14 Oktober 2002

segores-dua gores catatan sambil lalu...

Bendasari, 13 September 2002

Lalu sampai sejauh inilah kita semua melangkah, sejauh depa-depa dan jarak-jarak yang ada. Ada kalanya kuingat ketika angin masih menerpa kulit pipi, juga butiran debu yang mencolok tepat pada pinggiran kelopak mata. Mataku dan juga matamu, seketika kita sama-sama terkatup dalam hitungan kepersekian detik dari apa yang disebut waktu. Aku juga menemukan sesuatu yang menarik mataku, cincin-cincin pada jari, tangan pada pinggang, pinggangmu. Goresan-goresan luka pada alismu, titik -titik pada punggungmu. Semua letak, lekuk geografis tubuhmu.

Dan kau masih lelap, masih tetap. Sedangkan aku masih mencari kata-kata tentangmu.

Tiba-tiba semuanya serasa berputar, ingatan-ingatan terlempar, menabrak dinding-dinding kamar. Lagi tanpa meninggalkan gema-gema yang memekakkan. Aku tak ingat lagi dimana kutemukan tanganmu, tak ingat dimana letak balutan kedua kakimu. Tak ingat sungguh, setelah aku ditelan mimpi-mimpi yang sudah menganggu kita berdua di malam-malam yang kesekian. Ruangan berputar dan tubuhku goyah, lenyap pada entah, lenyap pada titik dimana kita bermula. Mula bapa, mula ibu, mula tubuh, mula gerak. Sepintas malam gelap, tangan dimana-dimana tangan, gerak dimana-mana gerak.

Dimana lalu tatapanmu malam itu, yang gelap pekat.

Aku luluh dan masih sungguh tak ingat. Cahaya-cahaya yang tanggung merasuki pandanganku, satu frame utuh, lalu setengah, lalu seperempat dan kosong. Muncul wajah-wajah, raut muka, seringai urat muka, dan terakhir terbukalah luka-luka.

Lihatlah tubuhku yang penuh luka tetapi tidak dosa, karena kita berdua tidak percaya akan dosa.

Satu garis, titik-titik, besar atau kecil tetap meninggalkan bekas yang kentara. Putih di antara coklat, coklat di antara putih, biru juga hitam juga terkadang, yang jelas pasti berbeda. Seperti tato alam, seperti tinta hitam puisi pada secarik kertas putih bersih. Warna-warna muram, tetapi cerah bila mengalir darah. Hati-hati dengan hati kita yang sudah tentu menyimpan setangkup luka rahasia yang berbahaya.

Suatu hari kau membuka celana, mencari-cari celana dan menemukan celana-celana di dalam tumpukan tasku. Celana-celanaku. Sebelumnya mari kucari sebuah buku puisi “Celana” yang bersampul putih kuning. Buku-buku puisiku yang tertinggal di suatu kamar, kamarku di kota lain yang berupa ruang tunggu, menungguku sampai jauh berdebu.

Bendasari, 22 September 2002


Cinta itu memang terkadang buta dan gelap mata.

Aku pernah merasakan cemburu yang sesuai dengan lagu, cemburu yang membunuh, mencipta luka dan menggores hati. Tetapi sekarang tak lagi bersisa kecuali diam yang buta. Lebih maut dari maut, lebih abadi dari surga-neraka. Kediaman yang ada kalanya begitu menyiksa. Aku merasa dan kau juga merasa.

Kala memang ada waktunya, waktu adalah kala. Dalam yang begitu rindu dendam, merunyakkan segala, begitu spontan dan seketika. Aku sebenarnya hanya ingin berhenti menengok sosok lelaki yang mengundang rindu dendam itu. Hanya menengok, mata yang mengandung ekstasi hidup. Mata yang sebetulnya sedang lelah, mata-mata kita yang juga merah lelah. Kemudian semuanya berubah jadi amarah.

Lelaki itu sudah hilang dalam huruf demi huruf, kata demi kata, karena terlalu banyak yang sudah tertuliskan olehnya dan aku bosan. Sedikit muak. Lalu aku terhenyak hanya untuk menemukan matamu. Yang liar, yang juga jalang.

Tak sukakah kau kusebut jalang?

Tidak hanya matamu yang kutemukan tetapi juga rasa, kekonyolan kanak remaja yang kukira sudah hilang, habis tanpa sisa. Aku dapat tertawa sederhana, mengalirkan airmata karena sesaknya dada, dan juga buang gas cuma-cuma. Di depanmu hanya, tanpa mengerti kenapa.

Cinta itu memang terkadang buta dan kasat mata.

Kukira tak harus kujawab semuanya dengan sepasang mata. Aku ingat malam yang telah lalu di antara gawang sepak bola dan alun-alun utara kota. Tiga buah rokok kretek dan satu bungkus permen rasa mint murahan. Lalu lalang motor, malam minggu, manusia sepasang-sepasang, warung angkringan malam-malam, dan wedang hangat-hangat. Genggam-peluk-cium dan selanjutnya terserah anda memang, gunakanlah selalu kondom begitu kata sepotong iklan. Bicara dan bicara. Bulan berkata pada langit mendung, malam yang romantis demikianlah adanya. Kita masih ada di antara gawang sepak bola dan alun-alun utara kota. Asap-asap mengepul dan sekali waktu suara kita serak, mata kita berkaca-kaca. Sembari menelanjangi rasa, menelanjangi diri kita.

Saat ini aku sedang jengah, sedikit resah, tidak bisa tidur seperti biasa. Aku ingin kembali pada kata-kata, pada teks dan aroma lembaran buku tua. Selebihnya aku ingin dadamu malam ini sedekat alis mata.

Bendasari, 26 September 2002

Pecah terkadang sesuatu yang tadinya satu, menyebar-sebar. Keteraturan lalu kekacauan, kekacauan lalu keteraturan. Suatu hukum, suatu siklus yang sepertinya tidak akan berhenti. Koin bersisi dua. Seimbang di tengah-tengah untuk beberapa saat lalu jatuh pada satu sisi yang menyatakan kepastian.

Adakalanya kita semua berhenti dan berjalan sendiri-sendiri. Adakalanya juga kita sama-sama berhenti dan melaju bersama-sama. Tetapi saat ini kita butuh waktu, butuh berpikir ulang tentang segala sesuatu yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi berikutnya.

Marilah kita saling mengosongkan, membuang apa yang perlu dibuang, tinggalkan apa yang perlu ditinggalkan, sampai ada saatnya kita bertemu di persimpangan jalan. Untuk saat ini hanya ingin kutitipkan sebuah puisi untuk kawan-kawan.

Cinta begitu sederhana
Sehingga kita tidak saling merasa
Bersama
Hingga habis semua
Ditelan luka doa

Kita semua begitu sederhana
Terkadang
Sehingga mati, makan, mandi, tidur bersama
Dalam suka duka
Hingga tidak terlupa
Hingga hilang
Masih ditelan luka doa


Bendasari, 30 September 2002

Ciuman itu memulai semua. Seharusnya tidak terjadi.

Seharusnya benar-benar tidak terjadi, cukup ngarai, tikar dan selimut untuk menghangatkan suasana malam yang betul-betul sebenarnya membekukan. Beku sampai ke dalam hati. Mengundang gelisah sungguh, sehingga sekarang terlempar kata-kata yang seharusnya hanya untukmu.

Seperti inikah aku?

Kegilaan sedang menyerang kita masing-masing. Alur yang tidak mengalir dan suasana yang tidak juga mencair. Sampai orang-orang terakhir, masih bisakah kita bertahan mempertahankan dulu yang kita anggap mimpi-mimpi kita bersama. Kita semua butuh bicara dengan berpasang-pasang mata.

Seperti inikah kami?

Kita, kau, aku harus sama-sama membuka luka. Di antara kita berdua lalu dengan kawan-kawan semua. Kita harus bercinta dimana-mana tetapi memang bukan seperti ini caranya.

Bendasari, 12 Oktober 2002

Kesetaraan ini mengarah kemana jika kita bicara sedikit tentang dasar-dasar sifat manusia. Ada yang membuatku sedikit berpikir, cukup sinis dan sedikit terlalu sarkas terkadang. Sampai ada kehampaan sejenak, sampai ada sebentuk jeda, sampai waktunya di antara daun-daun untuk jatuh ke tanah.

Tidak ada yang abadi, memang hanya lingkaran setan, orang-orang bilang.

Aku teringat dengan berita-berita, lembaran-lembaran koran, majalah atau apa saja yang bisa terlihat dan terasakan. Mereka membawakanku berbungkah-bungkah gelisah, berbungkah-bungkah resah. Mereka memojokkanku untuk menjadi sungguh-sungguh gila. Lagi dan kemudian aku terpaku pada aspal jalanan yang penuh dengan tutup-tutup botol kaleng. Suatu hiasan di sepanjang jalan kota ini yang menuju laut Selatan. Kita berhenti pada kaleng-kaleng soda, kaleng beling kaca yang menawarkan seteguk dua teguk sendawa. Mengeluarkan secercah udara sejenak dan menghantam rasa-rasa.

Sekilas kulihat sosok perempuan itu, yang membuatku terdiam sejenak untuk entah berbuat apa selanjutnya. Perempuan itu adalah ibumu. Lalu aku seperti rindu akan ibu, tetapi tidak aku masih juga tidak pulang dan masih merasa bukan waktunya untuk pulang. Tepatkah itu kukatakan ketika aku membayangkan kedua orangtuaku menungguku dengan sangat di tempat yang bernama rumah itu? Entah, aku benar-benar masih juga tidak akan pulang. Aku masih tetap akan mencari dadamu untuk pulang. Konyol memang, terlalu jujur dan lugu. Itulah yang kurasakan akhir-akhir ini, tak ada kantuk, hanya buku-buku dan asap-asap rokok yang berusaha meninabobokanku untuk satu malam saja. Sesuatu kejujuran yang menggelikan, dadamu itu. Membuatku kembali menghitung waktu-waktu dan memaki diri sendiri. Sekali lagi memaki dengan konyol dan menggelikan.

Aku memang tengah membuat gila diriku, seperempat, setengah lalu penuh gila. Gila dengan semua kekacauan-kekacauan yang tidak terlihat. Mengerikan. Jika ternyata kegilaan ini begitu penuh dengan kekosongan dan hidup benar-benar sebuah bentuk ironi komedi yang betul-betul menggelitik perut roh-roh dan tuhan-tuhan gila.

Dada-dada bicara, dengan buah atau tanpa, semua bicara. Ini dadaku dan ini dadamu, ayo perlihatkan semua. Toh, kita semua masih dada-dada yang bicara kian kemari. Membusung dan membungkuk dengan bantuan punggung. Ayo, ayo, dada-dada mari kita tetap bicara.

Tidak ada komentar: