27 Agustus 2002

Lingkaran
[ Siska dan dua malaikat atau dua setan (?) ]


Pagi beranjak dengan tenang, selembut langit yang pelan bersolek diri. Dan matahari mengusir gelap dengan senyum manis kelak berujung sinis. Embun-embun tak lagi bersantap masa, hilang berselingkuh digoda rona hangat angin yang mengusir mimpi. Beratus juta kebangkitan mencicipi kesadaran, melanjutkan rajutan keping-keping nasib yang berserakkan. Benang-benang nafas terpilin kusut tak jelas ujung. Sang penabur benih tersenyum suci memandang tuaian pada segala tanah yang subur, penuh bebatuan dan segala hamparan ladang kehidupan.

Pada kehidupan yang bermula di pagi, bunga berdandan molek. Kelaminnya memikat kumbang-kumbang nakal pemagut cinta, semuanya berjalan biasa. Tak ada yang merasa digerayangi, tak yang terlecehkan, tak ada dosa. Mungkinkah tak ada berahi pada mereka?

Kumbang akan menatap sedih pada bunga-bunga yang tertata rapi di meja ini. Dingin dan pelan-pelan berbisik mati. Tapi ia tidak mati sia-sia, hidup memberi arti. Keindahan dan kematiannya memberi damai, tak ada yang perlu terusik. Terusikkah mereka bila aku tetap sendiri?. Pelan pikirannya mendesah. Untuk kesekian puluh kalinya bunga-bunga ini dikirimkan padanya, pengirim yang sama. Beratus kalimat terangkai pada kertas-kertas kecil tulisan tangan, dan selalu berujung inisial yang sama. CT. Siapakah kau?

Kertas-kertas di meja jadi santapan pagi, setelah sarapan hangat dan segelas susu sajian Bik Miah di rumah tadi. Kembali ke kantor menikmati kesibukan diri, dan sorenya pulang mendapati rumah masih dingin dan sepi. Tak ada celoteh-celoteh menyambut atau kecupan hangat dari pria yang akan melindungi hingga pagi menepi kembali. Mengapa aku menjadi lemah begini? Pikiran yang tak pernah menjadi persoalan bagiku dulu, tak semenarik segala kasus yang kutangani. Aku bisa memenangi segala ajal bagi mereka kaum pesakitan, mengapa aku tak bisa membela nasibku? Ia merenung panjang.

Batinnya menari-nari, segala tanya terburai. Mungkinkah karena bunga-bunga ini, aku menjadi ingat kembali akan cinta? Akan kesendirian? Akan sepi? Bukankah itu pilihan yang aku yakini? Hidup tanpa pria bukanlah kematian. Karena patah hati bukanlah milik dewa maut lagi, itu hanya berlaku pada roman-roman usang. Gambaran lemahnya peradaban. Aku wanita mandiri yang punya hidup sendiri. Semua garis hidupku hanya satu, sendiri dan selalu menjadi nomor satu. Seperti di kantor ini, karirku telah cukup berarti. Aku memiliki kantor pengacara sendiri, dengan pegawai yang lumayan banyak. Tak ada yang pernah menatap kasihan padaku atau nada-nada ejekan sebagai perawan tua. Malah kumpulan wanita-wanita korban lelaki yang bertameng wanita karir itu, menobatkanku sebagai wanita karir untuk tahun ini. Bukanlah sebuah prestasi bagiku, tapi bergabung dengan mereka adalah sebuah penghinaan. Begitu bencinya mereka pada lelaki memunculkan pemikiranku bahwa mereka adalah kaum lemah. Bukankah Hawa dulu telah berhasil menipu Adam?

Bila dikatakan lelaki kejam, marahlah pada Adam.
Tiadalah harus keluar dari firdaus yang kekal, tiada lain bukan oleh karena bujuk Hawa. Kalah oleh kaum peng-ingin, mengidam sebelum waktunya.


Bila dikatakan lelaki itu kejam, tamparlah Adam.
Karena hanya itu yang bisa dilakukan, sebelum tangis mengalir.
Dari turunan Adam yang lemah, bibir yang kelu, lahirlah banyak kaum peng-iya.


Dan telah tertulis, Adam dungu oleh cinta.
Menjadi santapan wanita.


Tetapi tak dipungkiri, ia masih bisa ingat dia. Lelaki kecilnya pada waktu yang lalu. Matinya sebuah cinta oleh manusia berkelamin lelaki. Kini ia bukanlah mahluk pembenci lelaki, telah terlupakan semua itu. Itu justru akan melecehkan dan kesendirian bukanlah sebuah bentuk sakit hati. Ini hanya ekpresi keinginan menjadikan hidup sungguh berarti. Sungguh tiada benci. Dan ia menikmati hingga posisinya kini. Tapi sampai kapan kah aku begini? ucapnya pelan. Ohh bunga mawar, sungguh berbahaya sihirmu? Belasan tahun yang telah menguatkan, janganlah kau pergi….. next

Tidak ada komentar: