26 Februari 2004

Ada sesuatu membawamu kesini
Begitu juga aku...
Tak ada yang bisa terlupakan
Karena tempat inilah kita di besarkan

25 Februari 2004

25 pebruari 2004
semalam kulengkapi hariku dengan makan malam yang lezat
tapi pagi ini aku masih sakit...
jalanan ini aku lewati dengan langkah gontai tak bersemangat, berharap yang kualami ini cuma sementara saja
tak ada yang abadi, itu kataku...
cinta? abadikah?
hm... aku tak tahu
kali terakhir, cinta yang kurasa akan abadi selamanya, ternyata harus dipaksa untuk berakhir
menyakitkan...
tapi aku pun akhirnya tahu bahwa jalan cintaku memang berliku
harus kujalani, atau aku harus berputar arah,
mencari percabangan yang sudah kulewati sebelumnya
aku berharap masih ada...

24 pebruari 2004
dan sekarang sedang kuhias kabut pagi dengan nafasku...
aku sakit...
ada sisa-sisa igauanku semalam yang sampai kini masih terngiang di kepalaku
andai semalam kau ada di sini, kau akan tahu kejujuranku...

23 pebruari 2004
bahkan untuk menjadi sahabat dalam setiap keluh kesahmu saja aku tak bisa
aku lelah...
lelah dengan setiap rasa iri yang sesekali menyapa
lelah dengan sikapmu yang selalu membuatku berada di antara pilihan "ya" dan "tidak"
aku tak pernah peduli dengan apa yang mereka katakan tentangmu
aku hanya peduli dengan apa yang kurasakan tentangmu
nyatanya... meski kau begitu dekat denganku, aku tak pernah bisa mendekati dan menyentuh hatimu
putus asa...
atau memang aku yang selama ini terlalu lemah, membuatku selalu kalah, bahkan sebelum aku mendengar riuhnya arena pertempuran
tidak... aku tak punya hak untuk menumpahkan semua kemarahanku padamu
dan memang aku selalu membisu ketika apa yang kita perbincangkan mulai menguakkan kebenaran
seringkali aku menyulap semuanya menjadi canda ria, dan kau tertawa...
ah, andai kau tahu betapa kecewanya aku kala itu
dan aku selalu mengulangnya...
menyakitiku...
membuatku terbiasa dengan rasa itu...
namun harus kuakui
aku tak pernah bisa membencimu... tak sekalipun...

24 Februari 2004

Surat Seorang Kanak Kepada Kekasihnya

Mari kita kembali menjadi teman.
Mari kita kembali menjadi kawan
Mari kembali kepada persahabatan.
Aku ingin kembali menjadi sederhana

“ Semua akan terasa berharga, setelah kembali menjadi tiada…”

Salam sayang: Aku.

19 Februari 2004

Sebagai kaca meretak jiwa

Berusaha memahamimu.
Diam aku memeluk lukaku.
Sendiri.

Akulah perempuan bodoh itu.
Mengaca pada batu.
Mencintai seonggok ragu.

Diam.
Diamkanlah aku.
Supaya aku tak lupa nikmatnya hening.
Supaya aku tak takut kembali membening.

Cair!
Cairlah engkau hati membeku.
Kembalilah jadi embun.
Memerciklah engkau seperti dulu.

Ya.
Diamkanlah aku.
Supaya aku ingat bersyukur.
Bahwa pernah diberi umur.

" Yang sebentar itu.
Bersamamu"

(Menangis. Menatap langit. Diantara yang berjuta itu aku adalah satu. Tapi dia adalah kejora. Dan aku bukan apa-apa.)

(BuRuLi, LeBul: 18.02.2004)

17 Februari 2004

begitu ketusnya tutur katamu dimalam itu
hingga menciptakan beban-beban neraka
yang tak pernah habis tergali oleh sepotong cantol.

otak bukanlah sebuah mesin
yang terletak diantara lipatan dengkul...
engkau pun tahu dan sadar akan perihal itu
sebab muslihatmu terlalu biadab
tuk mengotori nama sebuah cinta
yang pernah engkau terapkan semasa perjalanan kita
dan kini t'lah mematahkan jaring-jaring lingkar
roda sepeda kita ditengah jalan
berserta piringanmu yang menampik s'luruh arwah-arwahku
kedalam bianglala yang kabur,
yang membisu tanpa sedetil penjelasan
ditengah pariwara dusta...
penuh dengan sandiwara phantomim...

silahkan tutup saja layar panggung sandiwaramu
kar'na ribuan penonton pun t'lah mengetahui akhir kisah kita...


SAKIT

Kenyataannya aku harus belajar berdamai dengan noda darah pada kain tempat aku mulai lagi belajar menyulam.

Seperti tempe yang menggantikan keju pada lipatan keping rotimu. Enak. Tapi bukan pilihan pertama.

Aku ini seperti jangung kepada padi. Kau akan selalu membutuhkan nasi, bukan? Laparmu takkan pernah terpenuhi.

Olehku.

-BuRuLi -

16 Februari 2004

satu-satu aku buka lagi buku harian usangku
tulisan itu masih begitu lugu
kadang aku tertawa geli membaca kekonyolan tulisanku kala itu
membodoh-bodohkan diriku yang begitu belia
entah... apakah lima atau enam tahun lagi saat aku membuka lembaran ini... aku juga akan tertawa... membodoh-bodohkan diriku saat ini...
ada yang berkembang... ada pula yang beranjak memudar...
aku tak tahu apakah aku sudah mencapai puncak dari yang namanya "kedewasaan"
atau aku hanyalah sosok kanak-kanak dalam balutan raga dewasa... aku tak bisa menilainya
aku butuh seorang juri...
untuk menilaiku...
aku butuh seorang guru...
untuk mengarahkanku...
dan aku butuh seorang murid...
untuk aku membagi pengetahuanku...
tapi lebih dari semua itu, aku membutuhkannya dalam satu orang saja...
aku masih saja membayangkan seseorang yang sempurna
tapi aku rasa aku tak membutuhkan itu
itulah mengapa aku membutuhkan seorang murid
aku masih belum menemukannya...
dan pasir waktuku terus berjatuhan turun...
menghabiskan sisa-sisa nafasku
meninggalkanku dalam kesendirian...

15 Februari 2004

Aku sedang menyemai benih.
Kupupuk tanahnya dalam pot sederhana.
Kurawat ia sedemikian rupa.

Kau lihat?
Itu tunas warna hijau muda!

-BuRuLi-

14 Februari 2004

kulihat

badan paksa setubuh,
tetes-tetes darah meluruh
nafas-nafas lepas sauh

MENJAUHHHHHHHHHH .... !!!

.... kepala-kepala alpa tubuh.

12 Februari 2004

dengki!!!
itu yang pernah terpercik kedalam rasa
saat kobaran api membakar kediaman
bersama fortuna yang datang menghembuskan nafas beku
hingga membatu-batu diseluruh langit-langit.

dikau pun menjelma seekor naga penyembur bara...
dikau pun mengeluarkan s'luruh kata-kata kehidupan...


cacian... makian...
berceloteh tentang seribu satu dengki
dengan berlandaskan alasan sejuta nestapa
yang telah berlumut disela-sela kandang macan
hanya membuat seluruh ternak-ternak melarikan diri
karena takut dan ketakutan akan ajal.
apa gunanya lagi tujuan dari hidup
yang hanya bisa bersembunyi dibalik dengki?



10 Februari 2004

: untuk mu saja

yakinkah kau sedikit cemas ada di bulan ini
ia tak akan berhenti bergayut seperti tahun yang lalu
di bulan bulan yang tanpa sadar aku berhitung lagi tentang umur
dan sedikit harapan cinta yang palsu
memandang bayanganmu yang semakin menjauh
apa kau sudah lupa padaku seseorang yang tergelincir kata kata
seseorang yang tak pernah bisa terbiasa untuk biasa
hanya akan kembali melemparkan angan
kembali mendamparkan sosokku di masa depanmu
(seseorang yang melamun dengan tolol)
pada kanak kanak yang memamerkan tawa di jendela
wajah wajah itu membuat hidupku terus mengeluh
aku menghindari tatapan itu dengan terlambat
ketika masa depan angkuh tergesa melintas
pada ian kecil yang melempar belati belati kecewa
pada ayu kecil yang mencampur warna warna di kanvas luka
was was itu masih ada padaku maukah kau menuntun ku sebagai kanak kanak yang tersesat

yogyakarta februari 2004

09 Februari 2004

Membaca Memang Berbahaya!

Itu benar. Bahwa kita bisa jatuh cinta setengah mati pada figur yang tak kita kenal hanya karena satu kata: MEMBACA

Setelah kita membaca tulisannya, lantas merasakan getar dalam dada.

Sial.
Ha ha.

selain menipuku
engkau pun t'lah menipu diri sendiri,
tak pernah sadarkah engkau?
s'tiap tulisan kata-kata luka
yang t'lah engkau goreskan dengan tulang pena
malah mengundang petaka ditelapak tangan...

dan kini engkau pun menyusulku
menelusuri perjalanan penuh duka
dan merasakan penderitaan yang sama,
penderitaan yang pernah engkau tinggalkan
tanpa ada rasa tanggung-jawab dipunggungku...
aku ingin bersulang untuk jasadmu
yah... seluruh penderitaanmu...
s'bagai tanda keadilan sang hukum karma
dan engkau pun takkan pernah luput darinya...
dari penderitaan duniawimu...

07 Februari 2004

Seikat Kata Untuk Senja

Benar katamu. Aku lebih membutuhkan samudera. Lebih daripada sekedar sebuah parit beriak kecil. Tak ada kedalaman disana. Tak ada kesungguhan. Tapi hidup memang aneh. Ia tak pernah membiarkan semuanya menjadi sedemikian sederhana. Ia meminta kita belajar merasakan: Apa itu sengsara!

-BuRuLi-

02 Februari 2004

Maka berkibarlah bendera putihku setelah engkau membuatku terjatuh kedalam pahitnya cintamu. Setan-setan datang menyapaku, mencemoohku, mereka juga menendang perutku, dadaku. Sembari tertawa mereka meneriakkan pekik kemerdekaan dengan lengkingan suara mereka. Sembari menunjukkan telunjuk mereka kekeningku, mereka juga mengatakan, "mampuslah kau!!!"

Sekarang apakah engkau telah puas menjatuhkanku kedalam perasaanku yang tak berdosa ini? Dalam tangisku, aku berharap setidaknya bayanganmu juga bisa menyayangiku, hingga mampu melelapkanku didalam sepasang bola mataku yang masih enggan tertutup dimalam yang dingin. Hei... Apakah engkau bisa mendengar teriakkanku? Jiwa ini telah terluka olehmu, engkau telah menyayat jantungku dengan kapakmu. Engkau juga menggunakan belati untuk mencungkil kedua bola mataku, sehingga pada akhirnya engkau pun mengira jikalau aku tak akan pernah tahu seluruh perbuatanmu dibelakang layar panggung sandiwaramu.

Sekarang, apakah engkau telah sudi melepaskan tali-temali yang mengikat sekujur tubuhku? Dan melepaskan kedua kakiku dari pekatnya lem perekatmu?
Aku telah muak dengan keadaan ini, yang telah membuatku simpang-siur serta gila didalam mencari bayang-bayangmu. Aku mohon... lepaskan aku. Penjara ini telah menganiayaku dari tahun ke tahun. Sudah lama aku belum makan, aku lapar... Tolong... Bawa aku keluar dan pergi dari sini, aku juga takut... Setiap malam hanya ada suara-suara lantang yang tak kukenal memanggil namaku, mereka ingin menangkapku, mereka juga ingin membuat sepasang telingaku menjadi tuli.

Mengapa engkau masih belum kemari? Aku sekarat, hanya tinggal menyisakan separuh arwah saja disini. Bersama kursi listrik ini, bersama tikus-tikus dan kecoa-kecoa ini. Aroma darah yang amis membuatku terus-menerus memuntahkan buih-buih tiada henti. Aku tersiksa tanpamu, sedangkan engkau hanya bisa tersenyum hingga tertawa saat melihatku dibalik depan terali. Engkau puas sekarang?

Engkau ingin agar aku tewas perlahan-lahan? Aku akan memberikan sebotol racun serangga untukmu, suapilah aku dengan rancun tersebut, karena aku hanya ingin mati bila berada didalam pelukanmu. Mungkin juga dengan kematianku bukan hanya bisa membuatmu tertawa terbahak-bahak. Kalau begitu tunggu apa lagi kau? Ayo... Aku menunggumu...