22 Juni 2003

kau merindukanku?

begitulah, beginilah, aku sama-sama merindukan sesuatu. kita semua sama-sama merindukan sesuatu. jadi marilah aku bercerita tentang sesuatu.

di titik jarum tepat pukul lima sore, aku baru sama menonton film perang tentang pembersihan etnis di nigeria. mengerikan. entahlah, sejak kapan dunia ini memang menjadi begitu mengerikan. apakah sebuah pembersihan menuntut dipotongnya payudara seorang ibu yang tengah menyusui agar bayinya mati dan habislah keturunan atau penerus etnisnya. ini perang saudara, ini cuma satu contoh, masih berjuta macam lagi kekerasan yang sampai saat ini tidak bisa terbayangkan.

kau pasti sedang membalikkan wajahmu, tetapi inilah kenyataan.

seperti nawal mendeskripsikan pada sebuah bukunya tentang mutilasi kelamin perempuan di negara-negara afrika. atau tentang nasib vagina-vagina lainnya di berbagai tempat.

waktu itu akupun membalikkan wajahku, tidak meneruskan membaca. ini terlalu mengerikan, apalagi jika divisualisasikan, dirasakan, karena aku juga perempuan.

ini baru beberapa contoh, beberapa kekerasan, khususnya pada sebagian kaum perempuan.

waktu bergulir kembali ke titik jarum jam sembilan pagi, kawan-kawan sedang mementaskan sesuatu. kami sedang menggalang solidaritas porsea. kau membayangkan demonstrasi? oh tidak, itu tidak kami lakukan, telinga-telinga sudah berupa batu sekarang, harus dengan hiburan. udah nggak ngetrend orang-orang bilang.

lalu apa? kekerasan hanya sebuah trend? tuhanku, anda pasti sedang bercanda.

yah, telinga-telinga sudah berupa batu. apa yang kami lakukan sekarang. kami menghibur orang-orang dan orasi dengan musik techno? canggih bukan? menghibur bukan? tetapi mereka tidak membutuhkan rasa kasihan, mereka membutuhkan dukungan.

tiap hari berupa perang di kota porsea, dengan pemilik-pemilik pabrik, modal-modal asing, juga tentunya militer dan pemerintah. semua golongan maju, semua lapisan maju, kakek nenek, bapa ibu, kakak adik, islam kristen, pedagang, mahasiswa, pelajar, anak tk, pekerja dan orang-orang biasa. terlalu kiri? tidak! ini kenyataan karena kekerasan sudah menjadi makan pagi, siang dan malam, juga cemilan.

konflik ini sudah sepuluh tahun, dan kita baru saja menyadarinya. kau tersedak? matamu membulat? membulatlah, karena sarapanmu sudah berubah menjadi kekerasan.

inilah sebuah bentuk rindu yang kumasak untukmu.

Tidak ada komentar: