03 Juni 2002

:pacarmerah

Mungkin aku memang kurang ajar, nyaris sebulan penuh pergi hanya meninggalkan jejakku di suatu pelataran stasiun kereta api. Memang mungkin aku pantas dirajam setelah menyiksamu dengan rindu berhari-hari, berjam-jam, menit dan juga detik. Ah, perasaanmu yang membuatku kehilangan banyak kosakata setelah sembilan belas tahun lebih satu bulan hidup di muka bumi. Ini memang bukanlah surat, pemberian kabar, ini hanyalah sebuah tulisan yang tercipta di suatu ruang yang diisi olehmu. Ruang yang sampai saat ini aku tak mengerti dimana letaknya, dimana maknanya. Setajam inikah kata?

Hari-hariku kulewati dengan banyak perenungan, kegelisahan dan bacaan-bacaan. Terkadang pun penuh dengan dialog-dialog baik yang terjadwal maupun seenak waktu, tetapi beginilah kota ini dan aku mulai terbiasa kembali. Sesuatu dalam diriku terasa lebih bebas tetapi ada juga yang terasa ingin terbebas. Sebabnya mungkin bisa kupikirkan karena aku baru saja memenjarakan diriku di dalam rutinitas enam jam yang kurasa hanya pembodohan tetapi aku terpaksa melakukannya. Dan, sialan! Aku sudah muak di hari pertama. Aku masih ingin liar.

Tetapi aku mencintai kota ini, dalam kenangan yang lama baikpun yang baru, yang menyenangkan baikpun yang menyedihkan. Salahkah aku jika aku begitu mencintai kota ini? Dari warung angkringan, teh tubruk yang kental, pribadi-pribadi beragam yang kukenal, sampai pada fragmen-fragmen pemandangan. Walau terkadang banyak juga hal-hal yang menyebalkan seperti peringatan jam malam, laskar-laskar moral yang dungu dan juga munafik sampai kepada para pencopet. Yang terakhir agak pribadi, dompetku baru saja menjadi korban mereka. Kau ingat, dompet coklat kulitku itu? Satu-satunya yang penuh kenangan cukup sentimentil yang masih membuatku merasa sendu mengingatnya. Uangku hanya enam ribu rupiah, ktp dan atmku hilang. Dan, kurasa aku perlu melengos mengeluh, foto-fotoku, foto kita itu pun lenyap. Aku bisa membayangkan kemungkinan berada dimanakah dompet lapuk itu, di tumpukan sampah mungkin. Sudahlah, agaknya memang tak baik untuk menjadi terikat pada sesuatu yang bersifat kebendaan.

Beberapa hari lalu aku menemui sebuah pantai, Teleng Ria namanya, ombaknya begitu menggodaku untuk ikut bergulung. Pantai yang indah dan merindukan di antara bukit-bukit dan pegunungan. Beberapa minggu yang lalu aku juga menyapa padang pasir Parangtritis atau singkatnya Paris, bersama seorang teman, dengan lensa kamera tentunya. Sejumlah foto-foto eksperimen itu sudah tercetak, tidak begitu mengecewakan kukira untuk seorang pemula, aku jadi mengetahui dimana letak kesalahan-kesalahanku. Kukira akan ada yang kukirimkan untukmu, fotoku dan foto yang diambil oleh temanku. Aku mengejar terbenam dan terbitnya matahari di kota ini, pernahkan kita memandang senja atau subuh begitu rupa sehingga kita berdua tertidur di depannya? Seingatku kita hanya bisa melakukannya di antara genteng rumah perkotaan, ah, kita terkadang berada di tempat yang salah tetapi itu semua tidak mengapa, keindahan tetaplah keindahan dimanapun tempatnya.

Disini terkadang aku seperti tidak mempunyai tempat tinggal, sepertinya aku lebih nyaman hidup beramai-ramai walau sekali waktu akupun tersadar masih butuh kesendirian. Seringkali kulewati malam-malam bersama kawan-kawan, ramai dengan kopi, teh, dan rokok. Dengan diskusi ataupun sekedar bercanda ria, seringkali dengan menyanyi bersama, dan terkadang membaca puisi-puisi di bawah bulan purnama. Juga sudah setumpuk buku terbaca, tertulis beberapa potong tulisan, dan pemikiran-pemikiran yang nyaris hilang muncul kembali. Dunia sejenak terasa begitu nyaman. Warna-warna kegelisahan mulai terungkap, hal-hal baru sepertinya akan mulai terlahirkan. Akhir-akhir ini kami terasa mual-mual hamil, entah penuh kemuakan atau menunggu kelahiran sesuatu. Sebuah perubahan!

Tidurku menjadi berkurang begitu juga dengan makanku. Harus kuceritakan kau satu hal karena daging anjing dan juga belalang adalah sebuah konsumsi kehidupan. Aku belum sanggup memakannya, apalagi anjing, kau tahu bagaimana aku menyayangi jenis binatang itu. Aku pun sempat memasak tahu-tempe pedas dan ternyata cukup enak, walaupun menu cukup vegetarian, daging memang mahal untuk terbeli dan dimakan beramai-ramai. Terkadang ada pesta, kukira setiap pesta memang mempunyai kesan purba semodern atau semewah apapun pesta itu. Pesta kali ini diwarnai botol-botol tetapi tidak ada kemabukan, hanya rasa hangat karena hawa yang dingin dan semuanya menjadi cepat tertidur. Itu saja. Karena kami manusia-manusia malam yang sekali waktu ingin beristirahat seperti manusia kebanyakan.

Masih ada permainan perasaan, keanehan, kesenduan, kebahagiaan, kepiluan yang bercampur jadi satu. Emosi memang masih mewarnai hatiku tetapi ada suatu pembelahan yang mungkin menuntut ketegasan yang sudah berulang-ulang kusadari. Kepalaku terkadang terasa pecah karena memikirkan arti dari lima huruf yang selalu hadir di kehidupan itu. Hatiku, ah...sepertinya dia sedang enggan, dia ingin sendiri merasakan.

Aku sedang merasakan sebuah kesedihan seorang kawan, adik perempuan tersayangnya baru saja meninggal kemarin sore. Setelah koma selama seminggu karena kecelakaan motor. Dia begitu tak tenang beberapa hari ini, itu semua kurasakan karena kami akhir-akhir ini berbicara dekat dan menumpahkan rasa-rasa yang ada di dalam hati serta pikiran. Ketika mendengar kabar itu kemarin sore setelah mendadak malam sebelumnya ia kembali ke kotanya, aku benar-benar kehilangan kata-kata walaupun aku sudah menduganya. Ada kesedihan meliputi dia, aku, kami semua kukira.

Kau ingat film Lorca? Film yang kau begitu suka, sampai nyaris tiga kali kau menontonnya. Aku baru saja membuat resensi yang agak slengean, akan kuperlihatkan kepadamu jika sudah terbit di media on/off edisi keempat. Kau tunggu saja. Aku juga sedang menterjemahkan puisi-puisinya dan juga Neruda, sudah bertambah beberapa. Sebuah naskah Neruda terjemahan lama baru saja diserahkan kepadaku, aku sedang mengetik ulangnya. Aku pun baru saja menyelesaikan layout untuk buku puisi seorang kawan dekat, untuk pernikahannya. Pun, dalam tahap mengerjakan situs sastra yang akan dikelola bersama dan juga membantu layout sebuah majalah. Terdengar dinamiskah di telingamu? Kegilaan dan ketidakteraturan yang menyenangkan ini.

Aku saat ini sedang memikirkanmu di antara buku-buku yang sudah terlewat terbaca, foto-foto yang tercetak terpajang dan juga sebuah lagu berformat mp3. Beberapa hari yang lalu sebuah nomor yang kutahu itu adalah dirimu tercatat di ponselku, kau rindu? Jadi beginilah ini semua yang tertuliskan setelah itu, kata-kata dan cerita-cerita yang tak sempat kusampaikan di antara kabel dan pulsa telfon yang terus melambung itu. Maafkanlah aku karena keterbatasanku dan kekurangajaranku ini, karena aku belum melupakanmu, belum melupakanmu.

Yogyakarta, 3 Juni 2002
7.16 PM

Tidak ada komentar: