15 Februari 2005

LALU AKU TAK JADI PAMIT MATI

aku dan dirimu tenggelam dalam asa
dan tak ingin lari
tanggalkan rasa ini
cobalah entaskan
pastikan lepas atau terus
semoga perih terbang tinggi di awan

(Dewa19 - Aku Disini Untukmu)

Suara seruling yang seperti malam kemarin terdengar lagi. Kali ini terbawa besertanya, aroma hujan dari kejauhan yang lalu mengumpul di langit-langit kamarku, tetap menghilang sumbernya ketika aku mencari-cari dimana, dan muncul kembali setiap aku berhenti mencari. Padahal hujan sendiri pun belum muncul untuk bertegur sapa melalui tetes-tetesnya di halaman depan, maupun pada genting bocormu. Dan aku merinding, telapak kakiku membasah, rasanya badai tercipta di dalam sini dan membanjiri karpet.

Mengapa yang kutunggu tidak muncul lagi?

Sinar matahari pamit mati sebelum sempat membakar genangan di ruangan ini menjadi mengering pudar. Aku takut, karena tidak pernah bisa berenang di tempat dalam, takut nanti tenggelam, terkubur di dalam tanah dan tak bisa berada disini lagi bahkan untuk melihatmu menjauh. Namun dirimu belum pernah kembali lagi.

Kicau burung juga pamit mati sebelum sempat kuiringi dengan kerjap-kerjap mataku yang silau kelilipan sinar dari langit, yang menembus jendela sewaktu aku bangun pagi. Dapat kulihat debu terseret-seret berputar pada udara dan cahaya yang membuatnya ke-emasan. Dan dirimu masih juga belum kembali.

Kemana semua yang pamit pergi dan berjanji akan kembali? Mengapa tak hadir lagi kau datang, mengetuk pintu kamar atau apa saja yang berada di dekatku, sebagai tanda bahwa kau ada. Dan kau memang masih ada. Walau kau tak kunjung ingin kembali.

"Ya ya aku disini, tak kemana" katamu lalu, di hari ketika langkahmu terdengar lagi dari kejauhan, membawa serta duniamu yang selalu meninggalkan jejak-jejak di dalam sini. Seperti juga bau tubuhmu sayang. Dan senyumku mengembang lalu tidak jadi pamit mati. Aku berlari menyambutmu dengan telapak tangan terbuka menghadap ke atas seakan meminta sesuatu, lalu air mulai menetes, dan menggenang kembali: berwujud dirimu.

Kugenggam yang hanya bisa kurasakan hadirnya tapi tidak dapat tetap disana. Telapak tanganku tak mampu menahan kubangan air yang makin meriak dan tumpahannya meluber kemana-mana, maka kubiarkan saja membasah. Kuberikan wajahku padanya, dan kusatukan yang hangat dengan yang gigil, yang lambat laun pun mengering sejuk, menjadi udara tak hampa yang aku akan hirup dan membuatku tetap hidup, lalu aku tak jadi pamit mati.

Lalu aku mengerti, bahwa kau bahkan tidak pernah pergi dari sini. Dari dalamku. Kau terus disana dan menetap. Menghuni ruangan di pojok sendiri pada apa yang kau sebut hati. Dan kurasakan darahku tetap mengalir tak berhenti, sesampainya kau di depan pintu kamarku, maupun seperginya kau dari sana. Kini kau lebur seperti tiap udara yang kuhirup, menyelusup bebas bagai air yang tak pernah bisa tertangkap genggaman tanganku.

Ah hei, sore ini memang akhirnya hujan tak lagi mengkhianati kehidupan pada tanah Tuhan. Sudah kuterima pesan kedatangannya dalam telapak tanganku yang meminta tadi. Kukatakan yang ini: datanglah lagi bersama warna kelabu yang sama, biar kali ini kulingkarkan tanganku pada lehermu, dan kucium bibir itu hingga bersatu setiap yang memiliki jeda dan ruang kosong di antara. Lalu kehendak-kehendak dimatirasakan. Pada doaku, pada minta-mintaku yang terlempar-lempar memantul ke seluruh penjuru ruangan yang tidak memar juga tubuh-tubuh kata dibuatnya. Hanya roh-mu akan terus meludah tak sudah, muntah darah menahan ingin. Inginku.

Aku ingin mendengar huruf A sampai Z mengatakannya lagi. Bahwa kita sakit karena menyimpan cinta dan asa sekaligus. Bahwa kita sakit karena kita masih saja dua orang berbeda, yang bertukar rindu dengan punggung saling memunggungi yang lain. Bahwa kita sakit karena masih saja berjalan saling menjauhi dengan jari-jemari masih menggenggam terkait, ingin terus selalu bersentuhan bertukar bau tubuh, dan galau memikirkan bahwa kita diharuskan melenyapkan satu sama lain. Bahwa kita sakit karena masih saja menjadi yang utara dan selatan, dan tidak pernah jadi pamit mati. Yang selalu tak bisa aku abaikan: berwujud dirimu.

Mungkin hanya aku yang sakit, dan kamu akan selalu baik-baik saja sayang, seperti lirik-lirik lagu yang kau susun pada pendengaranmu. Lalu dimana pantasnya kata adil hadir disini? Ketika kamu bahkan tak pernah benar-benar pergi, dan aku...tak pernah benar-benar melepasmu?

Nah. Sampai nanti kalau begitu.
Jangan lupa untuk kembali.

...sederhana.
Itu hanya karena aku menunggumu.
Dan aku, juga kamu, tidak akan pernah pamit mati.

Tidak ada komentar: