25 November 2003

namun senja masih tetap saja sama seperti kemarin


Dan sore ini masih terlihat anak-anak bermain petak umpet dipinggir jalan. Berlari kesana kemari, saya terus berjalan dengan wajah yang tenang tanpa seorang pun tahu kalau hati saya sedang menangis. Kemudian saya melihat ada lagi sepasang muda-mudi berjalan sambil bergandengan tangan. Saya merasa iri, akan tetapi saya hanya bisa berdiam diri dan berusaha tenang, acuh.

Sore ini keadaan masih sama seperti kemarin-kemarin, hanya ada tangisan cinta yang semakin menguasai diri saya. Saya bertanya kepada cermin, "dimana engkau sembunyikan jodohku?" Tetapi tidak ada satu jawaban, hanya buntu. Lalu, saya tidak habis berpikir. Kepada siapa saya harus mengeluh? Kepada siapa saya harus mencurahkan isi hati yang sebentar lagi meledak? Sedangkan didalam kehidupan ini saya harus berhadapan dengan tembok yang memenjarakan diri saya. Semakin mengurung, hari ke hari semakin menyempit. Saya selalu berpikir, "kearah mana aku harus berjalan?" "Sedangkan delapan penjuru tak menyediakan sepintas jalan walaupun hanya sebatas lorong." Saya heran, sangat heran. Mengapa hingga detik ini saya masih tak henti dan tak bosan untuk berpikir dan berpikir terus.

Saat saya memandangi langit senja, terasa juga begitu iri akan sekelompok burung-burung yang berterbangan di langit jingga, kemudian saya berpikir lagi, "ahhh... Begitu enaknya jika kita bisa jadi burung yang terbang diatas langit." "Tahu apa mereka tentang cinta?" Tahu apa juga mereka tentang kesepian?" "Ya... Hidup mereka begitu menyenangkan karena mereka tak tahu arti tertawa dan menangis." Sambil menangis saya berdoa, "ya TUHAN... Mengapa saya tidak dilahirkan menjadi seekor burung saja? Lihatlah TUHAN... Lihatlah keburung tersebut, kemudian lihatlah ke diri saya." "Apa gunanya tubuh manusia?" "Apa gunanya otak berserta hati manusia sebagai makhluk yang memiliki derajat tertinggi ini?" "Jika saya harus berdiri menangis disini?" "Menangisi diriku yang kesepian, yang terlantar oleh dia."

Saya terus berharap kalau saya bisa menjadi seperti mereka yang berbahagia dengan keluarga mereka, berbahagia dengan hati dan cinta mereka. Akan tetapi saya masih tidak pernah berhenti untuk terus bertanya, "sampai kapan badai mendung yang membungkus hatiku segera sirna?" "Sedangkan daya tahanku dari hari ke hari semakin berkurang, tenaga saya semakin terkuras meratapi diri ini." "Saya masih bisa berdiri hari ini, kaki saya masih erat tertancap di tanah, tapi bagaimana esok?" "Lusa?" "Atau beberapa tahun lagi?" Saya semakin pusing untuk memikirkan semua ini. Setelah menguak serta memeras otak ini, lelah. Namun senja masih tetap saja sama seperti kemarin.

Tidak ada komentar: