30 Juni 2003

Kawin-kawinan

Hari ini sudah ku nyalakan waktu. Sementara dari pagi awan telah ku sisir rapi. Ada yang keriting, ada seperti laut tapi tetap penuh uban. Pada angin ku titip pesan : jangan nakal ya. Ku lukis langit dengan jari-jari kotor, biru kotor, agak luntur. Sekarang tidak lagi menetes. Hmm..... ada yang lupa. Matahari terlihat terlalu garang, sangat tidak lucu. Elok bila ku beri senyum. Di sudut dagunya yang juga bulat ku beri titik. Mungil.

Gadis kecil mematut diri. Di bayangan tumpukan bunga yang tidur. Busuk. Jijik. Lalat-lalat main petak umpat. Ada ulat. Ihh...... dia berlari. Memelukku. Sudah siap? Kita mulai saja ya. Dia menghantuk-hantukkan kepala ke udara. Duk. Duk. Ritual dimulai.

Saat tangan saling bergandengan, kicau-kicau menyala. Riuh di atas pepohonan. Ada Perkutut. Beo. Kutilang. Murai. Camar. Elang. Ayam. Lho kok? Dia menangis, meracuni udara. Merengek-rengek di atas tanah. Nyanyiannya jelek! Aku bengong. Memandang pantat ayam nun jauh di atas. Meringankan tangis dengan permen, hadiah mengemis tadi.

Aku ambil kerikil kecil yang tak tajam dan tak berduri. Hupss. Tak. Petok-petok. Ayam jatuh. Kita mulai lagi ya. Tangan saling bergandengan. Ku jentikkan jari. Dan melantun merdu. Ave Maria dengan suara paruh. Dia tersenyum. Giginya jelek. Tapi senyumnya tak busuk.

Opss. Rok tersingkap. Angin nakal, genit. Ia malu. Celana dalamnya merah jambu. Agak koyak di pinggir. Hihihi.... Aku menutup mulut menahan tawa. Aduh! Pinggangku dicubit. Matahari batuk-batuk. Coba serius lagi. Senyum dikulum, dikumur-kumur.

Di beranda rumah langkah terhenti. Duduk di atas dua kaleng roti, berkarat. Mata mencari mata. Ada peluh menetes. Dia kelilipan. Main mata. Menggeser ke kiri, ke kanan. Mengucek-ngucek. Aku memberi ujung baju. Masih main mata. Serong ke kiri, ke kanan. Aku memberinya nafas. Menghembus mata. Tangannya menutup hidung. Bau. Waduh.

Di bawah pohon ada banyak sampah. Di antara sampah ada banyak kardus. Pada kardus bekas TV yang besar ada dua anak kecil. Bukan pada beling kaca, hanya pada sampahnya. Mereka tak layak buat teman makan malam. Gembel. Hitam. Bau. Berikar. Tak mau jadi sampah. Cintaku suci bukan sampah, sayang.
Inong

Serambi kita tak lagi suci,
dedaunan runtuh, pijakan kaki melangkah.
Bukan oleh badai ada sunyi malam ini,
gelisah merambat membaui detik.
Sejenak terpekur untuk bisu.
Di sini. di sana. ada bisik tertahan
"gigi kita menjadi nisan"

Serambi kita tak lagi damai,
usah harap doa-doa menahan geram.
Menetes dengan lajunya,
menjemput kawan lama yang karam di benak duka.
Ada lautan tangis mengangkang lebar,
terlahir kepala-kepala merah tersenyum hingar
"mereka menitip topi-topi baja"

Kabar lama erat berjabat tangan.
Bukankah tuan sudah buat janji,
Seulawah mengangkasa menuju Jakarta.
Kita bangga berumpun sama.
Elok langkah bercerita, ada duri tertanam lama,
pusaka abadi di pelupuk mata.
Dikutuk menjadi tikus di lumbung sendiri
"siapa yang menanam benci?"

Inong menggelepar di belukar, merintih menatap jerit,
lenyap bersama mereka yang merayap.
Hidup menjadi rimba, bersembunyi di antara pepohonan
kala waktu tak sungkan menitip tangis
"di pipi menetes peluru-peluru"

Resah tak berujung petang, puan-puan menuai perih
membasuhnya menjadi lukisan abadi.
Inong mencari Tuhannya, di serambi
bersama peluru-peluru yang berkumandang

(semoga Tuhan tidak sedang tidur,
ataukah harus dibangunkan dengan tangis jutaan inong-inong?)

Malaikat Putih nan Kurus

Puntung kedelapan telah aku ludahi, sementara asap yang menari tak mampu jelmakanmu. Walau antara debar jantung dan nikotin sama ganasnya, rindu tak mampu jadi jantan. Nista berkutang harap-harap, menyembul bagai bisul berputing tiga. Dan nadi mencari kanal, menunggu tengkulak yang mengangkang. Benih-benih telah ditanam setelah tanah lama mematung diri.

Dan mentari tatap sela lubang berkarat, teropong bintangku. Mengukur petak-petak, yang kutanam di musim luka kini berbunga. Kusiangi menanti buntingnya. Bersama rindu yang merajam, bulir-bulirnya tertawa sumbang. Plong! Kosong melompong. Songsong amuk sungsang. Sanggahan tak berakal ketika mata membakar berjuta kata. Di atasnya terhampar kitab-kitab tua. Kayu bakar bagi galau yang pecah bersama malaikat-malaikat yang berhamburan keluar.

Peraduanku hanyalah kekal di kesunyian. Bunyi menjadi ayat-ayat setan, namun senyum tak mampu tepis luka. Bayangan itu menjadi pelangi setelah tangis melaburi doa. Atau pinta di ujungnya, di sebuah perigi. Akan kuculik kau setelah menelanjangi aku. Berlari di antara onak duri yang telah kita persiapkan. Menjilati luka, kita tiupkan desis.

Dan kembali aku hanya onani di sepi yang bugil.

Oh, peraduanku hanyalah kekal di kesunyian. Bersama puntung-puntung lain aku ciptakan sebuah padang. Berkabut di antara jejak-jejak yang datang dan berlalu. Dengarlah langkah-langkah yang ditimbulkannya, tak ada ragu berpaling. Menari sambil berlompatan, bersama amis yang sunyi. Dan terbang singgah di surga dihujani tatapan malaikat-malaikat gosong. Jangan takut, aku hanya akan berhembus menjadi mimpi di malam gadisku. Peraduan abadi. Dikutuk menjadi malaikat putih nan kurus.

29 Juni 2003

:sebuah ringkasan matamu

aku sedang memandangmu, setengah duduk dan tersenyum. kau sedang sibuk berkutat di depan komputermu, kotak monitor ajaib itu, kelahiran teknologi manusia yang kesekian kesekian. terkadang hal itu membuatmu begitu jauh, terutama matamu. menjauh dariku, dari ruangan ini dan segalanya.

aku sedikit menggeserkan bantal, membetulkan seprai yang kau betulkan tadi pagi, sudah kusut lagi, aku merasa sedikit bersalah. sedikit. tapi aku masih memandangmu, sedikit iri dengan apa-apa yang kau kerjakan, aku merasa menjadi mainan yang terlantar di suatu sudut kadang-kadang dan suasana seperti sering membuat setitik rasa nyeri di dadaku.

sudah nyaris setahun, kita bertukar nafas. saling memberi kehidupan satu dengan yang lainnya. aku tak ingat, sejak kapan kita sudah bergenggaman tangan. hanya beberapa kelebat malam yang kesepian dan kita berdua yang tidak tidur sampai pagi. lalu kita sudah sampai disini, bukan sekedar lagi berjabat tangan bila bertemu, tetapi berpelukan sampai pagi.

aku suka melihatmu setelah mandi, melihatmu berganti baju. kau sama sekali tidak seksi dalam ukuran standard dunia ini. lekuk tubuhmu nyaris seperti laki-laki, aku sempat berpikir mungkin aku sedikit homo karena aku menyukai tubuhmu. yang lebih seksi bila memakai pakaian dalam merah muda garis-garis dengan gambar kartun kucing. komikal, tetapi seksi bagiku daripada melihatmu dengan lingerie. aku berpikir lagi mungkin aku sedikit paedofil.

aku sedang membakar tungku siang tadi, tapi malam ini aku ingin membakarmu lagi. untuk kesekian kali...
metamorfosa jingga

sebelum matahari ke berapa usai sore ini
kubawa kepadamu desau angin lembah seperti
ruh perindu bergelombang di awan menari
lalu kicau burung
lalu ungu
dan waktu menghitung ulang metamorfosa

seorang perempuan pemungut kelopak bunga luruh
dan seorang peri penjalin lingkaran ilalang kering

sesudahnya adalah kelahiran kembara yang purba
kulipat seribu puisi sebagai sajadah dengan bunga
sepanjang cerita. seekor kupukupu mengabarkan cuaca
yang rontok menjadi sunyi dan tanda baca mati
lalu halimun
lalu nyanyian hamelin
dan alam berpesta-pora dengan gamang

tapi belum juga berhenti kuberi tanda di setiap pohon pinus
kita

27 Juni 2003

Ada lagi kumelihat
sebuah mimpi tersayat sayat digantungkan
pada dinding malam
gelap.....pekat......
hanya tersisa tetesan darah yang turun perlahan
merembet pada dinding malam
menyisakan genangan merah segar dilantai putih

Ada lagi kubertanya
dimana kau simpan sisa sisa sayatan itu?



24 Juni 2003

suatu tempat dimana aku kelak akan datang

aku mendengar deru deru pejalan yang jauh berjalan lambat
antara kota kota yang di tinggal
antara sepi ada bayangannnya kau lihat
menggigil sendiri diantara malam malam di kotamu
seakan akrab dengan bayang bayang mu yang entah dimana
entah seperti apa
kita bukan lah sebuah perjumpaan yang sadar
kita telah buka dengan percakapan yang gagal
dan kau masih mendengar sesuatu di serpih pasir
meninggalkan jejak jejak mengabarkan
tak ada hati di pantai kotamu
kekasih ku pernah singgah dan kini telah menjauh
kini hanya kenangan terhadap sajak dari sebuah pulau yang hiruk
aku telah mengutuk orang orang di dalamnya

tapi jangan kau jangan kotamu jangan pulaumu
suatu tempat dimana aku kelak datang dengan keterlanjuran yang gagah

juni 2003

23 Juni 2003

aku mulai percaya pada dongeng
dongeng sebelum tidur
dongeng masa kanak-kanak
yang dulu aku begitu yakin akan adanya negeri di atas khayalan
atau tentang dewa-dewa beserta segala tetek bengeknya
lalu aku mulai melupakannya saat aku mulai berpikir
bahwa itu semua cuma cerita
tak ada satu pun pembenaran atas itu semua

dan kini...
dongeng-dongeng itu mulai terlihat nyata kembali di mataku

apakah aku telah kehilangan pemikiranku?
janjiku pada otakku telah kulanggar
sudah gilakah aku sekarang?

i'm not crazy, i'm just a little unwell...
("unwell" by matchbox twenty)

aku mulai mengering...
asaku benar-benar gersang
yang dahulu kukira sebuah danau luas
kini cuma sebuah genangan saja...
atau mungkin yang lebih parah...
itu semua hanyalah fatamorgana
yang nyata pun tidak
tragis sekali...

22 Juni 2003

kau merindukanku?

begitulah, beginilah, aku sama-sama merindukan sesuatu. kita semua sama-sama merindukan sesuatu. jadi marilah aku bercerita tentang sesuatu.

di titik jarum tepat pukul lima sore, aku baru sama menonton film perang tentang pembersihan etnis di nigeria. mengerikan. entahlah, sejak kapan dunia ini memang menjadi begitu mengerikan. apakah sebuah pembersihan menuntut dipotongnya payudara seorang ibu yang tengah menyusui agar bayinya mati dan habislah keturunan atau penerus etnisnya. ini perang saudara, ini cuma satu contoh, masih berjuta macam lagi kekerasan yang sampai saat ini tidak bisa terbayangkan.

kau pasti sedang membalikkan wajahmu, tetapi inilah kenyataan.

seperti nawal mendeskripsikan pada sebuah bukunya tentang mutilasi kelamin perempuan di negara-negara afrika. atau tentang nasib vagina-vagina lainnya di berbagai tempat.

waktu itu akupun membalikkan wajahku, tidak meneruskan membaca. ini terlalu mengerikan, apalagi jika divisualisasikan, dirasakan, karena aku juga perempuan.

ini baru beberapa contoh, beberapa kekerasan, khususnya pada sebagian kaum perempuan.

waktu bergulir kembali ke titik jarum jam sembilan pagi, kawan-kawan sedang mementaskan sesuatu. kami sedang menggalang solidaritas porsea. kau membayangkan demonstrasi? oh tidak, itu tidak kami lakukan, telinga-telinga sudah berupa batu sekarang, harus dengan hiburan. udah nggak ngetrend orang-orang bilang.

lalu apa? kekerasan hanya sebuah trend? tuhanku, anda pasti sedang bercanda.

yah, telinga-telinga sudah berupa batu. apa yang kami lakukan sekarang. kami menghibur orang-orang dan orasi dengan musik techno? canggih bukan? menghibur bukan? tetapi mereka tidak membutuhkan rasa kasihan, mereka membutuhkan dukungan.

tiap hari berupa perang di kota porsea, dengan pemilik-pemilik pabrik, modal-modal asing, juga tentunya militer dan pemerintah. semua golongan maju, semua lapisan maju, kakek nenek, bapa ibu, kakak adik, islam kristen, pedagang, mahasiswa, pelajar, anak tk, pekerja dan orang-orang biasa. terlalu kiri? tidak! ini kenyataan karena kekerasan sudah menjadi makan pagi, siang dan malam, juga cemilan.

konflik ini sudah sepuluh tahun, dan kita baru saja menyadarinya. kau tersedak? matamu membulat? membulatlah, karena sarapanmu sudah berubah menjadi kekerasan.

inilah sebuah bentuk rindu yang kumasak untukmu.

21 Juni 2003

_{21.7.01}
test
nongol gak neh?
astrid reza | 6:35 PM |

=)
asyik juga baca posting pertama di /kata. ditulis astrid.
ehm, saya bisa membayangkan bagaimana deg-degannya astrid waktu itu di depan kompie-nya.
deg-degan yang segera saja berubah menjadi senyum manis di wajahnya.
itu dua tahun lalu, dia masih di aussie. sekarang dia justru ada di yk.
hei, astrid, kamu sekarang lebih dekat khan?!
lihat, ini semua akibat kamu!

saya tak tahu apa dia pernah menyangka komunitas /kata akan seramai ini.
yang saya tahu, ternyata dia kaget sendiri melihat /kata sebesar ini.
ah, nggak, kita gak besar, trid. kita masih saja bicara hal yang itu-itu saja.
kita masih belum bicara tentang, misalnya saja, seseorang yang pecah kepalanya tertabrak
mobil rombongan pejabat di suatu sore, atau tentang pengakuan seorang veteran perang. belum.

dan kamu, astrid, harus menulisnya, paling tidak satu kata.
karena saya sudah kehilangan bulan, dan peluru telah mendarat manis di jidat saya.

mungkin itu semua karena memang hanya kamu yang bisa... bukan saya atau yang lainnya.

20 Juni 2003

Badai?
Tetapi hujan sudah berhenti.

19 Juni 2003

Kubentangkan sayapku setinggi kau terlontar.
Aku tidak siap untuk kehilanganmu...
Sebentar.
Tunggu aku.

18 Juni 2003

Hearing only what you wanna hear
Knowing only what you heard
dan tentang kita lebih lebih tidak ada yang berarti
selain cabikan luka yang masih saja menoreh sembilu
dan pedih yang belum lagi terselesaikan
....

aku masih terluka ..
dan masih saja membencimu ..
masih saja ..
masih saja ..

.. setelah sekian lama ..
Aku pernah menyusuri setapak itu untuk mecarimu,
Membawa serantang ransum untuk makan pagi,
Sebungkus rokok tanpa geretan agar tidak cepat habis,
Dan sekalung rosario melingkar di leher

Saat itu, musim kemarau belum lah seperti sekarang,
Kadang masih ada rintik hujan yang jatuh membasahi kepala ..
Yang percikannya kadang masuk membasahi hati,
Membuat tetes air mata kadang mengalir bersama kenangan

Musim hujannya juga tidak selebat sekarang,
Banjir masih jarang ..
Sehingga masih ada tempat untuk berteduh,
Menikmati sigaret sambil menatap pelangi sehabis bercinta dengan badai

Kadang aku melintasi hutan,
Berpeluh,
Berkesah,
Mencoba mengamati pondokan sisa sisa pemburu tua yang mungkin bisa digunakan untuk melepas penat

Kadang pula aku menyelami laut,
Mencoba mencarimu diantar terumbu, putri duyung dan hamparan anemon
Membaui setiap karang kali-kali jejak manimu tertinggal disana

Aku terbang,
Aku berlari,
Aku menyelam,
Mencari apa yang tersisa dari bayangmu,
Mencari apa yang masih bisa kukoyak dari kenangan akanmu ..

lelakiku,

diamdiam ada yang tak suka aku bertandang
menyemburkan kalimatkalimat panjang
sekedar hurufhuruf tanpa makna. mungkin
aku harus tahu diri.

aku bukan siapa pun dimatamu. maka biarkan,
kubawa tubuh ringkihku, mencari sekedar gubuk.
bukan istanamu yang megah ini.

disini, aku tak layak menjadi apapun. meski
seekor semut atau debu sekalipun.
kelak, mungkin kutemukan wajah damaimu
yang akan selalu merangkul siapa saja, meski
di wajahnya seribu luka menganga.
Negasi Ruang Waktu
:dera

I.
Di setiap tapak padang stepa yang dilalu sang pertapa, tercipta sketsa-sketsa dan oase-oase fatamorgana. Penat telah lewat, dan waktu masih melingkar geliat tak beranjak. Rebah malas langit hangat meranggi hati.

II.
Ada sayatan harap pada kedewasaan tanggung yang larikan masa kanak-kanak ceria. Pada tatap yang sayu, pada serapah yang batu, pada janji yang ragu, lampahlah nyala terang buram kisah.

III.
Dentang tempur angin debu yang beradu padu membentuk pola-pola yang tak semata pat-kwa. Nalar di gantangan asap darah yang tetes dari ujung tipis pedang yang berderak dengan nyalang yang senja di retina-retina tetua buta.

IV.
Kapan dan apa jadi tanya yang selalu ada. Bermusim gugur bunga dan migrasi burung-burung raja tak habis bawa nanti akan sepata. Sayap-sayap mengepak lambat tak niat hempas tanah lumpur liat.

V.
Aku masih di sini mencoba mengerti centhini, mencerna bhadgavadgita, merapal karmapala. Ditemani jejari yang sibuk dengan kotak, bundar, dan segitiga.

[11.06.2003]

14 Juni 2003

Aku muak padamu!
pada senyum mempesonamu
pada kata kata manismu
pada janji janji mulukmu

Aku muak padamu!
pada bau parfummu yang seharga sekali tiket keBali
pada bau nafasmu yang mengingatkanku
pada sekotak coklat mint penggoda selera

Aku benar benar muak padamu kali ini!
sudahlah!
taruh saja dua tiga gepok uang ratusan ribu
diatas ranjang beralas sprei satin itu seperti biasa
dan bergabunglah denganku di dunia kita,
di surga dan neraka kita,
melewati taman sejuta bunga.....

Lalu esok pagi,
kembalilah lagi kau pada istri dan anakmu
ya...manisku tersayang!!



PojokExelco Juni 03

satu lagi omong kosong

sudah cukup lama dari perjumpaan terakhir kita,
kuhitung-hitung .. hmm, kurasa hampir dua belas purnama..
masih saja teringat, sedang apa kamu disana?
adakah kamu disela letihmu masih menyisakan sepotong waktu untuk kau hadiahkan untukku?
adakah kamu disela lelahmu menjajah dunia masih menyisakan secuil senyum untuk sekadar mengenangku?
yah,

mungkin tak banyak yang tersisa .. karena kalaupun bisa dirunut, perjumpaan terakhir kita tak banyak menimbulkan suka,
kukira ada tamparan yang membekas di hati, ludah-ludah yang memerawani jiwa .. dan satu dua perih yang masih saja tidak bisa terbalut
lalu aku ingat ada ciuman terakhir yang kita lakukan di pintu kamarmu ..
lelaki berbaju putih dan wanita berbaju biru .. wajah masai, titikan peluh dan celana dalam yang bahkan masih menyimpan bau manimu
(bibirku masih memar, dan masih kuingat dengan jelas gigitan lembutmu yang menandai payudaraku) ...

percakapan percakapan bodoh,
lelucon lelucon, argumentasi demi argumentasi, atau bahkan hanya cumbuan cumbuan yang terbang melintasi kota ..
(aku rindu, sungguh ...)

katamu, "cinta itu hanya racun yang diinfuskan ke dalam otak kecil kita untuk kemudian membuat kita kalah dan hancur lebur"
kurasa benar, karena sampai saat ini, tak ada yang mampu membuatku kembali menengadah
(entah, segala sesuatu menjadi begitu berbeda tanpamu, dan aku masih saja tidak terbiasa dengan semua ini)

kadang aku berpikir, kalau saat ini aku punya sayap, akankah aku terbang menghampirimu ..
menatap kembali matamu, mungkinkah aku masih saja terpesona dengan segala hal yang kutemukan di dalamnya?
(ada yang berubah, banyak mungkin ... tapi lebih banyak lagi yang tetap sama)

Tidak tahu,
mungkin juga tidak akan pernah tau ..
bila bisa kembali bersimpangan denganmu?
(Yang kemudian kudengar hanya lagu kesayangan pemberianmu, "mungkin memang hanya Tuhan yang bisa menjelaskan segalanya")

Mungkin memang seharusnya tidak menulis malam ini,
Mungkin memang seharusnya tidak menangis malam ini,
Mungkin memang seharusnya tidak lagi mencintaimu .. dengan cinta yang membuat tak pernah terucap kata itu lagi dari mulut bibir tanah liat ini

*matahari, tetaplah disana .. bakar semua yang tersisa, jadikan abu .. jadikan debu, tak ada lagi yang cukup berarti tanpamu*
mengapa orang-orang kasihan pada dirinya
kabarnya dia tiap hari dimarahi istrinya
dari pagi siang sore hingga petang
tetapi ia tak pernah melawan hanya diam saja
karena ia tau kalau istrinya sangat mencintainya
bahkan cintanya pada istrinya tak ada apa-apanya
dibandingkan dengan cinta istrinya pada dirinya
ia selalu tau seberapa besar rindunya istri
jika tak bertemu dengan dirinya satu hari saja
jangankan satu hari setengah haripun satu jam pun
yah betapa khawatirnya istrinya pada dirinya
yah karena ia tau itu mengapa ia mesti melawan
jika tiap istrinya marah sebab ia tau yah tau
bahwa semua itu karena cinta cinta yang besar
cinta yang dashyat yang bergetar dan berdebar
dan memang istrinya adalah seorang pemarah
mengapa ia tak menyerahkan dirinya saja
sebagai media untuk tempat segala luapan marah
seperti kanvas yang selalu kosong
dan siap digoreskan warna menjadi lukisan
seperti panggung yang selalu kosong
dan siap diisi sebuah pertunjukkan drama
yah ia tau itu istrinya sangat mencintainya
karena itu setiap ia selesai dimarahi istrinya
ia selalu mencium istrinya pipinya bibirnya
seperti yang ia lakukan setiap hari
setiap bangun atau berangkat tidur di rumah
juga setiap ia mau berangkat bekerja

13 Juni 2003

malam ini dunia menjadi lain
engkau menjelma lelaki dengan seribu jala
dan aku menjelma rusa yang purapura berlari.
dalam lariku, aku berharap jala yang kau tebar
mampu menjeratku. aku lari perlahan..
tapi aku tetap rusa. berlari dengan begitu piawai...

kekasih,
jeratkan jala itu padaku...
maka aku akan mencumbumu dengan seribu puisi
dengan seluruh rasa cinta yang menggebu
padamu.

hanya padamu.

07 Juni 2003

akan antang no tien

pada suatu senja
kudapati bulan dan kala
saling tulis saling lukis
drama perpisahan tanpa tangis

sungai mencuri satu warna
mencumbu desah gemericik
ulur dan tarik
terlempar pada sepasang mata

hmmm ....
kini matamulah empunya bara senja
pun ketika malam bulan memuja
kini matamulah alir sungai
pun ketika malam tak lagi ramai.

06 Juni 2003



kukirim selarik kata,
semoga sampai ke peraduanmu malam ini ..
Psssttt !!!!! jangan biarkan wanitamu mendengarnya .. aku malu!
sudah cukup lama dari perjumpaan terakhir kita,
kuhitung-hitung .. hmm, kurasa hampir dua belas purnama..
masih saja teringat, sedang apa kamu disana?
adakah kamu disela letihmu masih menyisakan sepotong waktu untuk kau hadiahkan untukku?
adakah kamu disela lelahmu menjajah dunia masih menyisakan secuil senyum untuk sekadar mengenangku?
yah,

mungkin tak banyak yang tersisa .. karena kalaupun bisa dirunut, perjumpaan terakhir kita tak banyak menimbulkan suka,
kukira ada tamparan yang membekas di hati, ludah-ludah yang memerawani jiwa .. dan satu dua perih yang masih saja tidak bisa terbalut
lalu aku ingat ada ciuman terakhir yang kita lakukan di pintu kamarmu ..
lelaki berbaju putih dan wanita berbaju biru .. wajah masai, titikan peluh dan celana dalam yang bahkan masih menyimpan bau manimu
(bibirku masih memar, dan masih kuingat dengan jelas gigitan lembutmu yang menandai payudaraku) ...

percakapan percakapan bodoh,
lelucon lelucon, argumentasi demi argumentasi, atau bahkan hanya cumbuan cumbuan yang terbang melintasi kota ..
(aku rindu, sungguh ...)

katamu, "cinta itu hanya racun yang diinfuskan ke dalam otak kecil kita untuk kemudian membuat kita kalah dan hancur lebur"
kurasa benar, karena sampai saat ini, tak ada yang mampu membuatku kembali menengadah
(entah, segala sesuatu menjadi begitu berbeda tanpamu, dan aku masih saja tidak terbiasa dengan semua ini)

kadang aku berpikir, kalau saat ini aku punya sayap, akankah aku terbang menghampirimu ..
menatap kembali matamu, mungkinkah aku masih saja terpesona dengan segala hal yang kutemukan di dalamnya?
(ada yang berubah, banyak mungkin ... tapi lebih banyak lagi yang tetap sama)

Tidak tahu,
mungkin juga tidak akan pernah tau ..
bila bisa kembali bersimpangan denganmu?
(Yang kemudian kudengar hanya lagu kesayangan pemberianmu, "mungkin memang hanya Tuhan yang bisa menjelaskan segalanya")

Mungkin memang seharusnya tidak menulis malam ini,
Mungkin memang seharusnya tidak menangis malam ini,
Mungkin memang seharusnya tidak lagi mencintaimu .. dengan cinta yang membuat tak pernah terucap kata itu lagi dari mulut bibir tanah liat ini

*matahari, tetaplah disana .. bakar semua yang tersisa, jadikan abu .. jadikan debu, tak ada lagi yang cukup berarti tanpamu*
aku benci malam,
karena malam membawa pergi mimpi2ku
menyisakan sepasang binar mata dan sehirup aroma cologne lelakiku

aku benci malam,
dia membuang jauh - jauh semua harapan,
menerbangkan desah, menggantinya dengan pekat yang bahkan tak pernah sanggup menghapus jejak bibirnya

aku benci malam,
langkah langkah sunyi yang tak pernah jelas terpetakan
alunan gending yang bertalu talu, bunyi jangkrik yang mengeret dedaunan
sementara tak jua kutemukan peluk yang begitu kurindu

aku benci malam, karena tak hanya dia menenggelamkan sebentuk matahari, tak hanya dia menutupi ibu surya dengan jubahnya,
dia juga mengingatkanku pada malam malam panjang dengan tangisan di dinding dinding kamar

-bahkan tokek tak lagi mau bersahutan, .... sepi-
Perempuan itu terkulai di pojok sudut ruangan, ruangan yang penuh coretan akan makna sebuah kemerdekaan. Sebuah kemerdekaan yang menjadi hantu-hantu. menjadi sebuah ketakutan dalam kehidupan yang penuh makna.
perempuan itu... terperangkap dalam sebuah makna merdeka... ketika tangan-tangan menggoyahkan penyangga-penyangga kehidupan, menyisakan nuansa-nuansa semuanya yang tak berarti.
Perempuan itu kehilangan kemerdekaan, yang tersisa hanyalah retak-retakan yang menghiasi kehidupan penuh arti. yah.. dia kehilangan sebuah arti kemerdekaan, kemerdekaan diantara hidup dan mati. Dia kehilangan arah.. kehilangan tujuan, yang tersisa hanyalah sebuah titik cristal yang memantulkan cahaya mengalir menuju penjara-penjara yang tersembunyi dalam lorong-lorong norma dan nilai-nilai.

05 Juni 2003

masih bisa kuuntai sepotong sajak dari jalinan ikal rambutmu,
yang katanya kuambil dari binar binar bola matamu
dan tanda bacanya kupilin dari alunan kata yang mengalir dari bibirmu
adakah kau lihat biru yang menghambur dari langit mataku?
biru yang meledak resah ..
biru yang memuai pasrah ..
biru yang diselanya masih bisa kuselipkan kesah ..

atau bisakah kau baca rindu yang terlukis di bola mataku?
rindu yang terbalur sendu
rindu yang menyerpih semu
rindu akan kamu

04 Juni 2003

aku akan datang malam ini

"aku akan datang malam ini"
dan aku mematut diri. mengeringkan lautan luas yang masih menggenang. ombaknya menjilati cermin, kian retak oleh deburan yang entah berjarak peristiwa apa. kilau nakal fajar mengetuk-ngetuk sejarah, berbingkai kata dengan lumut yang kian menenung diri. tersisa debu-debu menebal bersama kelam dan saat resah mendaki, kerikil kemungkinan menjungkirbalikkan penat, meluncur bebas menebas onak peraduan. perih....... menerbangkan debu. pada dasarnya aku meraba peti tua, tertoreh sebuah mantra, kata tua 'kasih'. ku teteskan liur pada setiap akhir suku kata dari doa-doa yang menganga. mencari tepi kebodohan jiwa yang terentang di setiap langkah berpijak. budak biarlah hengkang dari penjaranya dan kekasihku meraja di gelisah yang telah kurajang di menit-menit lalu. dan kembali aku mematut diri. di wajah tiada lagi lukisan, senyumku kini adalah kejujuran janji tiada berselingkuh galau.

"aku akan datang malam ini"
bersama pinta-pinta yang melambai-lambai, ku buka tingkap-tingkap sepi. menguapkan bulir-bulir gigil yang onani. tak ada lagi mimpi dan hayal. mentari telah menikam kesadaran. tepat di ujung belatinya. ku susun setiap tapak menjadi bahasa baru. baku bagai detik-detik yang berbaris menuju menit. dan berdentang. buumm..... oh itu sebuah palu godam. menghantam kerdilnya rancangan hari. sendi-sendiku gemeretak memikul otak yang berpusar cepat. ini bukan rancanganku. istana kartu-kartu tarot menelan bom waktu. telah lama membius menjadi materai nafas-nafas. dan di sudutnya laba-laba hitan menenun diri, suntuk pada keruwetannya. rumah jiwa berdinding logika, di setiap pertemuannya ada moral yang memaku. dilaburi pekatnya ideologi yang kini abu-abu, mencoba menjaga dari rayap-rayap zaman. tapi mengapa masih ada hampa? ruang tak bermata, arah yang dituntun si buta. sementara tongkat hanyalah nasib yang menjilati jejak-jejak. ku harus membakar hening dan sampah-sampah diri yang teronggok di setiap kesal yang pasrah. bersama tingkap-tingkap yang telah menganga, asapnya menjadi pertanda dari kubur sepi. di detik yang terkulai, berjuta merpati merangsek masuk. pada cakar-cakarnya terselip berjuta carik kertas, dari kitab-kitab tua, samar tertulis 'damai'

"aku akan datang malam ini"
ya, kekasihku akan datang malam ini. mengetuk pintu yang duduk manis menunggu. saat terkuak, perapianku akan memberi terang menghempas pekat di luar sana. percikannya memberi nada-nada, lagu yang indah buat tarian kita. tarian jiwa yang tak lagi meracau. namun jelaga malam kian sirik dan angin meniupkan kesal membawa rintik-rintik penat penantian. jam di dinding berdentang sombong tak ada niat untuk melayat. penantian telah mendinginkan santapan di meja persembahan. meracuni anggu-anggur yang kini mulai terasa asam. kelu di bibir bergetar menyusun harap. pelan menghantar akal pada peraduan hening, lelap di pangkuan kursi tua. seperti kemarin, kekasihku hadir di mimpi dan berucap, "Aku telah datang malam ini. di hatimu. saat rumah jiwa telah bersih dari luka semusim. manjakan Aku sebagai imanmu."

03 Juni 2003

Pagi itu tiba tiba kau datang lagi
setelah sekian lama menghilang
lenyap tertelan cakrawala

berbekal sekarung entah penyesalan
entah kepalsuan yang kau gantung dipundakmu
nanar matamu menatapku

aku bertanya "untuk apa kau datang?"
kau berkata "aku membawa sekarung penyesalanku
untuk kupersembahkan padamu..."
aku bertanya lagi "untuk apa semua itu?"
dan matamu sayu...nanar...berkilau memerah...
"aku mau pamit" ujarmu lirih

buat apa? bathinku.
toh sebelumnya,saat peluh peluh birahiku belum mengering,
saat dinding dinding kamar memantulkan desahan desahan kita,
saat ranjang disisikupun belum benar benar dingin,
kau telah pergi....
tanpa kecupan selamat tinggal...
tanpa pamit...

toh sebelumnya,saat aku terkulai tak berdaya dipagi buta dikamar hotel itu,
saat genangan darah itu belum menjadi beku,
saat luka rajaman pada tubuhku belum mengering,
saat sprei putih bersih yang kini menjadi merah karna "prakarya"mu
belum sempat dicuci oleh cleaning service,
kau telah pergi...
tanpa menengok...
sekali lagi tanpa pamit...

lalu untuk apa saat ini kau datang?
terduduk disampingku dengan sekarung penyesalan katamu
yang didalamnya terselip tawa kebahagiaanmu,
lalu untuk apa saat ini kau datang?
menangis sesenggukan diatas pusara yang telah kering,
membuat peziarah lain terharu menatapmu,

untuk apa lagi kau datang?
apa kau benar benar membutuhkan ijin dariku?

Memuakkan!!
Munafiiiikkkk!!!!




rendezvous

di kotamu aku menjadi layanglayang, menjelajahi cakrawala yang senandungnya
menggetarkan ombakombak parangtritis. di persimpangan itu, kutatap kembali
sosok hitammu yang semula hanya mimpi. seperti layaknya pertemuan
kau dan aku berjabat dalam bahasa paling sederhana
: seulas senyummu masih saja menyimpan luka - pemakluman akan rasa sakit
yang bersemayan sejak lama

menyusuri jalanan kotamu, ada rindu yang berebut ingin diucapkan. ada damai
yang menyelusup ke setiap pori, seperti matahari yang diamdiam menyimpan
gigitannya pada setiap inci tubuh. ada senandungmu yang membiarkan seluruh
letihku berdiam di punggung kesabaran

hanya engkau yang mampu memaknai resah ini. seperti juga telah kumaknai
sisa perjalananmu setelah kematian itu satu demi satu kau cecap, meski akhirnya
kau harus lahir kembali
inilah aku dalam usia senjamu
telah kau cipta rumah di mataku. agar kelak jika kau ingin pulang, akan ada tempat
untuk kembali merebahkan diri, mempersiapkan perjalanan baru

inilah aku dalam usia senjamu
menjadi rumah, menunggumu melangkahkan kaki
pulang dengan karungkarung ingatan yang suatu saat akan kau kisahkan padaku
dalam diam, dalam hening tanpa kata

pertemuan kita menjadi upacara kedua, tempat seluruh harapan dibakar api unggun
asapnya membumbung ke udara sebagai do`a.

yogya, 25 mei 2003

02 Juni 2003

menatap anak anak

aku terdiam seperti angin yang gamang dengan gaung di lembah
kemana ia mengembarakan remajanya menelusup kemanakah
ia berjanji sanggup memegang tatap kanaknya
aku cari ia dan aku jumpai cermin diri di wajahnya yang birahi
datang temui aku yang sepi
apa aku harus membunuh rusa untuk mengutarakan cinta
atau haruskah aku membuatmu cemburu

aku tersenggal di lempar angin yang kembali diam
hanya tisu yang kau lempar
hanya asap rokok yang kau semburkan
dapatkah aku tawar menawar denganmu
dapatkah aku bercengkerama dari waktu ke waktu

ia berjalan dengan cepat tak melewati jalanku
dagunya diangkat tidak seperti tundukku

aku bersembunyi dalam bising kata ini
ketika kau burung hantu yang menjerit jerit di dahan dahan
ketika kau kucing yang terus mengeong ngeong di pelataran
tapi suara suara ku mendapati dirinya pada batang batang batang tebu yang rubuh
seseorang yang mengepak akan menaruhnya dalam truk membawanya ke pabrik
mungkin kita akan berjumpa lagi ketika habis magrib mungkin juga tidak
mungkin kau orang yang kumintai api dan menolak
tapi di gelap itu jangan ancam aku dengan tatapan sekenanya
undang saja aku dengan denting tatap mata yang kocak
dengan gumam ku tawar dengan kata kata ku layu
dengan pengharapan yang tiada berbalas

usai perjalanan mei 2003

01 Juni 2003

dimanakah kau letakkan kerinduanku,lelakiku...
saat pucuk pucuk bunga itu bermekaran
membentuk sebungkah tawa

dimanakah kau letakkan mimpiku,lelakiku....
saat jelaga jelaga memburamkan pandang mataku
membuyarkan selaksa jingga pada mimpiku

dimanakah kau letakkan hatiku,lelakiku....
saat darah darah itu mulai mengering
dan pecahannya kembali merekat

dimanakah kau letakkan aku,lelakiku....
saat tubuhku dingin membeku
menanti sentuhanmu

dimana.........??