31 Juli 2003

Again, it comes to me
Penetrate barriers built ages ago
It ruins ‘em all
It’s happening again

Again, committed the same mistake
Broken promises, premonition takes over
Repetition of failure will occur
Cause now, it’s happening again

Same wound is back opened
Re-heal the old pain
Victim of prejudice
Another years of misery to overcome

Forgive me Agony for leaving u behind
Will u be my friend…. Again?

march for life,
another world is possible!

30 Juli 2003

aku beri langkah

aku memberi langkah padamu
untuk datang padaku
daundaun kering. jejak
bulan dicakar ranting
dengusku

aku memberi dada padamu
gersang. hanya ilalang
tidurlah dan bermukim
tunggulah kupukupu durhaka pulang
tenggelam bersama bulan di lautan
debur ombak
nafas kita

aku memberi bingkai di wajahmu
lidah melukis cantik
melumat bibir. menetes membasahi
ranum dada. bulat
bergulir dan hilang di rambutrambut akal
menepi bersama buihbuih ombak

oh kasih! tubuh ini tak bertuan
engkaupun kabar dibawa petir
menghujam hati menatap langit
termangu
menunggumu turun berjingkat
meniti pelangi
dan eros usil ganggu langkahmu
awas jatuh!
....cinta!
biring
-- buat : nini

dari tidurku berembun malam
aku dengar tanah menahan lapar
hampa akan turun pada rangkulnya
suara-suara mengacak awan
di atas sana, malaikat sibuk membuka lembar lama

ngandung…..
nyanyian dan tangis adalah incest
tersusun rapi hikayat lama
babad-babad yang bukan khianat
mengalir bersama lau biang, ada sebelummu
t
u
r
u
n
menetes....
bersama sarunai yang memetik diri

nini! putri hijau menari di langit. gemulai.
bibirnya merah. bibirmu ada sirih
pergi sana! jangan menunggu lebih renta
jangan lupa sertakan kampil, daun sirih dan pinang
dan tok-tok itu
lambang kemegahanmu
yang memperanakkan manusia-manusia liat

dari tidurku yang tak panjang
aku dengar dengkurmu
terbungkus rapat uis gara
kau pikun pada ucap lantangku
senyummu senyap
menuju rumah Bapa

24juli2003
kata mereka,
" cinta pertama tidak akan pernah bisa dilupakan "
sampai kapanpun kita akan membawa sebagian dari diri mereka yang entah bagaimana bisa tertinggal di dalam diri ..
mungkin senyumnya yang pernah memikat hati, mungkin tatapannya yang pernah mengisi hari hari, mungkin pemikirannya yang masih saja mempengaruhi kita, mungkin kenangan kenangan lain yang kadang terlintas ..
atau bahkan luka? lara? pedih? derita?

kata mereka,
" ciuman pertama selalu yang terindah "
bagaimana bibirnya melekat pada bibir kita,
menerbangkan sejuta angan, membuat sesuatu mengalir hangat dalam tubuh fana ini, ledakan ledakan kecil serupa kembang api di pasar malam, atau bahkan seperti madu yang manisnya membekas berhari hari ..

kata mereka,
"yang terindah itu cuma hanya akan datang sekali"
dan di tengah istimewanya, dia akan menyentuh kamu .. hingga sewaktu pergipun jejaknya masih membekas jelas di hati,
membuatmu tersenyum .. tersipu2 .. atau bahkan mengernyit pedih mengenang duka .. entah, hidup ini pilihan kan? dan lagi-lagi adalah suatu pilihan bagaimana kita akan menyikapi segala hal yang ditakdirkan terjadi dalam hidup kita

kata mereka,
"waktu menyembuhkan segalanya"
seperti untuk segala sesuatu ada masanya, ada saatnya juga kita akan melepas kain kabung dan abu untuk mengenakan jubah kebahagiaan dan menyanyikan lagu puji2an ..
entah bagaimana, segala yang pernah melukai akan hilang,
rantai - rantai masa lalu terkikis waktu, menjadi tua lalu mati dalam sendiri ..
dan kita, asalkan tetap teguh akan berada disini untuk menyongsong masa depan ..

kata mereka,
"mencintai itu berarti bersedia merelakan dia pergi jika dia memang harus pergi"
tapi apa arti kata harus?
harus menurut siapa? menurutku? menurutnya? menurut mereka? menurut kalian? atau menurut DIA?
cinta tidak selamanya harus memiliki mungkin, karena bukankah cinta tidak memiliki apapun selain dirinya sendiri?
bukankah cinta tidak hidup dimanapun selain di dalam dirinya sendiri?
dan bukankah cinta tidak berada di hati karena cinta ada dimana mana
menjadi api, menjadi air, menjadi udara ..
menjadi batu, menjadi kayu, menjadi rumput ..
bukankah cinta hidup tidak disuatu tempat karena cinta adalah tempat itu sendiri?
dan cinta bukan keadaan tapi jiwa ?
lalu apa yang harus direlakan jika cinta tidak pernah menjadi apapun, menuntut apapun, dan berada dimanapun .. ?

bukankah cinta itu aku? cinta itu kamu? cinta itu DIA? cinta itu mereka?
bukankah cinta ialah cinta itu sendiri .. dan kita, lagi lagi adalah cinta


Nie @ Penjual Tiket Maze

29 Juli 2003

aku tak tahu harus berbicara apa...
aku tak mau kehilanganmu...
walaupun kau tak pernah percaya kata kataku...
jangan pergi...
jangan tinggalkan aku...
karena ku mau selalu disampingmu...
meskipun bukan di hatimu...

28 Juli 2003

Eka Kurniawan Project
aku pernah jatuh cinta pada lelaki yang serupa badai,
tak terkatakan ... tatapannya menembus relung hati, menyelusup masuk bersama aliran darah menuju paru-paru dan keluar lewat setiap hembusan nafasku.
Lelaki yang membuat malam-malamku begitu lambat berlalu,
Lelaki yang menggelisahkan setiap tidurku, merasuki mimpi-mimpiku
Dan menjadi satu-satunya sosok sempurna di mataku

aku pernah jatuh cinta kepada lelaki yang melalui mulutnya mengalir banyak nyanyian .. yang setiap yang meluncur keluar dari bibirnya serupa puisi yang digubah oleh penyair-penyair istana abad lalu.
Lelaki dengan bibir semanis madu, yang mengajarkan banyak mimpi kepadaku, dan menceritakan banyak dongeng di telingaku

aku pernah jatuh cinta pada lelaki sekuat karang,
yang tahan diterpa ombak, tak pernah goyah ditelan kilat dan guntur ..
lelaki yang bersamanya kurasakan ekstase demi ekstase ..
lelaki yang membuatku bisa menggambarkan ribuan lembar pengagungan akan dirinya ..
lelaki yang hanya dengan mengenangnya saja bisa kunikmati orgasme walau hanya bercinta dengan kata dan bayangan...

lelaki yang bersamanya ... kupikir akan kuhabiskan seluruh masa depanku, menjadi tua .. mati bersamanya dalam kejutan demi kejutan.

Tapi toh akhirnya aku mengerti, bahwa mungkin dia kekasih yang menyenangkan, tapi tak akan pernah menjadi seorang kekasih yang baik. Dan akhirnya aku mengerti, bahwa hidup itu bukan hanya badai kesenangan dan hujan kejutan .. hidup itu tidak hanya terdiri dari ombak kebahagiaan dan sapuan tawa dan pemberontakan ..

akhirnya aku mengerti, bahwa hidup itu juga tanggung jawab, bagaimana dia mempertanggung jawabkan setiap mimpi yang ditawarkannya padaku, bagaimana dia menjadikan puisi dan nyanyian itu bukan cuma dongeng tapi juga kenyataan ..
bahwa hidup itu juga tindakan .. dan bukan cuma sekedar ketikan dan bualan kata - kata

sehingga akhirnya aku mengerti, setelah sekian ratus hari kucari jawabnya dengan bertabur air mata dan luka ..
bahwa cinta bukan yang terpenting, dan mungkin tidak akan menjadi yang terpenting di dalam hidupku ..

hingga hari ini jika aku masih mengenang lelaki itu di dalam hidupku,
itu sama sekali tidak berarti aku masih memilihnya ..
jalan ku dan jalannya berbeda,
tapi ijinkan aku berterima kasih, untuk setiap pengajaran yang diajarkannya dalam hidupku .. tentang cinta, tentang kasih sayang, pengorbanan dan luka ..

aku hidup, dan aku akan selalu baik-baik saja ...

27 Juli 2003

waktu, berjamur, deja vu

tak ada dentang! tak ada dentang!
seharusnya inilah waktu bandul bertalu-talu
senja jatuh menjadi tempias merah jambu
di dinding berjamur tempat kita
pernah
menggantungkan deja vu
sebagai bayang-bayang yang ketinggalan sejarah
sementara mimpi semakin tinggi

lalu kumanterakan pada
ingatan, metamorfosa, seribu derak jam, mata
tak ada dentang! tak ada dentang!

23 Juli 2003

Hati yang Tak Mau Memberi

Ini hari ketujuh ia tidak ada di sini. Di kamar ini. Kamar miliknya yang entah oleh sebab apa tidak lagi menjadi otoritas miliknya sendiri lagi. Aku telah ada cukup empat bulan lamanya. Tak mampu beri warna yang lain hanya menambah pengap saja. Setidaknya keringat-keringatku telah meracuni kasur kapuknya. Dan di langit-langit masih ada sisa-sisa asap rokok, sementara laba-laba tak mampu rajut waktu.

Ini hari ketujuh pula tak kutemukan suaranya berkata-kata panjang. Yang berteriak mengalahkan suara ceret air kutanak. Nafas harumnya keluar meracuni asap tembakauku. Terlebih ketika asbak ditemukan puntung yang kesekian belas sementara di bibirku yang kian menghitam ada nyala yang lain. Ia katakan, ini sebuah pembunuhan. Lalu pintu terbuka. Entah mengusir asap atau aku. Ia hanya diam di depan pintu. Dan nyala puntung yang manja ikut-ikutan diam.

Ahh…. tentangnya aku menjadi gila. Ini rindu atau entah apa. Aku tak bisa mengeja. Satu persatu aku membalik cerita, menenun tingkah yang berarak menuju apa. Tertampung setetes demi setetes mimpinya yang tiap malam kuperas mencari alas. Logikanya dan logikaku bagai petak-petak di papan catur. Ada saat kuda harus berjingkat maju atau mundur. Tetapi hitam tetap hitam. Dan saat putih harus tersudut, ia hanya bergumam bahwa aku curang. Tak mungkin ada kekalahan di sebuah permainan, karena semua ada jalan keluar. Mungkin bukan saat ini, manusia boleh lupa katanya.

Yang kusuka adalah matanya. Membelalak saat melihat aku lupa membuka sepatu. Ia akan berkacak pinggang, mengukur batas tepi pinggul yang kian menebal. Tak perlu lama untuk menghentikan omelannya, cukup aku katakan, ia terlihat kian gemuk. Ia akan gelisah memegang perut. Mengangkat garis bawah kaosnya yang longgar menampakkan lingkaran kecil di perut. Ia akan meminta pendapatku. Aku tak perlu serius tentang itu, cukup aku tunjuk sampah-sampah yang masih hangat malas tergeletak. Di atasnya terlihat muka-muka kapitalis menghitung rejeki.

Siapa sangka dendam yang mempertemukanku dengannya. Ketika kudapatkan sebuah buku yang kupinjamkan pada Pandit terlihat tak karuan. Sampul yang kumuh di tepi-tepinya. Ada banyak halaman terlihat pernah dilipat, mungkin pertanda batas halaman yang terakhir dibaca. Mungkin ada ratusan tetes air liur yang menempel saat jemari membolak-balik halaman. Aku jijik. Aku geram. Ini bentuk penghinaan atas sebuah karya cipta seseorang. Tak menghargai otak mereka yang kian tua dan kusut.

Namun aku tak bisa memberinya maki atau sekedar ucapan ketus saat ia ada di kamarku. Di kamar Pandit pula. Manusia yang langka ini bercerita apa yang ia baca. Tentang perlawanan Soe Hok-gie terhadap tirani hingga akhir hayatnya. Kematian yang suci setelah melewati hutan di lereng-lereng rendah hingga melewati pasir dan butiran-butiran larva yang menutupi lereng bagianatas dengan kemiringan enam puluh derajat menuju puncak semeru. Dan tulisan yang memikat di sebuah batu nisan, “Nobody knows the trouble I see, nobody knows my sorrow.”

Aku tak bisa memberi komentar akan kesedihannya melihat nasib asmara sang demonstran yang kesepian itu. Hanya bila ada sedikit keberanian, mungkin aku cukup berkomentar, wajahnya terlihat lucu saat berpikir serius. Pipi yang kian membulat dengan sebuah guratan di kening. Mungkin ini yang membuat di esok hari dan esok harinya adalah pertemuan. Bukan karena janji atau rindu yng naïf, tetapi ada detik yang menghantar langkah begitu ringan untuk sebuah kebetulan.

Bukan kebetulan pula hatiku kian melunak saat niat bacanya yang begitu besar memperkosa buku-bukuku satu persatu. Satu persatu buku dipinjam dan selanjutnya ada perdebatan. Tentang penulis yang terlalu berhayal melangkahi logika dan tak berpijak di bumi. Atau suasana batin apa yang kira-kira merangsang penulis hingga orgasme dan menetes mani-maninya menjadi kata-kata indah. Kumpulan halaman yang nikmat untuk digerayangi.

Ya, semuanya kini kami lakukan di atas kasur kapuk ini. Sekali lagi di atas kasur, karena ruang tamu hanyalah seperangkat kasur dan televisi yang menganga dikelilingi rak-rak buku dan sebuah lemari. Entah apa yang menghantarkanku ke sini, meninggalkan tempat semediku dan nyamuk nakal bernama Pandit. Mungkin karena keteledorannya yang lupa mengembalikan semua buku yang dipinjam. Hingga aku merasa seorang pencuri telah membawa lari harta karunku. Rak bukuku ompong. Dan lemari bajuku kedinginan, menggigil ketakutan ketika aku menyeringai sangar mendapatinya kosong. Tapi ini juga ulahku membiarkan ia bebas menilai penampilanku saat ditemukannya daki tidak jatuh setelah kucuci. Ada banyak komentar disusupi niat baiknya untuk mencuci kembali dan memberi garis-garis licin di setiap lipatan.

Mau tak mau aku kerap mendatanginya. Di sebuah kamar di sebuah rumah susun. Walau dengkul terasa mau copot ketika anak-anak tangga tersenyum manis minta diinjak. Berpakaian dan sekedar bersapa. Namun terkadang tertahan oleh sebuah percakapan. Kemudian sebuah percakapan lagi. Dan percakapan lain yang tak kunjung putus untuk akhirnya menutup malam. Karena esok juga ada percakapan lain. Hingga kami lupa akan detik yang masih setia berjalan dan tak terasa genap sudah empat bulan aku tinggal bersamanya.

Tujuh hari bukan waktu yang lama tapi ada rasa yang terus menghitungnya. Mungkin juga mengukur besarnya. Entah besaran apa yang kupakai, nalar lupa akan dimensi-dimensi. Sementara ruang berbicara lain, aku tak bisa menampik. Inikah rindu? Ah…. jangan pernah ada. Aku rindu untuk apa? Hmm…. mungkin rindu pada percakapan. Tapi aku merasa percakapan adalah angin. Tak kuundang tapi datang menghidupi. Ada bersin? Hahaha… itu mungkin hanya tawa panjang ketika sadar pada sebuah diskusi yang memperlebar kebohohan kami.

Kalau itu benar rindu, apa benar aku dikatakan telah jatuh cinta? Cinta? Waduh, setan apa yang memperanakkan logika berketurunan jadah. Cinta itu sampah. Seperti kasih yang menjadi bahasa klasik dan usang. Bukankah Adam dan Hawa telah mempertontonkannya secara bugil. Tak ada dikatakan cinta saat Adam bersetubuh dengan Hawa. Namun mereka tinggal bersama dan bercakap-cakap. Tentang taman dan penghuninya. Dan Adam tak punya pilihan teman hidup selain Hawa.

Jangan-jangan aku kena kutuknya? Aku bersumpah malam itu saat kami berdebat tentang kata cinta. Aku katakan untuk seumur hidupku aku tak pernah jatuh cinta, namun aku telah berpacaran untuk keenambelas kalinya. Tapi bukan berarti pula aku tak punya kesetiaan, aku akan setia untuk sebuah komitmen. Teman hidup yang padanya kuberikan segala kejujuran sikap dan perbuatan.

Lalu ia berteori tentang pendapat seorang filsuf kelahiran. Wina Ludwig Wittgenstein ada berkata bahwa semua penggunaan bahasa, arti dari kata dan kalimat tergantung pada pemakaiannya. Kata yang sama tidak sama artinya bila dipakai dalam lingkungan yang lain serta diucapkan oleh orang lain pula. Kata cinta seorang kaya akan hartanya beda dengan cinta seorang ibu pada anaknya. Kata cinta seorang kekasih memang ada yang murni dan tulus. Cinta yang tulus mungkin dapat berwujud banyak hal, perhatian yang besar, kerinduan, kesetiaan, takut kehilangan. Dan ia memaksa aku mengamini semua itu sebagai cinta. Aku terpana, mengangkat bahu.

Ia diam. Menutup mata. Mungkin menenangkan diri. Saat hening berbicara, aku kian gelisah. Aku mencoba memecah kegalauan. Aku katakan, janganlah terlalu percaya pada cinta, bila cinta itu ada. Bila dikatakan ada cinta pada anak dan orang tua, mengapa ada pembunuhan dan perkosaan di antaranya. Bila ada cinta pada Tuhan, mengapa kaum pengusung cinta mengkotak-kotakkan diri pada Tuhannya, saling bersikutan. Dan sudut-sudutnya yang tajam menikam mati. Bila benar cinta itu ada, mengapa ada kesedihan di saat sepasang kekasih harus berpisah. Bukankah ada luka di setiap ada kata cinta?

Bukan hal yang aneh pula, pada saat berikutnya ia beringas. Ia menamparku dengan sebuah bantal. Di atas kasur ini. Dan menangis di tepinya. Begitu berartikah kata cinta hingga ia meraung-raung?

Walau berjuta kali ia bertanya di setiap menit-menit berikutnya apakah aku telah merasa jatuh cinta, aku hanya menggeleng. Selanjutnya bisa ditebak, mukanya akan tampak begitu jelek dengan bibir yang manyun sambil ngedumel. Tapi itu tak melarutkan seleraku untuk menciumnya, melumatnya. Walau dari bibir ini tak pernah terucap kata yang diinginkannya. Lamat-lamat ia pasrah, seperti mlam yang rela pergi disetiap kabut menuju pagi.

Tujuh hari yang lalu sebelum keberangkatnnya menuju kota kelahirannya, ia masih bertanya untuk terakhir kalinya. Apakah aku mencintainya? Aku tak bergeming. Tak mau beri nada sendu di detik perpisahan. Dan ia hanya menghela nafas mengusir kebebalanku. Namun aku tahu, ia percaya pada kesetiaanku. Percaya pada kedunguanku yang tak mampu mengartikan lukisan abstrak bergambar cinta. Ia memberi kecup, kecupan yang sangat berbeda di saat-saat lalu. Seakan kecup itu akan menjadi prasasti yang terkubur di suatu masa kelak. Dan di ujungnya ada sebuah detik-detik yang latah menjadi dingin. Sunyi.

Aku mengemasi pakaianku. Membiarkan buku-buku menganga di peraduannya. Mengunci rapat pintu kesunyian dan bergegas turun, melangkah di anak-anak tangga yang masih saja tersenyum minta diinjak. Di persimpangan jalan, aku mematung mengalahi tegarnya lampu traffic light yang menyala bergantian. Aku berdiri bersisian. Untuk kesekian lamanya aku mengalahkan kalut.

Akankah aku menyusulnya? Bersanding dengan dirinya di sebuah pernikahan. Namun ia tak mau menikah tanpa kata cinta. Apa yang akan diucapkan saat bersumpah di depan pendeta? Atau membiarkan ia mengakhiri kesetiaanku dengan lelaki pilihan orangtuanya. Dan aku harus berlari mencari sepi lagi.

Di persimpangan aku masih termangu saat traffic light bukan lagi dewa. Ketika jalanan begitu padat dan merangkak. Dari sebuah jendela bis kota aku mendengar suara serak membaca sajak :

………….
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya : Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri
Ah! hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi
(Sia-sia oleh Chairil Anwar)
Ratu Babi

Kini ada yang menjerit-jerit di antara mereka. Berlari dan melingkari. Suaranya menggema mengusir kantuk dan lamunan. Dengus-dengus yang terkepal meninju rakus. Dan taring-taringnya mengancam setajam ucap dan maki.

“Bangunlah kaumku! Saatnya kita berontak dari kutuk zaman. Kita telah gemuk oleh derita-derita. Kita menjadi pemalas di lumpur subur. Pemimpi di saat siang. Tak cukup hanya ampas. Sebab berharap pada esok adalah kesia-siaan. Mari kita rebut negeri. Lari dari petak-petak logika mereka. Tempat kita ada di belantara pikiran bukan di sini, dipasung kebodohan!”


Negeri subur ini penuh lumpur. Tak lagi musim kering mampu tiupkan kegersangan. Menjadi permainan yang indah saat udara panas datang. Lumpur-lumpur adalah tempat berkubang. Suaranya menikmatkan, kecipak kesuburan meninabobokkan impian untuk hidup tanpa perlu khawatir akan esok. selanjutnya

22 Juli 2003

di jalan yang nyaris punah
lepas dari riak keramaian
kita tersesat bertemu
dari jalan cita dulu

"aku haus ..."
ini segelas air mata
"aku lelah ..."
ini bantal rusuk busuk

"sampai berapa lama engkau bertahan ?
aku jarang mandi ...."
belakang kepalaku,
kuberikan untuk masa lalu

pengemis surga budak neraka

terlalu hitam untuk dibasuh
terlalu putih untuk didekati
terlalu abu-abu untuk direnangi
terlalu merah untuk dilupakan
terlalu kuning untuk dimiliki
terlalu biru untuk dimusuhi
terlalu coklat untuk dimuntahkan
terlalu ungu untuk dipakai
terlalu hijau untuk ditemani

17 Juli 2003

seandainya badanku terbelah dua, seperti inilah rasanya. patah-patah, berjalan dengan satu kaki ke kanan dan satu kaki berlari ke kiri. seperti kembar siam, yang akhirnya mati di mata dunia seminggu yang lalu. terpisah sendiri-sendiri di peti mati masing-masing.

tetapi kematian adalah sesuatu yang biasa, wajar dan sehari-hari.

seandainya lagi badanku terbelah dua, seperti inilah rasanya. yang satu sedang di barat daya dan satunya lagi di timur sana. berjalan masing-masing. makan dengan malas dan tidur sama malasnya. sakit dengan cara yang tidak jelas, tidak bahagia itu sangat jelas.

tetapi perpisahan dan pertemuan benar-benar lingkaran setan yang selalu kau lalui.

selalu dan selalu akan kau lalui.

14 Juli 2003

Doa seorang sekuler

Ketika diam, hening berbicara. Dan waktu melukis suasana, memikat gelap untuk mampir tanpa curiga....

Kau nyalakan lilin
Menari-nari beralas raga. Berpendar, meliuk-liuk. Tumbuh menghirup dera untuk masa yang mulai berjalan, sedikit bergegas. Berkemas nafas lalui simpang-simpang yang menitip sejuta bisik. Pintu-pintu zaman telah terbuka, nyata terbaca berkabut tafsir. Tak sulit mengeja, tinggal logika mengendus mana.

Lilinpun mulai mencair
Mengalir membanjiri. Waktu telah durhaka, tak mau berpaling pada lalu. Terbajak mencetak petak-petak kabar. Goresan zaman yang kita titipkan keringat, terkadang ada mimis. Jika dulu ada dinosaurus dan sekarang badak, apakah kita bangga sekedar dari monyet menjadi manusia? Mari mencetak sejarah bukan menanti titipan nisan. Tembok tirani pun perlu mata, jiwa kita dipasung. Ia perlu kata, jerit-jerit digoreskan dengan gigi-gigi menganga. Ia perlu warna..... darah, kita benturkan logika untuk meruntuhkannya.

Lamat-lamat mengecil. Dan mati.
Senyap kembali berselingkuh, setelah Kau jentikan nafas menjauh. Semoga tidak siulan usilMu. Bersabar untuk waktu yang tiada bersahabat. Mungkin bukan detik ini, tapi aku yakin Kau masih punya lilin-lilin lain yang akan Kau nyalakan untuk teman menulis nasib-nasib manusia yang mengais.

Kalimatuka tunirul tariai,
alleluia
Kalimatuka tifirul hayati,
alleluia
sabdaMu jadikan semangat hidupku
amien


13julii2003
putaran putaran 36 derajat
yang masih membicarakan kau dan aku
berulang
mungkin
perjalanan
yang sama sekali
tak pernah kita bayangkan
tak pernah kita pikirkan
tetapi tak ada lagi pilihan lain
kita harus melangkah
kita harus tetap melangkah
melangkah dan melangkah
melangkah dan tetap melangkah

13 Juli 2003

Alat

bersama mentari menyambut hari anugrahmu
bermain kelam menanti malam dalam buram
hambamu karang congkak bertepuk
kalaulah cakrawala senja mengerti getir
lantas kemana alat pekat keparat berkarat
seakan buram congkak cakrawala senja
menggantung mengiring mendung menanti malam
hambamu bersimpuh mamadu alat bersemi
emang enak jadi alat lantas sepah terbuang
perjalananmu memang begitu mas,,,,
memadu alat bermain buram bertepuk ombak
kalo engga, birumu kembali mengelam
menggapai awan lalu memutih bak kapas berganti
hambamu alat menggapai puas srigala congkak
berjalan lusuh mencari celah ungu membiru
kemudian memutih ditelan awan

12 Juli 2003

menyeruak bebatuan

di negeri ini yang tertinggal hanya puing peradaban
sisa dari berbagai upacara dan peristiwa. setetes airmata,
sepinggan doa telah lenyap dibakar pejiarah yang kalut
ada yang menyempurnakan kesedihan lewat jalan setapak
yang menanjak

di negeri ini tak hanya gemericik air yang telah lenyap
namun tangis bayi, lenguh kerbau, cericit burung, desah
angin dan gemerisik dedaunan pun ikut terbang bersama
sengketa juga dendam

di negeri ini tak sejengkal tanah pun sebagai rumah
maka kuseret peradaban dalam langkahlangkah berat
dan di punggungku masih juga sarat amanat, tanggung
jawab sebagai anak. sedang rindu kepadamu masih merasuk
dalam batin, menggenapkan kesakitan yang kudus

dalam cintamu yang berbatu, kukayuh lagi langkah
mencari rumah sebagai persinggahan abadi.

