29 Juni 2002

kutatap matamu...
kutatap wajahmu...
kutemukan sesuatu tersirat...
tapi aku tidak tahu...
katakanlah.. apa yang menjadi keinginanmu
dia tidak bersembunyi....tidak juga pergi tapi hilang
kemana harus mencarinya.....

28 Juni 2002

kemudian kita saling merindukan
bukan perasaan yang begitu gemuruh
seperti remaja yang baru jadian pacaran
bukan seperti itu bukan ...
....dan aku mencintai malam
saatnya tergelincir dalam dosa
indahnya bercinta dengan kekasihku....


Jangan tanya rasa...apalagi cara
karna aku rindu bercinta!
mereka bertanya :
"apakah kematian
adalah jawaban
dari semua kehidupan ?"
kehidupan itu mematikan
kematian ini menghidupkan
melekat sebuah emperan waktu
di daratan iniitu.

27 Juni 2002

"MAAF PAK,
BISAKAH KAU TENANG !"
Lomba Cipta Puisi 100 Tahun Bung Hatta

Penyelenggara:
Komunitas Pegiat Sastra Padang (KPSP)

Tema
"Bung Hatta di Mataku"

Persyaratan:
0. Peserta boleh siapa saja: sastrawan, penyair, mahasiswa, dan
masyarakat umum
1. Karya harus orisinil, bukan hasil plagiat
2. Maksimal 3 puisi untuk setiap peserta
3. Dikirim ke panitia rangkap 3
4. Nama peserta dan biodata peserta ditulis dalam lembar terpisah
(cantumkan: telepon, email, atau No HP)

Puisi dikirimkan ke :
Panitia Lomba Cipta Puisi 100 Tahun Bung Hatta
PO BOX 211, Padang, 25000

Batas waktu pengiriman:
Paling lambat 20 Juli 2002 (cap pos)

Dewan Juri:
- Rusli Marzuki Saria,
- Gus Tf Sakai,
- Drs. Hasanuddin WS, MHum

Panitia akan memilih 5 puisi terbaik dan 95 puisi nominasi.
Lima puisi terbaik akan mendapatkan hadiah total 2,5 juta rupiah dan 95 puisi nominasi akan mendapatkan piagam penghargaan. Masing-masing juga mendapatkan buku puisi hasil lomba.

Para pemenang akan diumumkan melalui media cetak.
tetap BERONTAKKKK .... !
buat ngA

dia hanya mencari suatu aku padamu
bayangan kabur pada gerimis
nyaris kaku dihembus angin kutub
berlubang ditembus antara dan waktu

aku mencari padanya
suatu dia yang merembang remang
merentang cinta sepanjang khatulistiwa
perkosaan rasa kembali berulang

daun jatuh
bulan mengaduh
dan kuburan seketika punyai sekutu
dari perselingkuhan yang mendapat restu.

(and endless story from grey land)
YANG TERPENDAM

Amarah seperenjak mengelang
Dan setiap kerikil di jalanan
Berubah jadi batu kali yang legam
Curah sudah sebagian hujan
Namun tak mendingin juga sahara
Masih mengiang benderang
Sengau gonggong anjing geladak
Yang kutenggelamkan siang tadi
Di pelabuhan
Di mana kugantungkan kaki setengah pasi
Dan jerang kaldu badan yang mati
Siar semerbak wangi mayat yang tak jadi basi
Sialan…
Agaknya
Lupa barusan kumatikan api
Waktu tinggalkan rumah pagi-pagi

[19 Juni 2002, 23:26]
Atiiiid.. trims login-nya ya!
ini ada coret-coretan yang rada bulukan...

JAKARTA BULAN MEI

Riuk dedarah kudidih
Disamar kelana sekejap
Semasa garis luka berlamur rata
Tak ada bekasnya kutemu di sana

Kalang hati kuperih
Diretak sesiram jaman
Terbuang payau dari muara
Menguap percuma…

[1 Mei 2002]

26 Juni 2002

Perempuanku,
Aku tak butuh lembut sentuhmu
Tapi ajari aku membaca dan menulis
Karena aku laki-laki…

[agungyudha, 06.05.02]
buat t.e.l.

mungkin hanya kata
hadir pada sepasang mata
mengabur oleh air menelaga
nanar ditikam duka

tapi tidak aku kata
karena sudah bergelut rasa
dunia beda dengan logika
tidak sayang....
bukan sekedar kata.

(waste land)

25 Juni 2002

jika yang terjadi adalah kemungkinan
marilah kita bicara tentang ketidakmungkinan
kamarnya tepat di sebelah kamar di depan kamarku ketika kuberdiri. dingin. padahal angin tak mampu meniupkan selembar rambutpun. ini yang memisahkan: sebidang taman hampir tak terurus, dengan beberapa jemuran yang juga tak diangkat meski malam mulai turun. para kerabatnya berkumpul. wanita--sebayaku--dipeluk kawannya, matanya terus saja mengeluarkan air tanpa disekanya. gumaman. isakan.
tirai kamar itu terbuka meski pintunya tidak. ranjangnya dilingkari orang-orang dengan wajah penuh harapan. ibunya, berdiri kakudi sisi ranjangnya, jemarinya meremas sprei putih yang menjadi alasnya. selang masih menerobos hidungnya, infus masih menancap di pergelangannya. di sudut dekat ranjang, saudara lelakinya duduk terpekur, tatapannya kosong, tangannya mengatup bibirnya, ia seperti tak ingin bicara.
biasa, rumah sakit umum, dokter datang terlambat. dia mati. begitu saja, umurnya belum genap dua belas.
mati. begitu saja.

=
zaM, kematian pernah benar tak pernah lepas dari pikiranku. selalu, selalu saja mati yang aku pikirkan. sampai kemudian kematian sempat menari begitu akrab di sekelilingku. kematian yang bukan menjemputku, tapi orang-orang di sekitarku, yang aku kenal atau yang tidak aku kenal.

zaM, adakah yang berharga dari kehidupan?

23 Juni 2002

If there shall be no answer of one question...let it unaswered.
Let it unrevealed and forever become a mistery of life...
instead of directing others to eternal agony

Sri Lanka, 23rd June 2002

21 Juni 2002

AKY, sore hari

Gemuruh itu masih tertinggal di kedua liang telingaku, kawanku mengajakku pergi ke ruang ganti. Joned, sang sutradara adalah adik kelasnya. Aku tidak menyangka, ternyata laki-laki tadi adalah dia. Butir keringat masih mengalir di dadanya dan juga potongan rambutnya. Kusalami dia dan kuucapkan selamat, melalui temanku aku menyampaikan niatku untuk melihat naskahnya. Dia membalas untuk kapan-kapan main ke tempatnya dan kurasa aku akan.

Malam beranjak lelap, kami kembali setelah sebelumnya mampir makan di suatu warung pinggir jalan sambil masih membicarakan pertunjukan tadi. Kepalaku sungguh terasa benar-benar penuh, seperti ingin meledak, ingin melepaskan sesuatu.

Tetapi dimana dirimu?

Maka malam pun kusisakan bersama kawan-kawan dengan batangan rokok, percakapan dan juga beberapa botol minuman. Kepalaku terasa cukup ringan setelahnya, aku sedikit heran, aku yang jarang minum malah tidak mabuk. Sedangkan beberapa kawan mulai berjatuhan. Rasa kantukku mulai terasa sewaktu jarum jam menunjukkan pukul setengah dua pagi, kuambil satu potong bantal berwarna merah muda pucat dan kumal. Tetap saja bantal itu empuk, bantal memang terkadang menjadi suatu kemewahan sendiri dalam tidur. Terlentang aku sementara di atas karpet dengan kepala di atas bantal. Aku merasakan ada kepala lain tidur dengan posisi terbalik dan berbagi bantal denganku walau cuma sebentar.

Sepertinya itu adalah kepalanya, dia yang baru saja kehilangan dompetnya. Kami sepertinya bernasib sama, setidak-tidaknya aku bernasib sama, kurang lebih dua minggu yang lalu. Dan satu hal lagi, dia baru saja kehilangan adiknya, aku terkadang kehilanganmu, tetapi tidak seperti itu. Kau masih beberapa puluh kilometer horizontal dari letak geografisku, sedangkan adiknya entah berapa kilometer ke arah vertikal mungkin atau ke arah semua mata angin. Kematian masih menjadi misteri yang tidak terjawabkan. Aku terkadang berpikir akhir-akhir ini dia menjadi cukup dekat denganku, apakah karena ada kemiripanku dengan adik perempuannya itu. Kupikir aku pun sering merasa nyaman di dekatnya. Malam kemarin aku menyentuh peta punggung kulitnya yang nyaris coklat kehitaman, nyaris seperti kegelapan kulitmu tetapi sepertinya masih kalah gelap. Terkadang dalam keremangan cahaya aku hanya bisa merasai semua lekukan tubuh dan deru nafasmu yang juga terlalu sunyi jika terlelap tidur, tapi cukuplah aku mengetahui adanya dirimu tanpa mengetahui di arah lorong-lorong gelap yang mana. Dengan nyala dian di tatapan matamu, semua akan menjadi sangat terasa.

Nyala dianmu, dianku, Dian aku.

15 Juni 2002, Sengkan, sore menjelang malam

Ada sesuatu pada punggungnya itu, sesuatu itu bukan pada sebutir jerawat kecil dari kelebihan hormonal yang wajar pada punggung seseorang yang menginjak masa muda. Hanya ada sesuatu yang terkadang menganggu mataku jika melihatnya. Daya tariknya yang seperti perempuan, punggung itu, yang coklat kehitaman nyaris seperti warna punggungmu. Sedikit lembut sewaktu tersentuh namun dapat tiba-tiba berubah menjadi sekeras tanah, gumpalan otot seorang laki-laki. Mungkin disitulah terletak semua pesona. Ada yang terpatri, terukir ketika sebuah koin menggores kulit punggungnya. Semuanya berubah menjadi merah ungu, ia baru saja masuk angin dan minta dikerok.

Masih pada punggung itu yang kukira nyaris sebidang lebar bahuku, tetapi semua itu runtuh ketika ia memakai kemejaku yang dengan segera sebagian bagian lengannya sedikit terangkat. Ada sesuatu juga pada bahu itu, yang suatu waktu pernah ia tawarkan padaku sewaktu kepalaku terantuk mengantuk. Bahu itu membuatku tenang dan perkataannya yang selalu kuingat adalah ketika ia berkata “Tidurlah di bahuku walaupun ia keras, sekeras hidupku…”. Terkadang aku ingin tersenyum ketika ia mengatakannya dengan wajah yang lugu dan sepotong ekspresi yang lucu. Memang jenaka jadinya, aku sedikit tersadar terbangun untuk menikmati keluguan yang sederhana itu.

17 Juni 2002, Pogung Lor, malam

Aku mulai melayangkan sedikit dari ingatanku kepada sebuah pantai di selatan pulau Jawa, Parangtritis. Sebuah tangan mengoncangkan tubuhku sekitar jam lima pagi, membangunkanku dari lelap. Lalu kami bergegas pergi untuk mengejar lagi matahari yang terbit di hari yang memang bertanda pagi, dari aroma embun dan kapas-kapas dedaunan, ada juga kedinginan merasuk dalam udara. Sempat terhenti pada semangkuk indomie goreng telur dan segelas teh hangat yang mengisi perut ala kadarnya.

Matahari mulai kelihatan telak di sebuah pinggiran jalan dan pematang sawah. Beberapa sosok manusia terlihat sedang memacul, sosok itu lalu tercetak pada suatu frame-frame dari rol film Konica Gold ASA 100. Masih ada kabut, pagi yang masih ngelangut.

Ada bunyi gitar.

Ada sesuatu yang tak tersangka di antara perburuan dan kamera-kamera. Ada sebuah perayaan dan juga ada sebuah ritual. Di lautan Selatan Jawa, tepat jam delapan pagi, awan seketika menutup langit. Lilin-lilin merah dinyalakan, buah-buahan dan bungkusan nasi bacang digelar di atas piring, lalu kertas-kertas kuning dengan aksara Cina.

Ada juga suaramu.

Kerterasingan menyeruak seketika, dalam satu potongan pandangan yang seperti pengambilan sudut sebuah film yang terputar. Orang-orang Cina, penduduk sekitar dan tiga orang wisatawan asing terlihat melintas. Seorang wanita berdoa, membakar hio yang berbau menyengat dan ember-ember merah terisikan dengan air bunga-bunga. Kenanga, melati, dan entah apa, warna-warna yang mengingatkanku pada ritual upacara Hindu.

Tetapi semua itu memang menjadi sangat asing dan sangat jauh. Mata begitu dekat tetapi akar sudah tercerabut kapan entah. Hati hanya bisa liris dan merasa jengah. Tidak ada kepemilikan pada ras, pada kepercayaan dan juga mungkin bangsa. Yang ada hanya perasaan manusia yang seketika merasa kesepian di antara birunya cakrawala laut.

Dan masih beberapa petikan gitarmu, siapamu, siapa kamu, kamu siapa?

Awan masih ada di atas kepala, sewaktu langit seharusnya sangat terang. Mistis ada di antara udara menjelang siang itu, lalu ada wanita tua yang kesurupan, matanya memeram dan tubuhnya jatuh tepat di pinggiran pantai selatan itu. Ia digotong oleh beberapa orang, entah sadar atau setengah sadar ia terduduk dan menyentuh beberapa orang di dekatnya. Kerumunan orang datang dan semuanya menjadi tidak kelihatan, hanya kumpulan-kumpulan manusia di antara air yang seharusnya asin khas angin pesisir pantai. Asin, bau asin itu semenjak pagi tidak terasa, aku semakin tidak mengerti. Beberapa hal di depanku ini meminta penjelasan yang ambigu.

Kau menoleh dan membaca sebagian, aku mengalihkan ketikan dan pembicaraan. Aku sedikit enggan. Kututup semuanya sementara.

19 Juni, Sengkan, pagi…

Karena dosa bukanlah berasal dari bibir juga revolusi tidak tersedia di meja makan pagi ini, sama sekali tidak hadir, bahkan tiada rasa kementahannya. Yang ada pagi ini hanya rasa lintingan tembakau, asinnya garam pada sambal yang takarannya sedikit kebanyakan, dan juga rasa bibirmu.

Aku seperti teringatkan pada satu scene dalam drama Shakespeare – Romeo and Juliet, ketika mereka bicara akan bibir.

Tetapi ini ciuman pertamamu…

Dan memang akupun tak mengerti apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini, ketika tanganku menyentuh tanganmu, lalu jari-jariku mengenggam jari-jarimu, kakiku bersinggungan dengan kakimu, lenganku mendekapmu dan begitu juga sebaliknya. Tetapi kemudian apa yang memicu bibirku berciuman dengan bibirmu?

Ada guratan ristleting tas abu-abu pada kulit muka seseorang yang tertidur di sebelahmu dan juga sisa bekas luka di kepalanya ketika nyaris dibacok preman jalanan. Lalu sekali waktu terlihat bagian belakang lekukan punggungmu dan juga ritsleting jaketmu yang rusak membelahnya menjadi dua bagian yang sama-sama terbuka.

Pertanyaanmu terlalu lugu jika kau bicara tentang kehangatan yang terjadi pada tubuh, karena semalam memang dingin bangsat luar biasa.

Apakah karena kita memang butuh kehangatan? Aku butuh kehangatan?

Sungguh kali ini aku membutuhkan logika, hari ini, detik ini juga. Aku membutuhkan logika dalam suatu perasaan di hadapan jendela berwarna kuning dan hijau, juga di pojokan tembok sekat bambu. Sungguh sebenarnya aku masih menunggu-mu, bukan dirimu tetapi –mu yang lain yang tak tergantikan selama nyaris tiga tahun terakhir. Disinikah monolog-monolog tunggal akan berakhir hari ini?

Sepertinya akan ada sesuatu yang berubah di matamu kali ini, entah apa sebaiknya aku bisa melihatnya dan berpura-pura tidak tahu dengan apa yang sudah terjadi. Kau masih terlelap, lelah dan juga sedikit sakit. Aku baru tidur beberapa jam sedangkan rol film di kameraku menunjukkan angka ke duapuluh tiga, sudah sarapan gorengan tahu serta nasi dan belum juga mandi selama nyaris dua hari lamanya.

Kulihat sepertinya ada yang berubah di antara guratan garis bibirmu, guratan bibirku yang tersisa disana, guratan bibirku yang kesekian…

Benar, aku melihat guratan itu yang mungkin akan tercetak di atas salah satu kertas film yang akan kucuci, bersama foto-foto yang lainnya. Bersama pintu yang berdiam sewaktu pagi sudah mulai meninggi dan juga beberapa ekor ayam yang bertengger di atas jendela bambu. Atau sosok seorang ibu yang mencari potongan-potongan kayu bakar karena memang lagi-lagi semalam tadi udara memang dingin bangsat sekali. Ada yang perlu dibakar, ada yang saling membakar, tapi apakah itu? Perlukah ada yang menjawab atau mentari yang tersirat di kamar itu pun sudah tahu…

+++

sisa catatan yg lepas sejenak...

20 Juni 2002

mati mati sajak muak muak gelap muntah muntah enyah padamu padaku dariku darikau mata mata selalu menatap dimana-mana kemana mana di celah-celah udara siapa siapa mengapa kau bertanya kita kembali lagi menjadi diri yang lupa pada segala yang ada organ tubuhmu organ tubuhnya semuanya menegang yang ada kebingungan saja mengapa begitu berartinya kata-kata mengapa begitu kikirnya kepada kata-kata hamburkan dimana-mana hingga tumbuh bunga dimana tak apa jika yang tumbuh hanya jamur atau batu atau abu-abu aku mendengar baru saja aku mendengar kau gelisah kau becek lembek perlu ditampar perlu ditampar kau perlu ditampar ? muak maki muak maki kenapa kita mesti dimaki-maki kenapa ada kontrol yah kenapa ada kebebasan lantas kenapa kau tersenyum aku tak marah sejujurnya aku tak marah aku kebingungan mencari-carimu dalam organ-organ tubuhku pada setiap tetes keringatku di kolong-kolong udara rawa-rawa kejenuhan semak-semak keliaran aku merindukanmu kehangatanmu pelukanmu ah enyah kau dari sini enyah kau dari jiwaku enyah kau dari darahku enyah kau ia kuras kuras darahnya sampah kering pucat putih pasi kebiruan lelah enyah yang percuma dan sesungguhnya masih ada yang bernyanyi di rekam dalam pita-pita suara keluar menatap lidah-lidah kontoid vokoid sengau diftong konsonan vokal rangkap suprasegmental kelamin dinding dinding ladang alga lumut ikan ikan masa kecil matahari meminum telaga perlahan saja geraknya perlahan saja geraknya perlahan saja geraknya perlahan saja geraknya percepat lalu percepat kerinduan tak akan pernah hilang sebelum dirinya mereka menemui jalan buntu kau tak usa bingung memahami kata-kataku rasakan saja rasakan saja kegelisahan adalah nyawaku

19 Juni 2002

{3/24/2001}
sajak ku jika suatu ketika
nanti aku jatuh hati

*aku tulis sajak ini
meski aku masih benci
dengan puisi-puisi cinta*
aku sadar ini terlalu cepat
sudah terlajur semua terungkapkan
aku lakukan ini bukan didasari
atas cinta yang buta
tanpa melihat sisi-sisi lain
yang bersebrangan tapi ada
aku melihatmu apa adanya
dengan segala kelemahanmu
dengan segala keajaibanmu
dihadapanku, tetap....
kau bukan sosok yang sempurna
aku mencintaimu
zaM # 10:10:31 AM


ajaib...
dengan cara yang sama...

iya, persis dengan cara yang sama
kita akan bunuh dia...
lalu dari jauh ada kita dengar suara:
"kematian... kematian... kematian!"
aku diam meski kau tertawa
aku tahu;
tawa itu, tawa dengan cara yang sama
kau menertawai aku ketika pertama kali kucium kau

"kematian...
matilah semua peng-dikotomi-an
matilah..."
serumu lamat-lamat
Thursday, February 21, 2002

aku ingin membujuk otakku
agar tak lagi mengingatmu
membiarkan halaman halaman menguning lapuk
membusuk

aku ingin membujuk hatiku
agar tak lagi mencintaimu
membiarkan lubang jantungku sembuh
memapah jiwa rapuh

posted by iqbal baskara

abis ngacak2 dokumentasi nech!

18 Juni 2002

bersajaklah tentang kematian agar kau lebih menghargai nilai kehidupan

16 Juni 2002

kulitmu masih terasa menyentuhku, bahkan bekas-bekas lukamu ikut bermunculan di sekujur tubuhku. adakah kita saling menikam di suatu malam yang sunyi itu?

15 Juni 2002

apa yang berharga dari puisiku
apa yang berharga dari puisiku
kalau adikku tak berangkat sekolah
karena belum membayar uang spp


apa yang berharga dari puisiku
kalau becak bapakku tiba-tiba rusak
jika nasi harus dibeli dengan uang
jika kami harus makan
dan jika yang dimakan tidak ada?


apa yang berharga dari puisiku
kalau bapak bertengkar dengan ibu
ibu menyalahkan bapak
padahal becak-becak terdesak oleh bis kota
kalau bis kota lebih murah siapa yang salah


apa yang berharga dari puisiku
kalau ibu dijeret utang
kalau tetangga dijiret uang?


apa yang berharga dari puisiku
kalau kami terdesak mendirikan rumah
di tanah pinggir-pinggir selokan
sementara harga tanah semakin mahal
kami tak mampu membeli
salah siapa kalau kami tak mampu beli tanah


apa yang berharga dari puisiku
kalau orang sakit mati di rumah
karena rumah sakit yang mahal?


apa yang berharga dari puisiku
yang kutulis makan waktu berbulan-bulan
apa yang bisa kuberikan
dalam kemiskinan
yang menjiret kami?


apa yang telah kuberikan
kalau penonton baca puisiku memberi keplokan
apa yang telah kuberikan
apa yang telah kuberikan

Wiji Thukul, Maret 1986
seandainya kita menyatu menjadi apapun yang ada dalam bayangan kita
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

14 Juni 2002

Ya Tuhan,
Seandainya telah Engkau catatkan dia
Sebagai teman menapaki hidup
Sertakanlah hatinya dengan hatiku
Titipkanlah kebahagiaan diantara kami
Agar kemesraan itu abadi
Seiringkanlah kami melayari hidup ini
Ketepian yang sejahtera dan abadi

Tetapi,
Seandainya telah Engkau takdirkan
Dia bukan milikku
Bawalah ia jauh dari pandanganku
Luputkanlah ia dari ingatanku
Ambillah kebahagiaan ketika dia disisiku
Dan peliharalah aku dari kekecewaan
Berikanlah aku kekuatan melontarkan bayangannya
Jauh ke dada langit, hilang bersama senja nan merah
Agar kubisa berbahagia walaupun tanpa bersama dengannya

Gantikanlah yang telah hilang
Tumbuhkanlah kembali yang telah patah
walaupun tidak sama dengan dirinya

Pasrahkanlah aku dengan takdirMu
Sesungguhnya apa yang telah Engkau Takdirkan
Adalah yang terbaik buatku
Cukuplah Engkau saja yang menjadi pemeliharaku

Jika aku terlalu jauh meninggalkanMu,
Tampar aku dengan cintaMU.

Medio 14
Kau terlalu enggan meninggalkan angkasamu setelah kau terbang bebas,
padahal sebenarnya untuk burung kecil dan lemah seperti kau,
bukanlah angkasa itu tempatnya, melainkan dahan rindang teduh
yang dipenuhi tata pola hutani.

Kebebasan kadang melenakan seperti indahnya angkasa
yang dihiasi awan dan pelangi, tapi disatu saat kau harus pulang
dan berumah di sarangmu.

Angkasa tak menjanjikan apa-apa,
selain haus dan dahaga.

Telaga Bening, Pelangi Hati
EKE IKUTAN BOLEH KAH?????
boleh yaaaa yaaaa yaaaaaaaa?

13 Juni 2002

cinta
puji benda, zaM

-pinjam kata-kata puthut ea
dan semua
begitu tergila-gila
pada benda-benda
Yogyakarta, 13 Juni 2002, masih terhitung pagi hari...

Bukankah sebuah catatan pun akan banyak bercerita setelah sekian lama tidak terketikkan atau tertuliskan selain menumpuk di suatu selaput otak? Tetapi untunglah karena sel otakku baru saja mengalami pencerahan semalam tadi dengan dua buah botol vodka tercampur dengan dua kaleng green sand, terhitung tujuh buah sloki di dalam takaran yang kira-kira satu per enam bagian gelas aqua plastik. Kepalaku terasa lebih ringan setelah kelelahan yang tak terkira seminggu-dua minggu terakhir ini, yang masih saja kupaksakan menonton pertunjukan teater bersama seorang kawan. Sepulangnya kepalaku semakin penuh rasanya, pertunjukan teater yang begitu dahsyat.

“THEKmU THUKNO THEKKU” yang di pentaskan teater Gradanalla, yang nama teaternya konon diambil dari nama salah satu kakak tiri Cinderella, memang membuatku sangat terkesan. Satu jam setengah sebelum pertunjukan berjalan, seorang kawan datang tiba-tiba menembus suatu percakapan yang dimuat oleh kelelahan dan rasa ngantuk. Ia mengajakku menonton teater dan segera menunggu keputusanku, lima menit terakhir sebelum berangkat menuju gedung LIP, aku akhirnya memutuskan untuk pergi. Dan aku tidak menyesal, tidak sama sekali, mungkin aku pun akan sangat ingin menontonnya berulang kali, tetapi sayang, semalam adalah pertunjukan penutupan, yang terakhir.

Awal pertunjukan diwarnai dengan kericuhan kecil, dua orang anak-anak tidak diperbolehkan menonton, lalu muncullah seruan “Ini pelanggaran hak anak-anak untuk menonton pertunjukan teater!”. Tetapi mereka tetap keluar. Lalu lampu dimatikan, semuanya gelap. Cahaya biru masuk lalu merah, dalam biru ada percintaan antara laki-laki dan perempuan dan dalam merah laki-laki dengan laki-laki. Di tengah-tengah ada tarian dan di atas panggung ada lukisan yang nyaris terselesaikan. Bunyi kuas cat yang berpadu dengan kanvas dan lagu yang mendentam-dentam, disana ada birahi, disana ada persetubuhan.

Pertunjukkan berjalan, dengan ekspresi tarian dan juga suatu kenikmatan. Satu nada ponsel tiba-tiba berdering nyaring, kurasakan ada ketergangguan tetapi ternyata itu adalah juga bagian dari pertunjukan.

Selanjutnya aku merasa terseret pada akting seorang laki-laki, yang menjadi seorang homosexual, lalu menjadi seorang bayi, seorang anak-anak dan seorang banci. Ah, pada akhir pertunjukan ternyata dialah sang sutradara, Juned. Dia begitu berbakat. Ekspresi mukanya yang begitu teaterikal, sebuah wajah yang mampu menjadi siapa saja. Monolog dan dialog yang begitu cerdas. Aku ingin membaca naskahnya atau menontonnya lagi seribu kali sampai melekat semua di otakku ini. Lalu tariannya, tangan itu, pinggul itu, bahu dan ekspresi mata itu, suatu ide yang mungkin mengingatkanmu pada siaran “Putri Malam” di televisi pada tengah malam nyaris hari minggu. Melihat sosok seorang laki-laki dengan kain yang dibebatkan menjadi sebuah rok panjang dan di atasnya sebuah korset hitam perempuan, seorang banci yang pertama kali dilihatmu mungkin mengundang tawa di mulutmu. Tetapi tarian itu, gerakan itu begitu indah, dari sebuah kejenakaan beralih menjadi sebuah ironi, suatu kesatiran yang pedas. Tarian itu bisa berubah-ubah dalam suasana dan berakhir dengan sebuah kegilaan.

Ada dua orang bertopeng masuk, mengingatku dengan para penjaga moral yang munafik itu, selalu petantang petenteng membawa-membawa parang dan bendera-bendera agama. Kali ini pun ada parang dan juga nama-nama agama yang mengutuk si banci, memaksanya bertobat.

Aku memang berTuhan, tetapi aku memilih untuk tidak beragama. Tidak ada yang menerimaku. Aku pernah mengenal Isa, dia mengajarkan cinta kasih, tetapi apakah ada tempat untuk seorang banci? Tuhan menghukum Sodom dan Gomora, tetapi adakah mereka menjelaskan atau bertanya karena apa?

Mereka menyeretnya ke arah penonton, dan dia meraung-raung, menangis, terlalu banyak tangis yang pilu. Diseretnya lagi kembali ke pentas, dipotongnya rambutnya dengan kasar, dengan parang dan dalam suatu humor kegelapan akan dibakarnya dengan korek api tetapi seseorang dari mereka mengeluarkan gunting. Mereka benar-benar memotong rambutnya. Mereka pergi dan meninggalkan sendiri di atas panggung. Gelap.

Ia mencari-cari ibu, mencari orangtuanya. Karena sebab apakah dia harus dilahirkan dalam keadaan yang tak punya pilihan dan merasa terkutuk.

Ibu biarkanlah aku kembali masuk ke dalam rahimmu.

Ia mengiba.

Biarkanlah aku masuk ke dalam rahimmu, atau pada masa mudamu.

Ia menangis.

Apakah aku harus membunuh ayahku?

Ada keris panjang dan juga cambuk. Ada tarian kegilaan, ada perputaran dan ia menari dengan mata yang mendhem, seperti kesurupan. Tariannya terlalu liris, terlalu mengiris dan ironis. Sosok ayah yang terhantam keris, dengan sendiri dan juga olehnya.

Lagi-lagi gelap. Lukisan yang menyala.

Bau melati semerbak dalam kegelapan dan satu sosok manusia menyala dari arah penonton. Bau kubur, sesuatu dari aroma kematian. Sosok yang berjalan dan menempel pada lukisan, goresan kuas yang terakhir pada liang selangkangan. Semua gelap. Semua ditutup.

Tepuk tangan begemuruh panjang dan aku terhempas, terlepas dari semua sandaran dan juga tempat dudukku sedari tadi.

(diambil dari catatan harian yang belum lagi selesai...)

+++

bagi-bagi cerita abis nonton teater semalem:)

12 Juni 2002

inilah puncak kelelahan itu. setelah kuhitung sayap demi sayapnya. setelah kusesap setiap peluhnya. juga setelah habis kulumati sel di tiap-tiap sentinya. malam masih begitu amat panjang. dan ritual ini masih terlalu jauh untuk sebuah kata penghentian. padahal hidup masih seperti yang kemarin. tak ada yang terlalu istimewa, kecuali makin riuhnya orang-orang lapar yang terus saja merapal-rapalkan mantra di sisi lampu jalan. berkerumun. berkelompok-kelompok. etalase-etalase masih menjadi cermin sejati. kesejatian... hei, di mana kesejatian? di tubuhmu? tidak, tidak kutemukan. sudah paripurna aku jelajahi warna kulitmu. ataukah masih ada yang belums empat kubasuh? tarianku untukmu tidakkah mengisyaratkan sebuah keparipurnaan?

ah, begitu sulitkah...
aku sudah lelah. terlalu lelah...

10 Juni 2002

.....
suatu malam ia selesai membaca lebih awal dari biasanya dan berjalan menuju kamar kecil. sebuah pintu terbuka saat ia melintasi ruang makan, sesosok tangan mirip cakar seekor elang menyambar lengan bajunya dan menariknya ke dalam sebuah kamar. dalam kegelapan ia bisa melihat sesosok tubuh perempuan telanjang, tubuhnya yang muda berkilat oleh keringat yang panas, napasnya terengah-engah. perempuan itu mendorongnya terbaring menengadah, membuka ikat pinggangnya, memelorotkan celananya, menduduki tubuhnya seolah-olah sedang menunggang kuda, dan merampas keperjakaannya. mereka berdua terperosok dalam sebuah gairah yang menyakitkan, ke dalam sebuah lubang tanpa dasar yang hampa dan beraroma seperti rawa-rawa asin penuh udang. kemudian perempuan itu terbaring sejenak menindihnya, terengah-engah, dan memintanya pergi dalam kegelapan.

"pergilah dan lupakan semua ini," ujar perempuan itu.
"semua ini tak pernah terjadi."

......

Gabriel Garcia Marquez, Cinta adalah Kesunyian,
terjemahan dari Love at the Time of Cholera
memang tak ada selain dirimu.

tak ada.

memang tak ada.
Bilakah dia tahu
Apa yang tlah terjadi
Semenjak hari itu
Hati ini miliknya

Mungkinkah dia jatuh hati
Seperti apa yang kurasa
Mungkinkah dia jatuh cinta
Seperti apa yang kudamba

Bilakah dia mengerti
Apa yang tlah terjadi
Hasratku tak tertahan
Tuk dapatkan dirinya

Mungkinkah dia jatuh hati
Seperti apa yang kurasa
Mungkin kah dia jatuh cinta
Seperti apa yang kudamba

Tuhan yakinkan dia
Tuk jatuh cinta
Hanya untukku

Andai dia tahu......

Thx for the lyric, Sis..!
Naon atuh judulnya....?!

08 Juni 2002

......dan kau tahu betapa aku menyayangimu
asal kau tahu....aku menyayangimu lebih dari yang kau tahu.

06 Juni 2002

......dan sebuah perjumpaan terasa lebih perih
dari perpisahan itu sendiri.


"selamat datang di ibukota"

05 Juni 2002

ORANG ASING
(Goenawan Mohamad, 2001)

Di kulit tubuh itu ia temukan sebentuk gambar biru, dan orang asing itu berkata,
Aku pernah melupakan seseorang, tapi aku tak tahu setiap orang melupakan seseorang".

(apa kabarmu Songbird? kicaumu mana?)
aku hanya lapar
pada setiap kata-kata
yang tiada
tidakkah kau juga ?

03 Juni 2002

........dan kita tak lagi merenda kata,
bahkan dalam bentuk paling sederhana dari sebuah sapa
Pagi juga berarti keragu-raguan

Arakan asap putih itu memaksaku merapatkan kedua lengan ke dada. Padahal bau hangat matahari telah tercium dari tadi di timur laut dan cahanya mulai menelanjangi bumi. Itu bukan asap sang penikmat tembaku atau lolongan kereta api pagi.
Pagi adalah saat waktu harus berawal dan gelap lari ke barat. Ada aroma kebangkitan, aroma penantian dan aroma perhentian.

“Pagi juga berarti keragu-raguan”. Lelaki dengan uban yang dipelihara itu menyadarkan lamunanku. Sorotan matanya menerobos aliran yang berputar di otakku. Tak sadar tubuh tua itu telah lama bersandar di kursi ini dan getaran kaki kirinya bukanlah usilnya tusukan dingin pagi. Mungkin syaraf tuanya tidak bisa diajak kompromi.
“Kereta api terlambat seperti biasanya. Dan perhentian pagi ini membawa segerbong kerinduan. Penantian yang telah lama kutunggu, bertahun-tahun”. Senyum di pipi yang hitam memandang ke arah datangnya para pengais pagi. Penjual makanan, tukang becak, ojek,dan penjaja koran dengan beritanya yang sudah basi.
“Menantikan anak?” tanyaku, walau sedikit terusik oleh getar kaki kirinya di kursi panjang ini.
“Putriku satu-satunya. Kedua abangnya pergi menuju Gusti Allah. Pagi hari delapan tahun lalu diculik dan dihabisi. Guru pesantren yang dituduh dalang terbakarnya kebun tebu. Mereka bilang api itu bukan milik tentara, yang mereka miliki senjata api.” Tak ada tersirat rasa sedih dimukanya. Guratan tua itu menelan kerasnya kenyataan hidup yang disimpannnya. Tiada niat bertanya lagi, kenangan itu mungkin terlalu berat baginya.

“Yang ini kesayangan Mboknya. Kerasnya desa mengeraskan niatnya ke kota, ke Jakarta. Sudah dua belas tahun tak kembali, mungkin usianya sudah 30 tahun. Kuliah dan jadi kuli tinta. Dan dua belas tahun pula tak selembar uang kukirim. Dia pergi ditelan pagi tanpa aku tau alamatnya. Dari surat-suratnya ku tahu dia bekerja di percetakan koran bersama temannya, dan syukurlah bisa kuliah.” Tawaran panganan dari penjaja itu menghentikannya. Tanpa tanggapan sang penjaja berlalu sambil ngedumel.
“Anak yang mandiri dan keras hati”kataku. Terbayang oleh ku teman wanitaku di kamar petak di sebuah gang, tak hentinya menagih uang membeli lipstik, celana dalam yang katanya sudah bolong dan robek karena ulahku.
“Kiriman kabar dan uangnya tak bisa menghiburku. Dalam 6 tahun terakhir ini, sudah banyak negara yang dikunjunginya. Cantiknya pakaian di Perancis, indahnya tanah penjajah para Londo, negerinya Abah Aliong si tukang beras di Tiongkok, entah apa lagi. Katanya banyak berita yang bisa dicari biar mata kita celik. Nggak hanya bangga dijuluki punya negeri makmur, subur, tapi nggak mampu ngolah, miskin”.

Cerita yang mengalir bagai ejekan buatku. Kebanggan jadi mahasiswa membuatku tetap bertahan di tahun ke sembilan. Mungkin cita-cita kanakku dulu mahasiswa. Kiriman yang tak pernah cukup apalagi dibagi dua dengan siluman itu. Setan!
Asap putih itu sedikit mengganggu. Bukan embun atau asap rokok daun jagung. Si kepala hitam dengan deretan pengikutnya dengan pongahnya menjerit penuh penat. Seperti ada tenaga udara pagi menahan laju dari kecepatan awalnya. Dan ritme gerit roda pada sambungan rel yang melambat semakin mempercepat keraguanku. Kepergianku pagi ini, seperti embun yang mengering. Tinggalkan keegoisan bapakku di desa ini, kembali ke kehidupanku di kota.
Si bapak tua itu menghampiri pintu gerbong. Aku masih duduk disini mengamati manusia pagi. Dari kusamnyanya kaca jendela, cahaya lampu menyirami wajah-wajah penumpang. Ada yang tersenyum di kantuk yang belum menghilang. Ada yang resah memikirkan perjalanan berikutnya. Satu persatu turun dan si Bapak hanya tersenyum di tepi pintu.

Sang Masinis menyapanya seakan sudah kenal lama. Diajaknya menuju gerbong yang lain. Dan enam orang menyambutnya seakan sebuah pengawalan agung. Senyum itu masih terkembang ketika enam orang itu mengawal dan membawa anak gadisnya. Bapak itu menyambut dengan senyum pada anaknya, pada putrinya, pada peti itu. Kerinduan yang menggumpal dibaluti dengan ketabahan. Tiada tangis di muka tua itu. Hanya getar di kaki kiri tuanya.
Iringan berlalu dan si bapak tua berjalan sambil mengelus peti itu.

Pagi adalah saat waktu bermula ada aroma kebangkitan, aroma penantian dan perhentian. “Pagi juga berarti keragu raguan..” kata bapak itu sejam yang lalu.

Ibu aku ingin pulang!
Apa kabarmu yang meminta pada bulan?

Apa kabarmu yang meminta pada bulan?

Dimatanya malam hening bergumam. Penghuni bumi menikmati ilusi mimpi setelah hari terbakar matanya siang.
Bumi berkeringat dan berpendar oleh cahanya.
Semua akal dan kepongahan beristirahat, sementara sel-sel tak mau mengalah diam.

Ingatan yang menyiksa akan dirimu.
Tapi tersisakah bagimu?

Dulu ada jejak pada sebuah taman, tempat kau mendekapku.
Katamu, aku ada karena bulan.
Dengan pagutmu kau tunjukan syukur pada malam. Pada malam yang bersih, kunikmati sempurna liukmu di cerminnya bulan.
Tubuhmu mengkristal oleh embun yang turut campur.
Kau peluk tubukku dan ku merasukimu.

Tapi kau masih terus bertanya tentang bulan.
Adakah warna lain dibaliknya?

Mungkin ada rasa bosan diritual bulan purnama yang kesekian puluh kalinya. Bermandi di cahaya yang sama.

Pencarian akan kemustahilan.
Warna yang ada hanyalah merahnya muka ayahmu. Dikeritingnya nalar tentang kita.
Kilau pedangnya kalahkan bulan , tarik kau ke kastil keraguan.
Pasungin cinta pada jarak berabad-abad.

Mungkin cinta kita adalah akarnya pohon ditaman.
Menembus ke bawah di guanya tanah, mencapai langit-langit dicengkraman mahluk malam.
Janji tersimpan rapi dilorongnya, dipekatnya. Membesar bagai batu berlumut.
Bayangan tak ada tempat untuk sembunyi.
Hanya pada malam kau berlindung. Tapi hidup bukan hanya untuk malam.

Cinta bagai kata kata yang bergema.
Seperti kerikil yang jatuh di sumur kosong.
Dimana harapan terkubur dalam
Dan jawab yang tiada pernah utuh.

Apa kabarmu yang meminta pada bulan?

(selamat ultah buat " I ")
:pacarmerah

Mungkin aku memang kurang ajar, nyaris sebulan penuh pergi hanya meninggalkan jejakku di suatu pelataran stasiun kereta api. Memang mungkin aku pantas dirajam setelah menyiksamu dengan rindu berhari-hari, berjam-jam, menit dan juga detik. Ah, perasaanmu yang membuatku kehilangan banyak kosakata setelah sembilan belas tahun lebih satu bulan hidup di muka bumi. Ini memang bukanlah surat, pemberian kabar, ini hanyalah sebuah tulisan yang tercipta di suatu ruang yang diisi olehmu. Ruang yang sampai saat ini aku tak mengerti dimana letaknya, dimana maknanya. Setajam inikah kata?

Hari-hariku kulewati dengan banyak perenungan, kegelisahan dan bacaan-bacaan. Terkadang pun penuh dengan dialog-dialog baik yang terjadwal maupun seenak waktu, tetapi beginilah kota ini dan aku mulai terbiasa kembali. Sesuatu dalam diriku terasa lebih bebas tetapi ada juga yang terasa ingin terbebas. Sebabnya mungkin bisa kupikirkan karena aku baru saja memenjarakan diriku di dalam rutinitas enam jam yang kurasa hanya pembodohan tetapi aku terpaksa melakukannya. Dan, sialan! Aku sudah muak di hari pertama. Aku masih ingin liar.

Tetapi aku mencintai kota ini, dalam kenangan yang lama baikpun yang baru, yang menyenangkan baikpun yang menyedihkan. Salahkah aku jika aku begitu mencintai kota ini? Dari warung angkringan, teh tubruk yang kental, pribadi-pribadi beragam yang kukenal, sampai pada fragmen-fragmen pemandangan. Walau terkadang banyak juga hal-hal yang menyebalkan seperti peringatan jam malam, laskar-laskar moral yang dungu dan juga munafik sampai kepada para pencopet. Yang terakhir agak pribadi, dompetku baru saja menjadi korban mereka. Kau ingat, dompet coklat kulitku itu? Satu-satunya yang penuh kenangan cukup sentimentil yang masih membuatku merasa sendu mengingatnya. Uangku hanya enam ribu rupiah, ktp dan atmku hilang. Dan, kurasa aku perlu melengos mengeluh, foto-fotoku, foto kita itu pun lenyap. Aku bisa membayangkan kemungkinan berada dimanakah dompet lapuk itu, di tumpukan sampah mungkin. Sudahlah, agaknya memang tak baik untuk menjadi terikat pada sesuatu yang bersifat kebendaan.

Beberapa hari lalu aku menemui sebuah pantai, Teleng Ria namanya, ombaknya begitu menggodaku untuk ikut bergulung. Pantai yang indah dan merindukan di antara bukit-bukit dan pegunungan. Beberapa minggu yang lalu aku juga menyapa padang pasir Parangtritis atau singkatnya Paris, bersama seorang teman, dengan lensa kamera tentunya. Sejumlah foto-foto eksperimen itu sudah tercetak, tidak begitu mengecewakan kukira untuk seorang pemula, aku jadi mengetahui dimana letak kesalahan-kesalahanku. Kukira akan ada yang kukirimkan untukmu, fotoku dan foto yang diambil oleh temanku. Aku mengejar terbenam dan terbitnya matahari di kota ini, pernahkan kita memandang senja atau subuh begitu rupa sehingga kita berdua tertidur di depannya? Seingatku kita hanya bisa melakukannya di antara genteng rumah perkotaan, ah, kita terkadang berada di tempat yang salah tetapi itu semua tidak mengapa, keindahan tetaplah keindahan dimanapun tempatnya.

Disini terkadang aku seperti tidak mempunyai tempat tinggal, sepertinya aku lebih nyaman hidup beramai-ramai walau sekali waktu akupun tersadar masih butuh kesendirian. Seringkali kulewati malam-malam bersama kawan-kawan, ramai dengan kopi, teh, dan rokok. Dengan diskusi ataupun sekedar bercanda ria, seringkali dengan menyanyi bersama, dan terkadang membaca puisi-puisi di bawah bulan purnama. Juga sudah setumpuk buku terbaca, tertulis beberapa potong tulisan, dan pemikiran-pemikiran yang nyaris hilang muncul kembali. Dunia sejenak terasa begitu nyaman. Warna-warna kegelisahan mulai terungkap, hal-hal baru sepertinya akan mulai terlahirkan. Akhir-akhir ini kami terasa mual-mual hamil, entah penuh kemuakan atau menunggu kelahiran sesuatu. Sebuah perubahan!

Tidurku menjadi berkurang begitu juga dengan makanku. Harus kuceritakan kau satu hal karena daging anjing dan juga belalang adalah sebuah konsumsi kehidupan. Aku belum sanggup memakannya, apalagi anjing, kau tahu bagaimana aku menyayangi jenis binatang itu. Aku pun sempat memasak tahu-tempe pedas dan ternyata cukup enak, walaupun menu cukup vegetarian, daging memang mahal untuk terbeli dan dimakan beramai-ramai. Terkadang ada pesta, kukira setiap pesta memang mempunyai kesan purba semodern atau semewah apapun pesta itu. Pesta kali ini diwarnai botol-botol tetapi tidak ada kemabukan, hanya rasa hangat karena hawa yang dingin dan semuanya menjadi cepat tertidur. Itu saja. Karena kami manusia-manusia malam yang sekali waktu ingin beristirahat seperti manusia kebanyakan.

Masih ada permainan perasaan, keanehan, kesenduan, kebahagiaan, kepiluan yang bercampur jadi satu. Emosi memang masih mewarnai hatiku tetapi ada suatu pembelahan yang mungkin menuntut ketegasan yang sudah berulang-ulang kusadari. Kepalaku terkadang terasa pecah karena memikirkan arti dari lima huruf yang selalu hadir di kehidupan itu. Hatiku, ah...sepertinya dia sedang enggan, dia ingin sendiri merasakan.

Aku sedang merasakan sebuah kesedihan seorang kawan, adik perempuan tersayangnya baru saja meninggal kemarin sore. Setelah koma selama seminggu karena kecelakaan motor. Dia begitu tak tenang beberapa hari ini, itu semua kurasakan karena kami akhir-akhir ini berbicara dekat dan menumpahkan rasa-rasa yang ada di dalam hati serta pikiran. Ketika mendengar kabar itu kemarin sore setelah mendadak malam sebelumnya ia kembali ke kotanya, aku benar-benar kehilangan kata-kata walaupun aku sudah menduganya. Ada kesedihan meliputi dia, aku, kami semua kukira.

Kau ingat film Lorca? Film yang kau begitu suka, sampai nyaris tiga kali kau menontonnya. Aku baru saja membuat resensi yang agak slengean, akan kuperlihatkan kepadamu jika sudah terbit di media on/off edisi keempat. Kau tunggu saja. Aku juga sedang menterjemahkan puisi-puisinya dan juga Neruda, sudah bertambah beberapa. Sebuah naskah Neruda terjemahan lama baru saja diserahkan kepadaku, aku sedang mengetik ulangnya. Aku pun baru saja menyelesaikan layout untuk buku puisi seorang kawan dekat, untuk pernikahannya. Pun, dalam tahap mengerjakan situs sastra yang akan dikelola bersama dan juga membantu layout sebuah majalah. Terdengar dinamiskah di telingamu? Kegilaan dan ketidakteraturan yang menyenangkan ini.

Aku saat ini sedang memikirkanmu di antara buku-buku yang sudah terlewat terbaca, foto-foto yang tercetak terpajang dan juga sebuah lagu berformat mp3. Beberapa hari yang lalu sebuah nomor yang kutahu itu adalah dirimu tercatat di ponselku, kau rindu? Jadi beginilah ini semua yang tertuliskan setelah itu, kata-kata dan cerita-cerita yang tak sempat kusampaikan di antara kabel dan pulsa telfon yang terus melambung itu. Maafkanlah aku karena keterbatasanku dan kekurangajaranku ini, karena aku belum melupakanmu, belum melupakanmu.

Yogyakarta, 3 Juni 2002
7.16 PM

02 Juni 2002

terlalu banyak yang ditawarkan membuat aku semakin bingung. mana yang harus kupilih. seandainya aku dapat memilih maka aku akan memilih sesuai dengan katahatiku..

01 Juni 2002

cermin itu mulai terang memantulkan wajahmu
matahari pun mulai tajam terpantulkan
perlahan, benar-benar perlahan
lalu apa yang akan kau lakukan?
cegah kilauannya membutakan matamu
gua ikutan posting lirik yah..

Here, There and Everywhere
- Lennon - McCartney

To lead a better life I need my love to be here...

Here, making each day of the year
Changing my life with the wave of her hand
Nobody can deny that there's something there

There, running my hands through her hair
Both of us thinking how good it can be
Someone is speaking but she doesn't know he's there

I want her everywhere and if she's beside me
I know I need never care
But to love her is to need her everywhere
Knowing that love is to share
Each one believing that love never dies
Watching her eyes and hoping I'm always there

I want her everywhere and if she's beside me
I know I need never care
But to love her is to need her everywhere
Knowing that love is to share
Each one believing that love never dies
Watching her eyes and hoping I'm always there

I will be there and everywhere
Here, there and everywhere