30 November 2002

yang aku tau aku begitu mencintaimu
saat bulan penuh maupun bintang tinggal segenggaman
lalu apa?
tetap saja tak mampu kuikuti tapak langkahmu
aku perih .. sementara badai tak kunjung sirna
lalu apa?
lebam legam memar satu hati
musnahkan saja
biar tak lagi kudengar bisik rindumu ditelinganya

yang aku tau aku pernah bersamamu
saat siang meraja maupun malam menyusup
genggam genggam penuh cinta masih membaui kulitku
lalu apa?
tetap saja tak mampu lagi kucari bayangmu
aku kehilangan .. sementara engkau terbang dengan sayapmu menuju nirwana
lalu apa?
rajam saja pikiranku, musnahkan saja emosiku
biar tak lagi kau dengan cerca cerca yang menorehkan biru

aku mengabu
dan kamu menjauh
lalu?
beku !!!

28 November 2002

With all of my my energy I have left that night,
I tried to held all of my anger, my worry
With all of the love I have,
I tried to convince myself to be patient, be gentle
With all of my dignity in me,
I tried not to show emotion, humiliation

But try to do all that when......

When "Fear of Losing" contaminates in your mind
When "Feeling of Failure" intimidates in your heart
When satan whisper "You lost the game" by your ears When jealousy built a kingdom in you, and you are the slave

Now...

Will you wish to keep standing in the same place you are?
Will you wish to keep staring the smile of victory against you?

I've been awaken from this dream
My eyes are still closed and so is my heart
But now I see the sun

Now I know,
I am just afraid of losing you before I even have you....
Kubus-kubus

Garis-garis datang memagari nafas sunyi. Membentuk
kubus yang tentu sama sisi. Kamarku berbentuk kubus,
jiwaku berwujud kubus, hatiku menyerupai kubus, bayangan
di cermin retak tetap kubus. Isi dompetku bukan lembaran-lembaran lusuh,
tapi kini kubus-kubus yang masih juga lusuh. Gambarmu juga kubus,
sungguh tak elok hidung mancungmu tersihir kubus.

Entah dentang apa waktu menjadi gila. Logikaku terkotak-kotak
sama sisi. Logika kubus. Debar jantung berdentum di delapan sisi.
Sudut-sudutnya runcing menusuk langkah yang bolak-balik. Sekali
berjalan ku harus berguling di tiap sisi. Sulit menjadi petak-petak bermuka sama.
Nyeri-nyeri terlukis dari delapan penjuru angin. Tapi sesal tetap sesal.
Hidup buntung bukan bunting menanti orok.

Aku terpasung tanpa rantai. Oh.... jiwa-jiwaku dipagari delapan sisi yang sama
jahanamnya. Nafasku tersenggal berat. Bulu-bulu hidungku menggelitik nakal
merayu bersin. Haaatttssyimm..... Kubus-kubus tak memasung bandul lagi.
Berubah wujud menjadi kubus yang panjang.
Kutu Busuk.

28november2002
untuk yang tak bernama

bayangmu hilang bersama asap putih
puntung yang terucap
di sudut kamar
tinggalkan cerita malam ini
kisah waktu tak kan berawal
memimpikanmu yang sombong
di lelapku
yang tak bernama

27november2002
Ini bukan cinta .. ini cinta setengah mati


it turns up to be .. i can`t stop comparing you with every single faces that i recognized
and it comes to an end .. that i realize .. you are still as special as the first time i saw you hanging there with those smile

for the man on my dream .. "You are the second, who knows if they will never be the third"
angsa - angsa mulai berdendang
itu kah aku yang jatuh cinta?

*ah .. masih bisa kudengar untaian maki dan cela yang terlontar dari bibirnya, memang aku yang tidak akan pernah cukup baik untuk siapapun*

27 November 2002

LIMA SURAT UNTUK IBU

Surat Pertama: Jakarta Bertambah Harum
Kapal telah terantuk di dermaga. Kakiku pincang melangkah di antara sampah-sampah Jakarta. Di antara bualan politik di serambi istana, botol-botol parum globalisasi, liur-liur yang menetes di pinggiran real estate, map-map lusuh bundelan lamaran, mayat-mayat hidup di kolong-kolong. Udaranya menyesakkan, tidak seperti nafasmu bu. Pagi tadi saudara kita juga tiba di kota ini. Aku sambut tidak dengan sirih, tapi lirih yang menetes. Tes. Tes. Tes..... Sungai memeluknya, menghantarkan mayat di tepi ini. Jakarta bertambah harum. Keringat, tangis, liur, bangkai penuh belutang.

Surat Kedua : Siapa Yang Menanak Nasiku Kelak?
Ingatkah ibu pada nasi yang dulu ditanak? Tutupnya naik turun, uap panas menyeruak. Rinduku pun tak bisa tersimpan rapat. Padamu dan manusia berkelamin sepertimu. Aku yakin dia cantik - seperti ibu - dalam gaun pengantin putihnya, setetes darah di sudutnya. Darah itu milik suaminya kini. Aku tak menyisakan apa-apa, perih-perih dari gaun putih di jemuran esok. Airnya menetes pelan, lamat, lambat, mampat benak sesaat. Mungkin pagi-pagi berikutnya, nasi di tanak untuk lelaki yang memeluk tubuh bugilnya. Dan tutunya naik turun. Siapa yang akan menanak nasiku?

Surat Ketiga : Kelelawar Menari di Purnama
Aku berada di antara keringat-keringat. Di antara dengus-dengus. Di sela-sela mimpi dan ronta tercekat. Tangan tak diam, otak menari gila. Beratus-ratus rantai mengikat jiwa-jiwa pada pilar-pilar roda yang meludahi keping-keping emas. Tiada yang berani berbisik akan gaji tak cukup atau istri yang belum pernah menggoreng ayam, atau anak-anak menanti baju baru di gerbang sore. Ada kelelawar berbaju emas menari cha cha di bumbungan atap. Telinga lebar amat awas. Taringnya meneteskan mazmur-mazmur nabi palsu, ia penetrasikan ruh-ruh kemerdekaan diri. Mandul dan robot berjalan, menanti di akhir bulan, ketika kelelawar menari di purnama.

Surat Keempat : Hewan Itu Tertawa Puas
Dulu si Iwan jadi gila karena menggigit anjing gila. Orang-orang menertawai ulahnya dan jadilah dia gila yang sejati. Dikumpulkan bersama manusia-manusia gila di rumah yang gila. Kemerdekaan ada di sana, kebebasan santapan utama layak dicicipi. Manusia adalah harimau bagi dirinya, harimau adalah manusia bagi dirinya? Mereka tercipta berkulit manusia. Mereka bukan bangkai walau jiwa dikucilkan bagai binatang. Dan binatang itu tampil di TV sore. Tertawa puas. Sebuah kemerdekaan tersimpul di bibirnya dari panggung dagelan. Bersama binatang-binatang lain, mereka berhasil memusnahkan manusia-manusia di Legian.

Surat Kelima : Biarlah Aku Kembali Lalui Vaginamu.....
Sepi di antara mimpi. Akal-akal yang palsu terselubung debu waktu. Malam dan siang bagiku kembar. Gendang telinga rindu akan omelan ibu atau cerewetnya betinaku dulu. Memakan hari, memuntahkan syair-syair. Tapi syair-syair tak kan menyilaukan betina-betina yang tak berpemilik. Peta harta karun di kain lurik lusuhmu telah menipu, walau bapak memukul manja pantatku untuk beranjak ke kota ini dan tapaknya jelas terlihat Mungkin Desember ini aku tak pulang, jangan risaukan aku. Jangan kirimi aku Sinterklas. Aku tak mengidam itu. Yang kuingin bila Tuhan ijinkan, biarlah aku kembali melalui vaginamu dan tidur untuk selamanya di hangat rahimmu. Aku rindu peluk dan kasihmu, bu. Di situlah kejujuran bersumber dari seorang wanita.

Bekasi, 27 November 2002
empat ratus tujuh puluh tiga senandung luka
tertoreh di kubur kubur tanpa nama
Wahai kekasih jiwa,
Jangan dulu kau kubur raga


Enam ratus empat puluh delapan purnama
Sembuyi di balik malam malam lara
Cinta, jangan kau bawa luka
Aku masih ingin terlena
adakah Tuhan?
mengapa tak kunjung ada jawab?
TULIKAH ??????????
[dan lara masih saja mencambuk ragaku]

adakah Tuhan?
atau cuma satu lagi dongeng yang dikumandangkan untuk menidurkan jagad?
BUTAKAH?
[Toh, aku masih saja melepuh kesakitan seorang diri]

Palungan, anak domba, kalvari, dan golgota ..
ilusi imajinasi kisah atau apapun itu
PEMBOHONG !!!!!!!
[aku tetap saja menyimpan luka luka penuh nanah]

saat senja harus hadirpun aku masih akan tetap saja menyisakan satu tempat untuk matahariku
karena cuma dia, yang mampu menyisakan cinta setelah sekian tetes tangis

26 November 2002

ANDAI IA TAHU
:buat QV

Andai ia tahu,
mungkin ini bukan sebuah onggokan muntah
yang baunya mengecutkan nyali semut-semut hitam itu.
Tersedak sudah sumpalan yang tercekat lama.
Gema jiwa dibaui himpitan gunung es galau.
Entah kapan 'kan mencair, basuhi lereng curam,
menyusuri mata hati yang lama kering merentang,
isi pundi-pundi sang musafir di oasenya.

Andai ia tahu,
mungkin ini bukan sebuah igauan sang pemabuk,
dari berbotol-botol kekosongan mimpi yang berlubang.
Tarian ku lincah dengan sayap-sayap patah.
Bumi usil tanah tiada landai.
Ahh....jiwaku adalah gempa yang mengabarkan racau.
Jangan tatapi aku dengan sinar tajam dari atap berlubang.
Biarkan angin membawa bisik ku di antara
buluh-buluh yang saling cemburu.

Andai ia tahu,
aku adalah anak sang waktu.
Pagi adalah kesadaran yang celikkan matamu,
aku nuzumkan embun basuhi asamu.
Malam adalah peraduan kasih setiamu,
aku selimuti engkau dengan pekat cinta
setiada sinar kebohongan di langit hitam
kita warnai malam dengan garis-garis keabadian.

Andai ia tahu,
kata itu belum pernah terucap,
tapi mulutku telah membauinya.
Dan aku hanya bisa menatap,
sang bulan di dalam botol arak

26 November 2002, 23.40 wib.

25 November 2002

gelepar opera cacing berdebu,
percik bara, darah tertuang langit tercurah merah
selesap makna hilang raib ketika air menemukan ujud
saat cinta bergelora, uap mencari peraduan di awan-awan tinggi
setinggi mimpiku malam itu......
andai ia tahu....

Buummmmm ....
tubuh-tubuh berdebum
mayat itu tersenyum
ejek keadilan berpendulum

bibir dikulum
hasrat terangkum
"tuhanku tersenyum"
ujar terhukum.
hembusan perokok dini hari

bakari batang
hangusi berang
marahi bentang
rindui antang

kusulut dupa
menyembah segala lupa
mengusir semua rupa
hari ini milik siapa ?

24 November 2002

akan ada ..
suatu senja, dimana kita akan menyongsong bintang pertama yang mengangkasa itu tidak seorang diri
Kataku ini bukan hanya bualan
tangan tangan resah .. usah bicara
Karena ini cuma selintas mimpi mimpi panjang yang sudah menua ditelan tiang tiang waktu
Rindu Rindu yang sudah tidak terkatakan lagi pedihnya,
Kata kata yang tak mungkin lagi dijelmakan lewat kalimat

Seribu tanya masih hadir,
sudah lelah hati mendera, akankah ada jawaban?

Kataku ini bukan hanya angan semu
bibir bibir bergetar dingin, usah lagi berkata
Ini hanya sisa sisa badai yang kadang menghempaskanku ke masa silam,
Usah kita cari jawabnya

Seribu tanya masih hadir,
Sudah lelah bahu menopang,
langkah - langkah malam, kapan terpetakan?
bisikkan rindu di telingaku,
aku cinta .. aku cinta ..
hanya kamu
Buat yang tidak pernah gagal mencintaiku
I Love u my J.

Berjajar berundak-undak
barisan budak-budak
dengan diri di pundak
tangga nurani dipijak-pijak

bekerja warnai udara
dengan keringat lendir celaka
lukis tuhan untuk dipuja
setan lah mandor penjaga

saat istirahat tiba
menjilati liku luka cambuk
pada punggung yang lapuk buruk
didera kekal hasrat pancaroba

bertanya kasak-kusuk
harga hari-hari yang tlah terbentuk
hati-hati mulai mengamuk
gambar tuhan tak juga terbentuk

kemudian,

datanglah seekor Domba
tersembelih di bawah kepala
menatap marah mandor celaka
menangisi darah semua luka

mandor beringsut mundur
sadar siapa di ujung mata
luka luka mulai tidur
di ranjang ampun berselimut cinta

budak-budak terpana tanpa kata
saat Domba membusur bianglala
Dia pun mewarnai udara !
dengan kuas suara kuasa.

23 November 2002

is it getting better now, nie?
I wish it just was that easy dear .. i wish !

namun pada kenyataanya sampai pada detik kutuliskan kata ini pun cinta yang ada tidak pernah memudar
hanya mungkin ada benci pada karat yang mulai merajam darah
seribu cinta di matamu
seribu luka di hatiku
lalu apapun itu, hanya tetap ada kamu
di hati di pikiran dan jauh di dasar hatiku ..
ah, lupakan kamu? mungkinkah?

22 November 2002

Why should there be anger to those we love?
Why should there be denyal of truth?
Why should there be rejection of rights?
Why does ego always takes control of war which directing to the victory of regrets?

When ears are deaf and eyes are blinded
We need clean hearts to listen
And open mind to see

May peace be with us

Srilanka, 22nd November 2002
Cinta,
Kukubur bangkaimu
diantara nisan nisan tak bernama yang menyenandungkan getir

Sudah lelah diri terbunuh,
Tapak tak lagi kuat, rebahkah?

Siapa itu?
Yang menunggui sepi di makammu?
Yang menaburkan doa doa ke hadapan para dewa?

Luruh satu kamboja,
Memar satu hati,

Biarkan saja mati ..

Cinta .. terhempaslah dalam neraka beku

*lalu aku jatuh, terkulai dan patah, ... ijinkan menyusulmu*
aku luka
karena kamu luka

aku perih,
karena laramu tertera

itukah kita?
yang saling menikam di sela malam malam pekat

lalu, layakkah cinta dipertanyakan?

21 November 2002

tolong,
jangan lagi menangis ..
tak mampu lagi kutatap getir bola matamu
sakit
sakit
pada sebuah perenungan lahirlah berbagai serapah, sisa-sisa yang melekat dari ziarah yang tak kunjung henti............

Ziarah sebuah larangan

Lincah mendayu suara kecil itu menyapa pagi di Minggu yang tenang. Siulan angin bagai seruling mengisi kekosongan tangga nada dari hari yang baru di mulai. Pucuk-pucuk hijau menari bagai menikmati ruh-ruh yang bangun dari kubangan malam. Gerakannya sungguh meresap bersama embun yang berkilau bagai permata diterpa garis-garis sinar mentari. Binatang-binatang pemakan biji kepalanya menoleh kiri kanan, siulannya mencari nada-nada pelengkap makna. Terlukislah pagi dengan bingkai kebangkitan, aroma nafas kehidupan bermula.

Suara mendayu itu terhenti, digantikan bunyi kecipak air di permukaan kolam. Lingkaran-lingkaran makin membesar menyentuh tepi yang melingkari kolam. Ikan-ikan bersisik keemasan itu berenang menjauhi batu kecil yang lamat-lamat tenggelam. Bersembunyi pada gua buatan di dasarnya. Dan sang jantan mencoba melindungi dengan mengitari betinanya.

Kepalanya mendongak ke atas ketika melihat sebuah bayangan muncul membekas bersama bayangannya di permukaan air kolam. Ia menatapku, ada nada keheranan mendapatkan ku persis di belakang tubuhnya yang sedari tadi jongkok di tepi kolam. Tanpa memberi kesempatan sebuah tanda tanya berlanjut menjadi sebuah ketakutan, aku menyapanya, “sedang mengagumi mahluk-mahluk yang gembira itu?”

“Tidak, mereka justru mahluk malang yang terkukung pada kehidupannya. Tak jauh beda dengan burung di dalam sangkar. Kolam ini pasti sebuah dunia yang membosankan bagi diri mereka, seumur kehidupannya akan terus melingkar pada tepian yang sama, yang itu-itu saja,” dia membantah, nadanya sangat cerdas.

Aku mencoba bersahabat, duduk di batu besar dekatnya. Kolam itu sungguh sangat asri, di kelilingi oleh taman yang penuh bunga-bunga dan pepohonan. Serangga dan binatang-binatang taman menemukan surga kebebasan, walau tak jauh dari situ gedung-gedung pemukiman angkuh memagarinya. Pada masing-masing rumahpun terdapat taman-taman kecil, tapi itu terkesan hanya menjadi penghias, gambaran keindahan hanya menjadi pelengkap saja.

“Bersyukurlah kalau kau masih menghargai hidup. Tinggal bagaimana kita menjalaninya, seperti ikan itu yang tak mampu memberontak untuk kehidupan yang diterimanya. Bila mereka hendak menyangkalnya, kematian akan diterimanya. Melompat dan mati kehausan,” aku mencoba menariknya untuk lebih bersahabat lagi.

“Kita yang memberi mereka kehidupan walau mereka tercipta bukan untuk menjadi sebuah tontonan. Keindahan milik mereka yang kita inginkan, bukan keajaiban akan kehidupannya. Apakah kita tak bisa menghargai kehidupan mereka seperti kita menghargai kehidupan kita. Kita mencoba untuk menjadi tuhan-tuhan kecil,” nadanya begitu menyindirku yang hanya sebuah ciptaan dari debu yang di beri nafas kehidupan. Aku sedikit tertegun, mencoba menyusun kata untuk dialog-dialog berikutnya. Sebelum kernyit di dahiku kembali hilang, kata-katanya mulai memburu.

“Sama seperti orang tua dari anak-anaknya, mereka telah menjadi sang pencipta dari bayi-bayi yang mereka lahirkan. Keilahian mereka begitu merasuki, mereka memberi dogma dan aturan-aturan pada boneka-bonekanya. Hidup ada dari kata-kata dan perintah mereka, nasehat menjadi kekang untuk tak lari jauh ke depan.”

“Itu sebagai wujud akan kasihnya, seperti Tuhan memberi nabi-nabi sebagai penerang umatnya, orang tua yang tak mau sang anak menjadi liar pada imajinasi yang sesat. Atau seperti ikan ini, kita tak mau mereka kekeringan dan mati menjadi santapan sang predator. Janganlah kau berpraduga buruk pada orang tuamu, mereka mengasihimu,” aku mencoba menebak kerisaunnya. Sepertinya kalimat terakhirku menyapa galaunya.

“Aku tak pernah menyalahkan mereka. Hanya aku merasa mereka telah mengingkari waktu. Mengingkari aku sebagi buah kasih mereka,” ada sebuah mendung bergayut di wajahnya.

“Mereka tak mengakuimu sebagai anak?” tanyaku memburu.

“Tepatnya tidak seperti itu. Tapi pertengkaran mereka meniadakan kasih yang menciptakan aku, mereka meracuni kelembutan hati yang membesarkanku. Aku terjebak dalam persoalan masa lalu mereka.”

“Masa lalu seperti apa?” tanyaku berusaha mencari jawab.

“Ketika cinta mekar dan bersemi, buahnya tumbuh dan membesar, sementara akar lama tak pernah terpelihara. Terciptalah tanaman yang kerdil pada wadah perkawinan yang agung dan sakral. Mereka meracuni akar dan menyangkal jenis tanaman itu. Aku terjebak dalam kelahiran tanpa cinta.”

Dia terpakur menatap di kedalaman dasar kolam, mencemburui sepasang ikan bersisik keemasan yang berenang mengitari tepian kolam. Aku tersudut diam, tak mencoba mengusik galaunya terlampau jauh. Biarlah ia yang mengungkapkan sendiri di deti-detik yang berjalan. Lelaki kecil itu, sejenak menikmati keheningan. Siulan binatang-binatang pemakan biji terdengar bagai nada sendu, seakan tahu gundah gulana yang menaungi.

“Ibu tak menemukan cinta pada ayah, ia tak menemukan bayangan yang diimpikannya. Dan aku menelan semua mimpi yang dipaksakan untuk menjadi sama dengannya. Menjadi sama dengan manusia abadi yang mengisi relung-relung hatinya. Ada manusia masa lalu yang menghantuinya,” katanya datar.

“Dan aku terjebak dalam dunia kasih yang berjalan sendiri-sendiri. Terkukung pada mimpi-mimpi mereka dan segala kepalsuannya.” Ia tertunduk jatuh, tubuhnya bergerak bangkit menjauhiku. Gontai berjalan menuju rumah di seberang taman.

Aku mengejarnya, sahabat baruku pagi ini terjebak dalam kesedihannya. “Jangan pernah menyerah pada keadaan bukankah waktu yang menciptakan kita. Sobat kecilku, terimalah ini sebagai kenangan bagimu. Berjanjilah untuk tak menyakiti ke dua orangtuamu, dan kiranya kalung ini akan mengabadikan pemaknaan kasih yang sesungguhnya.”

Tangan kecilnya menggenggam erat pemberianku itu, sebuah kalung dengan mata batu hijau dan berlalu menuju rumah dengan dua kursi di teras depan, sebuah pot bunga dan asbak di atas meja kecil di antara kedua kursi. Tanaman mawar masih tetap tertata rapi di pinggiran lantai teras dan sebuah guci besar tetapseperti dulu terduduk di sebelah kanan dekat pintu masuk.

* * * * *
Itu rumah ayah, beratap genteng merah yang sudah tua. Tak jauh beda dengan sepuluh tahun yang lalu, masa yang cukup lama aku tiada mendapati senyum kerinduannya yang selalu mengembang walau sehari saja aku menghilang. Dan tangannya akan memeluk rapat tanpa setetes tangis yang jatuh. Tangannya yang kekar akan mengusap-usap pundakku, membaluri kasih di kepala pada usapan-usapan lembutnya.

Halaman samping rumah tertata rapih, sebuah ayunan tua tetap berdiri di bawah pohon mangga itu. Mainan itu buatan ayah sendiri di pabrik tempatnya bekerja. Dengan memanfaatkan sisa-sisa pipa besi yang tak berkarat lagi setelah diolesi cat hijau. Tapi ayah mendapat teguran keras akan tindakannya memakai pipa besi tua itu. Untung saja ayah punya sedikit tabungan untuk mengganti nilainya.

Apa kabar ayah? Engkau pasti merindukanku. Engkau pasti akan tergopoh-gopoh lari bila tahu aku ada di sini. Binar matamu menutupi kerisauan tuamu, dan bibirmu akan bergerak-gerak mengucap sapa, keheranan akan tubuhku yang telah mekar dan sebuah pertanyaan apakah anak ayah tak lagi manja. Engkau selalu menganggapku anak manja, sesungguhnya engkaulah yang memanjakanku. Sebelum aku berpikir, engkau telah mengendus pikiranku. Sebelum aku melangkah, engkau telah membukakan pintu. Sejuta cara kau buat agar aku merasa nyaman bersamamu. Tapi tidakkah kau tahu, aku merasa risih akan itu semua. Mukaku merah padam menahan malu ketika teman-teman SMU ku dulu tahu aku selalu kau antar di tiap pagi dan ritual peluk dan cium pipi tak pernah tertinggal. Dan di luar rumah aku belajar untuk lari dari bayang-bayangmu, aku mencari jawab sendiri akan segala pertanyaan hidup.

Suara tembang lama dari piringan hitam berhamburan dari kisi-kisi jendela rumah. Ayah pasti sedang mengenang masa mudanya dulu bersama Elvis Presly, Beatles, Everly Brothers dan tembang-tembang yang tak begitu ramah ku kenal. Engkau pasti sedang duduk di sofa merah tua itu, di dekat jendela yang selalu kau buka lebar. Matamu tak kan lepas memandang kumpulan kata-kata bagai semut beriring di koran hari ini. Dan secangkir kopi ada di atas meja di sisi kananmu. Sebatang rokok pasti kau biarkan terus menyala di asbak, karena berita hari ini begitu mencuri perhatianmu. Gambaran hidupmu tak pernah berubah, mungkin kau merasa nyaman dengan waktu yang berjalan dan kau menganggap hidup tak perlu dipersulit.

“Mengapa kau tak masuk saja? Menyapa rindu dan memeluk bongkahan kenangan,” suara tua menghasutku. Aku menatap asalnya, sebuah bibir kering milik wanita dengan uban yang tak malu-malu. Wanita itu adalah sebuah lukisan dari umur yang berjalan tegap tanpa hendak berpaling, sisi kehidupan telah dilalui semua, sepertinya kematian yang sudah jauh lama merindukannya. Cukup untuk merasakan kenikmatan eksperimen waktu dan menciptakan lembaran-lembaran sejarah yang tak kan pernah usang bagi keturunannya. Usianya tak jauh beda dengan ayah.

“Aku ingin mengenang kembali masa-masa yang kami jalani bersama. Buntelan cerita-cerita yang tersusun rapi dalam ingatan. Saat ini aku merasakan hawa kerinduan melingkupi rumah kami, dan seonggok tubuh tua itu bukan lagi terdiri dari tulang dan daging, tapi ia adalah sejarah dan jam waktu. Ia bagai pena dan cermin waktu yang menciptakan lika-liku hidup. Hingga akhirnya aku dipaksa oleh ayah untuk tak kembali ke kota ini, meninggalkan jejak-jejak langkah tersapu oleh waktu.”

“Adakah kau merasa membencinya ketika ia melarangmu kembali ke kota ini?” tanya wanita tua yang telah duduk di sampingku, di sebuah bangku di taman kecil seberang rumahku.

“Sebuah pilihan berat yang aku hadapi dulu, mengikuti keinginannya akan menyiksaku, mengeringkan sungai cintaku. Menyangkal keinginannya akan membuat ia terbunuh oleh rasa bersalah, menenggelamkan harapannya. Hingga akhirnya aku memilih ayah dan membiarkan kekasihku diambil oleh lelaki pilihan orang tuanya,” sejarahku menerawang jauh di pelupuk mata.

“Mengapa ia begitu yakin itu yang terbaik bagimu?” tanya wanita itu.

“Ia tahu aku begitu keras hati, bila aku di kota ini dengan segala cara aku akan menghempang perkawinan mereka. Itu tak diinginkan oleh ayah, karena akan ada jiwa-jiwa yang terluka dari mereka yang melahirkannya. Membiarkan mereka menikah di depan mataku akan menyumbat mata hatiku. Untuk itu ia melarangku kembali ke kota ini, menghindari puing-puing hati menjadi meranggas.”

“Sungguh mulia hatinya. Sepertinya ia menemukan pembelajaran dari makna kasih yang sesungguhnya, ia mengenal dekat wujud cinta yang sesungguhnya. Sungguh berbahagia wanita yang menjadi istri ayahmu,” wanita itu mengucap puji.

“Aku tak mengenal siapa kekasihnya yang akan ku panggil ibu. Ia tak memberiku ibu, ia memberiku lebih dari ibu. Sedangkan aku hanyalah anak angkat yang diambil dari sebuah panti asuhan, itupun baru ku tahu ketika aku telah dewasa. Tapi... sedari tadi aku bercerita, aku belum mengetahui siapa ibu sebenarnya?” aku menatap pada mata teduhnya.

“Aku hanyalah seorang peziarah. Berjalan dan menemukanmu di menit-menit yang lalu. Aku kagum pada binar matamu yang menyemburatkan kerinduan yang mendalam. Dan aku terhenti untuk itu,” katanya lembut menjelaskan.

“Sama seperti aku, meninggalkan danau kenangan di kota ini?” selidikku.

“Seperti itulah, lebih tigapuluh tahun aku tak menyapa kota ini. Tak lagi pernah menyapa pagi hari karena aku lenyap bersama malam kota ini. Membiarkan sejuta kehidupan berjalan tanpa mencoba untuk mencekokinya. Membiarkan seorang lelaki menghadapi hari-harinya tanpa pernah menawarkan janji akan tiba ‘masanya bila’ aku kembali ke pelukannya,” mata wanita tua itu berkaca-kaca, bibirnya bergetar.

“Engkau mematikan mimpi-mimpi lelaki itu. Begitu kejamnya,” aku memvonisnya. Ia tertawa kecil sambil menutup mulut menahan tawanya. Ia mengusap dua tetes air mata di pipinya yang terukir guratan waktu. Ia menarik nafas yang terasa tertahan di tenggorokannya. Tapi ia tak bisa menahan tawa kecilnya kembali.

“Tidak, aku tak kejam. Aku hanya seorang wanita petualang yang tak bisa hidup di satu tempat. Aku bosan dengan kota ini, dan aku mencari suasana baru di kota lain. Aku mengabarinya sesampai aku di Jakarta, mencari kerja. Tapi aku tak menjanjikan akan kembali ke sini. Tapi kalau kau mau menyimpulkan, jangan katakan aku kejam, katakan saja aku mengabaikan ketulusan cintanya. Mungkin saat itu aku tak begitu yakin akan cinta kami, aku coba biarlah waktu yang menjadi cermin pembelajaran diri. Tapi ternyata.....” ucapannya terhenti, wajahnya menengadah ke langit entah mencari apa.

“Tapi apa?” aku mencoba mencari jawab kegusaran akan cerita-ceritnya tadi.

“Cinta tulus yang aku abaikan berubah menjadi karma. Aku terlantar untuk obsesi yang aku ciptakan sendiri, hingga di detik ini aku baru merasakan akan nilai-nilai itu semua. Sungguh mahal nilai sebuah kesetiaan, aku malu pada mu dan cerita tentang ayahmu. Hai.... tunggu apa lagi. Jemputlah kerinduan yang menantimu, jangan biarkan ayahmu menahan kerinduan lebih lama lagi, walau itu untuk beberapa detik yang kau tunda sejak tadi.” Wanita itu seperti mencoba menghentikan pembicaraan akan rasa bersalahnya dan ia memaksaku pergi. Aku hanya tersenyum, dan beranjak pergi menyeberangi jalan raya ini, jalan yang membelah rumahku dan taman itu.

Kakiku terhenti ketika ia meneriakkan sesuatu, “sampaikan salamku padanya. Aku tak mampu berinya janji karena ‘masanya bila’ hanya di sebuah keabdian kelak di sumber kasih itu mengalir. Aku akan menantinya di sana.” Sebelum aku mendapatkan wujudnya, sebuah bayangan besar menjemputku, melemparkan ketidaksadaranku.

“Mas, mas........ bangun. Jangan tinggalkan aku,” rengek tangis mengisi relung sadarku. Tetes airmatanya jatuh di wajah. Lamat aku tersadar dan menatap wajahnya, hidungnya nyaris menyentuh pipiku. Aku memeluknya dan pasrah pada dekapannya.

“Bagaimana aku bisa ada di sini?” Aku menatap ruangan putih dengan wangi obat yang menyengat.

“Wati yang beri kabar ke kantor, jantungmu berdetak lemah. Aku hanya berdua dengan paman. Dan paman sedang mengurus obat di apotik. Kata paman ada berita duka dari kampung yang ia kabarkan padamu, itu yang membuat sakit jantungmu kambuh,” tangisnya menjadi, memelukku begitu erat. Ada rasa bersalah menggerogoti nuraninya.

Aku tersadar oleh ziarah di sakratul mautku. Kerinduan mendapatkan ayah - yang kembali sendiri untuk hari-hari tuanya. Aku menoreh luka yang dalam padanya, dan membiarkan luka itu tetap abadi menganga.

Aku menatap istriku, wanita dengan kalung mata batu hijau. Hanya dia yang aku miliki kini, biarlah ayah tenang menemukan wanita tua kekasihnya yang abadi di sebuah sumber kasih mengalir. Dan aku mengerti arti sebuah larangan itu, ketika ia mendapati dirinya telah luka cukup lama oleh cinta dulu.

Jakarta, 8 Nopember 2002
sebuah surat untuk sesosok kawan ..

buat kamu,
mungkin apa yang aku katakan
apa yang aku lakukan
tidak pernah, dan tidak akan pernah menjadi sesuatu yang berarti
mungkin setiap kataku yang kaulihat .. setiap kataku yang kau dengar
cuma satu bagian dari entah sisi hidup kamu yang mana, yang senantiasa tidak pernah nyata dalam keseharian kamu
aku tau .. dan buat aku, akan sangat egois kalau aku malah harus bersikukuh menjadikan diri aku sendiri berarti dalam hidup kamu,

aku berusaha mengerti .. itu lah sebabnya dua taun belakangan ini, aku mencoba untuk begitu tidak memperdulikan setiap luka akibat perkataan kamu
akibat setiap perlakuan kamu.
tapi aku gagal,
karena di satu sisi, aku cuma wanita biasa yang ingin diakui .. ingin dianggap ada dan bukan hanya sebagai oase tempat kamu kembali saat kamu bosan dengan kesibukan kamu
aku ingin berarti .. bukan hanya sekedar suatu benda yang tidak berwujud yang begitu mudahkan hilang dari pikiran kamu seiring dengan tidur yang menjemput kamu

Tuhan atau siapapun diatas sana tau, kalau begitu lama aku berusaha untuk mencukupkan diriku pada setiap hal yang bisa kamu berikan,
berusaha untuk mencukupkan diriku dengan hanya sedemikian persen dari kehidupan kamu yang rela kamu bagi ke aku ..
tapi nyatanya aku gagal ..
dan nyatanya malam ini kalimat demi kalimat ini tertulis, dan maafkan .. kalau beberapa hari ini aku begitu tidak puas dengan keadaan kita, dan mulai menuntut lebih dari apa yang bisa kamu berikan ke aku

Mungkin, memang ini tidak lagi penting buat kamu,
lebih mungkin lagi bahwa apapun mengenai aku memang tidak pernah penting buat kamu ..
karena toh dari pertama kamu sudah menegaskan hal hal yang dapat kamu beri .. dan hal hal yang buat kamu itu mimpi yang tidak bisa kita sentuh
kita mulai dengan banyak perbedaan .. kita kompromikan dengan satu kata SAYANG .. tapi pada akhirnya pun aku harus sadar, bahwa buat kamu aku tidak akan pernah bisa jadi nyata ..

jadi maafkan aku,
kalau saat ini aku menolak setiap bentuk perlakuan kamu,
ini tidak cukup buat aku ..
dan dengan tegas dapat aku katakan, bahwa aku memberikan punggungku untuk kemudian melangkah menjauhi kamu
mungkin akan ada satu dua tetes tangis, tapi percayalah .. kamu sudah memberikan lebih banyak tangis selama masa masa ini.

Aku tidak akan menakutimu dan mulai berbicara tentang cinta padamu ..
karena toh seperti yang seringkali aku katakan, buat aku cinta itu selalu menyakitkan
dan aku benar2 tidak mau untuk kemudian jatuh cinta lagi padamu .. dan harus terluka lagi dengan setiap jubah kesombongan yang kamu pakai
ya, mungkin aku pernah begitu menginginkan kebersamaan denganmu
tapi doakan aku, siapapun Tuhanmu, doakan agar aku tidak lagi berpaling dan membiarkanmu melihat berapa banyak luka yang harus kutanggung

Dulu kau pernah berjanji akan mengantarkan ku ke arah yang lebih baik,
satu kalimat yang begitu menggores aku ..
karena ada saat dimana aku tau .. aku menginginkanmu
tapi sudahlah ..
itu tidak lagi penting, setidaknya pada saat aku benar benar bertekad akan melupakanmu

benar kata mereka, di satu sisi .. perasaan indah ini telah mengkristal .. dan aku akan menyimpannya selamanya

maaf, aku gagal jadi sahabat kamu .. jadi adik kamu,
karena yang kuinginkan bukan hanya itu

teriring salam,
bella
satu dua tiga empat
satu untukmu
dua untukku
tiga untuknya
empat untuk siapa?

AKU BENCI !!!!
angin belum lagi sempat memetakan maumu
cuma sekedar kata ..
cinta yang ada tak lagi sama,
dan kita ..
tak pernah lagi kan bersua
ada dia .. sang lara bernama duka

lalu apa?
siapa yang kuseka?
adakah?

19 November 2002

borok adalah hasil fermentasi dari segala kebusukan yang berintegrasi dengan sistem jaringan-jaringan dibawa oleh darah yang terus mengalir melewati jantung dan segala otot dan saraf hingga bagian dari sistem ikut membusuk lantas segala pembusukan itu membuah dan keluarlah menjadi borok, maka biarkan saja jika borok muncul dibagian badanmu karena segala kebusukan telah menemukan jalan keluar biarkan saja jika ia menjadi bisul meski perih yang semakin merah bercampur nanah hingga membiru dan pecah !!!

18 November 2002

perpisahan adalah kematian kecil, kematian adalah perpisahan besar, entah dimana aku mendengarnya dalam perjalananku

Shhhh...siapa itu?

berbiduk senja yang memerah seperti amarahmu sesiang tadi

Aku sedang menulis.

melayangkan temaram tatapan matamu menuju kesenjangan di pojok jalan sana

Ah...

mari...mari bersamaku...

17 November 2002

buat pengecut yang memuakan

kulihat kalian berdua
tidak malu pada nyata
bersetubuh mata
memperkosa luka

kelamin yang mengkerut
rindu pada yang tidak ada
pergi saja kalian kelaut!
puaskan penghuni baka!

penghianatan pada ada
onani kata-kata
berbusa-busa bisa
dua nisan di alam maya.
ini bukan hanya pagi
bukan hanya siang
bukan hanya malam
bukan hanya terang
bukan hanya gelap
ini tentang kita
yang hancur dimakan masa

hanya lara yang bercakap
tentang sebuah hati yang mengabu
tentang aku
tentang kalian di negeri sana
aku rindu ..
tapi tak kuasa
mereka bicara tentang apa yang nyata dan apa yang maya
tapi aku,
bila ada yang mau mendengar semua mimpi?

16 November 2002

jika kamu belum melihat setan, maka lihatlah dirimu sendiri!
(rumi)
bagian hidup
mu, apakah itu?
bagian hidup
ku, adalah itu

15 November 2002

buat tanya yang meruap

kerak-kerak kerakyatan
kepik-kepik kepicikan
diam dian kebajikan
samasara di bumi prahara
jauh di ufuk sana
akankah sang fajar mati muda?
Kita sang hamba

Kaki kita masih kaki yang dulu
dua tungkai yang tak letih berjalan
Dan kerikil-kerilik tajam teman yang lalim

Tangan kita masih tangan yang lalu
tak tahan terlena sedetik pun jua
Mengais di tepi kemakmuran yang terpenjara

Mulut kita masih tetap mulut terkunci
Baunya sesakkan nafas yang terhirup
Bungkam menelan aroma kenikmatan
bongkahan emas di lumbung sang tuan.

Ajal kita masih ajal yang meretas
Menanti tak pasti, berharap tak berbekas
Sirik bukan milik kita, tapi mimis masih mengalir
Akankah kita menjual diri,
bagai kambing-kambing sang kurban nabi kebajikan

Di tepi kemakmuran, kita berdiri
Menjadi hamba hina di negeri sendiri

14 november 2002
Aku adalah lautan kata

Aku adalah lautan kata, kubangan mimpi yang mencari jejak mu
pada lukisan tapak kaki yang ditelan oleh gelombang nakalku.
Sejuta tanya akan mu masih meninggalkan doa-doa
Atau kini mungkin ketakutan untuk mati muda
oleh hujan tombak bagai titik-titik sinar di seberang kegelapan.
Mari bercerita akan tangis yang menyelimuti daratan.
Tanah merekah membelah, liang-liang kubur yang merindu.
Jahanamlah jasad tak bernisan.

Aku adalah lautan kata, kubangan sampah dari daratan.
Sumpah serapah bagai buih ocehan alun dari selatan.
Ongokkan sisa-sisa hidup yang tak lagi terberi ruang.
Ketika pasang dan surut masih bersahabat,
mengapa kau tak beri damai yang dulu menjadi santapan.
Biarlah dunia binasa oleh kutukan damaimu,
bukan kebinatangan yang melahirkan manusia-manusia baru.
Karena setan telah lama berganti kelamin,
tidakkah kau tahu itu?

Aku adalah lautan kata, jajaran membentang di sepanjang waktu
tepian yang tak lagi mampu memiliki sebuah harapan.
Dari sini aku bersaksi akan kota-kota yang terbakar,
akan asap-asap hitam perangsang nafsu sang nazar,
akan jerit dan tangis mengalir bersama sungai.
Di langit tak ada lagi kerlap-kerlip rasi sang bintang,
hanya gelap, sekelam benak anak manusia yang dinaunginya.

Ketika camar masih terus tertawa dan nyiur memberi salam perpisahan.
Sang lanun hanya menjadi teman,
saksi bagi bulan yang bugil mematut diri
Dan aku masih tetap hanya lautan kata, yang bercermin pada kealpaanku,
mencari kasih yang lama menguap
milikmu, tuhan.

14 november 2002
funny. i think i can write too
never tried until now
cept in my head, where it cant be read
maybe its better this way
you can make an attempt
to understand
giving you my words like some sort of helping hand
i want inside of any mind
yours is laid out so convieniently, so i'll take it
but theres always so much doubt
and then, that need
for the trust
that i don't have
can't you hear my nervous teeth chatter
for now i will pretend that you mattered
and maybe one day i can convince myself
that what we had was a taste of reality
and i can hope that we will both be hungry again

14 November 2002

aku punya tak banyak kata-kata sayang yang bisa dipilah-pilah
seperti kelaparan aku menelan mereka tanpa imajinasi teori
seperti si goblok yang mencoba merasa senang saat hujan berderai-derai..
aku memang punya tak banyak muslihat mencuri-curi resah

satu dusta, sehelai desah, sebercak embun yang
kau damparkan di pematang hati borok-borok
tak mau kering ini. kau yakin pasti saat berkata,
"aku takkan pergi"

aku memang punya tak banyak mulut yang menemani malam
hanya tempat kosong terlampau luas, lahan melempar kesah,
tangan memampung bualan-bualan.

[tak tahu lagi harus muak yang bagaimana yang harus tertumpah di jeritan kalimat-kalimat]

kau datang? singgahlah seperti biasanya.
saat bulan kau katakan redup dan sepi adalah setan yang
mengelamkan badai di pelupuk mata coklatmu
akan antang no tien (busur langit kuh)

kemarin kita mengurai rapuh
dalam butir-butir sentuh
belaian air mata yang jatuh
kapal rapuh sauh

matamu adalah jarum
sihir seorang nujum
mengoyak nanah
sakit dan amarah

maka,

ku tunggu pelangi
di pucuk tertinggi
pengurai panas matahari
menjadi indah warna-warni.

13 November 2002

sebuah kata beku yang terlontar di pinggiran malam,
"aku merindu, namun entah pada siapa"
bayang demi bayang pudar,
langkahpun menjauh,
mereka bilang hidup ini pahit, benarkah?
yang aku tau aku merindu, pada siapa?

dan banyak hati mulai mendekat untuk menjemput satu dua tawa,
cintakah yang bersenandung? atau cuma ribuan pasir bisu bernama keangkuhan?
sejuta merah di dada .. senja pun enggan memekik
"aku merindu, namun entah pada siapa"

lalu? apakah arti dua tiga goresan kata?
ah .. kuharap bukan bualan yang menemani purnama
karena aku lelah ..
dan senandung sunyi belumlah berhasil memetakan rasa
ya, aku merindu ..
tapi kuyakin bukan padamu
lalu pada siapa?

12 November 2002

:untuk ketidakperawanan, sebuah sketsa naskah prosa-drama

I.
Ibu, mereka bilang aku kotor, mereka bilang aku tidak suci, mereka bilang aku sampah, mereka bilang aku pelacur. Ibu, mereka bilang-bilang-bilang aku-aku-aku tidak lagi perawan. Ibu, apa itu perawan?

(anakku malang, anakku sayang, anakku kamu perempuan)

Mereka hanya melihat kelaminku, mereka hanya melihat selaput daraku, tetapi mereka tidak mengenal aku. Ibu, adilkah mereka?

(anakku malang, anakku sayang, anakku kamu perempuan)

Ibu, apa itu perawan? Aku melihat seorang perempuan muda tertatih-tatih di jalan, perutnya menonjol memenuhi lingkup badan. Ia baru saja diusir dengan iringan ayat-ayat suci dari tempat tinggal sewanya. Mereka tidak menerimanya hamil, mereka tidak menerimanya melahirkan kehidupan, mereka mengusirnya, Ibu. Mereka memakinya, menyebutnya sundal, Ibu. Dia sedang hamil tujuh bulan di jalanan. Hamil oleh anak setan yang meninggalkannya sedemikian rupa, begitu kata orang-orang. Tetapi Ibu, di bumi ini hanya ada anak-anak manusia.

(anakku malang, anakku sayang, anakku kamu perempuan)

Lalu Ibu, aku melihat seorang peneliti yang menyatakan sembilan puluh tujuh persen mahasiswi tidak perawan. Semua terkaget, terlempar, pingsan dan terkapar dengan mulut berbusa. Sang peneliti memvonis perempuan-perempuan tidak perawan maka dari itu kita harus mencegahnya agar tidak terjadi lagi katanya lantang. Di negeri ini hutan-hutan rusak, korupsi merajalela, kekerasan dimana-mana, pengungsi dimana-mana, darah dimana-mana. Sekarang seorang peneliti sibuk mengurusi persoalan keperawanan untuk memperketat peraturan kos-kosan sebagai agenda sebuah partai politik. Maka akan diperketatnya jam malam, perempuan dilarang keluar malam, perempuan dilarang ini itu, dilarang begini begitu? Ibu, apa itu perawan?

(anakku malang, anakku sayang, anakku kamu perempuan)

Ibu, apa itu perawan? Perempuan suci, tak bernoda, tak berdosa, bersih, putih dengan SoKlin, cling, begitu kata iklan di mata orang-orang yang dimakan televisi. Ibu, aku seperti benar-benar melihat iklan di televisi yang hanya bayang-bayang bukan kenyataan. Menurut kamus besar, perawan adalah perempuan yang belum kawin, belum menikah. Kenapa ada kawin dan mengapa ada menikah, Ibu? Bukankah mereka sebetulnya sama saja, hanya saja kawin adalah acara berdua, menikah adalah acara keluarga. Tetapi kenapa mereka dibedakan ibu? Apakah karena yang satu resmi dan yang lainnya tidak. Sebetulnya Ibu, mengapa hidup harus menjadi begitu penuh dengan formalitas dan penuh upacara-upacara yang tidak perlu. Ibu, bagaimana jika ada perempuan yang sudah kawin dan belum menikah atau ada perempuan yang belum kawin tetapi sudah menikah. Apakah mereka masih bisa disebut perawan, Ibu? Setengah perawan mungkinkah Ibu? Begitu penuh istilah-istilah Ibu, hanya untuk persoalan kelamin dan cinta dan juga ikatan.

(bersambung...)
Cuma prasasti semu yang tertoreh di ujung malam ..
Ya,
dan cuma seonggok kenangan yang nantinya hanya akan membawaku pada ingatan akan dirimu yang berbau busuk

Lalu pada waktu kamu mati pun aku tidak akan menangis
Tidak akan lagi kulontarkan isak, terlebih lagi cacian
Karena pada akhirnya apa yang pernah ada itu cuma akan membangkitkan getir tawa
Satu dua senyum, mengetahui kalau kamu masih saja menyedihkan

Ya,
mungkin cuma prasasti semu untuk mengenang mumi busuk berbau wangi

-nie-
" aku juga rindu " terdengar patah kemudian ..
lalu kamu ? ah, tak ada kata kita ? hanya kamu ?
senyumku mengembang, cintaku luruh ..
tapi toh aku masih disini,
setidaknya sampai malam ini
MENGAPA MESTI SESAL

dan malam itu,
sebelum purnama jatuh keesokan malamnya,
kita sama duduk sambil termenung.
terkantuk hampir tertidur
tanpa perbincangan.
hari ini telah panjang benang cerita kita susun.
sempat terurai, namun tak sampai masai.
lalu kitapun duduk kelelahan
sambil berangan manis menatapi bulan.
hanya jalanan yang tersaruk kasar,
mengantar kita kembali tersadar;
ketika lalu kau kembali menjadi dirimu sendiri.
cerita itu seperti habis diceritai.
tak ada awal pun akhir
tak tersisa tanda di mana bermula
seperti sama kita berdua tak menyadarinya.
semua letupan seakan angan belaka,
lalu semakin diam aku tak bicara.
terjatuh ku dalam keraguan sendiri
- saat kutersadar -
toh cerita ini tak pernah berawal
pun tak pernah berujung pangkal.


mengapa mesti sesal?


di mana kamu sekarang, d?

11 November 2002

Sajak Kembara

ada waktu dulu
di mana terompet belum lagi ditiup
danterompah tidaklah di bawah

waktu seribu adalah satu sedang dua cuma lima

waktu-waktu itu
seperti lipatan-lipatan jendela kamar
tempat menyaksikan mekarnya bunga-bunga
sekaligus pembunuhan di batas kota

kau mencintaiku, manisku?
di waktu dulu, manisku?


kuingat dulu cemara belumlah menjulang
menghalangi sorot matahari masuk ke kamarku
tapi sungai mulai berjalan lurus tegas

di waktu dulu
pedang serupa mainan dan kerbau bukan untuk
membajak

di waktu dulu
ada waktu dulu
kepada matahari kulepaskan
sebelas busur tanda cintaku kepadamu

kau mencintaiku, manisku?
di waktu dulu, manisku?


-jatinangor, 13 oktober 2002
..the confession..

(Night. Sounds of a rainstorm. A KNOCK. Pause. Another longer KNOCK. A light flips on, revealing a studio apartment. This girl enters tying a robe. She crosses to the door, opens it. There stands a very wet This guy.)

This guy: Hey.

This girl (yawning): Hey...

(Pause.)

This girl : Come in, come in.

(This guy comes in. This girl closes the door.)

This guy: Um, listen ... I’m thinking ...

This girl : Yes?

This guy: I’m thinking. About earlier tonight.

This girl : At the movie?

This guy: In the car.

This girl : Oh.

This guy: Yeah. I’m thinking about ... about what you said.

This girl : Oh.

This guy: You see, I haven’t ... haven’t ... uh ...

This girl : You haven’t?

This guy: No. Not yet anyway.

This girl : How old are you?

This guy: Twenty ...

This girl : Oh, well then–

This guy: –Twenty two.

This girl : –that’s ... sorry?

This guy: Twenty four.

This girl : You’re twenty four?

This guy: Yes.

This girl : Okay. It’s okay. It doesn’t mean anything. I–

This guy: Twenty five.

(Pause.)

This girl : How old are you?

(Pause.)

This guy: Twenty ...six.

This girl : And you’ve never ...?

This guy: No. Well, like I said, not yet.

This girl : Like you said.

This guy: So, anyway, I’m thinking, right? About earlier. In the car. And how I freaked out–

This girl : You didn’t freak out–

This guy: Yes. Yes I did. And I’m sorry. But now you know why.

(Pause.)

This guy: So ... so I just wanted to tell you that. I’m sure you’ve got ... things ... to do, so I’ll–

This girl : Listen...

This guy: No, no, you’re a busy girl. Lots of ... things. Sleep, for instance. You really should sleep. So I’m going. So you can get back to your sleep and ...

(This girl walks up to this guy, puts her hand on his cheek.)

This guy: Because ... because it’s not right ... keeping you ... up ...

(They kiss.)

This girl : Hey... Two things. One – I wouldn’t care if you were forty eight. Well, I’d care, but not about you still being ... and Two – you drove an hour in a thunderstorm to tell me that you’re thinking. So exactly what are you thinking about?

This guy: I’m thinking I’d really like to. With you. ...Right now.

(This girl laughs.)

This guy: What?

This girl : “Great Minds ...”, (Pause.) “Great Minds ...”

(This guy thinks for a second, then laughs. This girl leads him off. Lights dim. End of scene.)

~~~

:miss u a lot, d

NO SECOND TROY

Why should I blame her that she filled my days
With misery, or that she would of late
Have taught to ignorant men most violent ways,
Or hurled the little streets upon the great,
Had they but courage equal to desire?
What could have made her peaceful with a mind
That nobleness made simple as a fire,
With beauty like a tightened bow, a kind
That is not natural in an age like this,
Being high and solitary and most stern?
Why, what could she have done, being as she is?
Was there another Troy for her to burn?


[william buttler yeats]

:dudul, be not another Troy. love thee as if were me.. eternally
HE WISHES FOR THE CLOTHS OF HEAVEN

Had I the heavens' embroidered cloths,
Enwrought with golden and silver light,
The blue and the dim and the dark cloths
Of night and light and the half-light,

I would spread the cloths under your feet:
But I, being poor, have only my dreams;
I have spread my dreams under your feet;
Tread softly because you tread upon my dreams.


[william buttler yeats]

thank you astrid, met kenal semuanya...
AKUPUN DISINI

lain halnya dengan kakiku yang terpaku
kaku membisu mengitari suara-suara
pekat penuh debu
dan nelangsa

peluhku menjelma malam
lalu meninabobokan sampai kelam
bercerita tentang sebuah riak
diantara kata sendu tempat kau berteriak

diriku
diYogyamu

09 November 2002

aku melewati kota-kota hanya untuk mengerti bagaimana hilangnya peradaban di antaranya
hilangnya manusia-manusia dari permukaan bumi
lenyapnya tuhan dimana-mana

dan kekosongan menjadi begitu penuh
dan ingatan-ingatan menjadi lupa

08 November 2002

sajak dekapan

mendekap harta kudekap miskin
mendekap sendawa kudekap lapar
mendekap gempita kudekap sunyi
mendekap cerita kudekap kosong
mendekap mayang kudekap jeruji
mendekap titah kudekap bungkam
mendekap mulia kudekap hina
mendekap ada kudekap tiada

mendekap cinta kudekap Engkau

07 November 2002

ketiga
DEKAP

Di balik rambut ikal mayangmu
Kau sembunyikan wangi surgawi
Arak yang menggetarkan sendi hasratku
Anak-anak rambut yang aku jemput
oleh bibir yang lama kering
Lumatku habiskan bulir didihmu
Candu yang menjadi bara ingin
Getar yang menyapa menarik lebih dalam

Dekapku tak niat lepas
Nafasku cumbui ragamu
selipkan sejuta mantra-mantara penjinak
Pagutku makin lekat
sedekat bayangannya yang kian menghinggap

Di balik ikal mayangmu
Rinduku bersandar pada bayangan
jauh di seberang sana
.: apa kabar pagutku yang lalu?
kedua
BISIK

jangan tinggalkan aku
sembunyikan senyummu di kulumku
agar aku bisa berkumur-kumur pada ucapmu

lidahmu menarik yang tercekat
berjuta ingin yang karam lalu
sehingga ketika kau tanya cinta
aku bisa menjawab setia
ketika kau jemput hangat malam
aku tak lagi menepi dingin
tubuhku telah terbaring pasrah
bukan untuk tatapmu

pada rengkuhmu
kita menjadi satu
pada dua kemaluan yang berbisik malu-malu
.....tersipu-sipu
pertama
LIRIH

Yang datang padaku adalah perih
Yang lalu dariku adalah perih
Yang diam hanyalah lirih

Detik-detik yang menitik
Kelam menelan alam yang tertatih
Samar bulan binal berputar-putar
Cemburui lolongan panjang serigala ganas

Dan dari arah utara,
angin menancapkan beribu-ribu sengat
selubungi udara penuh kerasukan
Malam dibaui oleh mani-mani
milik dua daging menancapkan diri

Aku ada dalammu
Kau ada dalamku
Kita adalah perihperih
Namun lirih yang terucap.

06 November 2002

Now your feeling's lost in my wonderland
So let this fairy tale begin
You have wings on your back and you're free to dance
But dont even know, you're starting to bleed

Now in the garden of lies you fall in love
To a shadow of un-exist
How it poisoning your mind with misery
Giving taste you can't resist

*
Keep your eyes close
Dont wanna wake you from this dream
Please keep your heart close
Cause when i;m in, i'll make you scream!

Now that loneliness has taken over your mind
How you struggle to survive
But your feeling's still lost in my wonderland
Come! See it crawling back to life

You;re gonna open your eyes for the very first time
With a broken heart you gained
So wash the blood on your hand, no you can;t turn back time
and forever you'll live in pain

Sri Lanka, 6th November 2002
Met' menjalankan ibadah puasa....

DOA
Berjamaah menyebut nama Allah
Saling asah saling asih saling asuh
Berdoalah sambil berusaha
Agar hidup tak jadi sia-sia
Badan sehat jiwa sehat
Hanya itu yang kami mau
Hidup berkah penuh gairah
Mudah-mudahan Allah setuju
Ini lagu pujian nasehat dan pengharapan
Dari hati yang pernah mati
Kini hidup kembali

by Iwan Fals

04 November 2002

malam ini rembulan tinggal sepenggal
cahanyanya tak mampu menembus celah hati
malam ini bukan malamku

tapi tidakkah malam belum larut benar
di kota ini, rasanya lampu akan terus menyala hingga fajar di timur ada

tetapi saya masih disini, memelukmu seperti ini. memeluk diri dan tidak lagi mengenali yang mana milikku dan mana milikmu. saya sudah lupa, dimana seharusnya kita berhenti, dimana kita seharusnya menarik nafas tanpa mengacaukan suhu udara di sekitar kita. lalu saya mulai menggilai apa-apa yang di sekitar saya, termasuk semua segala pasang benda dan mata yang sama-sama kita taruh di atas meja pagi itu. tetapi lagi-lagi saya tidak mengerti, mengapa saya masih disini lagi.

02 November 2002

akan antang no tien

sihirlah sihir
rindu menjadi nyamuk
biar kutepuk "Puk!"

sihirlah sihir
waktu menjadi krupuk empuk
biar kumakan dengan maruk

sihirlah sihir
bayangmu menjadi kapuk
biar kujadikan bantal teman kantuk

sihirlah sihir
sentuhmu menjadi semilir
kuhirup dalam tarikan tanpa akhir.


kupas pagi
dengan lirih
sepuluh jari
tipis ringkih

jangan tertawa
matahari tidak akan lari
menangis saja
mungkin ....
dia takut air hati

mereka menari
tarian bumi
lapar arti
suatu pagi

01 November 2002

Kebebasan di sebuah pagi

pejalan kaki tergesa-gesa, mobil putih berhenti sebuah kaki yang putih menjejakkan aspal.
wanita mematung dengan sebuah buku yang telah tiga hari berturut-turut tak habis di baca
pekerja-pekerja yang menunggu bis jemputan, mahasiswa dikejar waktu
asap rokok, bungkus rokok, tukang rokok, knalpot bis bernyanyi, putiiihhhhhhhhh......
lelaki garang berjalan mengangkang, kelaminnya terbuka

tiga buruh menanti resah kabar thr yang tak jelas
sebuah mobil berhenti lagi, pemuda yang mencium wanita tua itu sebelum berpisah
Bom di legian, FBI main film di Indonesia, kotoran yang berbaris di cerita media pagi ini
Rambutan, Kp. Melayu, Depok, Tanggerang..............
dari arah yang berlawanan, lelaki garang berjalan mengangkang, kelaminnya bergoyang-goyang
klewer-klewer, masuk angin

Prittttt......
Bus kena damprat polisi, mobil hitam itu kena tilang
kantuk supir truk gandengan hilang,
supir kopaja ciut nyalinya

lelaki garang dengan jalan mengangkang berhenti :
mematung di tengah jalan
dengan rambut gimbal, badan jelaga pekat bercahaya
di tengah jalan
kemaluannya sungguh bersinar
ejek manusia-manusia robot para pekerja pagi

catatan di sebuah halte
[pojokan kota pyungyang, mengenang setiap hal yang pernah indah]

Tidak ada yang saya sesali,
Saya harap kamu juga demikian ..
Kalaupun pada akhirnya kita harus berpisah dengan begini ironis dan menyedihkan
Tidak ada cara yang lebih mudah untuk mengatakan ini semua ..
Dan saya yakin kamu mengerti,
Karena jika memang ada sesosok imajinasi yang paling mengerti aku,
Orang itu pastilah kamu .. dengan segala kesederhanaanmu yang rumit
Dan tidak ada, tidak dulu .. tidak sekarang .. kuyakin tidak juga masa depan, seseorang dimana aku bisa jatuh cinta sedemikian dalamnya
Tidak akan ada lagi yang lebih indah seperti apa yang pernah kita punya dulu (dan semoga tetap akan aku miliki)

Akhirnya saya sadar ..
Saya bukan wanita yang kamu cari .. bukan putri yang kamu impikan
Apapun yang saya beri .. itu tidaklah pernah cukup untuk kamu
Di satu titik .. perasaan yang indah itu telah mengkristal .. dan percayalah, saya akan menyimpan itu selamanya .. sebagai salah satu bagian dalam kehidupan saya yang menjadikan saya dewasa ..
dan menjadikan saya wanita

Kamu adalah yang teristimewa, sayang ..
Yang setidaknya memberikan saya kekuatan untuk bisa menilai diri dengan lebih baik ..
Yang memberikan saya pengertian bahwa ternyata saya tidak selemah yang saya bayangkan .. dan ternyata dibalik tangis dan air mata yang saya kucurkan untukmu .. tetap saja saya menolak untuk mati sia sia dalam kesedihan yang menggila

Sekarang saya bebas ..
Dan saya tau, kita tidak mungkin lagi bersama
Jalan kita terpisah ..
Ijinkan aku pergi untuk melangkah kembali di setapak kecilku
Sembari sesekali mengirimkan doa lewat burung burung yang berkicau riuh rendah di sekelilingku
Supaya kamu bahagia .. seperti aku selalu akan bahagia melihat tawamu

***************************************************
..:: kamu benar, suatu hari aku akan tersenyum melihat setiap kebodohan kita ::..
Inspired By : Supernova