BumiAllah, 2003

11 Juli 2003

episode-episode: sebelum subuh

1.
sepenuh hati kutangkup wajah lelaki yang bermetamorfosa
menjadi rentan tapi ini memang kekalahan, mutlak
dalam sehari. tak ada lagi bir menetes di sela jari
sembunyi, sembunyilah di dada
menjelang fajar ini adalah ritual getir menutup luka

tapi tasbih ibumu terburai ke delapan penjuru mata angin
sedang kau menggadaikan kisah kepulangan kepada
siluet kuning, gelas-gelas berbusa pun berdenting

:di puncak perayaan, lelaki itu menyemburkan airmata


2.
pergilah
akan kujaga pojok kita dengan ludah
sebelum gersang oleh gerayangan tangan
perlu berapa takaran agar ruh berjalan di awan?
pergilah
akan kubakar kubus es kita menjadi peluh
setelah ektase seperti gelengan kepayahan
berapa harus kubayar demi sepi sesunyi kuburan?


3.
maka kularungkan airmata ke samudera
sepelukan sepi pada dentang ke sebelas
tikaman luka lalu gambari dengan pecahan gelas
hingga sempurna germerlap peta ke dadaku
yang telanjang purba. maka..

kekasih, tunggu aku di padang saat bulan genap purnama

07 Juli 2003

hidup pembunuhan, mampuslah kemanusiaan!
:dwi hb

saya tidak tahu adakah dionysus, si dewa anggur, bahagia malam itu. malam itu, saya melihat tiga pembunuhan berturut-turut. malam itu juga, saya mati. pelan-pelan.

jam empat sore, sebuah kesepakatan saya buat bersama teman. kesepakatan malam nanti kami akan menyaksikan sebuah pertunjukan yang jarang-jarang terjadi di sini: sekelompok teater akan pentas malam nanti, bukan satu lakon, tapi tiga. juga bukan lakon biasa, di sebuah publikasi tertulis: menolong itu tabu. lakon-lakon itu: stop-telepon-buron, dua buah tangan putu wijaya, yang menggetarkan itu, satunya buah tangan ribut.

lalu mulailah serentetan kejutan itu. kejutan-kejutan itu, begitu saja membuat saya lupa kalau saya juga manusia. sebuah catatan harian yang saya bakar sambil tersenyum senja tadi, saat merah tersingkir oleh keliaran hitam, seolah mengejek saya yang berdiri paling belakang. paling belakang karena malam itu sebuah pertemuan mengacaukan kesepakatan yang saya buat dengan teman saya. teman saya mungkin tak menyaksikan perang paling seru di jagad raya, merah lawan hitam, dua puluh menit sebelum pementasan ia telah datang ke tempat pertunjukan (gedung olah raga ternyata tempat pertunjukan yang lumayan puitis untuk beberapa buah pembunuhan).

kejutan pertama ialah saat saya dapati beberapa puisi menempel di sisi-sisi luar gedung pertunjukan, puisi bertinta merah di atas kain putih. ratusan jarum, atau barangkali ribuan jarum, seperti lepas dari puisi-puisi itu menuju ke mata saya, naik sebentar ke otak, dan turun dengan cepatnya ke hati saya. puisi selalu saja seperti itu: seperti bikin luka, seperti bikin orgasme. ini darah pertama yang keluar dari tubuh dan jiwa saya, darah karena puisi. diam-diam, dengan darah yang ada, saya tulis puisi di atas puisi-puisi itu.

lalu yang kedua. saat saya dapati pintu telah rapat tertutup. tiket tak di tangan. ke mana penjual tiket? sayup-sayup saya dengar seorang sales menawarkan sebuah pesawat telepon. seperti apa rupanya pesawat telepon itu? warnanya? hei... pesawat telepon? bukan handphone? jaman sekarang? ehm. "bisa masuk?" seseorang, tampaknya panita pertunjukan, membuka pintu. "ada tiket?" tanya dia. "belum," jawab saya. "bisa beli?" tanya saya lagi. "atau bagaimana kalau gratis?" lanjut saya. "diam-diam, mengendap lewat belakang, tak akan mengganggu rasanya. dengar-dengar pertunjukan siang tadi sold out?" "oke, pelan-pelan ya," jawab dia. gelap sekali gedung itu. saya tidak tahu seperti apa wajah yang berbicara dengan saya barusan. saya tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih kepadanya.

sudah tak ada tempat. kursi-kursi telah penuh. asap rokok mengabut. ini pasar: orang-orang ramai ngobrol, seorang pedagang telepon menawarkan dengan gigih barang dagangannya, beberapa mengutak-atik handphone, krang-kring. ini hebatnya sebuah gedung olah raga yang disulap menjadi gedung pertunjukan, begitu alamiah, begitu takkaku, begitu santai.

kejutan yang ketiga adalah tepat saat si penjual dibunuh lewat persekongkolan suami-istri petani yang begitu hebat, seseorang yang duduk beberapa meter di depan tempat saya berdiri telepon genggamnya berbunyi. "halo," katanya. pedagang itu lantas mati. mayatnya diseret si suami. si istri menyembunyikan telepon.

yang keempat bukan keterkejutan, melainkan semacam keterkejutan, barangkali keterpanaan. malam itu saya lihat bintang jatuh ke bumi, di sela ramai obrolan dan derai tawa orang-orang di sekitar saya. bintang itu seorang pemerkosa yang melarikan diri bersama seorang kawan buronnya yang juga pemerkosa. saya diam. peta di wajahnya, keringat di pakaiannya, ketakutan di matanya memenjara saya. saya jarang menyaksikan pertunjukan, terlebih tentang pembunuhan. pemerkosa yang satu ini begitu mengagumkan. belakangan saya tahu namanya dwi hendro basuki, seorang pemain teater, penulis yang novelnya telah saya baca dua kali -dan tak begitu saya suka, dan pemerkosa. malam itu saya tunduk kepada pemerkosa. saya rela tunduk kepada pemerkosa. saya diperkosa. sebuah permintaan saya utarakan berhubung ini bintang jatuh: kiranya saya bisa melihatnya lagi menjadi seorang aktor.

kejutan yang kelima, berbeda dengan beberapa kejutan sebelumnya, tak menyisakan darah di tubuh dan jiwa saya. seorang babu menaati tuannya seperti seorang hamba menaati tuhannya. si tuan dibunuh si babu, seperti si tuhan dibunuh si hamba. kotak televisi menjadi saksi takbisu kejadian itu. ia kemudian menyebarkan berita-berita bohong tentang kejadian yang sama di mana-mana, di irak, di palestina, di timor timur, di aceh, wuih, di dalam kampus, di layar handphone, di mana-mana. aneh, babu itu tak mematikan televisi itu. seolah bangga jadi hamba paling taat.

pertunjukan ditutup setelah sebelumnya ada kilatan cahaya dari sebuah kamera yang ternyata dipegang oleh teman saya yang saya khianati. dionysus masih tak tampak. (maafkan saya dewa, sebotol anggur, yang paling murah sekalipun, terlalu mewah buat saya).

ah, hiduplah pembunuhan, mampuslah kemanusiaan!

tujuh ratus dua puluh satu kata setelah kematian.
imam hidayah, penggemar senja.

rahasia buta

pagi begitu buta ketika ia terbangun dan lalu tak mendapatkan bayangan apapun di cermin kamarnya sementara ia duduk manis di bangku toilet mahalnya - ia merasa bahwa cermin bahkan tak mau menerimanya - cermin itu kosong - hingga kemudian terdengar pintu diketuk tiga kali - tok tok tok - hai kekosongan!

itukah suaramu?

06 Juli 2003

:Aku, matahari, dan deru badai

mengenangnya adalah laksana mengenang biru yang tak lagi terperi
yang baunya samar tercium diantara matahari musim panas
dan kelopaknya tak pernah benar-benar luruh diolok badai

-seperti mengenang sepotong kue cinta pertama yang manisnya pernah menggigit
yang walau tinggal secuil remahnya tetap saja menggarami hati ....

05 Juli 2003

kematian ada sebuah kado dari Tuhan
- danarto
:

aku benci juli terlebih rasa dingin malamnya
tentang usia yang tak usai usai menjadikan ku tanda tanda
masihkah kau menyusui anakmu di sana tanpa jemu
menatap usia yang lama ringkih
memandang waktu yang lama melemah
masih kucintai bayanganmu atas segala nasib
membenturkan meja di dinding dinding gedebuk
kali lain kau tak pernah datang
kali lain kau pisau yang tak lain keberuntungan ketakberuntungan nasib
menjadi situs yang ditinggalkan
aku benci juli dari hari pertama aku akan benci juli dihari tigapuluh satu
dan bulan yang datang tak akan ku tunggu
memasrahkan bayangan
menggauli kenangan
menunggu nasib dengan cecar yang ingkar
atas kebencianku pada bulan juli dan rasa dingin di malamnya
juga didalamnya
aku membenci laut membenci gunung juga membenci taman taman
di muntilan di muntilan
tertinggal kenangan

juli 2003

02 Juli 2003

Mak Engket, Mak Erot dan Mak Mega

Entah siapa dia sehingga Koes Plus begitu berharap. Memberi harap akan ada sebuah pertolongan. Dengarlah nyanyiannya :

Mak Engket maukah kau menolongku
tunjukkan jalan ke telaga biru
di sana kekasihku selalu menunggu
aku ingin segera bertemu...
Mak Engket dengarkanlah kata-kataku
ku rindu kekasihku
Mak Engket luluskanlah
permintaanku di sisa hidupku


Lagunya cukup tua, setua jawaban yang tak kunjung didapat.

lanjutan