14 Oktober 2002

APAKAH KAU TAHU JIKA AKU INGIN MATI DENGAN MELIHAT BINTANG DI LANGIT MENGHITAM?

Manik-manik di gelangku berhamburan, jatuh butir per butir. Merah, oranye lalu merah lagi lalu oranye lagi. Warna-warna yang terlalu dekat denganku. Kejatuhannya mengingatkanku dengan ledakan di gedung tinggi menyusul orang-orang yang terjun dari langit. Langit merah penuh debu dan daging yang hancur jadi abu. Mata-mata menangis sampai merah gagu, dengan bibir yang juga pilu.

Aku mengingatmu di menit yang kesekian, sewaktu sel-sel di otakku macet dan tidak mau mengalir. Tiga jam sudah aku bunuh diri hari ini, tidur di bawah pancaran mentari yang menembus siluet jendela pagi-pagi sekali. Tetapi aku tak ingat berapa motor sudah melintas di depan jendela kamarmu waktu itu, pukul berapa waktu itu, yang kuingat hanya karpet merahmu dengan bekas tumpahan kopi yang membentuk peta sebuah pulau yang belantara.

Ingin mati aku ditikammu malam ini, biar tidak bangun lagi, biar nafas hilang jadi asap. Biar dunia terlelap. Diam di titik nol derajat dan tidak bergerak. Waktu buta dan semua bentuk alam buta. Tuhan buta. Biarkan kita terkubur dalam gelap.

Dan kucium bau tanah di lapangnya dadamu…

Kukira kusudah tiba di tumpukan nisan kita yang keseribu dan permukaannya yang dingin membatu. Tetapi yang terasa hanya urat tulang punggungku yang menjadi kaku, bukan bau tanah atau dinginnya batu. Hanya wangi, wangi melati dan rumput yang masih segar bugar memekar. Ini bukan pagi, ini bukan juga siang, apalagi malam, waktu hanya datang untuk mengawang-awang. Bukan seperti tendangan sepakbola yang langsung mengarah ke gawang, dia tidak menentukan kalah atau menang.

Aku hanya seperti mengejar kata-kataku yang entah menginjak jumlahnya yang keberapa ribu, ratusan ribu, juta-juta atau mungkin satu milyard sudah, adakah kita menghitung sedemikian. Lagi aku terbangun di sebuah ruang yang kosong di bawah langit-langit yang samasekali putih, pekat sekali seperti baju perawat rumah sakit yang berbau antiseptik. Kain kasur ini putih, bersih sekali dengan deterjen pemutih seperti di iklan-iklan televisi. Seperti kafan sahutku pelan.

Mengapa aku hanya bicara tentang kematian, aku mendapatkan pertanyaan-pertanyaan itu sewaktu kukorek lubang telingaku. Karena aku hanya akan menunggu huruf-huruf nisanmu yang entah tergores di atas batu, semen ataupun sepotong kayu. Satu tarikan garis lurus yang menandakan tempat terjun bebasmu atau cetakan-cetakan huruf rapi yang bagaikan stensilan. Aku memang bicara akan jurang dan kedalamannya yang tak terhitungkan, dimana kau melayang-layang di antara tatapan bintang-bintang suatu malam.

Apakah perasaanku saja yang mengatakan tentang umur kita yang tak akan panjang?

Bukan, itu bukan hanya perasaanku. Aku melihat sosokmu malam itu, lengkap dengan baju, bukan telanjang dengan jalang. Dari pucuk dahanan pohon tebing itu, sekitar dua meter di atas tempat dudukku di dahan yang lebih menjorok ke dalam. Aku benar-benar melihat sosokmu waktu itu, ketika bulan purnama membentuk lekuk tubuhmu dan bintang-bintang kau tatapi dengan mata yang terbuka. Kau berkata “Apakah kau tahu jika aku ingin mati dengan melihat bintang di langit menghitam?”, aku terdiam. Sepuluh detik, tiga puluh detik, satu menit dan kesunyian mencapai lima menit. Kubuka mulutku untuk berkata sesuatu, tetapi suara itu berubah dengan teriakan yang menghujam dinding-dinding tebing. Karena pada kesunyian menit yang ketiga kau tersenyum dan meloncat. Jatuh, jauh dengan kepala tengadah melihat bintang-bintang.

Senyum maut, senyum kematianmu.

Semenjak itu aku tak pernah lagi melihat bintang, hanya langit-langit putih pekat, bersih dan muram. Orang-orang berbaju putih itu datang lagi, membawa suntikan, suntikan untuk ketenangan. Dan aku tak pernah lagi melihat bintang, hanya bayangan-bayangan nisanmu yang juga buram tak kelihatan.

Pogung Lor/27/06/02

Tidak ada komentar: