19 Agustus 2002

Anak tiri ayah dan ibu pertiwi

Ada begitu banyak guru dimuka bumi ini dan ada begitu banyak juga teori tentang kehidupan. Semua saling menarik semua melirik. Tapi adakah mereka memiliki kesetabilan akan hidupnya? Tidak adakah keresahan pada diri mereka? Bisakah mereka menjadi bentuk nyata dari mimpi yang mereka tawarkan tentang kehidupan? Bilakah yang mungkin terjadi, kita akan menjadi bagian dari orang-orang buta yang dituntun oleh orang buta pula.
Guru yang baik tidak akan menyuruh muridnya menjadi pengikut. Karena mereka akan menelan habis kepercayaan orang lain dan berhenti berpikir akan dirinya sendiri. Akan menjadi tidak merdeka, menjadi budak akan segala gagasan dan kepercayaan orang lain. Mereka mencari emas orang tolol.
Dikerimbunan perkebunan ini aku menjadi guru bagi mereka. Kaum marjinal yang puas akan hari ini. Sementara esok itu urusan lain. Dan nafas pengharapan hanya ada pada detik-detik yang baru berjalan. Bukan mengingkari takdir atau nasib, tapi kehidupan yang justru membentengi mereka.
Tidak ada lagi jiwa yang hidup, jiwa yang haus akan pemberontakan diri. Semua berhenti memikirkan dirinya sendiri. Keinginan untuk memperbaiki diri dan mencari kebenaran pada jiwa. Seperti seorang pendeta yang berusaha memurnikan jiwa kita dan kaum terapis yang berusaha memurnikan kesadaran kita. Dan seperti ahli psikologi yang justru memusatkan pada tingkah laku. Sesungguhnya mereka membuat kita menjadi korban pasif dari kehidupan dan menjauhkan dari penemuan kearifan batin diri sendiri. Adalah perbedaan yang besar antara menemukan kearifan batin diri sendiri dengan mengadopsi kepercayaan orang lain. Mendengarkan perkataan orang bijak adalah satu hal, menjadi pengikut adalah hal lain yang sangat berbeda.
Sebuah trauma akan masa lampau, menjadi cerita tak terucap. Bisikanpun akan membuat mereka menangis tanpa ada satupun meratap. Sebab ratapan mengundang maut, dan bibir akan terkunci selamanya. Kehidupan yang mengajarkan begitu.
Aku hidup dan nyata hidup untuk desa ini, kelahiranku 35 tahun lalu. Tiada yang berubah sekembalinya aku dari kota setelah 5 tahun lamanya mengejar mimpi menjadi seorang guru di sebuah institut keguruan negeri. Dan begitu beruntungnya aku memiliki orang tua yang menghargai nilainya ilmu, sebuah keinginan yang tertumpu padaku. Bisikannya selalu memenuhi otakku “merdeka kan kaum mu”.
Pada usia 6 tahun, aku telah diseberangkan ayah ke desa tetangga yang memiliki sebuah SD. Sedikit jauh dan aku terpaksa mengayuh sepeda kecilku untuk 2 jam lamanya. Sebuah perjuangan untuk seusiaku. Aku sering menangis, bila pagi muncul. Terbayang medan yang akan aku tempuh. Tapi itupun tak melunturkan semangatku karena ayah selalu menatap buas padaku bila aku enggan berangkat.
Sungguh aneh yang kudapat ketika di buku raport aku tak menemukan nama ayah dan ibu, aku dikatakan sebagai anak yatim piatu. Begitu teganya mereka menganggapku sebagai anak angkat. Dan aku masih mencari jawab hingga saat aku beranjak duduk di kelas 2 SMP. Aku dicalonkan mendapat beasiswa Supersemar karena nilai-nilaiku. Ayah sangat marah mendengar itu, tapi aku ingin meringankan bebannya. Sepertinya ayah tak sudi akan semua bantuan itu, karena dirasa keringatnya masih bisa mengalir.
Tapi mimpi tak lagi berujung, aku gagal melengkapi persyaratan. Ayah tak mampu menulis lembaran kertas permohonan. Bukan karena dia buta huruf. Tapi oleh sebuah pertanyaan yang sejak dulu belum terjawab. Ayah, anak siapakah aku sebenarnya? next

Tidak ada komentar: