30 Maret 2002

peluit telah berbunyi
tanda babak sejarah telah dilewati..
sekarang peluit berbunyi lagi
tanda babak sejarah lain akan dimulai...
tanpa waktu sisa... tanpa waktu istirahat..
capek...

29 Maret 2002

lagi-lagi cerita semacam ini kutulis. cerita yang mungkin cuma terasa sebagai
sampah busuk yang keluar dari rumah paling busuk. aku membencimu, itu simpelnya.
dan cerita-cerita ini akan membuat gemerlap rasa itu.
maka seperti itulah. setiap matahari berganti menjadi sesuatu yang baru,
dan bulan timbul tenggelam, aku tetap akan begitu. membencimu
adalah keharusan. mekanisme pertahanan diri paling sempurna. tak ada
pembelahan diri di situ, maka takkan ada perpisahan, juga pertemuan, (yg menyakitkan).
ini bukan yang pertama 'kan? bagaimana untuk yg ketiga? cerita-cerita ini
mestinya kuhabiskan saat itu.
ah, ternyata belum puas benar kusumpahseraphi kamu. karena masih juga kuingin
saat ini mengutuki tubuhmu itu. (tubuhmu yang sempurna itu).
terkutuk, terkutuk, terkutuklah kau, juga sukmamu itu, kumpulan bukan cahaya,
karena gelap gulita, hati yg bukan cermin tapi batu. patahan-patahan sekaligus
ruang kosongnya.
dan inilah sebabnya kukutuki kamu: kesempurnaan yg tidak baku. metamorfosa
paling lengkap. suatu keparipurnaan hidup.
juga mengapa kusumpahserapahi kamu: kegelapanmu adalah pelita
tanpa jelaga, tempat refleksi paling halus, resolusi yg nyaris habis.
maka kubenci kamu: karena ternyata kau bukan tanah, yg menutup pintu
bagi tetes hujan, air mata langit, yang akan diserapnya nanti, esok atau lusa,
keniscayaan yang pasti.
kau cuma batu. tempat pintu selalu ditutup rapat-rapat.
kian lama jiwa kian menyusut mengecil kerdil dan terus saja mengecil sesungguhnya aku tau bagaimana jalan menghentikannya tapi lagi-lagi itu membutuhkan sesuatu dari luar membutuhkan sayap untuk terbang dari segalanya yang tersebar begitu besar di timur dan di barat dan lagi-lagi kenapa masih saja berputar disini aku akan mati

28 Maret 2002

*lanjutan yg kemarin...

Tapi kondisi itu telah memberikan
pengalaman yang teramat luar biasa
seakan aku menjadi seorang Tuhan
Yang tak mengharapkan apapun dari yang pernah dia rasa

Aku mati rasa…..

Apakah aku mati rasa
Katakanlah hai jiwaku
Aku merasa terlepaskan dari jasadku dan
ternyata aku lebih mencintai ruhku
Jasadku aku meninggalkanmu
bukan berarti aku tidak mencintaimu
aku hanya ingin mendapatkan
keabadian yang telah kita sepakati
Engkau akan mati,dikerumunin cacing-
cacing tanah, dan hancur jadi tanah
Itulah hakikat yang telah kita ketahui
janganlah engkau takut akan semua itu
karena dengan menjadi tanah kita akan merasa bersatu lagi,
Jadilah tanah.
Kita akan bercinta dalam keabadian yang telah mati rasa kedunawian
Dan ternyata aku belum siap menghadapi kenyataan itu
Aku masih mengharapkan belaian lembut seorang ibu,
Belaian seorang kekasih
Dunia memang menawarkan rasa-rasa terhebat yang tiada duanya
Maaf, maaf
Apakah aku sudah gila
Gila akan sebuah rasa
Rasa yang belum pernah aku rasakan
Aku hanya ingin membelai lembut jiwamu
Tanpa melibatkan ragamu
Apakah itu mungkin
Harusnya aku tahu aturan hidup dunia karena aku hidup dalam dunia
Aku merasa lemah,sangat lemah seolah aku tak mampu lagi membawa diriku
Bawalah diriku hidup kembali dan aku akan terlahir kembali
menjadi seorang yang suci dan penuh kekuatan yang abadi

27 Maret 2002

aku ingin menemui padang pasir, berlarian dengan liar di antara butirannya, berenang di antara lautan dan sungai-sungai, bercinta di antara rerumputan pendek dan pasang. bebas, merdeka dan bercumbu tanpa ragu. mentuangkan tangis pada tanah, bermain dengan batu-batu, berbaring di atas dahan-dahan pohon, menari dan melompat mengeluarkan semua isi, semua ruang, semua penat, sampai hilang, tiada dan aku moksa.
If all the world was happiness
and all the skies were passion
and all the seas were honesty
then i would love to share this beautiful life with you...!!

26 Maret 2002

cermin panjang alam
tergeletak
lampu jalanlah akhir letak
pada suatu malam

air gugur berbulir bulir
memecah alir
meraba bumi
pelan ...
seakan ada yang dinanti

derak atap bak tangis
satu suara sendiri
membelah tipis tipis
suatu sunyi

kamu pasti sudah tidur
mereka juga
tapi kulihat kudengar
senyummu terserak berai
di mana mana semua

kupungut
satu ...
satu ...
satu ...

coba susun rekat
pada kanvas kelam
nyaris pekat
berbingkai rindu dendam.


25 Maret 2002

cerita kedelapan untuk qq

detik ini, fiksi ini mencapai sepotong angka yang berputar seperti ular atau mungkin sebuah roti di toko bakeri yang melingkar-lingkar. kata-kata ini seperti eksperimen kimiawi di atas tuts-tuts hitam, eksperimen kimiawi sekumpulan cerita-cerita untukmu seorang. adalah kau! yang begitu kugilai untuk kutulis dan untuk kujadikan dewa di antara tulisan-tulisanku, atau mungkin tuhan karena keterpanaanku pada manusia-manusia yang memberhalakan segala hal.

biarkanlah aku bercerita suatu hal, suatu senja yang semarak dengan pecahan kaca dan ada diriku di antaranya. aku, sebuah metromini ibukota, sepotong tongkat besi dan hujan beling kering. memang kekerasan adalah makanan sehari-sehari ibukota atau lebih tepatnya suatu kebiasaan. sejenak aku membenci diriku yang nyaris dihujami kaca bis metromini, karena seperti orang gagu aku menjadi penonton setia kehidupan yang berlalu. senja yang berlalu dengan pilu, penuh amarah dari penggengam tongkat besi.

radio masih bergema dengan pengadilan, aku jatuh ke tanah mendengarkan dakwaan yang berjalan nyaris satu jam lamanya untuk membicarakan detail-detail peluru anak sang jendral tua. aku muntah tepat di depan muka, lalu setengah berpikir tak bisakah hakim berkacamata membaca sendiri dengan seksama. kawan dekatku hanya tertawa, pahit, miris dan penuh dengan sarkistis. hukum di negeri ini memang sebuah sandiwara, melebihi cerita wayang, katanya dengan tawa membahana, ha-ha-ha-ha.

aku mati hari itu, berkali-kali, dibunuh diri sendiri dan dibunuh oleh udara yang kuhirup. aku menghentikan doa-doa dan menyembahmu sejadi-jadinya.
satu babak sudah "injuri time"
satu babak hampir terselesaikan
dalam hidupku
semoga berhasil
seorang teman membuat sebuah puisis yg lumayan panjang,
isinya sempet bikin gue nyaris pingsan. mungkin sampai
kapan pun gue gak bakal bisa bikin puisi yg bisa
bernafas panjang. gue akan coba memuatnya sampai empat seri,
perhatiin yaa.. dan siap-siap pingsan *gubrak*

Mati Rasa Dunia

Dan ketika aku mulai merasakan titik jenuh hidup
Konsepsi tentang cintaku terhadap seorang manusia
Mulai melayang-layang tak tentu arah
Terbawa angin terbawa ombak terbawa nafas
Seolah-olah aku menyimpan kefrustasian yang mendalam
Yang akan siap melukai siapa saja
Aku... Mulai menangisi semuanya
Otakku berputar tak tentu arah
Entah sakit, nyeri, atau yang lainnya
Aku tak bisa memastikan sakit yang aku derita
Separah itukah penderitaanku
Aku mulai jatuh cinta lagi..
Jatuh cinta lagi
Yang terlandaskan pada rasa kesakitanku.
... Aku mulai merasakan rasa yang lain
Yang tak lazim dalam cinta dunia
Seolah olah diriku menjadi angin
Diriku terbaiat oleh halusinasiku
Mencintaimu tanpa ingin memilikimu
Itu gila….. Hidup tanpa mengedepankan rasa ingin berkuasa
Eksistensi diri yang terus berkonflik dalam dada ini
Membuat aku kurus dan semakin membuta

.....

24 Maret 2002

seorang pejalan kaki duduk istirahat
duduk di sebuah halte, melepas penat
menunggu mentari lepas dari pelukan
menunggu awan melepas kerinduan

sebuah mobil lewat
sebuah mobil dengan kaca pekat
gadis pengendara membuka,"kemana arahmu tuan pejalan?"
"kemana engkau bertujuan" jawabnya pelan
"tetapi akupun belum tahu jawabnya"
"bagaimana jika, .."
dan pengendara membuka pintunya

dua pejalan bergenggam erat
"kita akan sampai di tujuan terlambat,
sedikit basah dan kotor, sedikit penat."
"..tapi dengan seorang sahabat."

dua pejalan kaki, meraba tujuan
dua pejalan kaki bergandengan tangan
dari 'seberapa pantas' -SO7
(sori kalo ada beberapa line yg salah.. :D )

sebrapa pantaskah kau untuk kutunggu
cukup indahkah dirimu untuk slalu kunantikan
mampukah kau hadir dalam setiap mimpi mulukku
mampukah kita bertahan disaat kita jauh

seberapa hebat kau untuk kubanggakan
cukup tangguhkah dirimu untuk selalu kuandalkan
mampukah kau bertahan dengan hidupku yang lelah
sanggupkah kau meyakinkan disaat aku bimbang

celakanya
hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu
hanya kaulah yang benar-benar memahamiku
kau pergi dan hilang kemanapun kau suka

celakanya
hanya kaulah yang pantas untuk kubanggakan
hanya kaulah yang sanggup untuk aku andalkan
biarpun jarak beri aku slalu menantimu

seberapa hebat kau untuk kubanggakan
cukup tangguhkah dirimu untuk selalu kuandalkan
mampukah kau bertahan dengan hidupku yang lelah
sanggupkah kau meyakinkan disaat aku bimbang

mungkin kini kau tlah menghilang tanpa jejak
mengubur semua indah kenangan
tapi aku slalu menunggumu disini
bila saja kau berubah pikiran

22 Maret 2002

cinta itu memang brengsek
suka-sukanya ia datang dan pergi
menciprat-ciprat seperti jalanan becek
bikin badan kotor dari ujung rambut sampai ujung kaki

cinta itu memang tak tahu diri
sesuka-sukanya datang menghampiri
dan ketika kita tak menyadari
meninju sebelum sempat kita membela diri

ketika kita mulai merindu
ia pergi, tanpa pamit, tampa permisi
lalu bagai candu
ia membuat kita tak henti berpuisi

21 Maret 2002

dialogku mungkin sependek itu
untuk saat ini
gerak tubuhku ingin kutahan sejenak
lelahku ingin kulemparkan pada ranjang
karena kata-kata sekejap menyiksaku
dan aku ingin diam
pada titik bisu
satu menit lamanya
seperti sebuah monolog persetubuhan
tersangkut aku pada sebuah pecahan kaca
satu lagi kediaman ibukota
ketika kesunyian runtuh bisu
pada sebuah kaca bis kota
semuanya sesuai dengan hukum rimba
sebuah jakarta

panas ini apakah pantas diguyur hujan?

-sore hari, ketika nyaris kena pecahan kaca bis
kemarilah
kemari, dekat sini
ceritakan padaku harimu
bagaimana?
demikiankah?
aku ingin tahu berapa banyak engkau tertawa
berapa sering engkau tersenyum, cemberut
aku ingin mengerti
mengertikah kau?
aku ingin mencintaimu
dan aku ingin kau mengerti;
aku ingin mencintaimu

tapi sudahlah, cukup
cukup semua yang aku-aku ini
bagaimana denganmu?
apa yang kau mau?
biar kuberi tahu
kau yang memiliki malam, siang, pagi, sore
engkau yang memiliki setiap remah
dari keping-keping waktuku

engkau memiliki jiwaku
yang entah kapan tersangkut di lipit-lipit bayanganmu

tak apa,
biarkan, biarkan ia disana
mungkin di sebuah cerita ia akan mengumbi
aku akan menunggu, disini

20 Maret 2002

aku mencumbu jalan
seperti orang mati
lalu ayam-ayam lari berjalan
dan manusia-manusia mati terpanggang
inilah peradaban!

19 Maret 2002

Kita berteman saja :
sebuah kenyataan
yang mungkin sangat abadi,
menjelma kupu-kupu indah di suatu pagi,
dengan bunga-bunga dan suara burung
Meski kau akan berlayar jauh dengan kekasih
aku adalah pelabuhan kala kau sendiri
Kita berdua memecah kesunyian,
membikin dunia terjaga
dan bersama bergembira

Kita berteman saja
Sambil tetap berdoa
demi ketulusan hati
yang kuingin tetap begitu

Ya kita berteman saja
dalam hidup ini dan nanti.

Bagus Takwin | bermain-main dengan cinta

18 Maret 2002

jangan sebut cinta tanpa ada rasa
jangan menyayang jika akan pergi...
jangan terbelenggu oleh angan
jangan takut akan kehilangan...

hidup adalah kenyataan
cinta adalah suatu yang hidup
sayang membawa hidup lebih berarti
semua pengorbanan akan memberikan hidup yang lebih baik
hidup adalah kebenaran... dan kebenaran adalah cinta

hanya kata

apa yang kau bayangkan di situ?
duduk mendekap lutut… sendiri
matamu jauh, memandang apa?

ada hati yang menunggumu;
yang melambaikan tiap sentinya seperti
pohon kelapa
mencari-cari dan ditiup-tiup angin,

malam makin sepi. dan kau duduk sendiri

ini kata buatmu
yang kuurai saat kabut asyik kumainkan
dengan nafas yang terdiri dari tiap imaji tentangmu
bayanganmu kupertahankan malam ini
sekuat tenagaku

rumput mulai basah. segar.
bintang cuma satu. menanti untuk dipuji.
dan embun makin menyelimuti tiap-tiap kulitku

apa yang kau bayangkan di situ?
duduk mendekap lutut… sendiri
matamu jauh, memandang apa?

akar-akar mulai masuk kembali.
mencari yang tersisa. seperti angin
yang selalu saja kembali
menyusun-nyusun suatu yang usang

aku di sini. berdiri merapuh
di pantai lepas batas akhir
menunggumu melihat bumi
melihatku mengurai-ngurai
wajahmu.
waktu ke waktu.

-cibiru, 16 maret 2002
kesunyian memekakan telinga
dalam diam sejuta kata
menggaungi sela sela
pojok semesta raya

redalah reda
beri sedikit jeda
engkau sangat menyisa
jiwa sendiri kelana

mana paha dulu kala
tempat sandar kepala
pinjam dulu sementara
untuk tutup kedua telinga

kesini lah , Nga
sebentar saja
tidak kah merasa hal yang sama
dalam penjara rasa

16 Maret 2002

Tidak ada yang saya sesali. Saya harap kamu juga demikian.
Tidak ada cara yang mudah untuk mengatakan ini semua.
Saya yakin kamu mengerti.
Dan tak ada yang saya cintai lebih dalam, selain perasaan indah
yang pernah kita miliki (dan semoga masih akan terus kita miliki).
Tapi saya bukan Puteri yang kamu cari.
Disatu titik perasaan indah itu telah mengkristal, dan saya akan
menyimpannya. Selamanya.

kamu adalah yang teristimewa. Ka.

156 | Supernova
laki-laki diatas perahu
terombang ambing dalam ganasnya ombak
ia kehilangan dayung
ia kehilangan arah
satu-satunya yang ia miliki adalah semangat
semangat dalam keputus asaan

Pak Ageng
tutut berduka cita atas meninggalnya
Bapak Umar Kayam

15 Maret 2002

"AKU MASIH MENCINTA....!"
"AKU MASIH MERINDU....!"

aku masih di sini
menunggu masanya bila
aku mungkin tak mengerti
mengapa malam menyediakan waktunya untuk dua manusia
hanya untuk bercerita
sepanjang malam

kau bercerita mengenai perempuanmu
aku bercerita mengenai laki-lakiku
kita bercerita tentang hidup
tentang esok

lalu mengapa tadi malam
ada sekecup ciuman di pipiku
mungkin bintang itu masih menari-nari
di langit utara sana
berpentas untuk kita yang berada di pantai selatan kota ini

lalu kita pulang
masih bergandengan tangan
dari sisi pantai
sampai pinggiran kota
di atas motor
sampai pagar rumah

mengapa kedua tangan kita merekat begini lekat
sehingga ketika pagi datang
tanganku terbakar membara
pada pinggangku ada bekas merah
bekas rangkulanmu
juga di pipiku
bekas ciumanmu

ternyata cinta memberi kita warna
Mapping every inch of your skin
I forgot the countours
of my land.
I abandoned wandering its roads,
I ignored its hunger and violence,
submerged in a contant spasm.
So I turned myself into a snail,
into a tortoise,
hiding in the depths of my house.
I lived out my useless existence
singing like the cricket in the fable.
My home lacked doors and windows,
its shell my sarcophagus
walled with self obsession
enclosing me in its chrysalis.
None the less our love continued growing.
Our love that has become
a dialogue of years,
tempered with kisses,
blows and bites,
and an enormous bread basket
for sharing with everyone.
Today beneath our sheet
every woman, man and child
of our people is taking cover.
Let us establish
that from now onwards
there's room for everybody!
- a poem send to me, via email with a comment
kau sudah dapatkan
kau masih mencari
kebebasan

14 Maret 2002

saatnya

ku nyatakan kembali
ku sayang kau

tak hanya rindu suara mu
tapi rindu kamu sepenuhnya

semoga kamu juga sayang aku
sekarang dan selamanya


dibisik nuraniku ku dapatkan sebuah ketulusan dan kerinduan
pangkalnya di nadiku mengalirkan hangatnya harapan ke ujung penantian di sana
malaikatku menarikku ke hatinya
kembangkan sayap imaginasi cintaku dengan buliran kata katanya
jujur lidahmu jujur sayangmu
jujurkan hangatnya bisikanmu
"kangen kamu"

13 Maret 2002

sajak tertunda

aku ingin menyayangimu seperti bunga yang belum mekar
menyembunyikan semua keindahannya dari cahaya sang matahari
menunggu engkau yang membuka kelopaknya
dan merasakan hembusan pertama dari kembang putiknya

aku ingin menyayangimu seperti buku yang belum lagi kita buka
kupegang tanganmu, kau tuntun jari-jariku
satu per satu halamannya kita buka
satu per satu misterinya terungkap di depan kita
tak ada kisah yang terlewatkan, tak ada cerita yang tertinggalkan

aku tak tahu kapan, di mana, atau bagaimana aku jatuh cinta kepadamu
aku menyayangimu dengan sederhana, bukan tanpa masalah, tapi sungguh tanpa
keangkuhan
dan tanpa sesuatu yang kubanggakan

setumpuk cemburu, bertahun kesal, mungkin sejumput kegembiraan dan
setangkup kebahagiaan
aku menyayangimu seperti ini dan seperti ini saja
karena aku tak tahu cara yang lain untuk menyayangimu

aku berdiri di depanmu sekarang
dengan seluruh harapan kau bersedia lagi mengulang
semua keinginan yang mungkin tak sempat kita jelang

kutau mungkin terlalu cepat
terlalu terburu-buru, dan terlalu memaksakan
namun inilah yang akan kukatakan
aku menyayangimu sekarang, esok, lusa
mungkin minggu depan , entah bulan depan
atau pun tahun depan

tak ada janji yang berani kukatakan
hanya kuniatkan hati untuk menanti
jika waktu itu yang kau ingin jalani
tapi jika tiada asa lagi yang dapat kunanti
katakan dengan jujur sebelum terbenamnya matahari

*pablo*
=========
satu

katakanlah aku bisa menjadi embun
apakah engkau akan merasa sejuk karenanya ?

katakanlah aku bisa menjadi matahari
apakah engkau akan merasa hangat oleh sinarnya ?

katakanlah aku bisa menjadi hujan
apakah kau akan mencari payung untuk berteduh darinya ?
atau apakah akan kau biarkan dirimu basah olehnya?

katakanlah aku bisa menjadi kumbang
akankah kau berikan sedikit madu untukku ?

katakanlah aku bisa menjadi sebuah lagu
akankah kau mau menuliskan syairnya ?

dan katakanlah aku sekarang ingin mengatakan semua ini kepadamu
adakah jawaban darimu untuknya ?

sudahlah, malam semakin larut
dan entah kenapa kegilaan ini tak jua surut

selamat malam, semoga mimpimu menjadi nyata

catatan:
diambil dari bukutamu situs gwe
subversifbiru
perutku memanggil masakanmu
Nyanyi bareng yuk .... :)

Kangen kangen di dinding
diam diam merayap
datang seekor aku
hap .. !
lalu ditangkap.
entah dari negeri antah berantah , datang mahluk bernama rindu. Kami bersetubuh dalam dalam, membuat lubang. Kuambil pedang, dia aku mau bunuh. Karena dia bangsat. Diperkosanya aku siang dan malam berikutnya dan berikutnya.
Lihat dia sedang berenang di telaga biru.
"Hei !!! sini kau taik ... !"
Diberinya aku senyum satu arti.
Ku terjang udara kemudian air, sekali tendang kakinya sudah di depanku.
Kaki kemudian kepala ku potong.
Darahnya biru kental.
Dalam api ungu kubakar . Gosong.
Kepala memalu sampai jadi abu.
Lari ,sambil menebar abu ke udara, menuju kawah Candradimuka.
Terjun ....
Ternyata dia berasal dari sana.
Berjuta mereka ada.
Celaka ..... !!
Pedangku tertinggal di pinggir telaga !
Sengaja ....
kutulis kata
sengaja ...
kuungkap rasa

biar bebas dada
terlalu sesak
hendak melesak
meledak

melata bak cecak
cari jejak
pada sejarah
rindu enggan mengalah

tak juga berkurang
tak juga setengah
semakin meranjah
semakin menjulang

maka ...
sengaja ...
hanya kata ...
saja .

12 Maret 2002

Engkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal hidup.
Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku dalam cinta tak bermuara
Engkaulah matahari Firdausku yang menyinari kata pertama cakrawala aksara

Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian
Gerakan tiada pasti. Namun aku terus disini
mencintaimu

Entah kenapa

Dee—supernova

untuk a.y.

malam di jalanan ini begitu panjang, sehingga kita berjalan sampai stasiun kereta. melewati pelacur-pelacur jalanan yang bersiul bersapa, seorang preman yang mengikuti kita dengan keramahan malam dan segenggam pisau, tetapi kita sampai pada hotel tua itu, tidur berdua dan saling menjaga sampai pagi tiba. suara kita saling berigauan masih di malam yang sama, saling berkata-kata membuat puisi di ruangan yang sama, ranjang yang sama. siang berikutnya kita saling berjanji di bangku bis kota, kita akan terus saling menjaga.

karena kau adalah kakakku tercinta dan aku adikmu tersayang, walau darah mungkin tak saling mengaliri tubuh ini dan tubuhmu.

-bogor-bandung-bogor- (9-10 maret-02)
karena malam itu senyummu begitu romantis
di dunia yang penuh dusta kusta
karena kita bukan mereka
kita adalah kau dan aku
aku dengan kau
dan malam begitu semesta
untuk sebuah pesta berdua
di bawah langit yang tertata
aha

aha, inilah kita berdua—aku dan kamu—kamar kontrakan mungil, berapa ukurannya? 2x3, 3x3, 3x4 meter persegi? Betapa sempitnya! Tembok-tembok yg menghimpit, lampu yang selalu saja lupa kita matikan, dan pintu tempat bergantung pakaian-pakaian kumal kita (kita tidak tahu lagi, pakaian mana yang telah dan belum kita cuci).
Di dekat kasur kita, masih menggantung gabus 1x1 meter yang kau curi entah dari mana. “untuk kita bebaskan diri kita!”, katamu waktu itu. Dan lalu kita melindas tiap-tiap sentinya dengan segala apa yang keluar dari dalam diri kita. Muntahan-muntahan puisi yang bersemburan dari mualnya otak dan hati kita. Ludahan-ludahan graffiti yang sepertinya dengan sukacita kau campakan, dimensi lain dirimu yang selalu saja kau terjemahkan lewat kasar jari-jarimu. (aku tak pernah bisa melukis, meski aku bisa lebih kasar ketimbang dirimu). Di lantai, masih saja terserak buku-buku kita, bukumu dan bukuku. Apa itu? “sarinah”, “five dialogue”, “filsafat ensie”, “strukturalisme”, ahh...kamar kita terlalu pengap dengan buku-buku fisafat(mu). Sketsa-sketsa hitam putih, milikmu, cerita-cerita yang tak pernah usai, milikku, nampak lebih mirip gang becek ujung kampung. Menyebabkan kita mesti bersejingkat, memilih ruang leluasa untuk sekadar tapak kaki.
Setengah satu pagi. Celana jeansmu masih sama seperti tiga hari lalu. Asbak yang hampir penuh masih saja kau hujani abu-abu kretekmu. Di atas kursi, aku menghadap meja, sesekali berbalik menghadapmu yang berbaring di kasur kumal kita. (kasur kita cuma satu). Entahlah, singletmu, jeansmu, tali yg melingkar di lehermu, selalu saja menusuk-nusukkan inspirasi segar ke kelanjar otakku. Gila! Harus bagaimana aku sumpahi tubuhmu itu, lambung yang kerap perih, paru-paru busuk, rumah seribu penyakit, dan entah dengan cara apa kukutuki hatiku yang tak menyisakan temapt selain untukmu, bibir kering yg selalu kau basahi lewat kecupan, telinga tak bergiwang, lubang masuk degup jantungmu saat aku kau peluk. (dan entah berapa kali mata ini menangis di situ, membasahi singletmu).
“Ga, puisi untukmu!” aku berdiri, bersejingkat, dan menghampirimu. Kau duduk membacanya, irama pertengahan. Suara lamat yang pasti:

“beginilah Ksatria:
aku mencintaimu, dengan
lima ribu rupiah yang selalu kita bagi dua—dan
makan malam yg selalu satu bungkus.
Karena mencintaimu adalah candu
Tanpa harta dan bola mata.
Lalu, jika malam telah lewat
Mari kita isi pagi dengan peluh;
Membakar kamar ini dengan tiap-tiap birahi
Yang kita punya. Lupakan kontrasepsi,
Biarkan rahimku menyimpan jejak detik ini;
Jejak yang akan menjadi sembilan bulan lagi.
Maka, matikan rokok itu, buat jejak untuk kita,
Cinta yang menjadi, birahi yang mengkristal,
Pancaran yang meledak lalu mengendap. Menerobos
Tiap-tiap lapisan, pemberontakan untuk hal kawin-mawin.
Sekarang juga. Sekarang...kita berontak!”


Kau tertawa, aku tersenyum, dan lampu lupa kita matikan, dan rokok lupa kau padamkan, dan puisi belum selesai dibaca, dan sketsa belum sempurna.

Dan kita bercinta, melepas semuanya. Semua-muanya! Semau-maunya!
mestinya

mestinya kuhabiskan saja sajian-Mu malam itu,
di meja-Mu yang rapuh itu; kureguk habis air yang kau buat
sendiri di cangkir-Mu (cangkir-Mu satu-satunya);

ya, mestinya tak kusisakan hidangan-Mu itu, kukenyangkan perutku,
karena kini aku lapar...dahaga...dipadang tandus tanpa cinta-Mu
"Kenapa tangan loe....?"
"Kemaren masih baik-baik aja!"

"Kebentur tembok!!!"

"Kapan..?"

"Semalem!!!"

"Kok bisa...?"

"Bawel....gue nggak bisa membenturkan hati gue!!!"

11 Maret 2002

karena mungkin
kekuatan kita
ada pada kata
byur... air mulai menyelimuti sampai mata kaki
aku mulai buka kertas itu, lusuh ada puisi

byur... dan lututku melumatlumat bibir air, kecupan paling mesra

judulnya AKU, karya chairil anwar

byur... hehehe... perutku digoyang-goyang air celana yg basah, selangkangan yang terendam

"binatang jalang dari kumpulan yang terbuang"

byur... puisinya hanyut... timbul tenggelam di air,
bersama napas-napasku
tubuh bahasa
bahasa tubuh
bahasa bahasa
tubuh tubuh

bersetubuh
Untuk apa selamanya ?

Udah pada tidur ya ?? hiks ...
buat Bapak

alam memberikan tanda tanda
bahwa engkau dimilikinya
ingin ku tinju
tapi tanganku dibuatnya

tetes peluh mu
kuminum bersama tuak
asa mu
kubuat berlari dalam mimpi

ini keringatku
hiruplah , Pak ...
ini darahku ...
hisaplah , Pak ...
(harapku...)

Sini,
aku gantikan menyapu jalan
cuci tanganmu
mandilah
(inginku ...)

10 Maret 2002

kasih yang tak terbendung..

hanya itu dulu.

09 Maret 2002

bagaimana caranya tak mencintaimu?
1. jangan melihat
2. jangan mendengar
3. jangan mengendus
4. jangan mencicipi
5. jangan menyentuh

6. jangan hidup
kita punya pojok itu
pojok itu punya kita
kita itu punya pojok
kita punya itu pojok
pojok punya kita itu
punya itu pojok kita
punya kita itu pojok


kemarikan kunci mobilmu
biar aku yang mengantarmu
ke bulan, ke bintang
(ya ya, aku tahu, mobil tak bisa terbang)

tapi kita tetap bisa berandai, bukan?

08 Maret 2002

fragmen-fragmen cerita ini untuk seorang laki-laki*

Dia adalah sebuah misteri yang datang dan pergi. Aku bertemu dengan misteri itu pada sebuah senja yang mendung, udaranya pekat, juga lengket khas dengan bau hujan yang menjadi prolog. Waktu itu ia mengenakan sweater merah pucat dengan sablon di dada kiri berwarna putih, samar dan tak terbaca, singkatnya nyaris hilang dan celana jeans biru muda dengan lubang di lutut kanan. Matanya seperti elang langsung menatap langsung dan menusuk, hidungnya bangir, kulitnya coklat kehitaman, rambutnya cukup pendek tetapi tidak rapi seperti cukuran standard seorang serdadu. Tetapi dia bukanlah seorang serdadu, dia seorang pecinta yang datang untuk menagih sebuah hati.

Dia datang untukku. Hatiku.

Ruang tamu rumah itu, kursi-kursinya cukup tua sehingga kempis dan bantalannya agak melesak ke dalam. Dia duduk di pojokan salah satu kursi dan aku menempatkan diri di hadapannya. Tangannya menyentuh dagu sewaktu aku melewatinya. Aku mengamatinya, tajam matanya, kulit sawo matangnya, dadanya, pundak dan detil-detik tubuhnya. Entah kapan aku menjadi begitu jalang dalam liarnya tatapan, terutama padanya, si pecinta berbaju merah pucat.

Aku pun seorang pecinta, dan aku datang untuknya, tetapi kemejaku kotak-kotak warna krem dan celanaku hitam. Itulah yang membedakan kami.

Dan kami tiba di tempat itu untuk bercinta, satu hari satu malam, dimana-mana. Senja sudah menagih janji kami untuk bercinta, karena malam akan tiba dan waktu akan menjadi semakin pendek. Tetapi cinta bukanlah sekedar basa-basi, waktu mengujinya. Lalu kami bercinta dengan kata, dengan udara, dengan ciuman, dengan tubuh, dengan jiwa, masih dimana-mana.

Si pecinta pergi keesokan harinya, meninggalkan satu amplop coklat yang berisi sebuah foto pribadi, tumpukan pembatas buku dan segenggam kartu nama. Aku lari mengejar kereta, untuk pergi dan kembali. Karena dia masih sebuah misteri, juga aku.

Sebulan kemudian aku kembali, masih dengan kereta yang itu-itu juga melewati jalur yang itu-itu juga. Kota itu masih sama, dan si pecinta masih datang dengan keagresifan yang sama, dengan tatapan yang sama dan dengan hati yang sama. Aku datang membawa diriku seorang, demi sebuah penjagalan yang diatur oleh waktu setahun kemudian.

Dia menyambut dengan senyum, kubalas dengan senyum. Kami ingin mati di buaian matras bermalam-malam berikutnya sambil mengali lubang kuburan dalam kamarnya yang tak begitu dalam tetapi menembus langit malam. Kamar itu tidak kutemukan sebulan kemudian, melainkan sebuah kamar yang merah karena luka, mungkin oleh bekas darah.

“Dimana kuburan kita?” aku bertanya pada si pecinta.
“Sudah hilang karena harga sewanya semakin mahal, aku membakarnya tadi malam lalu kutebar di dalam kabut merah untuk mewarnai kamar ini. Setahuku kau suka merah, bukankah begitu?”

Kamar itu kuciumi, masih segar memang dengan api yang membara dan merah yang begitu menawan. Dia kuciumi, masih segar dengan bau sabun setelah mandi jam lima sore..............

(bersambung)


*semoga bisa berlanjut menjadi sebuah buku

Sebuah cuplikan yang bagus sekali dari novel "Ziarah"
karya Iwan Simatupang...

-------------------------------------------------------

Bekas pelukis mengejar sang mandor.

"Ada apa?" tanya mandor, kesal, gerah, lapar.

"Saya ingin bertanya sesuatu."

"Apa?"

"Saya... ingin menanyakan kuburan seseorang yang semasa
hidupnya adalah isteri saya."

Sang mandor tercengang. Baik susunan kalimat ini,
maupun artinya, sangatlah asing bagi pendengarannya.
Tapi dia segera dapat menyembunyikan perasaannya.
Tentulah dia ini seorang sarjana, atau dulu pernah jadi
dosen, pikirnya. Orang-orang dari lingkungan
universitas suka bicara begituan.

"Siapa nama isteri Saudara?"

Bekas pelukis tertawa.

"Saudara boleh percaya atau tidak, tapi saya sendiri
tak tahu."

Mandor mulai merasa kesal. Ah! pikirnya, ini cuma
olok-olok saja. Olok-olok dari orang-orang perguruan
tinggi. Adakah dia, seorang mandor sederhana, harus
meladeni tingkah orang angkuh seperti ini? Lagi pula,
hari telah mulai kelam, dan isterinya menunggu dengan
makan malam di rumahnya.

"Kalau begitu, bagaimana saya dapat menunjukkan kepada
Saudara di mana kuburan isteri Saudara itu?"

"Barangkali saya dapat memberi keterangan sedikit. Dia
meninggal belum berapa lama berselang dan..."

"Berapa lama persis?"

Kembali bekas pelukis menyeringai. Persetan! pikirnya,
aku selama ini hidup tanpa memperhatikan waktu. Bila,
ya bila dia dikubur? Dia menyeringai terus. Sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya dia berkata lagi:

"Saudara boleh percaya atau tidak, tapi saya tak tahu."

Habislah sabar sang mandor. Teka-teki silang yang
disodorkan kepadanya ini, tak mau dia terima lebih lama
lagi.

"Kalau begitu, apa yang Saudara ketahui?!"

Teriaknya, menggema ke seluruh pekuburan yang telah
kelam sama sekali itu. Suara serangga-serangga malam
telah mulai kedengaran.

Sungguh terkejut bekas pelukis dibuat mandor berteriak
itu. Apa haknya membentaknya sedemikian rupa? Apa
kesalahan yang telah dilakukannya? Adakah di luar
kaidah-kaidah kesusilaan atau tata krama menanyakan
kuburan sesama manusia, terlebih bila sesama manusia
itu di masa hidupnya adalah kenalan kita, bahkan isteri
kita sendiri? Isteri kita yang...

Air yang teramat panas membasahi sudut-sudut matanya.
Tidak! Penghinaan di malam kelam ini tak dapat
diterimanya. Tak mesti diterimanya. Satu hasrat
berteriak, ya untuk juga berteriak seperti mandor tadi,
padat hadir dalam dadanya. Berteriak sekuat-kuatnya,
seperti yang belum pernah dilakukannya dalam hidupnya.

"Saudara bertanya apa yang saya ketahui, hah? Dengarkan
baik-baik, hai kawan! Yang saya ketahui adalah, dan
hanyalah: SAYA MENCINTAI ISTERI SAYA-A-A-A........!!!"
DISKUSI PENULIS MUDA

"ketika suatu pagi Gregor Samsa terbangun dari mimpi yang buruk,
ia mendapati dirinya telah berubah menjadi FRANZ KAFKA."


Komunitas Sastra Bumi Manusia,
Komunitas Budaya Musyawarah Burung,
dan Eksotika Karmawibhangga Indonesia

dalam rangka peluncuran tiga buku karya para penulis muda:
- Kitab Yang Tidak Suci (Puthut EA)
- Beatniks, dan puisi-puisi lainnya (Nuruddin Asyhadie)
- Bumi Manusia 1: Ini ... Sirkus Senyum (antologi tulisan)

menyelenggarakan diskusi bertema "Satu Senyum Bagi Satu Penulis Muda"
dengan pembicara:
- Linda Christanty (Komunitas Bumi Manusia)
- Eka Budianta (penulis, pengamat Sastra)
moderator:
- Agung Yudhawiranata (Komunitas Budaya Musyawarah Burung)

hari Kamis, 14 Maret 2002, mulai jam 16.00 wib
di Studio 2 EKI
Jl. Padang no.30 Jakarta Pusat
(belakang Pasaraya Manggarai)

"Memang menyenangkan menjadi penulis hebat bagaikan Kafka, meski
sekedar mimpi.
Tapi itu bisa diraih, dan bisa bukan sekedar mimpi.
Di sinilah, kita, belajar menulis bersama."


Untuk konfirmasi hubungi:
Agung Yudhawiranata (0812-9538431)
Astrid Reza Widjaja (0816-4822074)

07 Maret 2002

biarkanlah kita bernafas sebentar
aku sudah telanjang
langkah ku terhenti di sebuah warung pojok
di bilangan daerah Blok P...
teh botol ini tak menghilangkan dahaga ku
sebungkus kacang pun tak jua menghilangkan lapar ku
ku sulut sebatang rokok hanya untuk mengingatkan ku
akan kehadiran mu...
AKAN KEHADIRAN MU.....!!!

warung yang juga tempat tinggal
bagi sepasang suami istri ini
rasanya tidak terlalu besar untuk ditempati berdua
kasurnya pun hanya cukup untuk satu orang,
dan aku bisa melihat jelas
dapur dan kamar mandi yang mereka punya...
tapi berbahagialah mereka,
karna mereka tidak dipersulit
oleh masalah tempat dan waktu

Ku bunuh saja rindu ku ....ya????
demi tuhan, cabut akarnya
bakar benalu itu, tilap hidupnya
demi setan dan neraka jahanam
babat dan binasakan
sebelum ia buat kau karam

aku adalah bara yang melompat
dari letupan kayu bakar yang basah
serpihan serpihan besi renta
yang coklat termakan karat

dan aku adalah daun gugur
diatas tanah melebur

06 Maret 2002

kadang kau terlalu banyak bicara
terlalu banyak suara
padahal kadang kita hanya perlu mencerna
mendengar makna
yang hendak diutarakan suasana
satu percakapan malam yang gila
pagi yang terlalu pagi
untuk sepasang puncak kerinduan
lalu nafsu yang tergantung pada gagang telpon

tepat jam satu pagi
tubuh kita berdentang

05 Maret 2002

dia memancarkan cahaya kehidupan
raut warnanya membiaskan sebuah arti
dia berdiri tegak laksana karang yang terhempas ombak
didera angin laut yang tidak kenal kasihan
menghancurkan ukiran-ukiran alam
meninggalkan retakan-retakan

kini dia berada dalam gemgamanku
dengan sejuta guratan menghiasi tubuhnya
ya.. tubuhnya begitu rapuh
dihempas ombak-ombak nakal yang tidak bertanggungjawab
mengoyakkan selaput kehidupan yang melingkupi seluruh tubuhnya

ya... aku sekarang memilikinya
sebuah GUCCI yang penuh dengan retakan
seseorang meninggalkannya untukku kala senja mulai turun
sekarang aku tahu... tidak ada yang bisa aku perbuat
hanya menjaga agar dia tidak hancur ditangan manusia yang usil
aku akan menjaganya... menyimpan didalam hati...
demi sebuah rasa...

(untuk yang menggoreskan guratan cinta... indriaty-maureen.. hehe

04 Maret 2002

sebetulnya bisa saja kalau kau mau
membunuhku dengan pisau
yang ada di balik kelopak matamu

atau membutakanku saat malam
dengan api yang bersemayam
yang kau samarkan rambutmu hitam

atau mungkin mencekikku
dengan wangi parfum
yang walau kau tak disitu,
tetap mengharum

tapi tidak
kau tidak, aku tidak
aku masih disini
dan kau masih disini

kemudian malam berlalu
berjinjit menjinjing sepatu
Jiwa Terkepal
-Pablo Neruda-
terjemahan guwe :D

Kita bahkan kehilangan keremangan ini
Tak seorangpun malam ini melihat kita saling bergenggam tangan
sementara malam yang biru jatuh ke bumi

Aku melihat dari jendelaku
pestapora matahari terbenam di puncak pegunungan yang jauh

Suatu ketika, sekeping matahari
terbakar seperti koin di tanganku

Aku mengenangmu dengan jiwaku terkepal
di dalam kesedihanku yang kau kenal

Dimana kau ketika itu?
Siapa lagi yang ada disitu?
Kata apa?
Mengapa kemauan-cinta menghampiriku tiba-tiba
ketika aku sedih dan merasa kau jauh?

Buku yang selalu tertutup di senjakala itu, jatuh
dan baju hangatku bergelung seperti anjing terluka di kakiku

Selalu, selalu kau surut menembus malam
kearah arca-arca yang menghapuskan remang
Celana (3)

Ia telah mendapatkan celana idaman yang lama
didambakan, meskipun untuk itu ia harus
berkeliling kota dan masuk ke setiap toko busana.

Ia memantas-mantas celananya di cermin
sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya pantan tepos
yang sok perkasa. "Ini asli buatan Amerika,"
katanya kepada si tolol yang berlagak
di dalam kaca.

Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan. Ia memamerkan
celananya: "Ini asli buatan Amerika."

Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang
bertengger di dalam celana. Ia sewot juga.
"Buka dan buang celanamu!"

Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang
gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah ke mana.

(1996)
-dikutip dari kumpulan puisi Joko Pinurbo "Celana"(1999)

Ranjang (10)

Pada suatu petang ia datang ke taman
yang terhampar hijau di atas ranjang.

Ia mencopot baju, menyalakan lampu
kemudian membaca buku di atas makam.

"Ini tempat suci. Dilarang membaca buku porno
di sini," kata seseorang dari balik nisan.

Ia lari tunggang langgang sebelum sempat
mengenakan kembali pakaian.

Ia perempuan gila, dulu pernah memperkosa Adam
dan menghabisinya di atas ranjang.

(1998)
Joko Pinurbo

-dikutip dari kumpulan puisi Joko Pinurbo "Celana"(1999)

Poster Setengah Telanjang
-untuk AM

Si kecil yang suka makan es krin itu sudah besar
dan perawan, sudah tidak pemalu dan ingusan
Ia gemar melucu dan pintar juga menggodamu
"Kau penyair ya? Kutahu itu dari kepalamu yang
botak dan licin seperti semangka."

Kau tergoda dan ingin lebih lama terpana ketika
matanya mengerjap dan bulan muncrat di atas
rambutnya yang hitam pekat.

Malam heboh sekali. Orang-orang mulai
resah menunggu kereta.
"Perempuan, kau mau ikut?"
"Emoh ah,"katanya.

Kereta sudah siap. Para pelayat berjejal di dalam
gerbong sambil melambai-lambaikan bendera.
"Perempuan, ikutlah bersama kami.
Kita akan pergi menyambut revolusi."

"Ah revolusi. Revolusi telah kulipat
dan kuselipkan ke dalam beha."

"Lancang benar ia. Berani menantang kita
dengan senyumnya yang sangat subversif.
Ia sungguh berbahaya."

Lonceng terakhir telah selesai menyanyikan
Sepasang Mata Bola. Tinggallah malam yang redam,
langit yang diam. Tinggallah air mata yang menetes
pelan ke dalam segelas bir yang menempel pada
dada yang setengah terbuka, setengah merdeka.

(1997)
Joko Pinurbo

-dikutip dari kumpulan puisi Joko Pinurbo "Celana"(1999)
imam
bumi sedang bercinta dengan sang waktu
keringat meleleh, tersumbat sumpah serapah,
kerinduan tak terlunasi, kekasih yang hilang musnah
akhirnya hanya ada 'satu'
langit merekah merah
membara berdarah
air matanya membanjir
benar benar membanjir
dan kita hanyut, dalam genggaman bulan yang terkapar
pucat menggelepar

03 Maret 2002

gelap

kamar gelap
dan ada kabut yang mengendap
kegairahan yang tiarap
di malam yang lindap

pengap!
di sini terlalu pengap
getaran yang begitu saja menguap
menit-menit yang tak lagi lengkap

karena tak ada lagi cinta yang meluap
dan tubuh untuk disesap

cuma sepi yang mesti diserap
diantara kebisingan yang merayap
rindu dalam-dalam

sudah, sudah
pergi sana... biar sepi di sini, biar sunyi
biar angin kusambut sendiri
malam ini bintang sendiri. kaku diam.
dan sunyi mencuri malam

sudah... pergi sana
jauh. jangan di sini.
malam biar malam
jahat biar jahat
tak perlu malaikat.
nisan, upacara, kubur dalam-dalam semua.
jangan ada lagu. jangan ada puisi.
biar sepi
biar sunyi
aku senang sendiri
aku rindu diriku. rindu dalam.
dalam-dalam
malam ini kita pesta!

malam ini kita pesta besar.
kita bagi makanan hasil curian kita
jejalkan ke lambung sialan ini
yang tak pernah kenyang dengan iman dan takwa

kita pesta besar malam ini. mabuk-mabukan.
dengan air paling dosa dan gelas paling bejat

jangan ada yang ganggu kita. tak bisa.
kita tak bisa diganggu:
kita setan paling setan
hitam paling hitam kita

kita pesta besar malam ini;
sepulang ibadah di tempat tuhan tak ditemukan

pesta besar malam ini:
mencari tuhan yang baik hati...
pernah
diantara bumi dan awan
melepaskan jiwa
memindahkan pada burung

tak berumah
hinggapi dahan dahan
selidiki rasa
selidiki cinta

sesekali melihat barat
awan hitam yang tercipta
dari kepakan kepakan liar
murung ...

semua sedang dalam perjalanan
semua sedang dalam terbangnya
cari langka
berhati

nevermind ...
menyambuti ajakan astrid ber-neruda ria :)

Tawamu (Tu Risa)
Pablo Neruda

Ambil rotiku, kalau kau ingin
Sekap udara dariku, tetapi
jangan kau simpan dariku tawamu.

Jangan rebut mawar,
bunga tombak yang kau petik,
semburan air yang tiba-tiba
memancar dari kegembiraanmu,
ombak keperakan yang tiba-tiba
yang lahir dalam dirimu

Perjuanganku berat, dan aku kembali
dengan pandangan yang lelah
dari pemandangan bumi yang tak berubah,
tetapi ketika tawamu datang,
ia membubung ke langit mencariku
dan ia membukakanku
semua pintu-pintu kehidupan

Cintaku, dalam detik-detik tergelap
tawamu terbebas, dan jika tiba-tiba
engkau melihat darahku menodai kerikil-kerikil jalanan,
tertawalah, karena tawamu,
adalah pedang baru bagi tanganku

Di sekitar laut musim gugur,
tawamu harus mengangkasa
dalam ujudnya yang berbuih-buih,
dan di musim semi, kasih,
aku mendambakan tawamu,
seperti bunga yang kunanti,
bunga biru, mawar
dari negeriku yang menggema.

Tertawalah di malam hari,
di siang hari, pada rembulan
tertawalah pada jalanan pulau ini
yang meliuk-liuk
tertawalah pada lelaki kecil ceroboh
yang mencintaimu ini,
tetapi ketika aku membuka mata, dan menutupnya,
ketika langkah-langkahku kuayun pergi,
ketika mereka datang,
jauhkan roti, udara,
cahaya, musim semi dariku
tapi jangan pernah kau simpan dariku tawamu
karena aku akan mati
"kemarikan cawan itu," katamu
aku mangambil asbak, mulai membakar tembakau
"kita ini terlalu bodoh, maka itu kita larut."
(rupanya kau mulai jemu)
aku masih duduk terpukau
menikmati langit tua yang mulai berkerut, cemberut

"sebetulnya aku tak peduli," kataku
dan kau meminum racunmu. wangi rum
"dan kita tidak bodoh. sama sekali tidak!"
(aku masih ingin kau di dekatku)
kau kemudian tersenyum
langit mulai menggelegak



lalu sore membunuhku dengan kelam
merampas langit ungu
dan malam datang begitu kejam

02 Maret 2002

aku adalah si manusia kayu
yang terhanyut oleh arus cinta
perkenalkan,
nama saya imam
kemana saja, setan?
kata nabi disore hari yang terang.

hanya berputar dan mengelilingi peradaban.
aku sebenernya lelah.
bosan!
kamu tidak kah merasa?

hmm...bagaimana bisa?
lihatlah diujung belahan sana, membara masih memerah.
itu akibat mu bukan?

secupak pun tak ada karya ku disana.
mungkin kalian dan kamu kecewa
kenapa aku tidak seperti dulu lagi.
aku hanya bosan, jenuh itu saja.

masih ada kiranya yang lebih mengerikan dibandingkan karya ku.
manusia, ya manusia!
dia melebihi aku.
tidak kah kau sudah lama tahu?
atau diam diam tidak tahu?
agh, nabi!
kau pun ternyata manusia!
keparat!!!
(ada yg mau ngasih judul ini tulisan?)

01 Maret 2002

geocities bakal meniadakan fasilitas ftp access-nya mulai tanggal 2 april 2002 !
astrid, gimana nih kelangsungan "hanya_kata"?
apakah bakal pindah site?