafas pengharapan hanya ada pada detik-detik yang baru berjalan. Bukan mengingkari takdir atau nasib, tapi kehidupan yang justru membentengi mereka.
Tidak ada lagi jiwa yang hidup, jiwa yang haus akan pemberontakan diri. Semua berhenti memikirkan dirinya sendiri. Keinginan untuk memperbaiki diri dan mencari kebenaran pada jiwa. Seperti seorang pendeta yang berusaha memurnikan jiwa kita dan kaum terapis yang berusaha memurnikan kesadaran kita. Dan seperti ahli psikologi yang justru memusatkan pada tingkah laku. Sesungguhnya mereka membuat kita menjadi korban pasif dari kehidupan dan menjauhkan dari penemuan kearifan batin diri sendiri. Adalah perbedaan yang besar antara menemukan kearifan batin diri sendiri dengan mengadopsi kepercayaan orang lain. Mendengarkan perkataan orang bijak adalah satu hal, menjadi pengikut adalah hal lain yang sangat berbeda.
Sebuah trauma akan masa lampau, menjadi cerita tak terucap. Bisikanpun akan membuat mereka menangis tanpa ada satupun meratap. Sebab ratapan mengundang maut, dan bibir akan terkunci selamanya. Kehidupan yang mengajarkan begitu.
Aku hidup dan nyata hidup untuk desa ini, kelahiranku 35 tahun lalu. Tiada yang berubah sekembalinya aku dari kota setelah 5 tahun lamanya mengejar mimpi menjadi seorang guru di sebuah institut keguruan negeri. Dan begitu beruntungnya aku memiliki orang tua yang menghargai nilainya ilmu, sebuah keinginan yang tertumpu padaku. Bisikannya selalu memenuhi otakku “merdeka kan kaum mu”.
Pada usia 6 tahun, aku telah diseberangkan ayah ke desa tetangga yang memiliki sebuah SD. Sedikit jauh dan aku terpaksa mengayuh sepeda kecilku untuk 2 jam lamanya. Sebuah perjuangan untuk seusiaku. Aku sering menangis, bila pagi muncul. Terbayang medan yang akan aku tempuh. Tapi itupun tak melunturkan semangatku karena ayah selalu menatap buas padaku bila aku enggan berangkat.
Sungguh aneh yang kudapat ketika di buku raport aku tak menemukan nama ayah dan ibu, aku dikatakan sebagai anak yatim piatu. Begitu teganya mereka menganggapku sebagai anak angkat. Dan aku masih mencari jawab hingga saat aku beranjak duduk di kelas 2 SMP. Aku dicalonkan mendapat beasiswa Supersemar karena nilai-nilaiku. Ayah sangat marah mendengar itu, tapi aku ingin meringankan bebannya. Sepertinya ayah tak sudi akan semua bantuan itu, karena dirasa keringatnya masih bisa mengalir.
Tapi mimpi tak lagi berujung, aku gagal melengkapi persyaratan. Ayah tak mampu menulis lembaran kertas permohonan. Bukan karena dia buta huruf. Tapi oleh sebuah pertanyaan yang sejak dulu belum terjawab. Ayah, anak siapakah aku sebenarnya? next

17 Agustus 2002


untuk sebuah negeri bernama indonesia

57 taun ..
ya 57 taun ..
semoga masih ada ribuan taun lagi,
(walau mungkin yang tersisa hanyalah bangkai busuk digerogoti ulat ulat najis bernama koruptor)

Untuk setiap senyum .. yang kau hadirkan di bibir kecilku,
saat air mata mulai menyerpih pada ruas jemariku

Untuk setiap tawa .. yang muncul karena candamu,
saat lelah sudah mulai tak sabar mengetuk pintu kalbuku

Untuk setiap hangat .. yang terbungkus dalam bahagia,
saat tubuhnya mulai kelam terbawa masa lalu

ajari aku .. untuk percaya .. untuk percaya

-nie-
aku bukan seniman
walau seringkali kubawa kanvas dan palet untuk mulai melukis,
tapi aku bukan seniman .. karena sungguhpun kucoba untuk menggambar senja, gunung, dan danau .. tetap saja sketsaku hanya berbentuk siluet bayangmu

aku bukan seniman
walau seringkali kau jumpai aku terlelap di tumpukan kata yang tersusun menjadi suatu puisi atau kisah ..
tetap aku bukan seniman, karena toh setiap tulisanku hanya bercerita tentangmu

ya aku bukan seniman ..
aku hanya pecinta ..
untuk lebih jelasnya, pecinta dirimu

-nie-
untuk lelaki bernama masa lalu
1. teman manusia

mencari mata
pada keliaran malam malam
keabuan pagi pagi
kemalaman siang siang
kuburan sore sore

jangan buat ruangan ini terang
cukup lah temaram
beri sedikit tempat menyelinap
untuk debu dan tanah

sini ...
duduk dekat unggun nafas
membekukan yang masih cair
jangan ajak waktu serta
aku sedang benci dia

cerita tentang lukisan gua
puisi gua
musik gua
filem gua

atau warnai saja gua gua itu
dengan warna putih
biarlah pakaian kita tetap hitam
kita, teman manusia

2. tidak usah mandi
kutak ingin bau bibir pergi
anyir larut menuju selokan
dingin gesekan mencair

tidak usah mandi
tidak usah wangi
tidak usah pergi
tidak usah lagi

usah memekat
usah sekarat
haus sauh
haus sauh

3. dibalik kaca mata
mata mengaca
membaca mata
mata baca

"aku sekarang pelupa
bahkan letak palu
atau muka paul
lupa ku meluap luap"

lupakan ingat
ingat untuk lupa
biarlah lupa palu
biarlah lupa paul
matai saja mataku.

15 Agustus 2002

15 agustus itu 7 agustus bertemu hujan mengenai tanah dan segala cuaca 3 agustus kau menghitung 31 agustus sebuah penantian 5 agustus mengapa berulang dan berulang 12 agustus tuhan membelai kita 9 agustus kita berpisah beberapa lama 24 agustus ada pastor tersenyum melihatku dan aku tersenyum membalasanya 14 agustus kemarin adalah keresahan tak perlu terungkapkan 17 agustus jauh kerinduan akan bapak yang telah tiada maafkan saya 2 agustus ada wanita wanita telanjang sungguh kejam 6 agustus kau lihat aku lihat kita terbaring di rumah sakit 8 agustus ketakutan kemarahan atasan bawahan gesa gesa kekalahan harus binasa 18 agustus aku merindukanmu kamu merindukanku 4 agustus airmata menjadi mataair bersamamu tuhan maafkanlah kami semua dosa dosa kami 10 agustus tangan bergetar jiwa gemetar maafkan saya pak saya belum bisa saya malu pak !
"siapakah engkau yang buat kehidupan jadi terasa susah dan payah?"

(titipan kata dari sari)
"aku mencintaimu"
"kenapa?"
"aku tidak tau"
"kenapa tidak tau?"
"karena aku bodoh seperti katamu"

"aku mencintaimu"
"kenapa?"
"aku masih tidak tau?"
"kau bodoh .. "
"memang!"

"aku mencintaimu"
"aku tidak"
"haruskah aku peduli?"
"tentu saja, kau membuatku terganggu"
"aku tidak akan melakukannya"
"tapi kau melakukannya .. aku terganggu!"
"jadi?"
"aku muak"

"aku mencintaimu"
"aku muak padamu"
"kau jahat!"
"itu alasan pertama mengapa kau seharusnya berhenti mencintaiku"
"aku bodoh"
"kau tidak tau malu, aku jijik!"
"hm .."
"sedih, takut terluka? itu lah alasan kedua kenapa kau harus menghindar dari ku"

"aku mencintaimu"
"pelacur!"
"salahkah jujur pada diriku sendiri?"
"bukan urusanku kan?"
"bukan urusanmu?"
"ya .. tentu saja bukan urusanku .. kau cuma sampah masa laluku, satu dari sekian banyak taklukanku"
"kenapa kau selalu menyakiti aku?"
"itu alasan ketiga buatmu pergi dari hadapanku"

"aku mencintaimu"
"percuma kau harapkan cintaku, AKU TIDAK PERNAH MENCINTAIMU!"
"jadi semua yang kau katakan itu bohong?"
"ya .. semua nya bohong .. kecuali saat kukatakan aku bahagia bersamamu dulu"
"maksudmu?"
"ya .. aku bahagia .. karena masih ada wanita tolol yang merasa dirinya pantas untuk kucintai"
"keterlaluan!!!!!!!!"
"itu akan jadi alasan keempat kenapa sebaiknya kau mati"

"kenapa kau tega berbuat semua hal untuk menghancurkanku?"
"karena aku adalah aku .. !! dan aku bukan kamu wanita tolol yang sibuk bermain dengan air mata"

"sekarang kamu punya alasan kenapa aku tetap mencintaimu .. "

-nie-
Suara yang memanggil
Gadisku sudah terlelap. Senyum masih menghias di bibirnya yang kecil. Rambutnya tergerai di atas bantal. Ujung bajunya sedikit tersibak. Aku merapikannya, dan memberi selimut, yang merangkul hangat.
“Hmm…. Selamat tidur sayang, dewi mimpi akan mengajakmu terbang ke peraduannya.” Dan aku beranjak menuju kamarku. Yang sepi dan tak ada gairah. Kekosongan yang terhampar, sedingin kasur yang terbentang.

“Semua sudah siap? Makan yang banyak ya sayang. Jangan takut gemuk, itu ketakutan milik orang dewasa.” kataku di meja makan, pagi itu. Aku memandang lahapnya bidadari kecilku. Kecantikannya sedikit terusik dengan noda makanan di pipi. Aku menyingkirkannya dengan ujung sapu tangan.
Seperti biasa setelah makan, aku membiasakannya untuk menyambut pagi dengan keceriaan. Dan gadisku pun mulai bernyanyi,
“Dikepak-kepakkan tanganku. Digoyang-goyangkan badanku. Agar tubuh sehat dan kuat. Untuk dapat memuji Tuhan. Digoyang-goyangkan kakiku. Digeleng-gelengkan kepalaku. Agar tubuh sehat dan kuat. Untuk dapat memuji Tuhan. Goyang kiri, goyang kanan. Putar kiri, putar kanan”

Tawanya berbinar. Aku terkekeh sendiri memandang badannya yang sedikit gemuk berlenggak-lenggok ke sana kemari. Aku rasa sudah cukup olahraga paginya, sebelum isi perutnya akan tersedak ke luar.
Dan seperti biasa aku mengantarnya pergi, ke tempat tuntutan ilmu yang bermuara.

“Pa aku takut sendiri tidur di kamar”, katamu sambil merapatkan tubuh di pinggangku. Seperti biasa aku selalu memberinya dongeng sebelum matanya redup terpejam.
“Takut pada apa? Tuhan akan menjaga mu. Kan kamu selalu berdoa sebelum tidur” kataku menenangkannya
“Suara-suara yang memanggilku. Sudah seminggu begini terus Pa” katanya sambil menatapku. Ada ketakutan di bening bola matanya yang kecil itu. Matanya tak menipu.
“Itukan hanya mimpi. Tuhan memberimu bunga-bunga malam. Sungguh indah teman yang diberikannya” kataku menjelaskan, mengusap keningnya. Mencubit pipinya yang bulat. Dan bibirnya mengingatkanku pada seseorang yang meninggalkanku, yang mencari jawab atas segala keresahan. Aku mengajarkannya sebuah lagu,
“Dengar Dia panggil nama saya. Dengar Dia panggil namamu. Dengar Dia panggil nama saya. Juga Dia panggil namamu. O…giranglah. O…giranglah. Tuhan amat cinta pada saya.. O…giranglah. Ku jawab ya, ya, ya. Ku jawab ya, ya, ya. Ku jawab ya Tuhan, Kujawab ya Tuhan, Ku jawab ya, ya, ya”

Gadisku tertawa senang mendapatkan lagu barunya. Dia terpingkal manja, sambil duduk dipangkuanku.
“Kalau ada yang memanggilmu, kau harus ingat itu. Nyanyikan. Mungkin Tuhan memanggilmu dan kau belum menjawabnya.” Kataku sambil tersenyum. Gadisku menganggukkan dagunya yang indah. Kuncirnya bergoyang. Dan matanyapun mulai redup.

“Pa aku sudah menjawabnya“ suara kecil itu membangunkanku. Rambutnya mengenai muka dan jalan nafasku. Aku mengangkat badannya tinggi-tinggi, dia menjerit manja dan terpingkal-pingkal. Aku terbangun olehnya.
“Dia bilang apa?” tanyaku mencoba menanggapi celotehnya.
“Hanya tersenyum, tapi indaahhh bangett…. Papa mesti menjumpainya”
Aku coba menyimak isi mimpinya, tapi yang pasti tak ada lagi ketakutan itu di matanya. Dan kami pun seperti biasa menyambut pagi dengan ritual yang sama.

Setiap kali aku menemukan gadisku, dia tak lelah menceritakan mimpinya. Keceriannnya makin bertambah, milik wajah-wajah lugu. Tak ada lagi ketakutan akan malam. Sungguh aku telah memberikannya keberanian. Tidak seperti yang aku alami di masa kecil. Aku selalu ketakutan akan malam. Pada bayangan di kaca luar kamarku. Dibawah kolong tempat tidur. Seakan-akan ada makhluk malam yang memperhatikanku. Akan menculikku ke dalam mimpi hingga tak bangun lagi. Dan ibu hanya bisa menjagaku hingga aku lelap, tanpa bisa membuatku percaya akan penjelasannya.
“Pa, sepertinya papa harus bertemu dengannya” kata gadisku, menyentakkan lamunan.
“Pada siapa? Apakah kamu punya teman baru di sekolah?” tanyaku sambil mendudukkan putriku disamping.
“Orang yang menemani mimpiku. Baiiikkk bangeeettt….” ucapnya manja
“Sebaik papa?”
“Hmm….lebih baik papa dong. Tapi dia tak pernah marah padaku, walau aku terkadang nakal”
“Emang papa suka memarahimu?” kataku sedikit cemburu
“Kadang sih, hehhee…..Tapi pa, dia selalu membawaku ke tempat yang paling indah”
“Seindah apa?”
“Ke taman dengan bunga yang selalu bernyanyi. Sungai mengalir tenang di dalamnya. Dan ada banyak binatang yang hidup tak gaduh”
“Seperti taman Eden?” tanyaku. Gadis kecilku mengangguk. Aku tersenyum padanya, begitu menyimaknya putriku akan cerita-cerita yang aku berikan sebagai pengantar tidurnya. Cerita tentang Adam dan Hawa, tentang bapak segala bangsa Abraham, tentang Musa yang membelah laut, tentang Yusuf dan saudaranya, tentang Simson di kandang singa, dan lainnya.
Bibirnya terkuak sedikit, menguap. Sepertinya dia mengantuk, aku membaringkan dan memberi bantal pada kepalanya. Gadisku tersenyum di tepi mimpinya.
Aku meneguk secangkir kopi di meja kerja. Tumpukkan kertas menanti, tugas untuk kolom majalah masih belum selesai.Aku ingin menyelesaikannya sambil menatap putriku terlelap. Malam ini aku membaringkannya di kamarku. Rasanya sepi tanpa dia. Kesendirian akan pudar bila mendengar bibirnya yang selalu berceloteh dan bertanya. Akan semua yang dilihatnya, akan teman-temannya yang nakal disekolah. Walau baru duduk di kelas 2 SD, badannya termasuk bongsor diantara temannya, tapi ada saja anak nakal yang berani menggodanya. Mungkin karena dia perempuan. Aku tertawa waktu gadisku bercerita tentang ulah temannya yang selalu mengangkat rok belakangnya, dan menteriaki akan warna celana dalamnya. Bibirnya manyun menceritakan kekesalannya itu. Atau ejekan “si bengkak” yang diberikan temannya. Menarik rambutnya yang kukepang dua. Mengambil bekal roti selai coklat ditasnya. Malah ada yang nekat menyembunyikan tasnya. Untuk yang satu ini, putriku tak takut mengadu pada gurunya. Dan temannya yang nakal harus berdiri di depan kelas sepanjang pelajaran.

Putriku menggeliat di kasur, masih memeluk gulingnya. Untungnya dia sudah tidak punya kebiasaan ngompol, kalau tidak malam ini aku mungkin akan dibauinya. Tetapi dekat dengannya aku memperoleh ketenangan, seperti yang diberikan ibunya. Wanita bertubuh ramping yang selalu cerewet akan kebersihan, akan keteraturan. Seperti ibuku yang selalu menyediakan makanku ketika aku belum lapar. Sayang kedua wanita ini tak punya titik temu, yang memaksa kami harus pergi jauh dari kota kelahiranku. Perkawinan yang tak direstui hingga kini gadisku telah beranjak besar. Hanya berbekal ijasah diploma,aku bertahan menghidupi mereka, menjadi kuli tinta dengan mengandalkan hobi baca dan istrikulah yang memberikan keberanian itu padaku. Sedangkan dia berjualan koran di depan rumah kontrakan kami yang kebetulan ada dimuka gang. Begitu naifnya perjuangan kami sampai di titik sombongku ketika istriku menderita kanker di paru-parunya, dan aku malu untuk meminta bantuan ibu. Untuk pengangkatan penyakitnya atau dengan kemoterapi aku tak sanggup. Dan disaat itu pula istriku mengandung, sementara tak ada pilihan bayiku harus digugurkan, atau kanker itu akan lebih cepat menjalar. Dan dia memaksa harus memeliharanya hingga saatnya tiba kami memiliki putri. Katanya salah seorang harus diselamatkan, dan itu adalah anak kami. Untuk persalinanya, aku harus meminjam pada saudara-saudara angkatku di terminal bis. Pada lae Marbun, pada si Poltak, pada ruben Nainggolan dan lain-lainnya, orang-orang yang ku kenal diperantauan sebagai putra batak. Mereka hanya tertawa ketika melihat bayiku, mereka bilang bayiku tak seperti wajah gadis batak yang berhidung bangir dan berdagu petak seperti batu bata. Mungkin karena terbiasa makanan lalap di tanah jawa.
Dan kami menikmati kebersamaan akan kehadiran si buah hati, hari-hari seperti tak mengecap susah. Direpoti urusan popok basah yang harus diganti, memberi susu dan makannya, atau terjaga di malam hari oleh tangisnya. Semua kebersamaan itu kami kecap hanya 6 bulan lamanya, hingga ajal menjemput istriku. Aku tak mengira akan secepat dan separah itu penyakitnya. Kecantikannya yang lambat laun menguap bersama lekuk tubuhnya yang selalu kubanggakan itu menghilang. Dan istriku pergi di tengah malam.
Lamunanku tersentak ketika gadisku berceloteh, sepertinya dia mengigau, atau mungkin bernyanyi,
“Tanda paku di kaki dan tangan
Tanda cinta, tanda cinta
Tanda tombak, menusuk dipinggang
Tanda cintanya Tuhan
Itu semuanya Tuhan sudah terima
Guna semua yang mengikuti Dia
S’lamat orang yang tidak melihat
Tapi percaya juga”

Bukankah itu bukan lagu yang ku ajarkan, benakku melayang akan celoteh mimpinya selama ini. Ohh….jangan.
Aku menggocang-goncang tubuh gadis kecilku, menepuk pipinya, membangunkannya.
“Jangan tinggalkan papa. Jangan anakku” suaraku mengisi gendang telinganya. Ku peluk erat, aku tak mau kehilangan lagi. Jangan pesona taman Eden (Firdaus) menawanmu, aku akan beri sejuta bunga diladang kasihku, aku akan beri mata sungai yang bening disetiap waktumu, aku akan beri kedamaian di setiap perhatianku. Aku menangis memeluknya, erat tak mau lepas.
Dan gadisku tersenggal, kepalanya bergerak dihimpitan dadaku. Aku meregangkan pelukan. Dan matanya mulai terbuka memandangku, ada binar ketakutan, ada sukacita ada keheranan.
“Pa, aku punya lagu baru”
“Papa sudah dengar, jangan tinggalkan papa. Jangan sayangku…..” aku menangis menatapnya lekat.
“Dan lelaki yang selalu tersenyum itu memberiku teman baru, sepertiku, wajahnya cantik, bersinar memandangku dan dia memelukku. Katanya itu ibu”
Oh… anakku telah menjawab sapaanNya.

(Buat wanita muda dikursi roda dengan tabung udara. Ketika seorang ibu harus berjuang menghadapi penyakitnya demi pilihan memiliki buah hati. Selamat jalan menuju sang khalik)

14 Agustus 2002

dengan kamu waktu benar-benar tak bisa dihitung
semakin kita jauh waktu semakin memanjang dan memanjang
sementara semakin kita dekat waktu semakin memendek, bahkan kadang, ketika kita saling bicara, waktu terlipat kedepan dan kebelakang;
kita adalah kakek-nenek yang duduk di teras rumah, atau anak-anak yang tertawa gembira bermain berlarian.
aku kesepian .. dan kedinginan
ada 16 lelaki yang kuijinkan masuk ke dalam kehidupanku

lelaki pertama dalam hidupku adalah lelaki yang meninggalkanku bersama teman baikku dan kembali 5 taun sesudahnya dengan sebentuk cincin perak melingkar di jari manisnya


lelaki kedua yang kucintai adalah sesosok lelaki sakit jiwa yang menganggap hidup dan wanita hanyalah games dan korban yang harus ditaklukannya. Bajingan manis yang membuatku tidak hanya menyerahan tubuh .. tapi juga serpihan jiwa dan harga diriku


14 lelaki lain tidak pernah kucintai.. lelaki2 tolol yang menganggap mereka bisa mendapatkan cintaku .. lelaki2 tolol yang cukup kukompensasi dengan tubuh dan manis bibirku


aku pelacur, itu katamu
jujur, aku sama sekali tidak keberatan atas ungkapan itu, karena toh buatku setiap orang adalah pelacur (walau menurut pemahamannya masing2) .. dan hidup hanyalah arena untuk berjualan .. mencari keuntungan demi keuntungan selagi usia belum lanjut dan kita masih dapat berorgasme
bedanya mungkin hanyalah ada yang dengan lantang meneriakkannya di sudut2 kota .. dan ada yang menyembunyijannya di balik rosario, tasbih, ataupun jilbab


aku sendiri hanyalah seorang wanita yang dengan bangga mengakui diriku sebagai pelacur hina .. yang menawarkan manis bibirku, busuk otakku, dan seluruh tubuhku sepaket dengan racun yang akan membius jiwa kalian.
aku tidak akan pernah menjanjikan kebahagiaan .. buatku bahagia itu cuma ilusi yang menggema di balik ketidaksadaran kalian akan jeratan laba laba bernama mimpi
aku juga tidak akan menjual jiwaku apalagi menawarkan hatiku .. aku tidak punya keduanya ..
bagaimana mungkin bisa kuberi sesuatu yang tidak kumiliki?


yang kutawarkan hanylah kenikmatan .. saat buai melemparkan kita ke dalam dunia dimana kita bisa bercermin dalam airmata .. dunia dimana kita punya sayap yang akan membawa kita bercinta di batas horizon .. dan membawamu menikmati selangkangan di balik nirwana.
yang kutawarkan hanyalah bius dunia, dimana kita akan mulai menertawai setiap pikiran normal, bagaimana kita akan menjadi muak mencoba menjadi sama dengan tatanan dan mulai telanjang untuk menari bersama kenajisan
Dunia dimana onak menjadi nikmat dan candu menjadi rangsang


Dan jika harga yang tertempel di jidatku terlalu murah, itu urusanku! karena aku toh tidak membutuhkan apa apa lagi selain satu dua reguk kenikmatan
dan jujur, percuma saja setiap harga yang akan kautawarkan, kau akan tetap cuma jadi anjing dan babi penenang sepiku
dan aku akan tetap disini .. memahkotaimu dengan duri sambil sesekali menjilat manis air liurmu dan menghirup anyir darahmu


setidaknya sampai titik terakhir nadiku berhenti

-nie-
kawan, aku sudah terlalu jauh melangkah .. ribuan jejak kecil yang kurasa tak mungkin lagi kukenali waktu aku menatapnya kembali ..
luka luka mulai mengering meninggalkan gurat yang akan kuabadikan sebagai simbol penanda usia ku yang sudah beranjak tua ..
tapi aku masih saja tidak tau kemana aku harus pergi

yang kujumpai di pejalanan adalah deretan peziarah yang lelah, imam imam yang mencari apa yang dinamakan pokok keabadian .. terkadang kujumpai deretan pecandu obat bius yang hanya tinggal menghitung hari menjemput ajal .. kadang satu dua setan yang menyamar sebagai gadis berseragam sekolah ..
ya .. aku masih saja tidak tau kemana aku harus pergi

kau ajak aku kembali ke haribaanmu .. katamu kau punya segenggam gula-gula yang akan memaniskan bibirku .. dan sebotol coca cola dingin untuk menyejukkan tukak
entahlah .. dunia sudah berantah :)

satu dua pemabuk menenteng sebotol vodka di persimpangan jalan ..
mengapa kau harus berdiam dan bukan terbang kembali ke asalmu?
bebaskan sayapmu .. dan titipkan saja gula gula dan coca cola itu di kotak posmu .. aku akan datang sesekali waktu jika pahit bibir dan getir lambung sudah membuatku sesak

terbanglah pulang ..jangan biarkan kerak kerak altar ini menjerat langkahmu. kepakkan sayapmu .. tapi jangan lupa beri secercah senyum damai dari alam sana ..

dan biar jeda dalam dada yang merangkum setiap kata tentang kemusnahan segala

-nie-
-dari serpihan2 kata AKU CINTA KAMU (LMLS)-

13 Agustus 2002

ah.. aku tidak butuh hanya kata, yang aku butuhkan adalah sebuah rasa ... rasa untuk membagi, rasa untuk merasa. aku tidak butuh kata indah.. aku butuh hal yang terindah...
biarlah hanya yang kecil ada pada dengan apa aku boleh menemani engkau segalanya bagiku, biarlah hanya yang kecil tinggal padaku, sehingga ku dapat menemani engkau segalanya bagiku....Biarlah hanya yang kecil saja tinggal dari hasratku sehingga aku dapat merasakan engkau ada ditiap sisi, datang padamu dalam segala sesuatu, dan mempersembahkan cintaku padamu setiap waktu

cuci baju

bajuku sudah lama tidak dicuci. 5 tahun lebih ku kira. luarnya sih masih bersih, tapi dalamnya kotor dan bau naga.
deterjen ku dapatkan dari toko kecilnya. bukan yang terbaik , tapi toko itu langganan ku. dindingnya dari marmer. hasil jual topeng, lirihnya.
dia selalu memberi aku deterjen yang sama,mereknya "polos". anehnya, aku harus mengambil sendiri di kamar abu abunya, becek barair.
ini cuma untuk kamu, tidak aku pasang di etalase.
aku suka deterjen yang di beri. tanganku tidak gatal, tidak perih, padahal busanya tidak banyak. keunikan deterjen itu adalah cucian akan menjadi sama bersihnya (kotornya) bagian dalam dan bagian luar. baju yang tidak munafik, pikirku.
satu barang lagi, yang selalu aku beli di tokonya.
air minum spesial.
campuran semua air ku,katanya. tapi yang terbanyak adalah air mata.
kalau kehabisan air, karena PAM macet, aku pake air spesial itu. lumayan banyak setelah ditambahi air ku.
buat mandi dan mencuci... cukuplah.
ehhh .... sesesai sudah ...
aku pergi ke ruang bawah tanah, tempat biasa aku menjemur baju.
tidak ada yang tahu, pakaian cepat kering disitu.
aku kasih tahu ya, ruangan itu cuma berjarak 1 meter dari pusat panas bumi.
ssttttt.... rahasia.... jangan bilang bilang ya ....
dinding cuma dari kapas.

10 Agustus 2002

Cintaku singgah di Himalaya

Nepal, August 2002
Pagi itu, matahari malu-malu menampakkan wajahnya, namun perjalanan kami dari Kathmandu menuju Nagarkot, sebuah desa 36 km ke arah Kathmandu, berjalan dengan pasti menuju arahnya bersembunyi. Melaju dengan kencang, debu berterbangan semakin menambah sesak pada kenderaan yang kami tumpangi. Bis kecil tanpa pendingin dengan penumpang berkisar 15 orang, yang sarat dengan koper-koper membawa kami melalui jalan-jalan pedesaan. Suara klakson tiada henti mengusir ayam, sapi dan pejalan kaki. Para pengendara sepeda dan rikshaw menutup hidung, pada sisa deru bis yang melaju zig zag. Tapi sepertinya hidungku juga mencium aroma yang lain, aroma khas ampas kehidupan, sisa kelezatan yang hanya singgah di bibir. Angin membawa masuk wangi kotoran sapi, parfum keluguan alam pedesaan. Selepas kota Bhaktapur, bis berjalan mulus mencium aspal yang berpasir, naik turun perbukitan, membuat perutku mual. Sesekali kami berpapasan dengan kenderaan yang lebih tak manusiawi, sarat dengan manusia dan kambing hingga ke atapnya. Mengingatkanku pada ribuan mil dari sini, sebuah daerah kelahiranku, yang katanya sekarang sudah menjadi negara sok maju. Dengan mengandalkan hutang-hutangnya. Padahal sudah menjadi hal yang tabu dan memalukan bagi adat ketimuran yang kukenal dulu. Seperti yang selalu diingatkan ibu pada ayah, memakan uang dari hutang sama dengan menerima kutukan dari setan. Sedikit kolot dan tak logis, tapi hidup kami tak pernah dikejar dengan ketakutan, karena uang takkan pernah habis beredar dan terus dicetak, mengapa harus ketakutan untuk mengantri hidup. Dan ayah mengajarkan untuk tidak serakah pada hidup, bila esok kita harus mati dengan perut berbunyi, hadapi saja.
Lamunanku bersandar di depan Hotel Liberty Mountain Nagarkot, bis berhenti, suaranya mendecit keras. Aku berkemas membawa koper-koperku, dan mendapatkan kamar, dipojok pada lantai dua. Hotel ini tidaklah terlalu besar, tapi cukup bagus dibanding yang lainnya. Dari kaca kamarku, tampak jelas rentangan Langtang Lirung pegunungan Himalaya, menjulang tinggi menembus awan, puncaknya berselimutkan salju abadi seperti kapas yang putih. Sejauh mata memandang Himalaya menawarkan jutaan misteri, lekuk bumi yang menyimpan wajah dingin dibalik sangarnya terjal menjulang. Sungguh aku binasa dengan segala sudut yang terbentuk dari jutaan tahun bebatuan hitam yang hidup pelan dengan nafas bumi yang masih merayap. Sementara aku masih terus merasa rapuh di usiaku yang cukup berumur, yang terus mencari perhentian, karena mimpiku belum berakhir. Dan aku terjaga di ketegaran prasasti bebatuan itu.
********
Dua hari kulalui di kota ini, keinginanku cukup besar untuk melihat dari dekat puncak Himalaya. Ini sebuah keharusan, karena aku telah menjejakkan kakiku pada tanahmu. Pada berjam-jam perjalananku, pada bermil-mil yang membawaku terbang. Dan untuk mendakinya mungkin aku tak sanggup, karena kakiku telah rapuh dan tulang punggungku sudah tak liat lagi. Namun kenikmatan yang tak terhingga justru menelusuri lekuk-lekuk tebingnya, menantikan misteri di depan mata. Seperti menikmati tubuh wanita dengan pakaian tertutup rapat, ada sejuta misteri yang menanti di ujung bibir yang menjalar. Sungguh eksotisnya yang merambat pelan dari imajinasi yang dibawa melayang, melambung mental.
Di lobby hotel aku memesan minuman, secangkir kopi hitam dan aku memilih untuk bersembunyi di sebuah pojok. Patjar Merahku belum habis kubaca, Matu Mona menarikku akan perjalanan sang revolusioner yang kesepian itu. Lampunya sedikit temaram, dan Tan Malaka membawaku berterang-terang dalam gelap. Tapi Tan, mengapa kau juga bilang bergelap-gelap dalam terang?
Perjalananku terganggu, pada pertemuan Tan Min Kha atau Vichtria atau Tengku Rahiddin dengan kawan lama Soe Beng Kiat, dengan Paul Musotte, Ivan Alminsky, Darsonoff atau Semounoff. Beragam penyamaran. Tapi yang ini bukan lagi samar, nyata asli bentuknya. Jelas terlihat lekuknya, karena dia bulat sedikit menyembul keluar di sela pakainnya yang memang agak ketat. Dan sepertinya kopiku tak perlu ditumpahi oleh isinya. Aku sedikit malu menyadari pandanganku terlalu memagut miliknya.
“Kamu dari Indonesia?” tanyanya sambil duduk didepanku, sebelum aku mempersilahkannya.
“Benar, kamu kok bisa yakin begitu?” tanyaku, menatap lekat padanya. Seperti mimpi.
“Bukumu, Pacar Merah Indonesia “ ucapnya, sambil membakar sebatang rokok. Bibirmu membasahinya, memberi rona merah pada ujungnya. Mengisapnya pelan dan menghembuskan asap putih.
“Sudah lama aku cari bangsaku di perjalanan” lanjutnya lagi.
“Apa kabar dengan bangsamu?”. Ada sebuah kerinduan, lidahku mulai mengucapkan lafal itu. Bahasa yang sudah lama tersimpan pada rongga-rongga mulutku.
“40 juta menganggur, dan pemimpinnya masih bermimpi dengan mainan demokrasi”
“Kartu truf kaum kapitalis dengan tameng HAMnya.”
“Kejahatan makin bertambah, tak ada yang takut dengan hukum lagi. Mungkin sebuah tumbal dari reformasi, seperti saat demokrasi lahir yang menumbalkan kepala di gulletin”
“Apa kabar dengan mimpi orde barunya?”
“Masih hidup dan mencoba menjadi kupu-kupu, setelah menanggalkan kepompongnya yang menjijikan.”
“Itu juga tumbal dari perebutan yang biadab. Kematiaan jutaan yang menawarkan arwah-arwah dendam. Orde Baru menjadi setan matinya ruh revolusi yang belum selesai bergulir. Dan darah yang mengalir menghapus merah yang mengakar.” Aku menarik nafas, kenanganku berlari jauh. Pada pertengahan tahun 1965, seorang teman menyapa Jakarta dengan puisinya:
“Di sebuah perpustakaan
di sebuah penderitaan
seorang-orang tua
resah tersandar ke kaca meja. Ia tak bermahkota
dan aku tak mengenalnya,
tapi ku beri ia tabik
dan kamipun turun ke jalan-jalan raya
…………….
Esok hari mungkin salah seorang dari kita berkhianat
dan merancangkan Kiamat lagi. Nanti malam
ia akan merangkak ke jendela, membunuh kita.
Tapi kita masih punya anak-anak, beribu generasi:
hakim-hakim kita yang akan melemparkan kita
dalam peti museum.
Tidak apa.
Karena mereka adalah setia, sedang kita tak lagi setia
Dan tak lagi bisa rindu
…………
Seperti di pagi ini
ketika seseorang membacakan sajak-sajak
bagi anak-anak muda di dunia,
karena mereka adalah setia, wakil sunyi dan lapar
semesta kita
Demikianlah dahulu
ketika aku bertemu
dengan seorang-orang tua
yang resah tersandar ke kaca meja, yang tak bermahkota
tapi kuberi tabik
sebagai seorang sahabat”
(Internasionale, Goenawan Mohammad, 1964)

*************
Malam ini gadis itu hadir di kamarku. Terlalu sunyi di kamar sendiri menurutnya, atau mungkin terlalu mubazir waktu dibuang percuma, menurut benakku. Dengan gaun malamnya yang putih, kami duduk diteras dengan kamarku. Setelah dari sini aku menyaksikan warna merah mengantar terbenamnya sang pembakar hari. Dan malam ini haruskah aku menggantinya ‘tuk membakar malam?
“Sampai kapan kisah perjalananmu berujung, adakah kau menjadi pacar merah yang kedua?” tanyanya. Sepertinya dia tak habisnya mengagumi pengembaraanku, pada kisah-kisah hidupku di pertemuan dengannya yang pertama.
“Aku tak mencari ujungnya karena semua tak berawal. Ijinkan semua itu menjadi milikku bukan untuk keraguanmu”. Senyumku menahan keraguannya. Dan aku menikmati rokok yang dibawanya, aroma Indonesia yang lama telah hilang. Aku merasakan tanahnya, keringat sang pemetiknya, mimpi sang peraciknya, senyum pongah sang majikannya.
“Bagaimana dengan keluargamu. Adakah kau tidak merasa rindu?”
“Mereka telah hilang pada keyakinannya. Dan kebenaran milik penguasa, kejujuran milik kami.”
“Tiada kabar tentang mereka?”
“Temanku bilang mereka ditahan, ada yang bilang telah mati, ada yang bilang mereka lari pada mesjid dan gereja”
“Dan bagaimana dengan gadismu?” senyumnya menyelidik. Dan aku menatap setiap gerak bibirmu.
“Tak beda jauh dengan semua nasib aktifis, seperti sepinya sang Soe Hoek Gie. Orasi tak mampu menghentikan lapar. Dan mimpi masyarakat sosialis religius sama mulukya dengan cinta sang demonstran. Itu kata bapaknya. Kami telah terpisah sebelum waktu memaksanya lebih keras”
“Apa kau tak mendapatkan kabar tentangnya?”
“Lenyap seperti aku meninggalkan Jakarta, meninggalkan negerimu. Bahaya dibelakangku tak mampu membuatku menoleh ke belakang. Semua menunjuk seakan akulah yang yang paling merah. Justru penjilat-penjilat itu yang membunuh Bung Karno dari belakang. Mereka menuding aku CGMI, padahal aku adalah Marhaenis. Dan pada tembok-tembok mereka menulis “Punya banyak istri cermin tidak becus. Turunkan Sang Bandot”. Itukah mental mahasiswa?” mataku merah meradang.
Sepertinya dia menyadari lukaku, tangannya menarikku ke dalam. Dan memelukku, merasakan degup jantungku yang bergolak, traumatikku. Dia berbisik di telinga, dia menenangkanku. Mengajakku menari, sebuah tarian tango. Dan tangannya menyentuh pundak. Langkahku menirukan langkahnya, panjang dan pendek. Aku tak berani menatapnya, hanya menikmati tarian dari musik yang mengalun dari bawah, dari lobby hotel. Dan dia berbisik lagi “pasrahkan tubuhmu pada musik, buang pikiranmu, tubuhmu akan mendayu”. Kami masih menari, sebelum kaki tuaku beranjak letih, keram. Sudah satu jam lebih, dan tubuhnya jatuh pada pelukanku di sofa itu.
Dan kami berpelukkan sampai pagi. Tapi hanya itu, tak lebih.
*************
Beruntung pagi ini aku mendapatkan kesempatan untuk melayang diatas puncak Himalaya. Dua tiket dengannya, walau harus ditebus dengan harga sangat mahal 110 dollar AS atau 1 juta per orang. Dan untungnya tak harus membooking jauh hari, karena ada yang membatalkan perjalanannya. Dan kami berangkat menuju airpot yang memakan waktu satu setengah jam dari Kathmandu. Dan di Kathmandu aku melihat candi-candi pemujaan bertebar, untuk memasukinya tak boleh mengendarai kenderaan. Menyusuri Durbar dari jalan Gangga, barang-barang antik dijajakan diatas tikar. Kaum Shadu, lelaki suci pertapa berambut panjang dan gimbal yang terkadang di konde, badannya dilumuri abu atau bedak warna putih dan merokok dengan pipa panjang. Mereka banyak dijumpai di kuil-kuil atau pelataran parkir. Dan disini kami dapat melihat manusia, sapi dan anjing akur menajdi satu.
Kedatangan kami tidak terlambat, pesawat masih enggan berangkat. Namun itu tak terlalu lama, mekaniknya dapat menyelesaikannya dalam setengah jam. Semoga selamat dalam penerbangan, batinku. Dan sebelumnya, bersama dengan delapan penumpang lainnya, kami antri untuk boarding di Tribhuvan Domestic Airpot. Pesawat helikopter besar berbaling-baling di atas, membawa kami terbang ke arah barat kemudian berputar ke arah timur menyusuri pegunungan Himalaya. Ternyata Himalaya tak hanya memiliki Everest saja, kopilot menerangkan jajarannya, seperti : Lantang Lirung berketinggian 7.246m, Gosainthan 8.013m, Dorje-Lakpa 6.975m, Phurbighyachu 6.660m, Choba-Bhamare 5.970 m dan Gauri-Shankar 7.145m-gunung yang dikeramatkan oleh dewa Shivadan memang sinarnya yang paling berkilau. Ke arah timur terlihat Mulungtse 7.181m, Chugimago 6.297m yang perwan dari pendakian. Jajaran Pigferago 6620m, Numbur 6.956m, Karyolung 6.683m, Cho-oyu 8.153, Gyachungkang 7.922m, Pomori 7.145m dan Nuptse 7906. Sampai ke puncak Pomori, pesawat akhirnya menyusuri lekuk-lekuk Everest 8.848m yang tertinggi dan yang terindah.
Aku menyaksikan puncaknya, roof of the world. Apakah ini sebuah puncak yang tertinggi? Sebuah keinginan untuk meraih langit, menyentuh surga. Seperti mereka yang mendirikan menara Babel dan Tuhan marah, membuat mereka pecah dalam berbagai bahasa. Mungkin Tuhan takut manusia akan imigran ke sorga secara bebas. Tapi semua bangsa yang terpencar itu punya akar yang sama, kehausan dekat akan surga, atau keserakahankah?.
Tapi ini sebuah keajaiban, gadis itu meneteskan air matanya. Baginya ada keagungan dibalik ciptaanNya, ketegaran dari batu hitam yang dingin, diam namun bergerak naik, membesar disaat gelora semangat masih ada di relung-relung terdalam di perut bumi. Haruskah kita hanya pasrah, katanya. Aku diam, seperti sebuah sindiran bagiku.
Dan kami menikmati setiap lekuk-lekuknya dengan sangat jelas dalam jarak lumayan dekat. Beruntung hari belum tinggi.
Di balik Everest, terlihat dataran Tibet yang maha luas. Aku kagum pada kerasnya hidup di Tibet di alam yang eksotik dan jujur. Tak ada polesan, cermin kemandirian dan kemampuan bertahan hidup. Modrenisasi dan kapitalis tidak diperlukan, karena alam dipelihara oleh langit dan dibentengi oleh Himalaya yang agung. Dan musim memberi cintanya pada kehidupan yang ada. “Dan Tuhan memberi rona merah dipipi wanitanya, memberi otot yang kekar di pundak prianya” katamu sambil menyandar dipundakku.
Dan pesawat kembali menuju landasan, meninggalkan kekaguman pada penumpangnya. Dan kami mengambil titipan koper di airport dan mencari hotel yang terdekat, lelah harus di lepaskan siang ini.
**************
Aku merasakan sebuah sejarah ada pada lelaki itu. Wajah tuanya telah tampak jelas, dia berumur 21 tahun saat menjadi mahasiswa ketika Bung Karno dijungkilkan. Namun pancaran keras hidupnya, meniupkan sebuah ketegaran yang dirindukan wanita. Sebuah perlindungan dari tipu daya pria. Dan pesonanya tidak menghanyutkan, tapi merengkuhku ke tepian. Membawaku ke menjauh gelombang yang menjilat kakiku, menghindariku dari kegamangan. Sebab aku hingga detik ini membutuhkan titik sinar, bukan cahaya yang berpendar. Dan sepertinya titik itu aku jumpai jauh di dalam keheningan, di Himalaya. Sebuah cahaya yang terpendam.
Aku merasakan sejarah itu harus tersimpan rapat, ketika sebuah luka tertoreh kembali, dan baunya anyir. Dan lelaki itu menangis malam itu. Malam setelah aku mengejeknya di angkasa dengan pertanyaan “Haruskah kita hanya pasrah?”. Lelaki meronta dalam masa lalunya, akan sejarahnya. Tiga puluh tujuh tahun lebih pengembaraan, dia tak berhenti membuat sejarah, parade kesepian. Sesuatu yang tak kumengerti. Bukankah sebuah episode baru bisa tercipta, ketika yang lalu harus ditamatkan. Tapi sepertinya dia menikmatinya. Dan dia tak punya jawab akan pertanyaanku itu tadi.
Namun aku juga tak punya jawaban ketika dia mengetahui aku masih sendiri di usiaku yang 35 tahun ini. Bukan persoalan putus cinta atau kasih yang tak sampai milik kaum cengeng. Atau karena karir, alasan milik wanita konsumtif yang ditempeli bandrol ribuan label harga barang. Justru alasanku karena sebuah kasih, pada ibuku yang sudah tua. Dan aku mengorbankan diriku demi kasihku yang tak ingin lekang.
Dan kau tercengang demi mendengar itu. Begitu tuluskah, bisikmu. Aku mengangguk, ada yang mengalir di nadiku ketika bibirmu menyentuh kupingku. Sebuah rasa yang aneh namun menjalar terus, menghangatkan libidoku. Dan aku merapatkan tubuh padamu, merengkuh tak ingin meregangkan. Tanganku bergayut dileher, ketika bibirku meraih bibirmu, aku melumatnya habis tanpa menunggu niatmu. Kau hanya pasrah, seperti Adam yang pasrah ketika Tuhan meminta tulang rusuknya demi tercipta Hawa. Dan wangi rokok di bulir keringat mu yang bergulir, membakar birahiku, menegangkan pucuk yang mengembang mekar, wanginya menetes. Dadaku habis kau lumat, aku hanya mampu menahan kepalamu untuk tidak berpaling, biarlah kau meluncur jauh, berbelok di setiap kelokan dan melandai di setiap dataran. Temukan sebuah persimpangan, jangan kau bingung olehnya. Sebab itu meneduhkan jawaban dari semua gejolakmu. Hanya itu jawabnya, dan kebenaran jawaban itu akan menetes pasti, disetiap celah yang melekat akan terkuak segala kebenaran. Dan pada tingkap-tingkapnya semua bercahaya sama, bergayutan menyambutmu. Carilah kebenaranku lebih dalam.
Dan rasuki aku dengan sejarahmu, buang kelammu di lorong yang menyempit, biarkan mengendap di ujung kesadaran. Dan amarahmu menghangatkan ku, mengisi kekosonganku. Dan kami tergeletak lemas. Hening sesaat. Engkau masih menyandarkan kepala pada dadaku yang mekar, tanganmu pada pinggulku yang lebar. Dan vaginaku kosong oleh mu, kau sangat terkejut oleh itu, dan aku telah jujur akan ceritaku. Aku pun percaya akan keperjakaanmu yang kau berikan, sebuah keinginan hanya untuk calon istrimu dulu. Apakah pacarmu itu masih setia menjaganya?
Hentakan roda itu mengagetkanku, pendaratan menendang lamunan. Selepasnya, aku bersiap turun, berbekal sebuah kerinduan walau pertemuan harus berakhir di Kathmandu. Di Tribhuvan International Airpot, kau melepasku pergi, ada linangan ketakutan akankah kita masih bisa berjumpa. Tapi kau berjanji akan menantiku di situ. Karena kau rasa itulah tempat episode sejarah baru akan kau ukir, yang lama telah kau campakkan di ketinggian 8.848m di atas Everest. Dan aku berjanji akan datang ke sana, membawa ibuku, menjadikan kita bertiga satu tak terpisahkan. Karena aku tak mau oleh perkawinan ibuku harus disingkirkan di kursi rodanya.
Wanita tua itu melambaikan tangannya, garis keanggunannya masih tampak. Dan kursi rodanya berjalan ke arahku. Bik Ijah dengan setia menuntun arahnya.
“Lama banget cah ayu? Nggak rindu ibu lagi ya?”tangan ibuku mengembang, ingin menjamahku
“Walah ibu, telat 2 hari dari rencana aja kok. Apa kabar, kangen ya?”tanyaku sambil memeluknya. Aku cium pipinya, keningnya.
“Ada yang menawanmu? Arjuna dari Himalaya?”ibuku tertawa mencandaiku
“Hehehe…kok tahu? Entar aku perkenalkan dengan ibu. Eh aku punya fotonya” aku mengikuti ibu, kursinya didorong Bik Ijah. Tanganku mencari foto dari kamera polarid, dan sepertinya sudah tak tahan lagi memberikan kebahagian pada ibu, menjawab segala pertanyaannya akan jodohku.
Ibuku menatap foto itu, dan aku menceritakan dimana kami berpose. Ibu terperangah tak percaya.
“Kenapa bu? Agak tua ya? Tapi dia baik bu. Aku merindukan figure seorang ayah” kataku malu-malu, sambil menatap ibu.
Bibirnya bergetar, matanya tak mampu menahan bulir yang bergayutan. Menetes membasahi pipinya.
“Akhirnya…..”ucapan ibu tak terselesaikan, isaknya melebur.
“Akhirnya aku punya pendamping juga ya bu. Aku takkan meninggalkan ibu. Seperti ayah yang pergi ketika aku masih merah” aku berjanji pada ibu, tapi tangisku pun tak bisa dibendung.
“Sayang, dia kekasih purbaku. Pergi ketika darah menghapus yang merah”.
Bibirku kelu, otakku menari miring. Lantai seperti tak rata, aku bertopang pada ibu. Dikakinya aku bersimpuh.
“Maafkan aku bu. Kita mencintai orang yang sama”
Dan saat ini, aku bisa merasakan apa yang dirasakan ibu. Kerinduan yang berabad-abad.
aku bukan candi...
kalaupun aku candi
aku adalah candi yang rapuh
bukankah memang begitu seharusnya
bahkan candi borobudur yang megah sekalipun, ditemukan dalam kondisi hancur
terkubur di bawah tanah.
hanya karena orang-orang yang peduli, dia bisa tegak kokoh berdiri dengan megahnya.
kalau aku candi...
aku butuh orang yang peduli...
agar aku tak hancur... dan terkubur...
kali ini tentang kepasian.

barangkali ada satu dua cerita dari timur yang melulu berisi air mata. aih, jangan berdebar, karena siapakah yang tak pernah mengalirkannya? serupa belaian, atau lenguhan, bisa saja air itu terasa lebih lembut ketimbang kapas yang jatuh siang tadi di atas rambutmu. kepasian pastilah setakdir dengan air mata. atau barangkali begini: air mata yang mengalir, yang kadang begitu saja, dari sepasang matamu adalah semacam pupuk katalis yang akan menyuburkan warna tak jelas sisi-sisi di wajahmu, di semenanjung luar bibirmu, juga segaris dengan lintasan halus pipimu. kepasian, juga ketakberwarnaan, adalah turunan paling logis alunan rinai mendung dari matamu. air mata....

macet! aku belum bisa menulis lagi....
seribu kota
seribu kedalaman
seribu kantor pemerintahan
seribu sawah-sawah

tak 'kan jadi pemisah, katamu...
kawannya bertanya
"siapa tuhanmu"
dia menjawab
"barangkali bapakku"

08 Agustus 2002

aku masih mencintaimu .. (maafkan jika aku terus saja membuatmu muak)
juga bukan sekedar basa basi jika tadi kuucapkan kalau aku rindu kamu
ya .. aku merindukan sedikit dari senyummu ..
dan sedikit dari waktu yang seringkali harus kita habiskan dengan berbagi dengan orang lain ..
tapi tidak mengapa, itu lebih baik daripada disini sendiri menapaki pasir yang begitu panas mendera telapakku
dan matahari dengan baranya yang masih saja mencoba membakar

aku rindu .. hanya senyummu, senyum sederhana tanpa basa basi yang memuakkan ..
aku rindu .. hanya tatapmu, tatap sederhana tanpa pengagungan palsu yang menjijikan ..
aku rindu .. hanya dekapmu, dekap sederhana yang tak melontarkanku hanya untuk membuatku terhempas

ya .. hanya itu yang kuperlukan .. setidaknya malam ini ..
ketika pantai kita dan sejuta bintangnya tak lagi sama tanpamu

-nie-
untuk "teman manusiaku"

diam ...
diam-diam saja, ya
tumpukan bata bata kata
biar mereka bicara

kupas sekupas kupas
jangan keras bernafas
dinding itu hanya kapas
ingat , "the story of us"

sungai air kita melintas
diatas
mari mandi
cuci duka debu daki

sepasang lelah mendaki
mencari dataran tinggi
menanti suatu hari jalang
telanjang.
kata mencipta rupa
rupa mencipta duka
duka mencipta kata

kata mencipta dupa
dupa mencipta lupa
lupa mencipta kata

kata mencipta kita
kita mencipta maya
maya mencipta kata

kata ....
menghancur nyata ...
kita ....
bersetubuh kata.

07 Agustus 2002

Dua alasan aku bertahan di sini..

Wangi tubuh wanita
Kebohongannya...

perkosa aku!!!
Mengapa kalian memaksaku bicara tentang Tuhan?
tak lagi menyenangkan hati kalian kah ceritaku soal borok dan nanah yang masi saja menganga?
hahahahahahaa .. AKU BENCI BICARA SOAL TUHAN !!!!
bukan .. bukan karena aku merasa berdosa .. tapi karena aku merasa tak pantas menajiskan diriku untuk bicara tentangNYA!

yang kutau .. dia tak pernah ada saat aku menangis pilu sambil membebat luka
Dia menulikan telinganya saat aku menjerit marah
Dia membutakan mataNya saat kutorehkan pisau sialan itu ke nadiku
Dan dia menyembunyikan diri saat aku berdiri disini menuntutNya dengan beribu pasal

Jadi .. untuk apa aku bicara tentang sesuatu yang tak nyata untukku ..
aku bukan pemimpi .. !!!

-nie-
aku mencintaimu .. aku mencintaimu .. aku mencintaimu . :(
pernahkah kalian berpikir kalau hidup itu mungkin hanya sekedar sandiwara?
dan jika itu memang benar .. siapa sutradaranya?
dan pernahkah terlintas apa dasar pengaturan peran yang kita mainkan?
sandiwara apakah ini? telenovela kah? sitkom kah? atau cuma sekedar film layar lebar?

06 Agustus 2002

sudah mulai gilakah aku jika aku masih bisa mencium bau parfummu melekat di kulitku bahkan ketika aku bercinta dengan lelaki lain?
ini janjiku,
kuucap di depan langit dan bumi
aku boleh mati ..
tubuh fana ini boleh binasa ..
hanya kekallah cintaku selamanya

ini darahku,
tercurah sebagai sumpah di depan manusia dan Tuhan ..
jiwaku boleh hancur,
kematian .. kau boleh bertandang sesukamu ..
tapi terkutuklah kau jika berharap kupalingkan mukaku darinya !!!

aku tidak perduli dengan satu demi satu nafas yang memberat,
atau langkah demi langkah yang terputus,
persetan dengan aliran darah yang mulai menyumbat otakku ..
najislah aku jika aku harus mengingkari setia !!!!!

PARA PENGUASA KEGELAPAN ..
ambil semua yang kau mau, AKU TIDAK AKAN MENGELUH !!!
rajam, ludahi, atau sekalian setubuhi aku dengan dosa ..
satu yang pasti, takkan pernah kau dapatkan cintaku ..
sudah terkubur jauh di dasar liang cacing bersama kekasihku yang kau rampas

IBLIS IBLIS NERAKA ..
rampas semua yang ada, puaskan egomu .. AKU TIDAK AKAN MENANGIS !!!
harga diri, kehormatan, apapun yang kau suka ..
satu yang pasti, takkan ada bagian dari kenanganku yang bisa kau curi ..
telah terkunci rapat semua saat kekasihku menjelang maut

-nie-