31 Januari 2002

seperti tak ada yang berubah...
hujan yang turun masih terasa seperti saat aku berpayung berdua denganmu setahun yang lalu
terik mentari pun masih sepanas dulu saat kita melaju di jalanan ini

tak ada yang berubah...
tapi semua terasa tak sama... tanpa kata cinta menghiasi hari-hari kita...

i miss you
terdahulu merobek kelamin ibu
terdahulu mengerti arti piatu
terdahulu membuka rimba ilmu
walau terdahulu olehmu

satu tangga hidup terlewat
tersalip untuk membingkai senyumnya
waktu adalah keramat
terasing oleh lalunya

selamat , Ti.

30 Januari 2002

bianglala... sudah lama sekali aku tak menatap indahnya...
mengambang di megahnya langit
ujung-ujungnya bagaikan rentang sayap malaikat
seperti yang pernah mereka ceritakan padaku
oh indahnya...
setelah semua kau porak porandakan
kau masih bisa tersenyum
entahlah...
mungkin hanya untuk kesan terindah
agar mereka selalu mengingat hari ini...
ah.. terlalu banyak hari yang harus diingat
tak semuanya terekam mulus di ingatan
hanya yang terburuk... dan paling menyakitkan...

29 Januari 2002

dan badan menggigil
energi yang ada menguap
tubuh kehilangan dirinya
aku kehilangan kata
sudah lama aku tak melangkah di jalan kenangan ini
begitu sunyi dan dingin...
aku lupa, seperti apa rasanya mencintai dan dicintai
ingatanku terlalu lelah untuk mengingat semuanya
agak aneh mengetahui aku masih ingat jalan ini...
saat kita berjalan bersama... menyatukan janji...
untuk kemudian.... berpisah...

kini aku masih di sini
dalam penantian

hingga...


28 Januari 2002

kabar bagus (lagi)

hidup ternyata tidak begitu menyebalkan
ketimbang sendirian di langit sana...
ketiga

inilah goresan ketiga dariku. goresan yang akan membuka segala rahasia yang ternyata tak juga tumpah di goresan pertama dan keduaku. (adakah kau membacanya?). kusebut rahasia karena memang tak pernah kuceritakan ini pada siapapun (dan apapun). kusebut goresan karena ia lahir lewat tinta busuk, pulpen sekarat yang tak akan terpakai lagi, di atas kertas kusam entah milik siapa. tapi, benarkah ini rahasia? goresan rahasia? menganggapmu tak punya mata, dan jemari hangat yang memegang kunci segala rahasia ini? jiwa yang buta, nurani yang lemah, kepekaan, sensitifitas, rasa yang sigap…yang seakan tak pernah kau miliki? (inilah goresan ketiga dariku, tak membuka apapun barangkali, goresan paling iblis yang keluar di atas meja ini, di dekat gelas kopi tanpa ampas!) malam malu-malu, mengendap mencari pagi. membentuk sudut di ruang pengap ini, sembilanpuluh derajat, siku tempatku bersandar, dan mulut yang siap muntah—cacing-cacing dendam, keganasan ular benci, di akar pohon kemurkaanku. gambarmu kututup, di manapun. di batok kepala yang retak, di segumpal daging hitam yang usang, di dinding-dinding, di pintu masuk, di langit-langit, di atas meja; dan aku tersadar, betapa banyak gambarmu kulekatkan di sini. gambar yang akan musnah kepanasan sebentar lagi, menjadikanmu asap yang membumbung, yang diceraiberaikan angin, tiap-tiap selmu, yang dilupakan, yang dimusuhi. (jadilah kau musuh, segala penolakan seribu penjuru, pintu-pintu yang tertutup rapat-rapat). dan inilah kesialan itu. Rahasia paling gelap, iblis yang menyamar, duri-duri mawar: aku mencintaimu, dengan hati yang penuh jahitan dan dendam yang sesat. karena tubuhmu barangkali, yang adalah piramid tak berujung, horizon paling jauh, gumpalan keselarasan, puncak kesenian yang abadi, sejarah yang cuma sekali, sinar yang tidak memantul tapi diserap. atau sukmamu… gulungan-gulungan halus lembut, asap tanpa api yang lugu, lingkaran hidup sejati, metamorfosa segala kemuliaan, adidaya, belulang yang bukan putih tapi hidup, magnet… pusat… titik tengah! inilah goresan ketiga dariku, rahasia dari tempat paling berliku. yang bersemburan saat bintang cuma satu, karena jendela lupa kututup. racun paling buas dari mulut yang paling busuk, matang yang terlalu. mencintaimu adalah neraka, anyir darah sobekan luka, karena surga ternyata omong kosong…

keparat, aku mencintaimu… mencintaimu… mencintaimu!!!
dan kau akan menolakku, seperti tanah yang menolak tetes hujan siang tadi, yang akan diserapnya nanti. nanti…

Jatinangor, 26 januari 2002


Surat Untuk E

Aku hanyalah seorang lelaki yang cemburu. Bayangkan, aku--yang bagimu mungkin bukan apa-apa-- cemburu. Aku cemburu bila kau bicara padanya. Aku cemburu bila kau mengkritiknya. Aku bahkan cemburu bila kau memandangnya, BAYANGKAN! Betapa lancangnya aku untuk cemburu padanya.

Entah apakah kau lihat atau tidak, tapi aku mulai merasakan sikutnya di rusukku, dan kurasa, akupun mulai menyiapkan sikutku untuk didaratkan di rusuknya. Kata-kata kami adalah pisau yang saling menyayat. Dan luka-luka yang disajikan adalah mawar-mawar yang menghantar diatas setapakmu.


Entahlah

Aku sudah pernah mencinta. Dan maafkan, kalau aku tak mengumandangkan kata-kata seperti di novel-novel romantis. Maafkan kalau aku tak akan pernah berkata padamu; "Aku tak pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya, engkau berbeda," atau semacamnya. Karena bagiku, itu terlalu muluk, terlalu cengeng, terlalu gombal. Dan tentu saja, karena bagiku itu tak benar; setiap kisah cintaku tak pernah serupa, tak pernah tak istimewa, bukan karena kau tak berbeda dan tak istimewa bagiku.

Maafkan pula bila aku tak sanggup mengucapkan, "kau adalah cinta terakhirku." Aku sudah pernah mengucapkannya pada wanita lain, di kurun hidup yang lain, dan aku mengingkarinya. (dan bagaimana pula aku bisa mengatakannya bila aku tak tahu apakah kau mencintaiku atau tidak?).

Yang bisa dan sanggup aku katakan padamu saat ini mungkin terlalu sepele untuk kutawarkan padamu; tak pernah lewat watu malam pun --dalam beberapa waktu terakhir ini-- aku terlelap tanpa sebelumnya mereka-reka rencana untuk bertemu lagi denganmu. walau sekejap saja, walau sekedipan mata, sejabatan tangan. Dan bila kau mencintaiku saat ini, aku akan menghabiskan masa bersamamu berusaha membuatmu tersenyum.

27 Januari 2002

pada noda merah
jaket-jaket bernoda darah
hati-hati yang marah
kau masih mengatakan jika kita
malaikat-malaikat kecil penggerutu
yang bermimpi revolusi pada suatu pagi
siapa yg dihinggapi
bunga yang sedang merekah kah
seutas helainya jatuh
ditelan bumi

menikam
lalu menerjang
dirimukah?

26 Januari 2002

di antara kerlipan mata dan lidah, udara pun terasa indah
juga bintang pagi yang sendiri
Di sebuah ketinggian

Langau berterbangan di atas serupa mayat putih. teronggok dengan karang dada yang rompal, terlentang di atas rumput yang tetap hijau. Hari sudah malam. Kudekati dia pelan, agar tidak menggangu. Ranting ranting patah menunjukan alur perjalanannya menuju puncak gunung ini. "Dia sengaja memilih berbaring di sini", gumanku. Duduk di sebelah kepala, melihat wajah dari dekat. Matanya bergerak gerak menyuruh aku jangan menghalangi pandangannya. Dan aku berbaring di sisinya. Langit sedang indah. Bulan separuh dan jutaan bintang tidak terhalang awan. Sesekali bintang jatuh menggaris sekejap.
Langau tetap berterbangan lalu lalang. Heiii .... mereka bukannya sedang makan. Mereka menghisap darah dari pelangi dan matahari timur dan melumurkan di dadanya. Setengah yang sudah menjadi hati kembali Sisanya masih batu."Kami sedang mempersiapkan perayaan menyambut pagi besok ", bisik raja langau.
Aku tersenyum .... berbintang berkelip tetap.
Tiba tiba aku mengantuk. Sangat ngantuk.
Ku lipat tangan di depan dadaku yang berlubang.
"Besok giliranku".

25 Januari 2002

mata ingin membuang pergi
tapi rekatnya begitu dalam
menusuk semua yang ada
menusuk semua raga
juga jiwa

dalam melayang pun
elang tak jua bisa memangsa
semua yang tertinggal di atas sarang

tetapi semua harus tetap terbang
kita berdiri dalam ketidakberdayaan
dalam ketidaksempurnaan
maka tinggal menunggu kehancuran
bai mereka yang merasa sempurna

24 Januari 2002

inilah bentuk kegilaanku yang kutumpahkan pada halaman-halaman hitam dan tinta-tinta merah merana, karena kata-kata memenuhi semua relung kepalaku, dari sela gigi sampai pojokan liang telinga, kata-kata yang melesak meruak dan tumpah ruah pada tuts-tuts keyboard ataupun bolpen-bolpen hitam. semuanya demi pembelaan sepotong bibir kelu dan sepasang mata sendu dan hati yang terlena, satu jiwa yang sedang menghancurkan kesemuan-kesemuan di muka. sebuah kebebasan yang tak butuh kepemilikan, di antara helai-helai daun cintaku.
tanganku kelu
tak bisa menulis
sebutirpun puisi

walau ada seuntai embun
serentetan got hitam
dan hujan yang bertalu
PADA SEBUAH KOTA
sebuah fiksi percobaan

Pada sebuah kota kutitipkan pesan-pesan rindu, kosong dan berisi, perenungan-persetubuhan-penulisan dan kematian yang datar. Aku tidak hanya berbicara pada muka lampu sepetak taman, yang meredup dan berderaian ditutup tirai-tirai hitam, aku berguman pada tatanan batu-batu sungai, yang meluap lalu terbang. Lonceng-lonceng berdentang pada lentikan sepasang mata perempuan, yang kau setubuhi sepanjang senja. Aku bertanya ada apakah dengan jam malam, kau jawab hanya dengan sentuhan bibir tipis, pengerebekan, pengerebekan, sahutmu berulang-ulang pada mantra-mantra pagi hari. Keesokan harinya kutuliskan sepasang surat merpati pada para penjaga moral yang tengah bermabuk-mabukan dan beronani tolol di depan video-video porno sitaan. Kukirimi mereka seekor ayam bercat bulu-bulu pink, merah dan ungu, yang jika dimasak meninggalkan warna warni lipstick pada sisa minyak pengorengan. Mereka lalu mencariku dengan parang sembari menarik ristleting-ritsleting celana panjang dan membiarkan sperma-sperma yang setengah basah membusuk di antara celana dalam. Berpetak umpatlah kami mengelilingi sudut-sudut kota dan dalam sekejap aku berkeliaran seperti kelelawar malam, bermata burung hantu dan berkawan dengan tikus-tikus got. Kuketuk pintu kamarmu suatu petang dan kau masih bercinta, menikamku dari belakang, hanya melawan kekonvensionalan katamu setelah keringat-keringat bercucuran. Berdiamlah disini bisikmu di sela asap-asap batangan rokokmu yang kesembilan, moralitas sudah kuhancurkan tadi pagi dengan ledakan bom yang membuat mereka berteriak di pojokan neraka, lanjutmu saat kaunyalakan batang rokok yang kesepuluh. Kau aman, kau aman, aku memang aman, tidakkah aku selalu merasa demikian dalam setiap dekapanmu. Tetapi sayang, aku bukanlah kesetiaan, pada tetes embun pertama aku berjingkat, menyelipkan sepasang sandal kesayanganmu dan melemparkan diri kembali pada jalanan.

Masih pada sebuah kota, dimana perut-perut kosong meneriakkan yel-yelan massa dan rakyat sunyi dari bunyi-bunyi, seolah-olah tidak ambil peduli. Kita pernah duduk menonton mereka, dengan tempat duduk kelas pertama beserta sekantung cemilan-cemilan yang kita bawa. Sandiwara bertujuan mulia yang kehilangan penontonnya satu per satu, hanya kita yang duduk tertinggal dan masih mengunyah sebutir dua butir kacang. Drama perjuangan yang tragis komentarmu, setelah semua pemain berjatuhan dan diangkut ke rumah sakit terdekat. Kita bangkit dan menepuk debu-debu yang melekat pada pantat, membuang bungkusan kacang dan berlomba lari pulang. Kita bersungguh-sungguh berlarian pulang karena tak lama terdengar suara-suara tembakan pembubaran, walau sepanjang jalan gas alam di perutmu mendesak keluar dan dua jariku mencoba menutup hidung, bau-bau amis darah, kentut masam yang berpadu dengan malam.

Di sepanjang kelokan tangga kota ini kutuliskan pesan-pesan, kugoreskan puisi-puisi dan kugantungkan prosa-prosa percobaan. Satu tembok kusam habis tertempel foto-fotomu dan satu tembok putih penuh sketsa-sketsa pensilmu. Kamarmu, ruangan yang menjadi galeri pameran kita, sewaktu kita bercinta tanpa pintu dan jendela, hanya di halaman depan terpampang rapi tulisan kami tidak butuh pengakuan dan ritual ikatan. Semua orang diam, suara televisi menjerang dan nyanyian radio bersayup-sayup kelam. Kuingin mengandung, aku ingin menghamilimu, dua buah keinginan tiba-tiba lepas kita nyatakan di antara desahan, seraya melepaskan kondom yang baru saja akan terpasang. Hari yang ditunggu selama sembilan bulan dan sepuluh hari telah tiba, aku merasakan ada sesuatu yang pecah pada perutku dan tak sadarkan diri. Dalam keremangan kulihat wajahmu terpaku menatap kematian tanpa kesedihan atau kesenduan, aku tak ingat apakah ada yang keluar dari liang rahimku, hanya pada sebuah kota, kutinggalkan sebuah kelahiran dan mimpi-mimpi pemberontakan.

Yk, 220102
kunjungan kata rumah jiwa

beberapa kata di pautNya
ketika menjadikan manusia
pada hati di dalam dada
tenunan logika kepala

kata-kata sederhana
kala tersentuh indra
bawa suatu udara purba
jauh sebelum mata terbuka

yang membawa kembali
pada rumah kediaman jiwa
sebelum usia bermula
hanya aku dan Dia.

(Tuhan, aku ingin pulang)

23 Januari 2002

Kau di sana...
ya...di sana
satu kata tunjuk jauh...karna kau jauh dari sisiku

Kau di sana...
dengan rindu yang kau punya...
sayang yang kau rasa dalam wadah cinta yang menggelora...

Aku pun tak perlu 'merasa'
cinta yang kau bawa...
cukup bagiku
kau ada di sana...

---aku di sini---
:)
:(
:p
:))
bagaimana bisa rinduku direduksi menjadi satu icon...

rinduku tak terpuaskan hanya dengan memandangi
layar kecil, yang harusnya ada sosokmu di sana

21 Januari 2002


sebuah pacul di bawah bendera
membawa sawah ke kota
sadar diri anak merdeka
meronta ...

kibar dwi warna
bawa pulang sebuah makna
negeri bukan sekedar tanah saja
kemerdekaan bukan sekali selamanya

bergerak
rakyat bergerak
mulai bederak
bangunan penuh kerak

20 Januari 2002

Sebuah dialog [I]
utk d.a.r.

Hari itu bertutupkan kain bandana biru, separuh wajahmu dan bingkai kacamatamu menghiasi kesan-kesan penutupan hati yang luka. Seekor macan yang garang, terluka tetapi masih menunjukkan kegagahannya. Kulit-kulit kehitaman itu, itu kulitmu, bukan kulitnya. Kegelapanmu sewaktu lampu-lampu dipadamkan untuk satu malam saja. Adakah yang salah dalam belaian keibuan dan berbagi kehangatan? Lalu mengapa pagi berlarian melarikan diri, ke arah barat dan ke arah timur. Mereduplah pelita-pelita hati dalam sekejap bersama deruman motor yang terpencar pada sisi jalanan. Dan aku hanya tersisa dengan sebatang rokok di meja tamu. Karena dua malam itu tidak melahirkan cerita-cerita seribu seratus malam, hanya pembicaraan-pembicaraan dini belaka, empat puluh delapan jam lamanya.
kalau kau tersedia di apotek dalam bentuk sirup, pil atau kapsul, pasti aku akan menebusmu melebihi resep dokter, lalu mungkin aku akan mati overdosis.

untung saja kau tak tersedia di apotek.

hehehe.. :)

19 Januari 2002

dia laki-lakiku
dan aku seorang perempuan
aku tahu
pada gerak dan bahasa tubuhnya
pada lekuk-lekuk tulangnya
aku tahu
hanya kini tak butuh apa-apa...
Sebuah Prolog
utk d.a.r.

Kukira sebuah deruman itu tidak akan datang, hanya akan menabrak dinding lalu jatuh berkeping-keping. Seribu teka-teki yang akan tersisa dari malam ini. Lalu mengapa kita berada disini, di kursi merah yang mengelilingi ruangan sebuah depan rumah. Ayam jago berkokok di luar sana dan matahari timbul dari tenggelam. Pada jalan-jalan di suatu malam aku terduduk termanggu dengan beberapa batang rokok, ada apakah dengan denah kecoklatan di tubuhmu? Sepertinya aku sudah lama mengenalnya, seperti rerumputan hijau yang tergenggam di tangan. Tak ada pertanyaan disitu, yang ada hanya ketelanjangan yang meminta. Ketelanjangan seorang anak manusia.

Dan mengapa kita harus bertangis-tangis tanpa air mata pada kesendirian kita masing-masing? Karena kita tahu pada hangatnya sebuah ciuman dan kukira tak ada salahnya kita berciuman di bawah bingkaian jendela kayu ini. Kita yang merindukan kerinduan, seperti berpelukan pada Tuhan. Seperti dua anak kecil beratapkan bintang, kita tidur bersisian, berselimutkan kehidupan dan nafas-nafas subuh pagi. Kita seperti menghitung lukisan alam yang tak pernah terselesaikan.

Hanya saja pada api yang terbakar kan kutuangkan air, seperti pada duduk emosimu yang nyaris dingin beku. Api-api biru di hatimu, lebih panas dari magma-magma gunung di sekitar kita. Es-es kering itu, sanggupkah menutupinya dalam ilusi sebuah kabut. Pada wajahmu lalu pada wajahku, perlukah kita berperasaan maya? Salam perkenalan semalam suntuk, cukup merutuki hari dengan semua kantuk yang ada. Yang ada adalah perenungan sebuah pertemuan kecil dan panjang.

-yogyakarta, pada sebuah pagi-
ada temen nitip posting neh : loly-pop


"Will-Be-Mine ?"


kan kupeluk malamku, kuputar waktu melintas biru
anganku merayu sendumu, dalam pilu ku terpana manisku
inginku meraih mimpiku, bergayut dalam hangat matamu
singkirkan ruang waktu melaju, deraiku melambai malammu

kulebur angin mendekap bayangmu, berlari menari menggapai hasratku
bertiup menjauh sepiku, pudar sudah warnamu
kan kugenggam bintang di sudut alam, meraih kelam dalam kepalsuan
deraiku menangis manja, bergetar indah di lubukku

datanglah wahai pujaanku, rengkuhku dalam lamunanmu
inginku melayang dalam angan, meraih jiwa dan peluk ragamu
sampai kapankah mimpiku menari dalam dekapmu ?
bilakah kembali hari yang terhilang karena dustamu ?

18 Januari 2002

good news...god is love
hanyalah kata
bukan sekedar kata
ketika kata keluar dari makna
ketika kata menyanyikan rasa
atau ketika tak mampu lagi mengungkap
seperti tentang nyanyian kerinduan
kerinduan pada kalian kerinduan akan teman
kerinduan pada kata-kata
meski kadang terkesan hanya mainan
tapi bukan ....*nafas panjang*
zam disini euy =)
bumi tidak lagi berpijakan tanah, karena malam adalah misteri yang terus menerus datang. kau seperti malam yang tak kunjung kelam. satu-satunya bintang. dan mengapa mataku terasa basah melesak dan meresah, sesak. pada satu-satunya bintang.
semuanya menyesakkan dada. seperti nafasku ingin lepas semuanya tumpah ke lantai-lantai dingin. mungkin karena mataku yang lekat pada sosoknya, matanya, dan abu rokoknya. mungkin karena nafasku hanya ingin menghirup bau badannya, bau kamarnya, dan bahkan bau titik air hujan yang jatuh di atas rambutnya. semuanya menyesakkan dada. seperti dibawanya aku ke surga dan terbang kembali ke bumi. seperti jatuh runtuh dan remuk tulang-tulangku mendarat di rumput-rumputan. mati suri dikuburkan awan-awan.

lalu mendung, lalu mendung...

17 Januari 2002

memang

lain pandang kusam
memang muram
lain pandang hitam
memang kelam

cermin retak
sebarkan warna
hanya Dia gerak
dan kamu wanita

satu pena
tulis rasa
cetak logika
luar dua
so far...
but there's limitless outside of that
so much...
but there's limitless time around that

I know I have the best time and space
for missing you just like fire and ice...
kuharap engkau adalah buraq yang akan membawaku ke sidratul muntaha, sebelum tunai tetesan jatuh dari jambangan.
disana mungkin akan kukatakan padaNya betapa engkau akan membawaku ke ufuk-ufuk nila yang berdesir diatas pasir.
aku, kau, dan mungkin Dia akan jadi satu, dan mungkin kita akan mengerti mengapa Kita saling mencinta
waktu

namaku tertera dalam darah diatas perkamen tua menguning yang dimandikan cahaya matahari dari lubang jendela. cahaya cahaya yang bermain dan memantul antara butir-butir debu yang sejenak terlihat mampu membebaskan diri dari belenggu gravitasi. aku terduduk saja di kursi mahoni dengan jok beludru marun yang umurnya mungkin lebih tua dari umur kakekku, atau bahkan buyutku.

memandangi perkamen itu.

diatas namaku tertera beberapa rangkai huruf yang berusaha membentuk makna tetapi kemudian tertelan lagi oleh gaung-gaung angin di atap dan decit-decit segala macam perkakas dan segala macam engsel yang begitu tuanya hingga tak mungkin kita mendayagunakannya tanpa membuat mereka rompal.
"benda-benda memiliki daya aneh untuk mematikan dirinya sendiri,"kakekku pernah berkata, beberapa malam sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya.

dan entah mengapa, kini, di ruangan renta ini, suara beliau itu terdengar jauh lebih jelas dibanding ketukan dahan pohon diatas kaca jendela yang sebenarnya tak pantas lagi disebut kaca karena ia kehilangan sifat tembus-pandang nya.

"tiap benda saling menyayangi," ibuku sekali waktu pernah berkata. "itu sebabnya rumpun bunga mawar diatas pusara nenekmu begitu cerah warnanya, nenekmu memberikan tubuhnya untuk dimakan." Aku, saat itu tentu saja hanya bisa mencoba mengerti. (sejenak aku pikir ibuku gila, mana mungkin bunga makan manusia?)

air tanah melukisi kaki dinding rumah ini dengan lumut hitam. segurat demi segurat. mungkin kakekku yang berbicara melalui lukisan itu, mungkiin ibuku, entahlah.

foto ayah bersama teman-teman berburunya sudah lebih kuning dan penuh bercak dibanding daun-daun mati yang tertumpuk dan berserak di halaman. rumput-rumput yang bercerita dengan menutupi setapak jalan ke arah gerbang karatan yang asik bercengkerama dengan tetumbuhan rambat. ayah hilang ketika berburu. dan foto itulah yang terakhir ditemukan oleh orang-orang desa yang mencarinya. dan hanya dari foto itulah aku bisa menggambarkan muka ayah di mimpi-mimpiku. aku terlalu kecil untuk mengingat.

daun-daun mati berdendang dan menari diiringi musik angin kering.

.
.

entah berapa lama di ruangan ini aku duduk. toh waktu tak lagi punya banyak pengaruh untukku. karpet kusam dari kulit harimau yang didapatkan ayah ketika berburu dulu itu paling tidak kini memiliki warna cemerlang yang diwariskan oleh nadiku; merah .

16 Januari 2002

cerita keempat untuk qq

karena cerita-cerita ini semua untuk menyambutmu, bila kau jatuh ke bumi pada suatu bunyi-bunyi sangkakala. semuanya hanya bentuk-bentuk kegilaan fiksi, kegilaan untuk kata-kata, menikam otak dan memamah hati. ataukah hanya bentuk pembenaran untuk perilaku-perilaku yang dimata mereka menyimpang? ataukah hanya penebusan dosa di sebuah salib yang terpaku seribu kata ini? karena aku sudah mematikan aku ketika jejak-jejakmu berbelok ke kanan dan aku masih tersesat di persimpangan. kita yang pernah berbelokan jalanan, ketika waktu masih menunjukkan seribu abad lamanya.

mungkin kau masih ingat pada lidah yang berpelukan pada suatu hujan sore hari dan kabut melati putih. pada dua tusukan lidi, anjing-anjing berlolongan seperti serigala hitam, langit hitam. siapa yang menjadi mangsa malam ini? sepekat perekat suasana berketiduran sekepompongan. pada pagi, ulat-ulat itu kembali pulang ke sarang. seperti kita berpulangan pada kaki gunung-gunung tinggi, pada ibu dan tanah ini. menetek pada kesunyian.

ada saatnya kita membunyikan lonceng-lonceng kematian, karena pemakaman kita sudah dekat. sadarkah kau jika kini saatnya membacakan doa-doa?
lalu,
harus kugugatkan kemana hampaku?
Kau jelas-jelas tidak peduli
atau yang terlalu tak bermakna itu mungkin aku
hingga peduliMu itu tak nampak sama sekali

lalu,
harus kugugatkan kemana racauku lagi?
Kau hanya mengintip saja dibalik jendela
mengetuk sesekali dan menulis-nulis di jejak embun pagi
sementara makna terpantul terseret-seret kala

lalu,
harus kugugatkan kemana?

15 Januari 2002

kawan-kawanku tercinta, ada yang sudah menungguku
dan aku menunggunya

aku tak mengerti
dan aku mungkin tak mau mengerti

tapi
aku tetap pergi:)

nb: bubye all, gue mo ke yk, ting tolong urusin /kata. i'll be back later.
dia cuma ingin tidur

menutup mata
menulikan telinga
rebahkan kepala
merentang

lelah saksikan
kesia siaan segala
abunya cinta
matinya rasa

pekak dengarkan
bunyi mesin pulang pergi
ucapan basi
manusia tak berhati

muak pikir
aku
kamu
kita
mereka

teman ...
dia cuma ingin tidur
engkau juga butuh tidur
mari kita tidur ...

14 Januari 2002

andai ada sedikit mukjizat
kan ku ubah rindu ini jadi segelas juice alpukat
yang dapat ku nikmati setiap saat

bukan tersiksa
dan terbelenggu seperti iniiiii.....hiks!

"maksa nggak sich..?" :)
ku pikir juga karena asap rokok yang ku hisap
hingga dada ini terasa sesak...
atau mungkin kafein dalam kopi
yang buat jantungku berdetak cepat...

ternyata aku merindu.....
terlalu merindu.....

"andai cinta tak harus merindu.....".
Buat Neruda


Tak tahu mengapa
tapi aku mencinta
Tak tahu masa
sekejap dia ada
Dari tempat tak berpeta
dari situ bermula

Neruda
malam ini bulan ada
engkau kan pecinta
bacakan kami soneta

kata bermantera
semburkanlah bisa
lumpuhkan aku dan dia
hingga dwi ber-eka.
Si Dayak

Lebat daun adalah rumahku
burung adalah simfoniku
sungai adalah darahku
pohon adalah tulangku

datang orang asing membawa surat kepemilikan
truk, traktor, pisau dan gergaji di tangan
atas nama pembangunan
"Kalian harus menyingkir dari ini hutan"
Kami mengangguk tunduk
"Pemerintah adalah pelindung
tidak kan kami menelikung"

segera pindah bongkar gubuk

Suatu saat
burung Tingang terbang datang
menangis bukan kepalang
beritahu apa yang dia lihat

Hutan jadi tanah lapang
bukit jadi gundukan pasir
di sungai limbah mengambang
air raksa menyatu mengalir

Si Dayak tarcenung
seharian hanya merenung
ratapi hutan , sungai dan gunung
tak lagi hijau , tak lagi agung

Di kota metropolitan
penguasa tertawa keras
lihat uang mengalir deras
di atas kerusakan hutan

Kami tidak butuh pembangunanmu !
Persetan pengaturan dan tentaramu !
Bawa pergi kuasamu !
Atau kami akan memenggalmu !!!
cerita ketiga untuk qq

sepertinya kematian akan berbicara ketika seribu sisi menampakkan diri. sungai-sungai mulai penuh dan tanah-tanah mulai longsor berjatuhan. pagar-pagar bambu memugar dan menancapi bumi. pernahkah kau dengar hujan bertangis-tangis di pinggiran selokan-selokan yang penuh dengan tumpukan sampah perkotaan? seperti
ikut menyesali debu sisa pembakaran becak-becak dan runtuhan dagangan kaki lima. sesekali terdengar teriakannya pada penggusuran kemanusiaan atas nama keindahan.
lalu mengapa ada keindahan jika tak ada kejelekan? semuanya setipis kertas-kertas timah...

masih kegelapan memenuhi langit kota-kota ini. dalam keheranan terlihat bintang-bintang gemerlap, kukira kota ini menyembunyikan bintang-bintang ataukah hanya kilapan-kilapan lampu dari mesin-mesin besi itu? matahari selalu melahap kulit-kulit manusia, memanggangnya begitu coklat, begitu matang. bagai nasi goreng kecap yang sedang pernah tersaji di meja makan sebuah warung tak bernama. mereka lapar, bermata lapar...

jalan-jalan mulai menyambut sajian darah merah, seperti sebuah misa dengan nyanyian perjuangan-perjuangan. hanya asap-asap pemberkatan terasa perih dimata, gas air mata teriak seseorang. sisa-sisa mortir dan martir bergeletakan di jalanan. masih diringi tembakan-tembakan penyelesaian dan penghormatan. jalan-jalan tiba-tiba berubah nama sebulan kemudian. kita terjebak dan tersesat disana, seperti hilang di sebuah negeri penuh dongeng wayang-wayang dari negeri seberang.

13 Januari 2002

cerita kedua untuk qq

mungkin saja di sebuah lemari tersimpan hati-hati kita, terselip di antara tumpukan-tumpukan baju dan celana panjang. ataupun di sebuah buku pada halaman pertama yang terbuka. juga ada pada dompet coklat yang lapuk, bersama lembaran-lembaran uang berbau masam dan koin-koin karatan. pernah juga basah oleh air hujan dan tertutup debu-debu hitam. lalu hati-hati itu sekali waktu nyaris kita robek-robek menjadi kepingan-kepingan patah tetapi sekali waktu kita jaga selalu dengan taruhan nyawa.

kita juga pernah melihatnya pada bingkai-bingkai kayu yang kita beli di suatu pasar becek. malam juga pernah menyaksikannya pada rangkaian bintang-bintang di sebuah langit pada pantai dengan seribu pasir putih. lalu di jalanan yang penuh dengan tanah beserta aroma asap rokokmu. masih dengan sundutan di sisi-sisinya. hati-hati itu malah menjadi indah dengan pinggiran bekas kebakaran hutan.

ketika itu datanglah imaji yang hidup dan mati pada hati-hati. kita pun berkejut-kejut dengan tegangan listrik berkali-kali, seperti jantung-jantung yang pernah sekarat pada irama rumah sakit. denyut hati-hati itu berhenti pada hitungan ke sembilan, napasmu dan napasku berceceran pada lantai-lantai kayu. semuanya seperti permen karet merah muda yang terbuang.

12 Januari 2002

bintang-bintang pasti hanya bahan sisa
ketika Dia mencipta matamu
segenggam cinta jatuh sebutir demi sebutir
jelma butir-butir jam pasir
kala angin dan musik malam menyihir
kau dan aku, di sudut itu
masih juga aku terpatri di sudut matamu
di bicaramu

gemerincing
jarum jatuh berdenting
dan hatiku yang pernah hening
penuh gaung mendenging


kau cantik
kau, cantik

11 Januari 2002

Jatuh cinta pada kata-kata

Tak terbayangkan sebelumnya
Betapa kumencintai kata-kata...
Yang mengalir dari kaca-kaca, daun-daun
Gelap malam, dan senja sore yang membunuh mentari...

Tak terbayangkan sebelumnya
betapa kemerindukan kata-kata...
Yang tak pernah berhenti terucap dari bibirnya
Meski kata tak lagi kata
Hampa bunyi...hampa makna
Terbunuh senja merah

Aku terlanjur cinta pada kata. Meski tak lagi ia milikmu...



kita habiskan waktu

lalu kita habiskan waktu;
mungkin dengan memetik buah-buahan
yang pohonnya setahun lalu kita tanam,
atau bisa juga dengan
membelai bunga-bunga
yang bibitnya kita tabur beberapa minggu lalu,

kita habiskan waktu kita;
berdua saja—kamu dan saya,
bercerita-cerita tentang apa saja:
masa kecil, masa sekolah dulu,
atau masa di mana cahaya
memandikan kita, cahaya bintang,
cahaya lampu yang temaram,
cahaya-cahaya yang berpendar untuk kita,

lalu cinta kita berpijar,
karena kita menghabiskan waktu berdua
sejenak kamu lupa siapa kamu, siapa saya,
karena kita cuma menghabiskan waktu berdua,
tak ada dia, tak ada mereka, tak ada yang lainnya...

tapi malam ini waktuku habis,
semoga hanya waktuku,
bukan waktumu, bukan cintamu...


menjelang pagi yang dini

malam begini,
secangkir capuccino, sebatang rokok,
dan R&B yang lamat-lamat…
aku telah mampu menghadirkanmu
Tak ada

Tak ada yang mesti disesali
Tak ada yang mesti ditakuti selanjutnya
aku mengenang semuanya
dan aku menyimpan segalanya

segalanya mungkin akan hilang
terbang tertiup angin lalu hinggap entah di mana

jangan pikir aku peduli dengan semuanya
aku mencintai perasaanku sendiri
perasaan yang pernah kumiliki
(dan kau tahu? betapa aku menghargainya!)

tak ada yang mesti disesali;
segala yang pernah dilepas, diberi,
kuharap begitu juga kau, tak menyesali apa yang kau terima,
yg kau kau dapatkan

segalanya mungkin akan hilang
tertiup angin lalu hinggap entah di mana
tapi begitulah
aku tak punya waktu untuk sedikit peduli

lautan di depan masih begitu luas
sementara selat belum juga kuseberangi

dan tahukah kau di mana sekarang aku berada?
Di titik terluar, sebuah ujung di pulau mungilmu

Aku tak mengapa




Ijinkan aku untuk memetikmu
Saat kau melayu
aku akan sertamu
ipuh durimu penuhi darahku

10 Januari 2002

dan dia masih berdiri-diri disana, tertawa terkikik menakuti takuti. seperti sesuatu yang tumbuh dalam pesakitan dan kematian, karena kematian pun bukan hanya diam. mungkin dia hanya mengalami akhir dari kegilaan yang termakan dari permainannya sendiri. dia tak menyangka sebutir nafsu pun bisa menikam hati begitu dalam. maka masihkah engkau menjelajahi tubuh-tubuh itu?

09 Januari 2002

aku seringkali menyesatkan diriku
di belantara kata-katamu
hingga satu-satunya cahaya panduku
adalah kilau matamu
hanya sebuah tampilan baru...:P

08 Januari 2002

karena aku tahu kawanku yang tercinta, kita pernah menjelajahi rerumputan itu pada suatu malam yang sepi. dimana suara sepeda motor sesekali berlalu lalang. lalu peluh yang masih mengalir harus sejenak berhenti, karena hatimu sejenak serasa mati. atau hanya waktu yang berhenti berkejap-kejap? suara jantungnyakah? yang tertidur nyenyak di seberang sana, kau mendengarnya. aku mendengarnya. dan dia juga mendengarnya dalam mimpi-mimpi muda kita. kamu ingat kita yang pernah bergoresan mimpi. hijau, biru dan merah? tak ada putih kawan, juga tak ada hitam. hanya tiga warna belaka. warnanya, warnaku dan warnamu. pilihan kita masing-masing. adakah jalan ini berujung? kita masih duduk bersisian di antara rumput-rumput yang berpeluh.

maka darimu tumbuh bunga-bunga indah bertangkai dan berduri, ah kawan sebegitu besarnyakah luka? lihat dada itu, lihat dada itu, yang kau tusuk bertombak-tombak. kuambil kassa putih dan sedikit arak, kututup lukamu. kubalut dan kubiarkan matamu mengalir perih. hatiku pedih. kau tak bersuara hanya mengenang-genang, seperti kubangan-kubangan air di tepi jalanan ini. tubuhku lalu berdiri dan menari-nari berkecipakan air. tumpahkan segala, tumpahkanlah segala karena kawanku, mendung itu membawa hujan datang beribu-ribu... dan apa salahnya menari di atas luka, menginjak-injak hati dan mati merdeka?

seperti kupu-kupu malam ataukah kunang-kunang, kita yang menari-nari disini. di bawah langit dan di atas bumi. tidak dilarang dan juga tidak dipandang, peduli apa peduli apa pada sisi-sisi kita yang berkikisan. jika bintang pun dibangun dari berjuta-juta kunang-kunang yang mengelilingi bumi. sama seperti kita yang bermain-main di dalamnya. tersamarlah gelak tawa kita seperti lima tahun lamanya hidup di dunia. gelak-gelak yang pernah hilang dikubur di tanah ini. dunia yang tak pernah suci dan tak akan pernah suci. lalu mengapa ia meminta kesempurnaan? kawanku sayang, kita tidak pernah sempurna.

hujan berhenti di sekian ribu curahannya. berkacalah kita pada sungai yang berwarna kecoklatan, dapatkah bayangan kita terpantul disana? larilah ke danau di pulau selatan, dapatkah bayangan kita terpantul disana, kawan? mungkin pada laut, pada laut hitam kita dapat melihatnya. kita adalah mahkluk-mahkluk dalam misteri yang tak berdasar.

06 Januari 2002

awan putih dasar biru
padanya tergambar wajahmu
ucap lirih pada bibirku :
"aku kangen kamu"

Ini terlalu indah ...
kuragu kata mampu tampung
rasa yang tumpah ruah
aku mengapung ...

pelangi hanya mendekati
melebihi ejakulasi
melampaui segala fantasi
semua ekstasi

Ku pejam mata
ku tak butuh indra
karena semesta
tlah pindah dalam dada


04 Januari 2002

kita pernah mempunyai mimpi seperti langit hitam
misteri yang menusuk
sewaktu bintang-bintang berjatuhan
dan kometku berbenturan
menghias langit kita

03 Januari 2002

menerobos tirai dari langit
berpangkal pada awan berat
lewati genangan dengan berjinjit
digigit kerasnya angin barat

Tiga duduk santai
bercakap sekedar ber - "hai-hai"
tak perduli hati ber-"duh"
di balik tatapan teduh

terlintas sadari rindu tubuh
suara - suara melenguh
badai nafas beludru
gerak memeluru

gigil menggigil
di pojok terpencil
raga mengastral
rindu mengkristal.

02 Januari 2002

warna-warna malam
berpendaran
dari api
lilin
dan juga lampu bohlam
juga sinar-sinar yang tak terlihat di sekitar kita

mungkin ini sebuah akhir
atau sebuah mula?

mnt2 menjelang akhir 2001
-kampoeng daoen-
sinar bintang purba
temui sepasang mata
jarak bermilyar laksa
kekalnya sebuah kembara

sendainya dia bisa bicara
aku akan bertanya
segala tentang semesta
segala di luar sana

"bagaimana rasanya tembusi aurora"
"mencium menggelut venus"
"hinggapi matahari membara"
"temani lingkaran uranus"


katakan padaku semua ini
tidak lah sia sia belaka
dibalik semua hidup kini
tersimpan sebuah makna

seandainya aku adalah cahaya
ku ingin ikut berkelana
perjalanan tanpa bahasa
tanpa harus merasa ada

memunguti kembali semua cinta
yang terserak diluar dunia
kelak kan kutebar di atas Indonesia
tutupi tumpahan darah dan air mata.

01 Januari 2002

selamat tahun baru semuanya! :)