07 Juli 2003

hidup pembunuhan, mampuslah kemanusiaan!
:dwi hb

saya tidak tahu adakah dionysus, si dewa anggur, bahagia malam itu. malam itu, saya melihat tiga pembunuhan berturut-turut. malam itu juga, saya mati. pelan-pelan.

jam empat sore, sebuah kesepakatan saya buat bersama teman. kesepakatan malam nanti kami akan menyaksikan sebuah pertunjukan yang jarang-jarang terjadi di sini: sekelompok teater akan pentas malam nanti, bukan satu lakon, tapi tiga. juga bukan lakon biasa, di sebuah publikasi tertulis: menolong itu tabu. lakon-lakon itu: stop-telepon-buron, dua buah tangan putu wijaya, yang menggetarkan itu, satunya buah tangan ribut.

lalu mulailah serentetan kejutan itu. kejutan-kejutan itu, begitu saja membuat saya lupa kalau saya juga manusia. sebuah catatan harian yang saya bakar sambil tersenyum senja tadi, saat merah tersingkir oleh keliaran hitam, seolah mengejek saya yang berdiri paling belakang. paling belakang karena malam itu sebuah pertemuan mengacaukan kesepakatan yang saya buat dengan teman saya. teman saya mungkin tak menyaksikan perang paling seru di jagad raya, merah lawan hitam, dua puluh menit sebelum pementasan ia telah datang ke tempat pertunjukan (gedung olah raga ternyata tempat pertunjukan yang lumayan puitis untuk beberapa buah pembunuhan).

kejutan pertama ialah saat saya dapati beberapa puisi menempel di sisi-sisi luar gedung pertunjukan, puisi bertinta merah di atas kain putih. ratusan jarum, atau barangkali ribuan jarum, seperti lepas dari puisi-puisi itu menuju ke mata saya, naik sebentar ke otak, dan turun dengan cepatnya ke hati saya. puisi selalu saja seperti itu: seperti bikin luka, seperti bikin orgasme. ini darah pertama yang keluar dari tubuh dan jiwa saya, darah karena puisi. diam-diam, dengan darah yang ada, saya tulis puisi di atas puisi-puisi itu.

lalu yang kedua. saat saya dapati pintu telah rapat tertutup. tiket tak di tangan. ke mana penjual tiket? sayup-sayup saya dengar seorang sales menawarkan sebuah pesawat telepon. seperti apa rupanya pesawat telepon itu? warnanya? hei... pesawat telepon? bukan handphone? jaman sekarang? ehm. "bisa masuk?" seseorang, tampaknya panita pertunjukan, membuka pintu. "ada tiket?" tanya dia. "belum," jawab saya. "bisa beli?" tanya saya lagi. "atau bagaimana kalau gratis?" lanjut saya. "diam-diam, mengendap lewat belakang, tak akan mengganggu rasanya. dengar-dengar pertunjukan siang tadi sold out?" "oke, pelan-pelan ya," jawab dia. gelap sekali gedung itu. saya tidak tahu seperti apa wajah yang berbicara dengan saya barusan. saya tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih kepadanya.

sudah tak ada tempat. kursi-kursi telah penuh. asap rokok mengabut. ini pasar: orang-orang ramai ngobrol, seorang pedagang telepon menawarkan dengan gigih barang dagangannya, beberapa mengutak-atik handphone, krang-kring. ini hebatnya sebuah gedung olah raga yang disulap menjadi gedung pertunjukan, begitu alamiah, begitu takkaku, begitu santai.

kejutan yang ketiga adalah tepat saat si penjual dibunuh lewat persekongkolan suami-istri petani yang begitu hebat, seseorang yang duduk beberapa meter di depan tempat saya berdiri telepon genggamnya berbunyi. "halo," katanya. pedagang itu lantas mati. mayatnya diseret si suami. si istri menyembunyikan telepon.

yang keempat bukan keterkejutan, melainkan semacam keterkejutan, barangkali keterpanaan. malam itu saya lihat bintang jatuh ke bumi, di sela ramai obrolan dan derai tawa orang-orang di sekitar saya. bintang itu seorang pemerkosa yang melarikan diri bersama seorang kawan buronnya yang juga pemerkosa. saya diam. peta di wajahnya, keringat di pakaiannya, ketakutan di matanya memenjara saya. saya jarang menyaksikan pertunjukan, terlebih tentang pembunuhan. pemerkosa yang satu ini begitu mengagumkan. belakangan saya tahu namanya dwi hendro basuki, seorang pemain teater, penulis yang novelnya telah saya baca dua kali -dan tak begitu saya suka, dan pemerkosa. malam itu saya tunduk kepada pemerkosa. saya rela tunduk kepada pemerkosa. saya diperkosa. sebuah permintaan saya utarakan berhubung ini bintang jatuh: kiranya saya bisa melihatnya lagi menjadi seorang aktor.

kejutan yang kelima, berbeda dengan beberapa kejutan sebelumnya, tak menyisakan darah di tubuh dan jiwa saya. seorang babu menaati tuannya seperti seorang hamba menaati tuhannya. si tuan dibunuh si babu, seperti si tuhan dibunuh si hamba. kotak televisi menjadi saksi takbisu kejadian itu. ia kemudian menyebarkan berita-berita bohong tentang kejadian yang sama di mana-mana, di irak, di palestina, di timor timur, di aceh, wuih, di dalam kampus, di layar handphone, di mana-mana. aneh, babu itu tak mematikan televisi itu. seolah bangga jadi hamba paling taat.

pertunjukan ditutup setelah sebelumnya ada kilatan cahaya dari sebuah kamera yang ternyata dipegang oleh teman saya yang saya khianati. dionysus masih tak tampak. (maafkan saya dewa, sebotol anggur, yang paling murah sekalipun, terlalu mewah buat saya).

ah, hiduplah pembunuhan, mampuslah kemanusiaan!

tujuh ratus dua puluh satu kata setelah kematian.
imam hidayah, penggemar senja.

Tidak ada komentar: