19 Januari 2002

Sebuah Prolog
utk d.a.r.

Kukira sebuah deruman itu tidak akan datang, hanya akan menabrak dinding lalu jatuh berkeping-keping. Seribu teka-teki yang akan tersisa dari malam ini. Lalu mengapa kita berada disini, di kursi merah yang mengelilingi ruangan sebuah depan rumah. Ayam jago berkokok di luar sana dan matahari timbul dari tenggelam. Pada jalan-jalan di suatu malam aku terduduk termanggu dengan beberapa batang rokok, ada apakah dengan denah kecoklatan di tubuhmu? Sepertinya aku sudah lama mengenalnya, seperti rerumputan hijau yang tergenggam di tangan. Tak ada pertanyaan disitu, yang ada hanya ketelanjangan yang meminta. Ketelanjangan seorang anak manusia.

Dan mengapa kita harus bertangis-tangis tanpa air mata pada kesendirian kita masing-masing? Karena kita tahu pada hangatnya sebuah ciuman dan kukira tak ada salahnya kita berciuman di bawah bingkaian jendela kayu ini. Kita yang merindukan kerinduan, seperti berpelukan pada Tuhan. Seperti dua anak kecil beratapkan bintang, kita tidur bersisian, berselimutkan kehidupan dan nafas-nafas subuh pagi. Kita seperti menghitung lukisan alam yang tak pernah terselesaikan.

Hanya saja pada api yang terbakar kan kutuangkan air, seperti pada duduk emosimu yang nyaris dingin beku. Api-api biru di hatimu, lebih panas dari magma-magma gunung di sekitar kita. Es-es kering itu, sanggupkah menutupinya dalam ilusi sebuah kabut. Pada wajahmu lalu pada wajahku, perlukah kita berperasaan maya? Salam perkenalan semalam suntuk, cukup merutuki hari dengan semua kantuk yang ada. Yang ada adalah perenungan sebuah pertemuan kecil dan panjang.

-yogyakarta, pada sebuah pagi-

Tidak ada komentar: