28 Februari 2005

DAUN PINTU

Aku pada sebuah pintu. Menapaki sebuah pasti tentang adanya dirimu disisi yang tak pernah kuyakini. Dan aku takut menyentuh kerapuhan bernama cinta itu, yang menyamar menjadi seorang aku. Menjejak tanah remah yang tak kuat menahan beban-beban tak bertuan. Menciptakan retakan-retakan yang semakin tak menolong, membuatku kebut dengan sulaman-sulaman rapuh yang sementara akan menutup-nutupi segala, tentang semua. Lalu ku ketukkan padanya: siapa itu di dalam?

Sebuah percakapan terdengar di kejauhan, memberikan sayup pada setiap kalimat bernada benci, benci pada cintamu, benci pada cintaku. Menghilang ditelan haus-haus udara hampa yang tidak sudi melepaskan diriku menjadi sesuatu yang hidup dan akan menua, lalu mati menjadi debu dikemudian hari. Mengikat-ngikatku pada rasa cemburu yang tak mau ku abaikan pada yang tak tampak, ketika kau ingin memiliki aku hanya untuk disimpan di balik pintumu.

Dan aku menjadi butiran kata yang terserak dari sebuah benang yang telah putus menjadi satu garis panjang tak berkesudahan. Yang tidak lagi sebuah lingkaran, yang tidak lagi berputar, yang tidak lagi terpusat hanya pada apa yang kuwujudkan sebagai dirimu, ketika kau kehilangan daun pintumu.

Lalu semua terpilin, membentuk evolusi pada sebuah karakter baru yang tak lagi sama seperti kemarin. Lalu hari ini datang, menamparku dengan segepok ilusi yang tak lagi menyakiti: kau.

Lalu semua dilipat rapi dan dikepitkan pada lengan-lengan hangatmu, tempat dimana surat-suratku mengambang huruf pada udara terbuka yang kau hirup hingga meresap ke dalam-dalam nyawa penyusun segalamu.

Lalu aku inginkan diriku melebur padamu. Hancur ketika menyentuh permukaan kulitmu. Masuk sebagai raga tanpa massa-massa pemberat yang akan membuat tubuhmu menolak adaku. Dan aku sisipkan serpihan berupa aku: gelembung udara pada nafas-nafasmu di bibirku. Mohon teriakkan saja serapahmu itu, dan katakan tidak pada ruang kosong, tentang betapa kau membenciku karena mencintaimu.

Ya, sungguh membenciku.

Sehingga akan kau dapatkan aku dengan nafas yang tidak lagi memberatkan langkah-langkah terakhirku menuju dirimu, lalu menjauh dan kutemui kau pada sebuah senja, memberikan ganjalan pada daun pintu agar tidak tertutup melenyapkanmu. Namun kau pergi juga ke balik pintumu, membuatku hanya berdiri saja di sisi yang satunya, tak mengerti.

Lalu kita akan menghilang, ketika kamu pergi, ketika aku berbalik badan tak lagi menoleh ke belakang. Lalu kita akan menghilang, ketika gelitik-gelitik malah terasa sakit diseluruh tubuhku, pun ketika pikirmu kau tidak membohongi siapapun termasuk dirimu. Lalu kita akan menghilang, ketika kita saling memandang lama sampai pupil mata mengecil redup dan tak ada lagi yang diwakilinya selain pintu yang tertutup, yang dimengerti tiap-tiap dari kita. Lalu kita menguncinya dari dalam dengan patahan sisa jerit-jerit memilukan hati, ketika kita saling menyiksa diri sendiri.

Selesaikan cepat. Besok takut tidak sempat.
Teriakkan saja, teriakkan saja.

24 Februari 2005

kekasihku, sungguh aku muak denganmu

seandainya dapat ku bakar bayangan akan dirimu. sepertinya kalaupun nanti kita akan bertemu disuatu waktu yang berbeda akan ku bunuh kau dipanasnya hatiku yang tak pernah mereda. kini tau kau, kekasihku, sungguh aku muak denganmu. jujur jika aku jujur padamu, benar ku katakan cinta kepadamu, tapi ... kau telah menampiknya lalu kau buang entah kemana.

kekasihku, sungguh aku muak kepadamu

mengutip sabaksajak

23 Februari 2005

sabaksajak

Paragraf Ingatan yang Patah-patah

:setelah menonton film "The Butterfly Effect"

Seperti sebuah film yang patah-patah, demikianlah aku mengenang senjakala singgah di tubuhmu yang ranum. Sebuah jurnal yang kau sodorkan, membayangkan liur anjing yang pernah menempel di keningmu. Dalam ingat, sungguh dalam ingat.

Kekasihku, sungguh aku mual.

Seandainya semua kenangan kekal dalam ingat, aku ingin lupa mendepaknya. Meski aku tetap tak ingin lupa mengingat kita pernah berjumpa pada abad yang tak tercatat. Dan di luar semua hal, seperti perjuangan ingatan melawan lupa*, demikianlah aku mencoba mencintaimu. Hingga entah, kekasihku. Hingga entah.

jogja, februari 2005
*mengutip Kundera

20 Februari 2005

Surya,
tidak terasa usia perkenalan kita
telah memasuki umur tiga tahun,
namun tatapan sepasang bola
matamu masih saja indah
dan tajam hingga terasa menusuk
segala kesan yang ada
didalam relung hati ini...

Surya,
ada sejuta keindahan yang
mempesona dibalik dirimu,
suaramu yang merdu,
terdengar hangat sepanjang malam
didalam percakapan kita,
sekata demi sekata terasa tenang dan damai
keluar dari ucapan bibirmu.

Surya,
masih adakah manusia yang seindah dirimu?
hingga tak terlukis didalam setiap kanvas kehidupan,
sangat berharga dan mahal.

Surya,
dimana harus kuletakan sepasang tanganku?
untuk menepuk kedua pundakmu,
sebagai tanda terima kasih sahabat untukmu,
yang selalu saja membawa cahaya keceriaan
didalam detak-detak perjalanan jarum jam.

Surya,
kelembutan dari sebuah pengertian,
kau selalu saja menghidangkannya
disela-sela batinku
hingga mengisi seluruh pojok-pojok
seisi kediaman rumah jiwaku.

Surya,
kenyataan jikalau kita terpisah oleh jarak dan waktu,
namun lautan dan pegunungan
takkan pernah mampu memisahkan
temali kekeluargaan kita...

Surya,
Surya,
Surya,
akan terus kupanggil nama ini...
selalu...

18 Februari 2005

aku pandangi wajah

seraut wajah !!

manis .. putih .. bersih ..

mata yang hidup

wajah yang selalu cantik tertawa

ada ketakjukanku padamu
begitu jujur kau bicara padaku

kau berbeda
kau tidak sempurna

bicara atas nama hati
menuntut aku untuk mengerti

kau bener mencintai wanita
sedang kau adalah wanita

biarlah kebebasan yang bicara
atas nama diri yang lepas dari penjara dan dogma

kau berhak mencintai
kaupun berhak membenci

cinta itu adalah ketulusan
kebebasan atas nama jiwa

dedicated to : mama at yahoo messenger

17 Februari 2005

Bahwa aku mencinta
Bahwa aku terluka
Bahwa aku terdampar…
Bahwa aku terhempas pada ilalang tajam menusuk

Bahwa aku bermimpi…
Berlari.Teriak.Menangis.Tertawa.
Bilik hatiku tak lagi bertempat tinggal
Kosong.sunyi.
Hanya tinggal aku dan malaikat kecil mimpiku.


Jogja 9 feb 05
ON/OFF Evolution!: Membuka Lowongan Naskah (Dateline 6 Maret 2005)

Zlink!

“Kami berubah ketika kami jatuh cinta!”

Semua orang mengalami jatuh cinta untuk pertama kalinya dan ini bukan karena hari Valentine. Jauh sebelum St. Valentine datang, cinta sudah menancapkan giginya pada setiap orang, menunggunya merapuh dan jatuh. Mungkin kisah-kisah cinta pertama ini sudah berlangsung ratusan tahun sebelum tantangan ini dibuat atau baru saja kemarin sore ketika turun dari bis kota dan serta merta melihat pandangan yang mengguncang untuk pertama kalinya. Maka dari itu, kami menantang anda untuk mengingatnya, menuliskannya, bahkan memfiksikannya (jika anda berbakat sebagai seseorang yang mengidap erotomaniac) lalu mengirimkannya pada kami!

Kami membuka lowongan untuk 3 macam naskah dengan spesifikasi di bawah ini:

- Memoar Cinta Pertama
Terbuka untuk umum
Minimal 3000 kata
- Catatan Harian akan Cinta Pertama
Terbuka untuk pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA)
Minimal 4000 kata
- Fiksi dengan tema Cinta Pertama
Terbuka untuk umum
Minimal 3000 kata

Dateline semua naskah pada tanggal 6 MARET 2005.

Kirimkan naskah via email, dalam bentuk .rtf ke: on_off_ya@yahoo.com

Kami mengharapkan naskah-naskah yang eksperimentatif dan eksploratif. Naskah yang dimuat tentu saja akan mendapatkan honorarium yang sepantasnya dan juga 2 copy ON/OFF Books edisi ini. Kontributor yang dimuat akan dikontak langsung oleh redaksi selambat-lambatnya bulan April 2005. Edisi ini akan diterbitkan pada bulan April 2005 dan akan beredar di toko-toko buku terdekat anda.

Maka kirimkanlah naskah-naskah anda, kenangan-kenangan termanis dan tertragis anda, karena kami akan menyambutnya dengan ceria:)

Editor

15 Februari 2005

LALU AKU TAK JADI PAMIT MATI

aku dan dirimu tenggelam dalam asa
dan tak ingin lari
tanggalkan rasa ini
cobalah entaskan
pastikan lepas atau terus
semoga perih terbang tinggi di awan

(Dewa19 - Aku Disini Untukmu)

Suara seruling yang seperti malam kemarin terdengar lagi. Kali ini terbawa besertanya, aroma hujan dari kejauhan yang lalu mengumpul di langit-langit kamarku, tetap menghilang sumbernya ketika aku mencari-cari dimana, dan muncul kembali setiap aku berhenti mencari. Padahal hujan sendiri pun belum muncul untuk bertegur sapa melalui tetes-tetesnya di halaman depan, maupun pada genting bocormu. Dan aku merinding, telapak kakiku membasah, rasanya badai tercipta di dalam sini dan membanjiri karpet.

Mengapa yang kutunggu tidak muncul lagi?

Sinar matahari pamit mati sebelum sempat membakar genangan di ruangan ini menjadi mengering pudar. Aku takut, karena tidak pernah bisa berenang di tempat dalam, takut nanti tenggelam, terkubur di dalam tanah dan tak bisa berada disini lagi bahkan untuk melihatmu menjauh. Namun dirimu belum pernah kembali lagi.

Kicau burung juga pamit mati sebelum sempat kuiringi dengan kerjap-kerjap mataku yang silau kelilipan sinar dari langit, yang menembus jendela sewaktu aku bangun pagi. Dapat kulihat debu terseret-seret berputar pada udara dan cahaya yang membuatnya ke-emasan. Dan dirimu masih juga belum kembali.

Kemana semua yang pamit pergi dan berjanji akan kembali? Mengapa tak hadir lagi kau datang, mengetuk pintu kamar atau apa saja yang berada di dekatku, sebagai tanda bahwa kau ada. Dan kau memang masih ada. Walau kau tak kunjung ingin kembali.

"Ya ya aku disini, tak kemana" katamu lalu, di hari ketika langkahmu terdengar lagi dari kejauhan, membawa serta duniamu yang selalu meninggalkan jejak-jejak di dalam sini. Seperti juga bau tubuhmu sayang. Dan senyumku mengembang lalu tidak jadi pamit mati. Aku berlari menyambutmu dengan telapak tangan terbuka menghadap ke atas seakan meminta sesuatu, lalu air mulai menetes, dan menggenang kembali: berwujud dirimu.

Kugenggam yang hanya bisa kurasakan hadirnya tapi tidak dapat tetap disana. Telapak tanganku tak mampu menahan kubangan air yang makin meriak dan tumpahannya meluber kemana-mana, maka kubiarkan saja membasah. Kuberikan wajahku padanya, dan kusatukan yang hangat dengan yang gigil, yang lambat laun pun mengering sejuk, menjadi udara tak hampa yang aku akan hirup dan membuatku tetap hidup, lalu aku tak jadi pamit mati.

Lalu aku mengerti, bahwa kau bahkan tidak pernah pergi dari sini. Dari dalamku. Kau terus disana dan menetap. Menghuni ruangan di pojok sendiri pada apa yang kau sebut hati. Dan kurasakan darahku tetap mengalir tak berhenti, sesampainya kau di depan pintu kamarku, maupun seperginya kau dari sana. Kini kau lebur seperti tiap udara yang kuhirup, menyelusup bebas bagai air yang tak pernah bisa tertangkap genggaman tanganku.

Ah hei, sore ini memang akhirnya hujan tak lagi mengkhianati kehidupan pada tanah Tuhan. Sudah kuterima pesan kedatangannya dalam telapak tanganku yang meminta tadi. Kukatakan yang ini: datanglah lagi bersama warna kelabu yang sama, biar kali ini kulingkarkan tanganku pada lehermu, dan kucium bibir itu hingga bersatu setiap yang memiliki jeda dan ruang kosong di antara. Lalu kehendak-kehendak dimatirasakan. Pada doaku, pada minta-mintaku yang terlempar-lempar memantul ke seluruh penjuru ruangan yang tidak memar juga tubuh-tubuh kata dibuatnya. Hanya roh-mu akan terus meludah tak sudah, muntah darah menahan ingin. Inginku.

Aku ingin mendengar huruf A sampai Z mengatakannya lagi. Bahwa kita sakit karena menyimpan cinta dan asa sekaligus. Bahwa kita sakit karena kita masih saja dua orang berbeda, yang bertukar rindu dengan punggung saling memunggungi yang lain. Bahwa kita sakit karena masih saja berjalan saling menjauhi dengan jari-jemari masih menggenggam terkait, ingin terus selalu bersentuhan bertukar bau tubuh, dan galau memikirkan bahwa kita diharuskan melenyapkan satu sama lain. Bahwa kita sakit karena masih saja menjadi yang utara dan selatan, dan tidak pernah jadi pamit mati. Yang selalu tak bisa aku abaikan: berwujud dirimu.

Mungkin hanya aku yang sakit, dan kamu akan selalu baik-baik saja sayang, seperti lirik-lirik lagu yang kau susun pada pendengaranmu. Lalu dimana pantasnya kata adil hadir disini? Ketika kamu bahkan tak pernah benar-benar pergi, dan aku...tak pernah benar-benar melepasmu?

Nah. Sampai nanti kalau begitu.
Jangan lupa untuk kembali.

...sederhana.
Itu hanya karena aku menunggumu.
Dan aku, juga kamu, tidak akan pernah pamit mati.

14 Februari 2005

Sudah hancur gubuk milik kita dibibir pantai itu
tergulung ombak,tersapu bersih
hanya tinggal buih buih dan puing puing

Sudah tak ada lagi impian tentang
menikmati secangkir kopi diteras gubuk kita
sambil bercengkrama dan bercerita
tentang bintang bintang yang akan kita petik
untuk malaikat malaikat kita

Sudah tak terdengar lagi nyanyian camar dipagi hari
menyambut datangnya rutinitas hidup kita
Sunyi!
Sendiri!

Aku tak mampu lagi teriak
airmatapun tlah kering
semenjak badai mimpi buruk menghantam gubuk impian kita
yang tersisa hanya isak.sesak.sakit.luka.trauma.
tanpa airmata.

Aku hampir tak mampu bertahan seorang diri
disekelilingku hanyalah kesunyian
hingga jemari mungil malaikat malaikat mimpi
menyentuh lembut pipiku

Ya! aku masih bisa bertahan
aku masih bisa kembali merajut impian
impaianku untuk malaikat malaikat kecilku
karna aku tau...
aku tak sendiri....


Januari 05

12 Februari 2005

nurani

09 Februari 2005

baju merah, celana merah, bakiak merah,
searak imlek penuh nuansa merah,
semanis buah delima dewa,
berdarah tetapi diisi dengan tawa,
berduka tetapi disambut dengan bahagia...

kue, kerupuk, kuaci, permen, asinan, manisan,
masih menjadi pokok acara bertandang
dan amplop merah,
masih tetaplah rebutan setiap anak-anak,
bahkan orang dewasa sekalipun.
maka tidaklah salah dijadikan akbar
peristiwa sekali didalam setahun.....

selamat hari imlek 2556,
GONG XIE FAT CHOI.

07 Februari 2005

walah... kata mobil sedan itu
aku tak pantas duduk diatas joknya,
busyet... memang dia kira dia itu siapa?
cuman seekor ayam betina saja lagaknya tak karuan,
bah-bah-bah...

dasar antek-antek pengincar tua bangka...
kau kira tanah airmu adalah las vegas?
tubuhmu hanya seharga lima cent,
ohhh... malangnya bidadariku...
mengapa kau melorotkan busana berharga dirimu?
lihatlah... kini engkau malu,
kau menutupi wajahmu dengan wajan
diatas tikar tanpa sehelai bulu pun
yang membungkus ragamu dari sorotan kamera obskura...

03 Februari 2005

JEDA

nafas tersengalku memiliki jeda pada hadirnya
membatasi tatapan terpanaku ketika bersikukuh menyentuhmu
sendirian dalam tiada

lalu jedaku terpelanting tak kuasa
menemukan banyak hal yang tak biasa pada bayangan kabur
dimana sebab-sebab tidak lagi memiliki karena
seperti nadi tanpa darah dan rongga tanpa biji mata
alasan mulai menyuram

kunyanyikan separuh degup jantungku untukmu: boku no angel
setelah apa yang terbaca sewaktu bibirku berkata-kata pada lidahmu
menjadi catatanku pada kertas-kertas tak bertubuh
membirahikan badan telanjangku pada udara yang kau hirup

hingga berjeda pada kalimat-kalimat tanyamu: boku no angel
i'll sing for you

and I love you so
the people ask me how
how I’ve lived till now
I tell them, "I don’t know"

(Don McLean: And I Love You So)