13 Juni 2002

Yogyakarta, 13 Juni 2002, masih terhitung pagi hari...

Bukankah sebuah catatan pun akan banyak bercerita setelah sekian lama tidak terketikkan atau tertuliskan selain menumpuk di suatu selaput otak? Tetapi untunglah karena sel otakku baru saja mengalami pencerahan semalam tadi dengan dua buah botol vodka tercampur dengan dua kaleng green sand, terhitung tujuh buah sloki di dalam takaran yang kira-kira satu per enam bagian gelas aqua plastik. Kepalaku terasa lebih ringan setelah kelelahan yang tak terkira seminggu-dua minggu terakhir ini, yang masih saja kupaksakan menonton pertunjukan teater bersama seorang kawan. Sepulangnya kepalaku semakin penuh rasanya, pertunjukan teater yang begitu dahsyat.

“THEKmU THUKNO THEKKU” yang di pentaskan teater Gradanalla, yang nama teaternya konon diambil dari nama salah satu kakak tiri Cinderella, memang membuatku sangat terkesan. Satu jam setengah sebelum pertunjukan berjalan, seorang kawan datang tiba-tiba menembus suatu percakapan yang dimuat oleh kelelahan dan rasa ngantuk. Ia mengajakku menonton teater dan segera menunggu keputusanku, lima menit terakhir sebelum berangkat menuju gedung LIP, aku akhirnya memutuskan untuk pergi. Dan aku tidak menyesal, tidak sama sekali, mungkin aku pun akan sangat ingin menontonnya berulang kali, tetapi sayang, semalam adalah pertunjukan penutupan, yang terakhir.

Awal pertunjukan diwarnai dengan kericuhan kecil, dua orang anak-anak tidak diperbolehkan menonton, lalu muncullah seruan “Ini pelanggaran hak anak-anak untuk menonton pertunjukan teater!”. Tetapi mereka tetap keluar. Lalu lampu dimatikan, semuanya gelap. Cahaya biru masuk lalu merah, dalam biru ada percintaan antara laki-laki dan perempuan dan dalam merah laki-laki dengan laki-laki. Di tengah-tengah ada tarian dan di atas panggung ada lukisan yang nyaris terselesaikan. Bunyi kuas cat yang berpadu dengan kanvas dan lagu yang mendentam-dentam, disana ada birahi, disana ada persetubuhan.

Pertunjukkan berjalan, dengan ekspresi tarian dan juga suatu kenikmatan. Satu nada ponsel tiba-tiba berdering nyaring, kurasakan ada ketergangguan tetapi ternyata itu adalah juga bagian dari pertunjukan.

Selanjutnya aku merasa terseret pada akting seorang laki-laki, yang menjadi seorang homosexual, lalu menjadi seorang bayi, seorang anak-anak dan seorang banci. Ah, pada akhir pertunjukan ternyata dialah sang sutradara, Juned. Dia begitu berbakat. Ekspresi mukanya yang begitu teaterikal, sebuah wajah yang mampu menjadi siapa saja. Monolog dan dialog yang begitu cerdas. Aku ingin membaca naskahnya atau menontonnya lagi seribu kali sampai melekat semua di otakku ini. Lalu tariannya, tangan itu, pinggul itu, bahu dan ekspresi mata itu, suatu ide yang mungkin mengingatkanmu pada siaran “Putri Malam” di televisi pada tengah malam nyaris hari minggu. Melihat sosok seorang laki-laki dengan kain yang dibebatkan menjadi sebuah rok panjang dan di atasnya sebuah korset hitam perempuan, seorang banci yang pertama kali dilihatmu mungkin mengundang tawa di mulutmu. Tetapi tarian itu, gerakan itu begitu indah, dari sebuah kejenakaan beralih menjadi sebuah ironi, suatu kesatiran yang pedas. Tarian itu bisa berubah-ubah dalam suasana dan berakhir dengan sebuah kegilaan.

Ada dua orang bertopeng masuk, mengingatku dengan para penjaga moral yang munafik itu, selalu petantang petenteng membawa-membawa parang dan bendera-bendera agama. Kali ini pun ada parang dan juga nama-nama agama yang mengutuk si banci, memaksanya bertobat.

Aku memang berTuhan, tetapi aku memilih untuk tidak beragama. Tidak ada yang menerimaku. Aku pernah mengenal Isa, dia mengajarkan cinta kasih, tetapi apakah ada tempat untuk seorang banci? Tuhan menghukum Sodom dan Gomora, tetapi adakah mereka menjelaskan atau bertanya karena apa?

Mereka menyeretnya ke arah penonton, dan dia meraung-raung, menangis, terlalu banyak tangis yang pilu. Diseretnya lagi kembali ke pentas, dipotongnya rambutnya dengan kasar, dengan parang dan dalam suatu humor kegelapan akan dibakarnya dengan korek api tetapi seseorang dari mereka mengeluarkan gunting. Mereka benar-benar memotong rambutnya. Mereka pergi dan meninggalkan sendiri di atas panggung. Gelap.

Ia mencari-cari ibu, mencari orangtuanya. Karena sebab apakah dia harus dilahirkan dalam keadaan yang tak punya pilihan dan merasa terkutuk.

Ibu biarkanlah aku kembali masuk ke dalam rahimmu.

Ia mengiba.

Biarkanlah aku masuk ke dalam rahimmu, atau pada masa mudamu.

Ia menangis.

Apakah aku harus membunuh ayahku?

Ada keris panjang dan juga cambuk. Ada tarian kegilaan, ada perputaran dan ia menari dengan mata yang mendhem, seperti kesurupan. Tariannya terlalu liris, terlalu mengiris dan ironis. Sosok ayah yang terhantam keris, dengan sendiri dan juga olehnya.

Lagi-lagi gelap. Lukisan yang menyala.

Bau melati semerbak dalam kegelapan dan satu sosok manusia menyala dari arah penonton. Bau kubur, sesuatu dari aroma kematian. Sosok yang berjalan dan menempel pada lukisan, goresan kuas yang terakhir pada liang selangkangan. Semua gelap. Semua ditutup.

Tepuk tangan begemuruh panjang dan aku terhempas, terlepas dari semua sandaran dan juga tempat dudukku sedari tadi.

(diambil dari catatan harian yang belum lagi selesai...)

+++

bagi-bagi cerita abis nonton teater semalem:)

Tidak ada komentar: