22 Agustus 2002

Bulang

Kakiku menapak pada aspal , sedikit gamang dan telinga masih berdengung. Ada sedikit efek yang timbul dari penerbangan kali ini, yang memakan waktu berkisar dua jam kurang. Landasan telah menguap tampak dikejauhan. Udara panas kota ku kembali menyengat. Untuk sepuluh tahun lamanya aku telah tinggalkan. Bandara ini tak mengalami perubahan yang amat berarti, hanya polesan cat-cat ditembok dan jeruji pagar yang makin kekar. Aku ingat, dulu ada anak kebun di Dolok Masihul yang coba melihat Jakarta dengan menumpang pada sebuah pesawat udara. Bersembunyi pada ruangan roda dibawah badan pesawat. Dan dari ujung parit dekat tepi pagar sana, mereka berdua mengendap-endap ditengah malam. Sungguh perjuangan yang sulit dan berbahaya, tapi keingin tahuan mereka terpuaskan. Tipikal anak batak umunya. Dan jelas terlihat betapa rapuhnya pengamanan pada sebuah bandara sebesar ini.
Aku tak perlu harus menunggu ngantri mengambil bagasi, karena bawaanku hanyalah tas koper kecil ini. Pakaian seadanya, karena memang itu yang ku perlukan. Aku mencari taksi yang akan mengantarkanku menuju kota di luar Medan. Kabanjahe, ibukota kabupaten Karo. Tak ada yang menjemputku, aku tak mau merepotkan kolega-kolegaku. Untuk memberitahukan kedatangan pun aku tak lakukan, hanya seorang wanita tua yang menantiku.
Kota Medan masih tetap sama, tiada yang berubah selain makin banyaknya rumah toko (ruko) dibangun, tiada keindahan dari segala bangunan itu. Tidak ada mempertimbangkan nilai estetis lagi, hanya fungsi belaka. Malahan kerangkeng besi memagari jendela-jendela dari luar, seperti ketakutan yang berlebihan ataukah mungkin teraumatik dibulan Mei tahun 1998 dulu. Ketika melewati Padang Bulan, memancing lamunan melayang belasan tahun silam, saat aku masih menjadi mahasiswa di kota ini, masyarakatnya begitu menyatu dengan mahasiswa, karena mereka memang hidup dari kehidupan kampus.
Itu sebabnya daerah ini tak pernah terjamah oleh para penjarah, karena semua ruko-ruko itu dihuni anak kost dan malahan banyak mahasiswa atau para pengangguran yang patungan mendirikan usaha kecil-kecilan. Biasanya rental, warnet atau photo copy. Dan ketika di bulan Mei itu juga, mahasiswa menyatu dengan penduduk setempat mengusir aparat yang coba menyerbu kampus untuk meredam aksi yang telah berlangsung berhari-hari. Perlawanan berlangsung makin memanas ketika kampus dikepung dan mahasiswa terpaksa harus tidur dikampus, sementara para pemilik kost kesepian di rumah, khawatir akan keselamatan mereka. Dan pengusiran pada aparat terjadi, membuahkan pemandangan baru di simpang kampus, dua motor polisi dibakar dan dipajang diatas pos kecil milik polisi di sudut perempatan jalan itu. Sebuah saksi.

Wanita tua menunggu didepan pintu, bibirnya masih mengunyah, berwarna merah oleh daun sirih. Irama yang berjalan lambat memelihara tubuhnya yang memang jelas-jelas sudah usang Wanita tua itu memiliki nada tanya.. Bangkit berdiri pada tulang punggung yang jelas-jelas telah rapuh, seakan tahu irama akan kedatangan. Sepertinya kami mempunyai getar yang sama, kerinduan akan tertumpah. Aku memeluknya, badan yang cukup ringkih itu. Bibirnya mengecup pipiku, kebiasaan lamanya. Mengusap bekas merah hasil kunyahannya.next

Tidak ada komentar: