30 Desember 2001

hari lewat begitu cepat
ingatan diri belum merapat
surya sudah di sebelah barat
sisakan merah semburat

termenung tercekat
waktu yang begitu jahat
aku lengah dilumat
skak mat !

bumi menarikku berat
lantai sudah mengikat pantat
punggung dan dinding melekat
mata dan monitor bersahabat erat :P

di blogger kutuang kata
harap temukan diri disana
berkaca pada karya karya
anak anak manusia

teman ...
tetaplah ada
sebagai mana adanya
kita di dalam kata.
Merdeka !!!! (lho ???) :)

28 Desember 2001

sepotong cerita untuk qq

terkisah dialah tuhan dan aku setan penggoda. aku yang pernah mengecap surganya dan dicampakkan ke atas bumi. lalu aku menari-nari di liuk-liukan jalanan, mencari korban. memangsa dengan buas cermin-cermin keluguan.

aku pernah bersamanya di antara pepohonan, yang begitu hijau ranum. aku pernah melumat habis buah-buah merah delima itu sampai tak tersisa inti sarinya. dia menatapku tajam dan aku masih menjilatinya. dia hanya meringis, entah marah atau menangis.

suatu hari dia diam seribu dendam dan dilemparkannya aku ke bumi. aku kehilangan sayap-sayapku, aku mati dan patah. putihku berubah jadi merah darah. sungai-sungai pun berubah warna tertumpah berkaleng-kaleng cat merah pekat dari langit. hari itu semua gelap hitam dan terbakar merah darah amarah. bumi tak punya lagi matahari dan matahari tak lagi sudi menyinari bumi. hanya api, hanya api, membakar bumi. neraka bumi. seperti kiamat yang datang, aku mengerang dan berteriak TUHAN!

dia yang kupuja, kusembah, kucinta, satu-satunya. menghempaskanku begitu saja, sampai mati rasa tulang-tulangku merasai kerasnya tanah merah ini. tetapi ada yang lebih hancur daripada raga. ada yang lebih hancur daripada jiwa.

namun semuanya ada di masa yang sudah lampau. karena aku adalah hitam dan dia adalah putih. aku adalah matahari dan dia adalah hujan. aku adalah macan dan dia adalah lembu. dia adalah tuhan dan akulah setan. kami tetaplah ada walau berjarak langit dan bumi. mungkin suatu hari kami akan bersatu kembali ketika semuanya sudah menjadi keabu-abuan.

debu berdebu yang mengabu.
tiga gelas duduk di atas meja
tertawa-tawa, menikmati masa muda,
yang mulai mengendap di dasar-dasarnya
;sebentar lagi hanya ampas yang tersisa

tiga gelas duduk di atas meja
tak lagi bening
mengering

tiga gelas duduk di atas meja
esok hari, entah dimana
seorang buyung memecahkan satu diantaranya
yang dua, disimpan entah dimana

ecaplah bangkaiku
barangkali manis rasanya, dan bergizi? tentu saja
bunuhlah aku dulu, cukup dengan kata saja
baru kemudian kau olah aku

atau, bila kau tak suka, jadikan aku pupuk
tebarkan di kaki tunas-tunas muda itu
kemudian, setelah berbuah ranum, petiklah sebelum busuk
mungkin akan kau nikmati, aku juga tak tahu

Cintailah aku

Terbawa kemasa silam
berkereta "iris"
ingatan terhujam
kenangan manis miris

Dua manusia
tak bicara
tak berkata
ini bahasa air mata

Kering kasih dunia
acuhkan tetesan rasa
yang hitam pekat
penat ...

Dua kelamin
panjatkan doa alam
tak berakhir amin
ini terlalu kelam

Bertubi kejam
buatnya mau padam
tiupan penghabisan tlah siap
tapi hati tak kunjung mantap

" cintai aku ..."
..........
.......
....
..
.

angin pelan melata
bulan palingkan muka
mata menelaga
ini bernama duka.

27 Desember 2001

suatu saat di suatu zaman
tumbuh sekuntum bunga di sudut sebuah jalan
sebuah jalan di sebuah kota
tempat yang jarang orang mendekatinya

kujulurkan tanganku untuk meraihnya
memang sama sekali tak sulit
tetapi dengan penuh pemikiran
hentakan nafas lega dan musik pun mengalun pelan

sekuntum bunga yang tumbuh di keremangan
kuambil dengan hati-hati agar tidak rusak
beberapa bagian daunnya memang agak layu
satu persatu kubuang agar tetap indah

masih di sudut jalan ini aku termenung
layangkan angan terbangkan pikiran
apa yang harus kulakukan kemudian
kutemukan sedikit jawaban

bunga ini harus kurawat agar tetap indah
akan kuberi vas dan air segar
akan kupandangi dan kuperhatikan
akan kurawat biarpun harus terluka karena durinya

biarpun kutahu bunga ini pasti akan layu
tetapi akan tetap hidup dalam kenangan
meski sudah layu bunga ini
akan tetap kusimpan di sudut kamarku yang kusam

Pondok cina, 9 Februari 1997

26 Desember 2001

pesta mungkin usai
tapi kita masih terduduk diujung meja
aku di ujung yang lain
dia mungkin masih ada diujungmu
entahlah

aku masih juga terpana
merana
dan kau gemilang dalam cahayanya
disini kupahat untukmu singgasana
mungkin sekepakan sayap burung kolibri kau duduk diatasnya
esok, lusa

tertatih-tatih
aku merintih
masih tersisa harummu, kini pedih
sementara dalam lemari; malam kita dalam lipatan rapih

disana, kita sempat terpana
dalam alur yang mungkin, mungkin hina

22 Desember 2001

aku ini si malin kundang
tidak mengenal kelamin
lelaki atau perempuan

aku dikutuk-kutuki menjadi batu
disumpahi sampai hatiku itu beku
dan sekarang keras seperti batu

aku ini si malin kundang
anak hilang dari peradaban
bukan timur dan juga bukan barat
aku ini tamu yang tak diundang

si malin kundang
mencoba berkumandang
tetapi hanya diizinkan berdendang!
Tersebut kisah
Burung dan dahan lemah
dalam suatu waktu
tak kira bertemu :

Kepak sayap patah
dari asa yang lemah
menukik merendah
tuk hentikan sejenak jelajah

Satu dahan rapuh
pandangi langit jauh
tunggu saat kebumi jatuh.
menjadi tak ber-ruh

Suatu benda putih mendekat
ternyata burung penuh cacat
datang mendarat
dengan nafas sekarat

"Aku pilih engkau"
"yang tak hijau tak kuat"
"hanya bisa untuku"
"hanya muat untuk aku"


"Ceritakan padaku tentang dunia"
"ceritakan padaku tentang luka"
"kisahkan cinta"
"kisahkan dusta"


Jadilah mereka
menjelajah surga dan neraka
mengantar bulan pergi
mencuri sejumput pagi
tunggu datangnya hari.

21 Desember 2001

mungkin seharusnya tak kusentuh amplop hijau itu
karena kini dirimu tiba-tiba jadi satu variabel baru
harusnya tak usah kubuka amplop hijau itu
karena kini aku mulai memegangi teleponku
(nomor itu mulai jelas kembali di ingatanku)

harusnya tak kubaca isi amplop hijau itu
karena kini kau mulai bermain lagi di benakku
jeruk itu masih tercecer di tepi jalan
darimana datangnya kehidupan
di antara biji2 yang bertebaran

"seribu rupiah"
kata si penjual jeruk
matanya nanar
kantung jeruk itu masih tersisa berkantung-kantung

20 Desember 2001

aku adalah sisi gelap bulan
yang tak pernah tersapa olehmu
yang tak punya kesempatan untuk tampak
aku adalah sisi gelap bulan
yang selalu terlupakan, seakan semu
yang kelam, gelap, terbuang, terserak
pijehnulis

18 Desember 2001

lima mata merah
tersusun berundak
beralas tanah
tak geming beranjak

dua mata hitam
sejajar mengelam
berpijak bumi
yang semakin kini

terpatung cenung
bak tertenung
tersesat hilang
di jalan pulang

17 Desember 2001

.....

16 Desember 2001

laki-laki
dengan gitar kayu
lagu2nya terlalu
terlalu merindukan kalbu

13 Desember 2001

kunikmati ketiadaan arti...
menyadari bahwa kini aku sendiri
bebas... seperti layaknya awal mula aku dilahirkan
dan mungkin...
tidak semua kebebasan itu terasa manis
karena hingga kini... aku masih letih untuk bangkit...
langit sudah mulai nila wahai bumiku,
dan aku harus menyerahkanmu pada siang hari

11 Desember 2001

tentu saja kau merindukan aurora
kau adalah kanvasnya
kau adalah pemandangan bumi utara
tempat aurora berdansa
untuk w.a.

jika dosa terbesar manusia adalah untuk dilahirkan, maka biarlah kita menjadi mahkluk-mahkluk penuh dosa.

jika kerap kali kita menuhankan atau mensyetankan diri ini, maka biarlah kita menjadi tuhan dan menjadi setan pada saat yang sama.

karena malam ini kita dilahirkan kembali di bawah rangkuman bintang dan bulan keperakan. jika ombak-ombak itu bertanya, maka pantai kitalah yang akan menjawab. lalu hidup pun tiba-tiba melupakan konstruksi dan sandiwara...
berdosakah
jika ada yang memperlihatkan ketelanjangan ini begitu saja
biru
di antara mega-mega
aku baru sadar dengan gunung-gunung yang mengelilingi kotaku
b u i t e n z o r g
"out of sorrow" begitu kata ibuku
hanya karena angin hari itu
semuanya menjadi begitu polos
tanpa sehelai awan yang menutupi

09 Desember 2001

pagi pagi
terpental ke kutub sendiri
menjauh ke arah sunyi
ditemani bunyi dunia sepi

Air membeku
bergerak tak laju
putih ...
dingin ...

Menggigil ...
tak bisa memanggil
sekarat ...
ajal sudah mendekat

dia memandangi aku
dengan tatapan kutub
mata seputih es
berkilat pantulkan diri

Dari sudut matanya
darah menetes
dari sudut mataku
air salju merembes

Salju menebal
mendaki sampai kepala
memutih ...
mengaku beku.


08 Desember 2001

akan kubunuh matahari kali ini
biar tak ada lagi yang
menjemputmu pagi-pagi

dan tuntas cintaku sebelum subuh

07 Desember 2001

mungkin kalau aku musisi,
akan kugubah nada dan kata untukmu, gaung dari melodi yang meluncur dari bibirmu
mungkin kalau aku pelukis,
akan kulukis dunia luarbiasa yang kulihat di balik matamu

tapi aku hanya aku
hanya ini yang aku bisa

06 Desember 2001

bergunung-gunung mereka menampakkan diri
hanya untuk suatu pagi
sadarkah manusia
sewaktu pelan-pelan alam beringsut di hadapannya
Berputar melingkar
bundar
Berjajar membanjar
datar

Naik menanjak
melesak
Jatuh rubuh
rapuh

Si compang riang
entah senang apa
Si camping meradang
entah marah siapa

Senyuman tak berdiri
tak termengerti
Mata terdalam
tak terselam

hi hi hi hi hi ....
mimpiku menyata
ha ha ha ha
nyataku ilusi

05 Desember 2001

Ternyata aku harus tidak bersayap
supaya tidak terbang
melayang ...
usir selang

Ternyata aku harus tak berinsang
supaya tidak berenang
selam ....
pendekkan rentang

Ternyata aku memang harus mati
supaya tidak kekal
terkubur ...
manjadi tanah

Karena aku
terlalu ...
mencintaimu.
Malam Biru
untuk w.a.

lalu padamu
tertinggal warna-warna biru
di laut-laut yang buntu
dan matamu yang kian terpaku

pada langit malam yang datang berkeluarga
kita bertanya-tanya tentang tuhan yang tiada
desiran angin tiba-tiba menggigil kelam

sampailah kita pada titik-titik rancu
di suatu subuh yang kian membeku
kataku menjadi katamu
katamu menjadi kataku
: ketika itu dunia berputar menjadi satu

garam laut pun menempel pada tubuh-tubuh itu
di bawah ketikan-ketikan lampu

matamu yang masih terpaku
pada malam
dan pada biru

04 Desember 2001

malam ini kau adalah lansekap bumi belahan utara sana
baju putihmu adalah salju,
matamu adalah bintang
rambutmu langit malam gemilang

indah, indah sekali

aku ingin menjadi aurora borealis
yang bisa menikmatimu sepanjang malam
dan aku takkan keberatan menghilang
saat pagi menjelang
I

bumi dikutuk mencintai mentari tanpa mampu menjamahnya
yang bisa ia lakukan hanya mengelilingi mentari
; berharap mentari melihat ia menari

mentari mencintai bumi sepenuh hati
bukan dengan cara yang diinginkan bumi
; ia dikutuk tak bisa mendekati bumi selamanya

karena ia tahu, bumi akan hangus terbakar olehnya

II

kemudian, lima miliar tarian kemudian, mentari luluh
atau mungkin hanya lelah

mentari padam, ia relakan binarnya hilang ditelan angkasa
walau karena itu, ia harus binasa

dan bumi binasa bersamanya

02 des 01

03 Desember 2001

mandikan aku dengan katamu
mandikan aku
sebelum aku kering, membusuk dan membatu

mandikan aku dengan katamu
kata apa saja yang kau mau
dan aku akan memandikanmu
mungkin sedikit kau beri binar matamu larut bersamaku

udara malam ini belum lagi menghantar pesanmu
sementara asap-asap membakar paru-paruku
; mengalihkan otakku dari berdarahnya jantungku

mandikan aku dengan katamu
kata apa saja
wahai mutiara emas diatas sana,
aku memujamu dibawah sini
aku, kelereng biru kusam tak berharga
maukah engkau melihatku menari?

semua nyawaku adalah milikmu
segala angin dan badaiku,
lautanku yang bergejolak adalah karenamu
tetumbuhan yang menghunjam dalam ke tubuhku
tumbuh dan mekar dengan geloramu
dan lihatlah gurunku terbakar dengan semerbak aromamu

wahai mutiaraku, aku memujamu
aku memuja mahkotamu yang menyapa pagi hariku
aku memuja bintik hitam di permukaanmu
aku memuja partikelmu yang menikam atmosfirku

semua senyawaku bereaksi untukmu, cahayaku
dan aku hanya bisa disini, terberangus dalam orbitku
kita pernah satu, ingatkah engkau?
dan kini perihelionku pun masih terlalu jauh,

kini aku berputar berkisar
..terdampar


lihatlah aku menari
wahai
.
.
mentari

02 des 01

02 Desember 2001

pulau itu mlikku pribadi!
aku kesana tiap kali, selalu sendiri
pulau itu tak pernah tertutup untukku.
ia selalu disana, terpaku
dan seringkali aku menemukan diriku disana, berdiri
dan di pantai-pantainya aku mandi

pulau itu milikku
ia hanya punya gelap malam, tak kenal siang
walau panasnya bikin sesak dada,
tapi di hati, hanya dingin yang ada
dan seringkali disana diriku kujerang
sambil berharap-harap bisa lepas semua kulit sepiku

2 des 01
Natal datang menjelang
sebuah perasaan rawan datang
hatiku ingin surga
tubuhku anggota neraka

Tuhan ....
aku ingat Kamu hari ini...