12 Maret 2002

aha

aha, inilah kita berdua—aku dan kamu—kamar kontrakan mungil, berapa ukurannya? 2x3, 3x3, 3x4 meter persegi? Betapa sempitnya! Tembok-tembok yg menghimpit, lampu yang selalu saja lupa kita matikan, dan pintu tempat bergantung pakaian-pakaian kumal kita (kita tidak tahu lagi, pakaian mana yang telah dan belum kita cuci).
Di dekat kasur kita, masih menggantung gabus 1x1 meter yang kau curi entah dari mana. “untuk kita bebaskan diri kita!”, katamu waktu itu. Dan lalu kita melindas tiap-tiap sentinya dengan segala apa yang keluar dari dalam diri kita. Muntahan-muntahan puisi yang bersemburan dari mualnya otak dan hati kita. Ludahan-ludahan graffiti yang sepertinya dengan sukacita kau campakan, dimensi lain dirimu yang selalu saja kau terjemahkan lewat kasar jari-jarimu. (aku tak pernah bisa melukis, meski aku bisa lebih kasar ketimbang dirimu). Di lantai, masih saja terserak buku-buku kita, bukumu dan bukuku. Apa itu? “sarinah”, “five dialogue”, “filsafat ensie”, “strukturalisme”, ahh...kamar kita terlalu pengap dengan buku-buku fisafat(mu). Sketsa-sketsa hitam putih, milikmu, cerita-cerita yang tak pernah usai, milikku, nampak lebih mirip gang becek ujung kampung. Menyebabkan kita mesti bersejingkat, memilih ruang leluasa untuk sekadar tapak kaki.
Setengah satu pagi. Celana jeansmu masih sama seperti tiga hari lalu. Asbak yang hampir penuh masih saja kau hujani abu-abu kretekmu. Di atas kursi, aku menghadap meja, sesekali berbalik menghadapmu yang berbaring di kasur kumal kita. (kasur kita cuma satu). Entahlah, singletmu, jeansmu, tali yg melingkar di lehermu, selalu saja menusuk-nusukkan inspirasi segar ke kelanjar otakku. Gila! Harus bagaimana aku sumpahi tubuhmu itu, lambung yang kerap perih, paru-paru busuk, rumah seribu penyakit, dan entah dengan cara apa kukutuki hatiku yang tak menyisakan temapt selain untukmu, bibir kering yg selalu kau basahi lewat kecupan, telinga tak bergiwang, lubang masuk degup jantungmu saat aku kau peluk. (dan entah berapa kali mata ini menangis di situ, membasahi singletmu).
“Ga, puisi untukmu!” aku berdiri, bersejingkat, dan menghampirimu. Kau duduk membacanya, irama pertengahan. Suara lamat yang pasti:

“beginilah Ksatria:
aku mencintaimu, dengan
lima ribu rupiah yang selalu kita bagi dua—dan
makan malam yg selalu satu bungkus.
Karena mencintaimu adalah candu
Tanpa harta dan bola mata.
Lalu, jika malam telah lewat
Mari kita isi pagi dengan peluh;
Membakar kamar ini dengan tiap-tiap birahi
Yang kita punya. Lupakan kontrasepsi,
Biarkan rahimku menyimpan jejak detik ini;
Jejak yang akan menjadi sembilan bulan lagi.
Maka, matikan rokok itu, buat jejak untuk kita,
Cinta yang menjadi, birahi yang mengkristal,
Pancaran yang meledak lalu mengendap. Menerobos
Tiap-tiap lapisan, pemberontakan untuk hal kawin-mawin.
Sekarang juga. Sekarang...kita berontak!”


Kau tertawa, aku tersenyum, dan lampu lupa kita matikan, dan rokok lupa kau padamkan, dan puisi belum selesai dibaca, dan sketsa belum sempurna.

Dan kita bercinta, melepas semuanya. Semua-muanya! Semau-maunya!

Tidak ada komentar: