14 Januari 2002

cerita ketiga untuk qq

sepertinya kematian akan berbicara ketika seribu sisi menampakkan diri. sungai-sungai mulai penuh dan tanah-tanah mulai longsor berjatuhan. pagar-pagar bambu memugar dan menancapi bumi. pernahkah kau dengar hujan bertangis-tangis di pinggiran selokan-selokan yang penuh dengan tumpukan sampah perkotaan? seperti
ikut menyesali debu sisa pembakaran becak-becak dan runtuhan dagangan kaki lima. sesekali terdengar teriakannya pada penggusuran kemanusiaan atas nama keindahan.
lalu mengapa ada keindahan jika tak ada kejelekan? semuanya setipis kertas-kertas timah...

masih kegelapan memenuhi langit kota-kota ini. dalam keheranan terlihat bintang-bintang gemerlap, kukira kota ini menyembunyikan bintang-bintang ataukah hanya kilapan-kilapan lampu dari mesin-mesin besi itu? matahari selalu melahap kulit-kulit manusia, memanggangnya begitu coklat, begitu matang. bagai nasi goreng kecap yang sedang pernah tersaji di meja makan sebuah warung tak bernama. mereka lapar, bermata lapar...

jalan-jalan mulai menyambut sajian darah merah, seperti sebuah misa dengan nyanyian perjuangan-perjuangan. hanya asap-asap pemberkatan terasa perih dimata, gas air mata teriak seseorang. sisa-sisa mortir dan martir bergeletakan di jalanan. masih diringi tembakan-tembakan penyelesaian dan penghormatan. jalan-jalan tiba-tiba berubah nama sebulan kemudian. kita terjebak dan tersesat disana, seperti hilang di sebuah negeri penuh dongeng wayang-wayang dari negeri seberang.

Tidak ada komentar: