17 Desember 2004

Semalam sepasang telinga mendengarkan angin meniupkan suara fitnahnya. Hembusannya membuat roda api didalam kepala terus berputar, kian mengencang dan tak ada satu pun yang mampu memadamkannya. "Itu sama sekali tak benar..." Kata sepasang bola mata yang melihat perselingkuhan malam dengan hujan. Ditengah-tengahnya ada seekor gagak yang sedang berkoak keras. Gagak itu ingin menyampaikan naasnya dikarena ada sayatan luka didada kirinya.

Malam itu, pemberontakan terjadi dibalik kesendirian dalam kamar. Halilintar terus memaki dan menampar lewat kilatan petirnya, diwajah balkon. Ada air yang membanjir diseluruh gang, ada juga air yang menggenang di seisi rumah hingga ke setiap dinding berserta sudutnya. Air itu adalah air mata yang tak tertahankan, hingga jatuh tertumpah dari mangkuk liat yang telah penuh tertiris, olehnya, olehmu, oleh mereka, oleh dunia dan oleh semesta.

Namun mengapa juga hujan masih enggan untuk reda? Sedangkan air yang dikencingnya telah membendung, hampir seluruh isi kota. Dan dia, sedang menari panas didalam dunia gemerlapnya. Aku juga tahu, kalau disana ada tubuh lain yang berada didalam dekapan tubuhnya, dan dia memeluknya dengan erat sembari berdansa, tak pernah menghiraukan apa pun yang terjadi. Lantas... Apakah tubuh ini telah dianggap kotoran sampah yang telah berbau busuk olehnya?

Terlalu keji, bila didalam terik bulu dadamu selalu saja berusaha mencari kepuasan perutmu semata. Siapa yang menjadi engkau jadikan kurban hanya karena ingin memenuhi kepuasan birahi bejatmu? Jikalau bukan akulah satu-satunya pelampiasan keinginan biadabmu. Ingin sekali aku mencari kembara hidupku. Agar malam pun tak pernah lagi menghujankan air matanya, dikarena gunturmu. Yang telah menghanguskan setiap jamak yang tertera di prasasti hatiku.

Tidak ada komentar: