19 Oktober 2002

sebuah surat di mulut pagi...

To : G, J.C & H.S

Shyalom,
Apa kabar sumber kasih? Tak jemukah Engkau menjaga mata airnya? Kurasakan riaknya di kehidupanku, walau kadang aku melupakan asalnya. Begitu bening dan sejuknya kau urapi kami, tiada penat yang tak berkesudahan. Walau terkadang emosi menguapkan dari mimpi yang bukan lagi bunga tidur. Kasih mu terkadang diartikan sebagai pengorbanan yang meminta imbalan, bukankah ia putik yang akan mekar tanpa kumbang meminta balas pada sang bunga? Ajarkan kami kembali memaknai kasihMu. Seperti seorang pujangga berkata; dalam bercinta seharusnya memberi tak kekurangan, menerima tak berlebihan. Tak akan ada yang mati oleh kekurangan cinta yang diberikannya, dan tak akan ada yang harus merasa berhutang budi oleh pemberian cinta yang berlebihan.
Aku pernah merasakan mati untuk ketiga kalinya, liang kuburku ada tiga. Pada setiap kematian, aku lupa padaMu sesaat dan terperosok pada sejuta kehancuran. Puing-puingnya berserakkan seperti batu-batu menara Babel yang sombong. Akupun sombong oleh kehancuranku, sombong oleh kasih setia yang aku miliki, menatap kehilafan mereka (dan aku memutuskan mereka semua). Ternyata kakiku tak bisa berpijak pada tepi yang miring, uluran tanganMu tak pernah aku sapa, meliriknya pun aku enggan. Tapi sungguh Engkau merawatku, seperti bunga bakung yang selalu anggun tanpa ada yang menyiraminya, Kau berikan ia mahkota yang indah. Kau berikan aku jalan dengan memberi kehidupan yang baru, tanpa mencoba mengingkari yang terjadi.
Pada liang-liang itu aku merasakan kehidupan yang berbeda, semua itu terjadi begitu saja. Sudah Kau gariskan, aku terpaksa berpindah dan mencari kelompok baru. Aku berjalan jauh tanpa mencoba melihat ke belakang, dan kau berikan aku tiang api menyala di depan, seperti yang Kau berikan pada Musa dan bangsa Israel menuju Kanaan. Aku rasakan semua perjalanan itu, persinggahanku memberi kehidupan dan aku menemukan oase kasih pada kehausan perjalanan yang panjang. Untuk setiap persinggahan itu, aku dirikan tenda persembahan untuk Mu dan kekasih yang menanti di mulut bibir oase hatiku. Mezbah nubuatan mu aku simpan rapat, imanku aku tambat. Mimpi kecilku menjadi malaikat berwujud sudah, tapi entah mengapa sayapku tak mampu menaungi mereka. Dan itu terjadi untuk ketiga kalinya, Kau pun menarikku untuk meneruskan perjalanan hingga aku menjumpai tiga oase yang berbeda.
Diperjalanan ku yang terakhir ini, aku masih mencari oase itu, menara api Mu masih memimpinku. Di perhentian malam ini, aku mendengar kabar dari burung elang, kekasihku yang terakhir akan menikah. Sungguh aku bahagia mendengarnya. Aku restui pernikahan mereka, urapi mereka dengan kasihMu dan keturunannya kelak biarlah layak di bumi ini. Aku tak bisa mengunjunginya, tapi biarlah kelak aku dapat menjumpainya, menemukan anaknya, keponakanku yang pasti cantik dan gagah seperti ibunya. Semoga suaminya melindungi istri dan anaknya.
Sumber kasih yang tak berkesudahan, kakiku sudah penat melangkah, aku bersandar di batu besar ini. Kuatkan kakiku, agar aku dapat berjalan terus. Aku ingin membangun liang kuburku lebih megah, dan dari jalan yang bermil-mil aku torehkan semua cerita pada nisanku. Prasasti yang megah buat anak cucuku kelak, biarlah mereka bangga berasal dari keturunan yang beradab. Syair-syair itu akan abadi dan menjadi kenangan kelak.
Kasih yang tak berkesudahan, ajarkan aku bercinta, cerita itu sudah lama kulewati. Mungkin aku sudah lupa, bagaimana merayu gadis-gadis Sion dengan rebananya. Beri aku syair-syair indah milik Raja Daud, senyum yang memikat milik Salomo dan hati yang keras milik Simson. Tapi aku tak mau jatuh oleh Delilah, atau seperti Daud yang jatuh hati pada istri pasukannya. Jadikan aku seperti Anak manusia yang mati oleh kebenaranNya di Golgota, aku ingin kasih milikNya.
Diperhentian ini aku menunggu nubuatanMu; indah pada masanya kelak di Kanaan yang baru.

Dari yang merindukanMu

Q V

Tidak ada komentar: