30 November 2003

meja teriak ....
jendela beranak ...
hujan rakus ....
malam menjulurkan lidah amis membaptis paru-paru dan jantung pelari
bintang memperkosa bintang beranak cucu bintang sundal komet
mata terbalik jungkir kiri kanan mencari apa
vagina berkotbah di atas gereja mesjid vihara dan pura
sementara penis duduk rapi bermain playstation
sesekali muntah kekenyangan
matahari membuka mata
dinding membuka mata
tanah membuka mata
mimpi membuka mata
semua bermata
membuka mata
melihat kamu
sedang menjaring angin.

kutunggu malam
selamanya
dibunuh
tanpa darah
tanpa mayat
tanpa nisan
tanpa sisa.

25 November 2003

Kuberi Tanda Untuk Keberangkatan
:lelaki tempat semua matahari berasal

tengah hari dan lelaki-lelaki berseragam putih redup
mata mereka adalah buku-buku yang terlahir dari
rahim danau semenjak hikayat badai dan api
kata mereka: ini lingkaran. dari tiada menjadi tiada

terompet, saksofon dan memoribilia di lengan kiri
mainkan! ode pada airmata hitam putih, mantra
dan lelaki yang berangkat menuju cuaca.
di sini, otak kita menebar aroma dupa

ini memang teka-teki paling purba
bungkukan terakhir. tiga kali
siapa.
entah.

aku masih saja di sini
melukismu terbang di antara pelangi

namun senja masih tetap saja sama seperti kemarin


Dan sore ini masih terlihat anak-anak bermain petak umpet dipinggir jalan. Berlari kesana kemari, saya terus berjalan dengan wajah yang tenang tanpa seorang pun tahu kalau hati saya sedang menangis. Kemudian saya melihat ada lagi sepasang muda-mudi berjalan sambil bergandengan tangan. Saya merasa iri, akan tetapi saya hanya bisa berdiam diri dan berusaha tenang, acuh.

Sore ini keadaan masih sama seperti kemarin-kemarin, hanya ada tangisan cinta yang semakin menguasai diri saya. Saya bertanya kepada cermin, "dimana engkau sembunyikan jodohku?" Tetapi tidak ada satu jawaban, hanya buntu. Lalu, saya tidak habis berpikir. Kepada siapa saya harus mengeluh? Kepada siapa saya harus mencurahkan isi hati yang sebentar lagi meledak? Sedangkan didalam kehidupan ini saya harus berhadapan dengan tembok yang memenjarakan diri saya. Semakin mengurung, hari ke hari semakin menyempit. Saya selalu berpikir, "kearah mana aku harus berjalan?" "Sedangkan delapan penjuru tak menyediakan sepintas jalan walaupun hanya sebatas lorong." Saya heran, sangat heran. Mengapa hingga detik ini saya masih tak henti dan tak bosan untuk berpikir dan berpikir terus.

Saat saya memandangi langit senja, terasa juga begitu iri akan sekelompok burung-burung yang berterbangan di langit jingga, kemudian saya berpikir lagi, "ahhh... Begitu enaknya jika kita bisa jadi burung yang terbang diatas langit." "Tahu apa mereka tentang cinta?" Tahu apa juga mereka tentang kesepian?" "Ya... Hidup mereka begitu menyenangkan karena mereka tak tahu arti tertawa dan menangis." Sambil menangis saya berdoa, "ya TUHAN... Mengapa saya tidak dilahirkan menjadi seekor burung saja? Lihatlah TUHAN... Lihatlah keburung tersebut, kemudian lihatlah ke diri saya." "Apa gunanya tubuh manusia?" "Apa gunanya otak berserta hati manusia sebagai makhluk yang memiliki derajat tertinggi ini?" "Jika saya harus berdiri menangis disini?" "Menangisi diriku yang kesepian, yang terlantar oleh dia."

Saya terus berharap kalau saya bisa menjadi seperti mereka yang berbahagia dengan keluarga mereka, berbahagia dengan hati dan cinta mereka. Akan tetapi saya masih tidak pernah berhenti untuk terus bertanya, "sampai kapan badai mendung yang membungkus hatiku segera sirna?" "Sedangkan daya tahanku dari hari ke hari semakin berkurang, tenaga saya semakin terkuras meratapi diri ini." "Saya masih bisa berdiri hari ini, kaki saya masih erat tertancap di tanah, tapi bagaimana esok?" "Lusa?" "Atau beberapa tahun lagi?" Saya semakin pusing untuk memikirkan semua ini. Setelah menguak serta memeras otak ini, lelah. Namun senja masih tetap saja sama seperti kemarin.

21 November 2003

Pinokio Menulis

Jika anda sudah biasa berbohong, mengapa tidak menyalurkan kebiasaan yang penuh dosa itu dengan menulis fiksi?
(Josip Novakovich)


Angin malam itu duduk tergeletak di sudut kamar. Tak mampu berjaga. Sementara lampu redup tak sudi berkhianat. Matanya lelah menatap. Hanya daun jendela memancing pandang, melambai-lambai di luar sana. Dan cicak terbaring menelan ludah untuk tanya yang tak pernah terjawab.

Ia mengusap peluh. Peluh yang tak jujur hadir di malam yang datang dingin. Otaknya berputar bagai memeras anggur-anggur yang tergilas roda waktu. Menetes ke pipi dan menitipnya pada hidung yang kian bersinar. Ia mengusap mata. Mata malasnya.

Ahh…. sudah empat jam. Buntu, batinnya. Membakar tembakau. Menciptakan awan-awan kecil yang mencoba menggoda hayal yang menerawang.

“Apa yang akan aku ucap esok? Mereka sudah menungguku. Aku datang untuk menang,” ucapnya dalam. “Tapi aku harus berkata apa?”

Terbayang olehnya Bukhori akan menepuk dada. Dan mulutnya akan menyala-nyala. Seperti sebuah pertunjukan sirkus keliling di kota-kota kecil. Dan badut Bukhori akan menciptakan bola-bola api dari mulutnya. Mereka terpesoan. Berdiri dan memberi sejuta tepuk.

Atau mungkin Ahmadi akan meninju langit. Memecah awan-awan yang menggumpal. Memberi lautan jawab yang menetes bagi mereka yang lama menengadah di musim-musim berjalan. Jadilah dia malaikat pongah yang lupa akan sayapnya telah lama digadai pada borjuis-borjuis itu.

Sialan! Mengapa otakku terkunci rapat. Ruangan-ruang apa pula yang membius kecerdasanku terperangkap tanpa pintu. Aku telah berkeliling pada semua sudut kota. Telah menyapa pada semua peristiwa. Tapi adakah yang bisa kubaca? Dia bertanya dalam tanya.

Semua sudut terpapar di depan mata. Mata malas. Antara fakta dan fiksi. Atau percampuran kedua kelamin itu. Bila keduanya dituliskan dalam gaya bahasa Ibrani kuno, yang keduanya dituliskan tanpa huruf hidup, keduanya akan ditulis FK dan cara membedakannya tergantung pada cara melafalkannya. Begitu tipis……

Bukakah fiksi bisa menggunakan banyak fakta? Aku bisa bermain-main dalam ruang fakta untuk merangkainya menjadi cerita. Sejarah adalah batu-batu yang kuat untuk membangun pondasinya. Pramoedya bilang, nasion kita tak sadar sejarah. Sejarah itu tempat kita memulai perjalanan. Kalau tempat berangkat itu kita tak tahu, bagaimana kita tahu tujuan kita? Itu sebabnya Pram berkenalan dengan realisme sosialis. Karena realisme sosialis harus mengangkat orang-orang yang tak punya sikap dan menjadi hamba keadaan.

Tapi aku bukan hidup dalam penindasan. Tak melahirkan sikap perlawanan (atau mungkin dendam) oleh akibat penindasan seperti yang dialaminya. Tapi aku punya sedikit sikap memberontak, walau itu memberontak terhadap kemampanan berpikir.

Setidaknya aku bisa mencoba meramu sejarah itu dan memolesnya menjadi sebuah fiksi. Tentu tak membosankan. Karena di saat orang-orang perlu makan dan lapangan kerja, mereka akan muak oleh kehebatan raja-raja di tanah Jawa yang menyisakan feodalisme dalam birokrasi. Artefak-artefak bukan lagi bukti warisan kehebatan budaya, karena turunannya hanyalah budaya kepasrahan ditindas dan dibodohi, sudah mengakar di akar rumput.

Aku harus menemukan sejarah-sejarah baru. Sejarah kolonialis, feodalis, militeristis, dan paham ketunggalan sudah telanjang. Bugil tanpa malu-malu ditatap dan yang menatapnya tak jengah. Aku akan membuat mereka sadar sejarah dan bersatu mengahalaunya. Hanya dalam prosa sejarah akan gampang dicerna.

Tapi jari ini masih tak bersahabat. Diam tak sudi menari, walau nyanyianku adalah nyanyian jiwa yang melantun keluar dari gendang telinga. Sedangkan nadiku terpacu kencang dengan sejuta kata yang ingin tumpah di jemari. Tapi jemari diam. Aku ingin menulis. Menjadi pengarang. Menjadi resi-resi sejarah, julukan yang diberikan Ben Okri (novelis Afrika) bagi pengarang. Karena pengarang adalah barometer zaman. Pengarang adalah orang yang menulis melawan arus zaman, pengibul tentang kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan dan penebar janji-janji yang bisa dipercaya. Aku ingat, ucapan itu dikatakan lantang oleh Gunter Grass pada pidato pengukuhannya sebagai laureat Nobel Sastra 1999.

Oh….. aku kini sudah mulai berdamai. Aliran darah dan oksigen berjalan tenang, bergerak maju. Jari-jemari menjadi kepanjangan otak. Syaraf-syaraf mulai saling memangut, bermesraan. Sebuah emosi ternyata mampu mendorong untuk menulis. Mampu menjiwai alam pikir orang lain. Mampu menjiwai suara seseorang. Jerit orang-orang. Harap yang masih tersisa dari nafas tersenggal-senggal sebelum pintu kubur ditutup.

Mengalir bagai banjir yang menggenangi rumah-rumah di dataran rendah di sekeliling perumahan megah. Menerjang kaki-kaki alas tidur di pinggir kali. Menyapu nafas manusia-manusia yang menjajakan peluh di tepi-tepi jalan karpet mobil mewah. Menenggelamkan hak-hak pemilik negeri hingga terlihat teduh keruh menjadi lautan, terpasung pada waduk angker yang dijaga berabad-abad pada pintu airnya.

Lelaki itu mengamini. Cerita fiksi mirip dengan dusta. Memulainya dengan suatu yang nyata. Mengubah menjadi alur yang bisa diatur bermuara untuk tujuan tertentu. Dan esok, di atas podium itu, membuai jelata dengan kata-kata indah. Ia akan menang pada pemilu kali ini. Wakil dari kaum pendongeng.

Grogol,20nopember2003
Sang Pemimpi

Malam basah. Hujan patahpatah.
Dan di sebuah kafe angin tak sendu.
Hanya waktu berjalan sempoyongan.
Bersamanya ada dentingdenting.
Nyaring menghantam. Bedilbedil yang
menjemput saudara kita.
Lihatlah......bibirnya sumbing
Pagutan kabar bohong beraroma arak.

Musik yang berdentum adalah detak nadi
satusatu. Tarian kejang, kawan menggelepar.
Indonesia Raya dihasut lidah mereka.
"Kami tidur di pusara leluhur"
Langkah enggan berpindah, merekah kubur.
"Jangan halau kami!"

Malam kian kian lelap di bibir basah.
Di tatap curiga lima watt, senyumsenyum
asing menjual kebebasan.
Hidangan penutup sebelum ingkar janji.
Sebelum malam berganti kelamin,
ada sapa, "Hai Yusuf sang pemimpi, esok ada apa?"
Sebelum malam berganti tuhan
dinding menatap, penjara bagi tubuh,
merdeka bagi ruh.

grogol,20/11/03
Let The Rain Fall [Hanya Sesaat]
;Ompit

Inikah gundah yang kau kirim padaku?
Badai air yang mengaburkan jalanku...
Inikah rindu yang kau kecupkan untukku?
Embun-embun dingin yang menempel pada jendela beningku...

Kalau memang begitu adanya...
Maka...

Inilah senyum yang kulampirkan untukmu
Matahari senja yang berwarna jingga menguak kenang...
Inilah sapaan hati yang aku bisikkan dan teriakkan hanya untukkmu
Angin-angin lembut yang membelai airmata rindumu...

Hanya sesaat...hanya sesaat...
*14.11.03, Jatinangor*ventri*

20 November 2003

Saat aku mulai tersenyum lagi...
Aku rasakan lagi beban itu.
Sebuah konsekuensi untuk kebahagiaan mungkin...
Yang dulu juga pernah membuatku termenung diam...

19 November 2003

bagaimana mungkin kulukis mimpi buruk ini?
sedangkan engkau tak ada disisi jenazahku
tuk menggenggam tangan kanan
yang kehilangan tulang ini...

bagaimana mungkin kucorak kanvas cinta ini?
sedangkan kuas kasihku
t'lah engkau bawa keseberang laut
bersama arwahku
yang t'lah kuletakkan dibahu kananmu...

"bagaimana mungkin?"




17 November 2003

jika semuanya usai

derap kereta telah lama lewat
di jalanjalan berdebu kuhentikan langkah
ada yang tersekat dibalik kawat
sesosok doa atau mungkin segumpal wajah
telah lama kurindukan persinggahan
namun oase itu seperti terkubur reruntuhan
menghilang pada cadas dan batubatu

jika semuanya usai
berjalanlah ke arah barat
ada yang menunggumu di tepian senja
menunggu setiap huruf yang kau urai
menjadi seribu ulat dan kunangkunang
menjadi belatung dan belalang
menjadi bunga juga lalang

jika semuanya usai
tetaplah catat dalam buku harian
seluruh rindu yang pernah tumpah
pada meja perjamuan antara kau dan aku

bumiallah, 2003

15 November 2003

dimana lagi harus kusembunyikan
tubuh yang t'lah membusuk ini?
sedangkan lumpur pun tak sanggup lagi
dijadikan bungkusan tuk membalut lukaku...

kemana lagi keranda akan mengusung jenazahku?
sedangkan tanah merah pun
t'lah tak memiliki tempat untuk menguburku...

dimana lagi papan nisan
yang tak berriwayat harus kutancapkan?
sedangkan mayatku sendiri
telah hilang entah kemana...




14 November 2003

tiba-tiba...
aku ingin menghentikan detik-detik sang waktu
agar berakhir perjalanan melelahkan ini
oleh langkah sepasang kaki
yang tak pernah beristirahat berjalan...

seandainya aku sanggup...
aku ingin sekali mengeringkan samudera
dan memusnahkan setiap tiupan badai...
agar tak perlu lagi
adanya kata-kata "penantian"
kepulanganmu kerumah
yang membuat sepasang bola mata
enggan tuk terpejam
didalam lelap...

XI.
kita berpisah dengan satu kata, nanti bertemu kembali. entah kapan namun pasti. ini sudah nyaris tujuh hari. diriku sedang bergerak ke arah barat. menghilang dan mencari angka-angka untukmu. mencari kenangan untukmu.

apa yang menjadikan hati bercabang jika bukan cinta yang seseorang miliki, kata seseorang yang lain. jangan pernah menyelingkuhi hatimu, lanjutnya. bagaikan nabi-nabi tanpa arti. kata-kata menjadi. menjadi begitu saja.

sekilas embun kacamata kita terhapus dan mata-mata lanjut menyala.

XII.
kita seperti anjing kota. berkeliaran dan pecah di perempatan. aku menemukan afrizal di setengah perjalananku ke barat. kubawa dia di dalam tasku, juga prosa-prosa. aku sedang mencari buku untuk memindahkan kehidupan ke dalam kertas-kertas.

kau masih ingat afrizal dan dalam rahim ibuku tidak ada anjing yang kuberikan untukmu. dia hadir lagi dan sosok-sosok anjing kawanku melebur dalam sosokmu. setengah serigala dan masih serigala. yang selalu kesepian bahkan dalam catatan-catatan lama.

bahkan, seperti lupa yang merongrong dunia. aku ingin malam pecah lagi. menjadi seribu dan kita lahir lagi tanpa ibu.

13 November 2003

sempat kamu rasakan, tidak
isyaratku semalam
yang aku kecupkan lembut ke hulu darahmu
dengan hembusan asap mild ku?

jackstar hs
siang, jakarta, 131103
kencing

bulan mengencingi malam
malam mengencingi aku
aku mengencingi bumi
bumi mengencingi mata hari
mata hari mengencingi awan
awan mengencingi tanah
tanah mengencingi mayat
mayat mengencingi hidup.

12 November 2003

pergi bag.2


dan engkau pun mempermainkanku...
semakin tak tak bisa kumengerti
apa maksudmu?
hingga pagiku hilang,
engkau pun merampas matahariku,

dan membawa malam pergi...
tak menyisakan bulan,
menjarah pasir gemintang,
hanya menyisakan angin dingin
yang meluap dilingkaran kuduk...
tuk kesekian kalinya,
engkau pergi!!!
hanya meninggalkan mendung,
ditemani siraman air hujan
yang mengguyur-hanyutkan air mata...

10 November 2003

Aku masih ingin menghancurkan semua,
memporak-porandakan mimpi yang telah usai
belum pada saatnya...
Aku masih ingin mengiris-ngiris mimpi yng pernah
menerbangkanku ke awang-awang,
meski kini...sekali lagi...telah usai...
Masih ingin kukumpulkan ceceran-ceceran darah segar ini,
untuk kupersembahkan padamu suatu saat kelak,
Diranjang pengantinmu....



JogjaAjaDeh '03



07 November 2003

Pada akhirnya, lelaki harus kembali sendiri

Jalanan becek. Udara dingin menemani riak-riak kecil, langit tak lagi menangis. Sedu-sedan itu telah berakhir setelah langit terlihat muram sekian lama, awan-awan berat tadi malas menari. Tinggallah tetes-tetes yang malas bunuh diri dari jubah hitam yang membentang.

Bibirnya bergetar. Oleh dingin yang sama kembar dengan akal yang membatu. Gerimis patah-patah. Pedang-pedang tajam tak mampu kikis niat di setiap langkahnya. Hanya menemani sunyi dengan bisik-bisik pelan yang bergelantungan di udara menuju peraduan di bumi basah. Kini setelah berjalan lama akhirnya ia mendapatkan sebuah perhentian, tempat berteduh.

Otaknya tertawa miring. Tak ada guna ia berteduh. Toh tubuh telah basah kuyup. Begitu modrennya kota ini sehingga tak tersisa sejengkal perhentian yang mampu menaungi dari hujan dan panas. Pohon-pohon yang ada tangan-tangannya tak rindang. Kurus memanjang ke atas. Hanya fungsi keindahan dan sedikit kemampuan menyerap udara kotor.

Tapi tak apalah, pikirnya. Setidaknya ia bisa meringankan beban kaki. Pantatnya beralas besi tua, terlihat berkarat. Titik-titik air yang terbawa turun manja. Memeluk besi tua, semburat rona merah terlihat malu-malu. Melukis pantat yang bergetar, kaki gemetar. Dingin yang tak gentar mengganggu.

Kilat menyambar, memperkosa malam. Guntur pongah menggelegar di udara. Gigi yang gemertak, bius angin memutihkan bibir. Ia tak mampu tersenyum tapi matanya menyiratkan tawa. “Akhirnya,” ucapnya dalam. Jantungnya tak lelah berdetak, sekian juta detak menyusun rencana. Dan, “Binggo! Aku berhasil. Aku bebas,” teriakannya menggema. Memenuhi rongga dada. Keluar melalui lobang telinga. Mengancam udara. Dan guntur kecut. Langit hitam kini tak lagi kusut.

Ia masih duduk. Kaki yang gemetar. Bibir putih dengan mata tertawa. Di pekat bola hitam, ada selembar layar putih. Ada cerita yang berjalan pelan. Sebuah rumah indah dengan pagar besar. Perabot mewah memeluk penghuninya. Wanita cantik dengan kacamata membaca novel, tangannya teratur menghantar benda-benda kecil nan gurih ke mulutnya.

Rriiiinng………..

“Halo. Ini ibu ya?”

“Ya. Ada apa Nina?” sepertinya wanita itu mengenal suara di seberang.

“Perutku sakit. Bayi ini nakal. Menendang-nendang terus. Ibu kemari ya.”

“Wah, cubit saja bayimu. Mana suamimu?”

“Ibu ini gimana. Ya sakit perutku. Mas Anton belum pulang.”

“Dasar anak nakal. Belum lahir sudah bikin susah. Sudah, kamu ke mari saja.”

“Mana mungkin. Ini udah jam sebelas malam. Ayah mana?”

“Entah. Dia mengurung di kamarnya. Ayahmu kini aneh. Selepas pensiun dia tak mau keluar rumah.”

“Gedor pintunya. Aku tak mau bayiku lahir di ranjang ini. Kalau ada darah, bisa pingsan aku.”

“Ha? Memangnya kandunganmu sudah berapa bulan?”

“Yah ibu… ya udah hampir sembilan bulan.”

“Sudah, sudah. Jangan panik. Ibu juga dulu seperti kamu. Untung ada ayahmu. Oh… lagi ngapain dia?”

Hening. Hanya suara berjingkat pergi. Dan wanita itu tak lagi mendengarkan rengekan. Kini ia ada di depan pintu. Kamar suaminya.

Tok! Tok! Tok!

“Pak! Paaakkk! Buka! Anakmu mau melahirkan!”

Gedoran pada pintu itu kian lama bukan lagi seperti ketukan. Menyerupai kampak-kampak yang ingin menghancurkan. Tapi tetap masih tak ada jawaban. Tetap diam. Hening menatap.

Wanita itu tak sabar. “Dasar manusia tak berguna!” umpatnya.

Anjing! Bangsat! Maki yang diucap bergetar pada bibir yang masih saja tetap putih. Matanya tak lagi tertawa. Merah membara membakar layar yang terkembang. Dengusnya kasar, dadanya naik turun. Tetes air meronta jatuh dari helai rambutnya. Bergelimangan di bibir. Tak asin. Entah apa rasanya. Tapi, lidah selanjutnya menjilati tepian. Mencari rasa. Memecahkan murka. Menggigit bibir.

Tertunduk, kedua lengannya meremas rambut yang basah. Wajahnya kian basah. Matanya berkubangan, bercermin jarak. Penuh dan menetes. Membelah pipi menjadi banyak keping. Hidungnya menerima sapaan tangis, menangis tersendat-sendat. Entah mengapa pula mulutnya latah ikut berduka. Otaknya berputar menjauhi sumbu, melingkar kembang. Menggeleng-geleng bagai mengguncang benak kesadaran yang tertidur mengigau. Melemparkannya ke dinding-dinding rongga yang mengukung. Dan terhempas. Menggelembung bulat besar. Meletus ganas.

Bajingan! Dasar manusia tak tahu diri!
Kakinya menghantam lantai. Pecah cermin-cermin yang mematut diri, berlarian menghambur sejauh-jauhnya, berserak ketakutan. Berselingkuh bersama genangan lain yang menatap curiga.

Tawa entah lari ke mana dari mata itu. Hanya ada tetes-tetes yang sama beningnya dengan ingatan saat itu. Mengalir cerita lama begitu lugas. Jenih berbayang dari setiap masa yang ada dulu. Pada tetesan masa muda yang penuh gairah. Lajang yang tak berpuan. Bebas menjamah hari dan mencengkram keinginan. Meraup ilmu tanpa ragu seakan hari depan adalah ladang tuaian. Menari dalam langkah di jejak-jejak jaman. Memberontak pada rezim. Menelanjangi kebodohan yang lama dikemas dalam nilai-nilai masyarakat. Memecah tabu, menghantam langit batas. Dinding-dinding yang membutakan pandangan.

Di tetes yang lain, harapan ada di negeri ini. Ambisi ada bagai api yang sangat kalap menyala di musim kemarau yang panjang. Akar-akar rumput kering itu mulai bangkit. Tapi masih tetap kering. Kemakmuran tanah negeri ini tak menyimpan kesuburan yang cepat datang. Kemarau lama mematisurikan dewi sri. Malah terkadang serimbun rumput dianggap sampah dan dibakar. Merah. Menyala. Akar-akar lain ciut. Panasnya menempa dendam yang terkubur diam-diam. Bagai bara di bawah ladang gambut yang terhampar pasrah.

Di masa itu ada tetes lain. Kebahagian ketika melepas lajang. Gadis cantik itu menjadi miliknya. Bening, suci mengucap ikrar. Sepertinya langkah tak lagi panjang., ia terhenti untuk membangun dunia baru. Dunia kecil bernama keluarga. Ada bapak, istri dan anak.

Masa tak terlupakan ada saat ia merawat keduanya. Istrinya yang selalu harus diawasi. Penyakit asamanya selalu kumat. Terkadang di saat malam ia harus melarikan istrinya keluar rumah. Menuju jalanan sepi. Mencari udara segar hingga ke puncak. Dan saat pagi menyapa, ia harus pulang membawa istri, dan anaknya tertidur pulas di kursi belakang. Kemudian bergegas bertarung mencari keping-keping di antara serpihan-serpihan hidup.

Kian waktu terus menetes, kasihnya tak mampu luntur. Istrinya masih tetap istri yang perlu udara segar. Dan anaknya masih anak yang menanti dimanja. Menyiapkan sarapan kesukaannya. Membantu menyelesaikan tugas sekolah. Memenuhi apa yang dibutuhkannya. Semuanya ada disaat dia ada. Dan dia merasa ada untuk mereka. Dia telah mengada..

Dan tetes itu terhenti. Di wajahnya tak terlukis tangis. Kini keras bagai batu yang membesar menemani sungai yang tak pernah henti mengalir. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Jejak-jejak itu terantuk-antuk di dinding ingatan. Dan meninggalkan keping hati yang tercecer. Berdarah.

Aah…. mereka telah berubah, batinnya. Istrinya bukan lagi istri yang ramah dan menanti dimanja. Anaknya bukan anak yang bisa mengabdi. Mereka menjadi mahluk aneh di malam hari. Ada dan tak bersembunyi. Sejak ia memasuki masa pensiunnya, mereka mentertawai resah yang dimiliki lelaki itu. Mereka menari-nari di atas tiang-tiang galaunya.

Ketakutannya adalah ketakutan mereka yang tak siap dengan pengasingan dari dunia kerja. Ia ingin beristirahat tapi ingin mengais hidup. Ia ragu pada masa depan. Oleh mulut besar istrinya yang selalu pamer harta. Oleh rengekan anaknya yang tak puas akan gaji suaminya. Sepertinya semua ini tak cukup menjalani sisa-sisa hidup. Tapi ia tak mampu buat apa. Mereka hanya mampu mentertawai.

Di saat gelisah kian datang, tubuhnya kian kurus. Sedikit demi sedikit melemah. Tubuh terkadang panas tak beraturan, lemas. Atas saran dokter pribadinya, ia dinyatakan terkena kangker prostat. Dan harus dioperasi.

Berangkatlah ia ke Singapura, diagnosanya tetap sama. Harus dioperasi. Ia terpana menatap meja operasi. Bagai peti mati yang ingin memeluk. Refleks ia melompat dan berlari menjauhi meja operasi, kursi dorong, dokter dan suster yang terperangah.

Mereka bukan terpana pula. Malah tertawa. Menganggapnya gila. Lelaki tua yang bodoh tanpa pengharapan. Sesungguhnya ia berharap mereka ada menemaninya saat itu. Tapi entah setan apa yang membisikkan istrinya untuk tidak membatalkan kehadirannya pada sebuah arisan kumpulan ibu-ibu gemuk itu. Sedangkan putrinya tak mungkin dibujuk pula, ia tengah hamil dan sibuk mempermasalahkan suaminya yang katanya kurang perhatian.

Lelaki itu sadar ia kini sendiri. Tak ada yang mengenali derita yang dialaminya. Sebenarnya saat menuju operasi ia tersadar. Bukan takut untuk mati. Ia takut istrinya akan lebih kejam memvonis keberadaan dirinya. Cap-cap baru akan jadi ucap yang terus mengiang dan menyakitkan disetiap pertengkaran. Ia tak siap dikatakan lelaki lemah. Lelaki yang tak sejati. Lelaki yang mungkin akan mandul.

Hujan telah berhenti. Langit merah menyiratkan kemegahan hari. Waktu ada di depan. Lelaki itu bangkit untuk melaluinya, ia ingin berjubah detik-detik yang manja menyapa, dan membuat sejarah baru. Biarlah yang lama hanyut dibawa gelombang sungai yang meluap-luap. Setidaknya mereka pasti mengiranya telah mati tenggelam, setelah membaca surat yang ditinggalkannya di ranjang malam tadi.

Dan pagi menuntun langkah tuanya, tak lagi gemetar. Tak lagi gentar. Udara segar membusungkan dadanya, bukan dada yang rapuh menyimpan gunungan resah. Di benaknya hanya ada satu ingatan, “Pada akhirnya, lelaki harus kembali sendiri.”

grogol,9oktober2003
Sara

Matanya lapar menatap halaman-halaman yang berkumpul jadi satu. Liurnya menetes, pada setiap lembar yang dilalui. Kali ini jari telunjuk kanan menghampiri lidahnya lalu membelai tepi halaman. Menerkam kata-kata yang berlari menuju halaman berikutnya.
KALIAN PENCURI!!!
tidakkah kalian melihat perbuatan kalian?
ILEGAL!!!


lihatlah...
bukit lawang yang sebelumnya bagaikan surga
penuh tawa,
salah satu kawasan kekaguman wisata...
namun kini...
berubah menjadi neraka,
darah dimana-mana,
mayat-mayat berserakan,
tangisan histeris manusia yang kehilangan sanak-saudara,
orang-orang terluka yang berbaris didepan tenda
menunggu pertolongan,
dan mobil ambulans yang berbaris
membopong bungkusan yang telah berbau anyir...

CUKUP!!!
lihatlah oleh kedua mata kalian...
kalau semua bukan karena sepotong demi sepotong kayu
yang t'lah kalian tebang dengan liar,
yang t'lah kalian curi tanpa pernah berpikir apa akibatnya...
terkutuklah kalian!!!
atas semua nyawa t'lah hilang
oleh tangan tak bertanggung jawab kalian!!!
kalian akan membayar karma ini
hingga anak cucu kalian!!!

06 November 2003

mayat hutan

matahari kedinginan di balik
kabut bakaran sisa-sisa batang terbalik
lelah angin bolak-balik
kerontang bumi jungkir balik.



hidup

biarlah hari-hari terhitung
setiap nafas tercatat
setiap langkah terukir
setiap kedip bersuara

sebab berlalunya seperti angin
seperti terjaga dari mimpi
seperti seperti bunga mekar pagi lalu
liut menjelang malam

maka datang ...
datanglah Pencuri Malam.



03 November 2003

VIII.
lalu dari hujan dimulailah itu semua. kau menjelma dari sesuatu yang kemudian aku benci namun tidak bisa kupungkiri, pada akhirnya kau akan melebur ke dalam semua bulir-bulir air di sekitarku. kau tiba-tiba besar dan tumbuh bersamaku.

aku melihat ada setan di wajahmu. aku melihat kegelapan di semua sosokmu. muncul ketika temaram lampu menerpa sekujur badanmu. dengan air, api dan tanah. lalu segala wewangian yang kau simpan di tas besarmu. juga foto-foto. juga buku. bukuku.

IX.
kita tidak berani saling bersitatap, ada semacam ketakutan bilamana dunia akan mengetahui rahasia-rahasia terbesar hati kita. rahasia-rahasia yang akan kita bawa sampai mati, sampai liang kubur dan tidak akan meninggalkan jejaknya di dunia ini dan di masa ini. kita memilih untuk selalu melihat ke arah lain, di hadapan banyak orang, selalu memungkiri apa-apa yang kita rasakan, untuk selalu kita rahasiakan.

aku mengerti dan akan selalu mengerti bahkan pada semua tatapan perempuan-perempuanmu yang kesekian. hal-hal yang jika aku menatapmu, aku akan menyadari bahwa aku selalu kehilanganmu benar-benar. dadaku pahit dan miris, lalu semuanya terlihat begitu menyedihkan.

benar kataku suatu kali, kau adalah rahwana yang datang padaku dengan marah dan terluka. selalu dan selalu. keesokan harinya kau akan pergi untuk menggelar perang terhadap rama-rama yang sombong itu, merebut sita yang kau cintai dengan gila dan dengan darah. aku juga perempuan tetapi aku bukan sita yang hadir untuk diperebutkan. bahkan olehmu, rahwana yang selalu mempesona. aku selalu menolak menjadi sita dan peran-peran yang menunggu sampai dirinya membusuk.


X.
ini sudah tulisan ke sepuluh, sepertinya tulisan-tulisan ini benar-benar tidak akan selesai. setidaknya hari ini. malam ini. aku sedang ingin keluar dari rutinitasku sendiri, mengacaukan semestaku sendiri, semuanya untuk memperoleh hari yang lebih baik, hari-hari untuk duduk sebentar, merenung sambil menghisap sebatang rokok. memikirkan apa-apa yang belum lagi selesai. memikirkan segala-galanya agar tidak redup dan mati begitu saja.

hanya berhenti dan berpikir sejenak.

aku ingin bicara tentang apa-apa yang tidak selesai, pada kita dan juga orang lain bersama kita. seperti yang sudah tertuliskan dan terucap berulangkali. di perempatan, di jalan-jalan sampai langit hitam kelam.
Launching Kumpulan Cerpen

Empat belas perempuan muda menikam dadanya dengan kesenangan,
kesedihan, dusta dan dendam yang terserak di balik mata Anda.
Tiba-tiba Anda kangen pada ibu Anda, istri Anda, adik Anda, kakak
perempuan Anda, atau pacar gelap Anda. Dan Anda butuh ziarah ke masa
lalu, butuh ruang kesunyian sebagai cermin, butuh ruang ingatan.


"Perempuan Mencatat Kenangan".


Diskusi:
Martin Aleida (Forum Meja Budaya)
EM. Ali (Akademi Kebudayaan Yogyakarta)
Astrid Reza Widjaja (Moderator)

Pusat dokumentasi HB Jassin TIM Jakarta
Kamis, 06 November 2003
Pukul. 15.30/Selesai.


By: ON/OFF Media Orang Biasa, Mejabudaya, Akademi Kebudayaan
Yogyakarta, Bentang.

NB: Yang di Jakarta datang semua ya:D

02 November 2003

menanam busur jangka peluka,
kian menuai lara yang tertuang dalam kenyataan
menyisip sepotong tekak bisu
yang memekik relung jiwa
akan sayat-sayat cinta yang terbelenggu
dibalik darah hitam sukma yang tergores
dalam benih-benih kesepian.
kesunyian menghampiri...
menelan tangis dahaga bibir yang kering,
akankah segalanya berakhir dalam kepalsuan?
biarkanlah daun-daun yang mengering
terbang pergi bersama angin mendung...
sebelum hujan datang menghanyutkan
segala kelopak bunga yang luruh
kekali asa yang terakhir.....



01 November 2003

: masih untuk d.a.r.

VI.
kau adalah adam yang mendekam di dalam tulang rusukku. adam yang sewaktu-waktu muncul dan mengingatkanku untuk selalu waspada akan jalan-jalan. seorang adam yang selalu mengacaukan lintasan tata suryaku yang kesekian. adam yang akan selalu muncul dalam peran-peran bajingan.

adalah kau yang akan selalu mematikanku dari belakang, menghunusku tanpa memberikanku ruang persiapan, selain terhenti dalam suatu waktu dan sungguh saat itu memori ingatan menjadi amat mematikan. mengapa kau menawarkanku sepotong daging kegelisahan untuk kutelan kembali. kau sudah lupa bahwa aku sempat menjadi vegetarian? kau sudah lupa ketika kegelisahan nyaris membuat kita sama-sama gila. lihat kita sekarang, sepasang kanibal yang sedang memamah hati kita satu dengan yang lain.

kita kemudian membangun suatu bentuk cinta dari reruntuhan dan remah-remah roti. suatu bentuk cinta yang akan dikutuk peradaban mana pun, percayalah karena kita hidup dalam alam yang penuh kemunafikan, dimana kejujuran tiada artinya lagi. kita terkadang begitu jujur dengan diri kita masing-masing sehingga meninggalkan makna kesucian di sebuah lorong panjang dan gelap.

malam tiba, hujan tiba dan fragmen-fragmen dirimu membentuk serbuan migren di kepalaku. kau, sosok adam yang bajingan yang datang padaku suatu malam.

VII.
ini hanya jika kita berlintasan jalan lagi ketika kita sedang berjalan ke utara atau ke selatan, atau hanya berdiam di tengah-tengah. ini hanya jika. jangan kau lupakan bau-bau malam yang akan mengalir di antara nafasmu, yang seringkali sesak, mendesakmu untuk menjatuhkan badanmu walaupun tidak sampai kecelakaan. ini tentang jalan-jalan yang pernah kita lalui, malam-malam sekali.

ketika itu kota sudah mati, lampu-lampu mulai padam dan hanya menyisakan kita menyusuri kota dalam kegelapan yang amat sangat. bau-bau malam yang mendekati kemenyan dan wangi bunga melati menusuk inderaku bahkan mengalahkan bau tubuhmu yang melekat berhari-hari. tetapi kemanapun aku menengok aku akan selalu kehilanganmu.

aku memilihmu hilang, moksa ke dalam suatu bentuk yang tidak akan bisa kupahami lagi. suatu bentuk yang tidak akan bisa kujangkau lagi, kecuali bau-bau malam di dekat onggokan istana-istana tua.