08 Maret 2002

fragmen-fragmen cerita ini untuk seorang laki-laki*

Dia adalah sebuah misteri yang datang dan pergi. Aku bertemu dengan misteri itu pada sebuah senja yang mendung, udaranya pekat, juga lengket khas dengan bau hujan yang menjadi prolog. Waktu itu ia mengenakan sweater merah pucat dengan sablon di dada kiri berwarna putih, samar dan tak terbaca, singkatnya nyaris hilang dan celana jeans biru muda dengan lubang di lutut kanan. Matanya seperti elang langsung menatap langsung dan menusuk, hidungnya bangir, kulitnya coklat kehitaman, rambutnya cukup pendek tetapi tidak rapi seperti cukuran standard seorang serdadu. Tetapi dia bukanlah seorang serdadu, dia seorang pecinta yang datang untuk menagih sebuah hati.

Dia datang untukku. Hatiku.

Ruang tamu rumah itu, kursi-kursinya cukup tua sehingga kempis dan bantalannya agak melesak ke dalam. Dia duduk di pojokan salah satu kursi dan aku menempatkan diri di hadapannya. Tangannya menyentuh dagu sewaktu aku melewatinya. Aku mengamatinya, tajam matanya, kulit sawo matangnya, dadanya, pundak dan detil-detik tubuhnya. Entah kapan aku menjadi begitu jalang dalam liarnya tatapan, terutama padanya, si pecinta berbaju merah pucat.

Aku pun seorang pecinta, dan aku datang untuknya, tetapi kemejaku kotak-kotak warna krem dan celanaku hitam. Itulah yang membedakan kami.

Dan kami tiba di tempat itu untuk bercinta, satu hari satu malam, dimana-mana. Senja sudah menagih janji kami untuk bercinta, karena malam akan tiba dan waktu akan menjadi semakin pendek. Tetapi cinta bukanlah sekedar basa-basi, waktu mengujinya. Lalu kami bercinta dengan kata, dengan udara, dengan ciuman, dengan tubuh, dengan jiwa, masih dimana-mana.

Si pecinta pergi keesokan harinya, meninggalkan satu amplop coklat yang berisi sebuah foto pribadi, tumpukan pembatas buku dan segenggam kartu nama. Aku lari mengejar kereta, untuk pergi dan kembali. Karena dia masih sebuah misteri, juga aku.

Sebulan kemudian aku kembali, masih dengan kereta yang itu-itu juga melewati jalur yang itu-itu juga. Kota itu masih sama, dan si pecinta masih datang dengan keagresifan yang sama, dengan tatapan yang sama dan dengan hati yang sama. Aku datang membawa diriku seorang, demi sebuah penjagalan yang diatur oleh waktu setahun kemudian.

Dia menyambut dengan senyum, kubalas dengan senyum. Kami ingin mati di buaian matras bermalam-malam berikutnya sambil mengali lubang kuburan dalam kamarnya yang tak begitu dalam tetapi menembus langit malam. Kamar itu tidak kutemukan sebulan kemudian, melainkan sebuah kamar yang merah karena luka, mungkin oleh bekas darah.

“Dimana kuburan kita?” aku bertanya pada si pecinta.
“Sudah hilang karena harga sewanya semakin mahal, aku membakarnya tadi malam lalu kutebar di dalam kabut merah untuk mewarnai kamar ini. Setahuku kau suka merah, bukankah begitu?”

Kamar itu kuciumi, masih segar memang dengan api yang membara dan merah yang begitu menawan. Dia kuciumi, masih segar dengan bau sabun setelah mandi jam lima sore..............

(bersambung)


*semoga bisa berlanjut menjadi sebuah buku

Tidak ada komentar: