18 Oktober 2003

:d.a.r.

I.
kita bertemu siang itu dan membuatku mengenang empat ratus hari pertemuan kita yang pertama. dimana di hari-hari itu aku melihat gelandangan yang sama tidur di stasiun kereta yang kulewati di hari pertama aku menjejakkan di kota ini.

kau mengerjap di hari pertama kau melihatku, juga siang itu ketika kita kembali bertemu setelah empat ratus hari. aku melewatkan enam kali pertunjukkan teatermu, yang bahkan tanpa sebuah usaha: sms. aku kecewa dan kupikir kaupun sedikit kecewa, walau kau tidak lupa menaruh namaku di ucapan terimakasih naskah dramamu. terimakasih, kau masih mau mengenangku.

kita yang sudah berada di kota yang sama, kita sudah berada di jarak yang berbeda dan tempat yang berbeda-beda. padahal kita pernah berjanji, kita akan melewati jalan yang sama, bersama-sama di tahun yang sama. kita yang pernah sama-sama kecewa, ternyata melewati jalan yang berbeda.

kau tiba-tiba membuatku pergi dari rumah yang sedang kubangun, membuatku melewati jalan-jalan itu kembali, jalan melewati stasiun kereta dengan gelandangan yang tidur, yang lagi-lagi sosok yang sama.

II.
kau mirip joned? sepintas aku melihat foto-foto pementasanmu, yang lagi-lagi aku tidak datang. kita berdua berdiri sejenak di tengah-tengah kantin mahasiswa kelas kebon binatang ini. tetapi beginilah kita bertemu lagi, bergesekan percikan kenangan dari sekian tatapan di balik kedua belah kacamata kita.

ini sudah hari yang keempat ratus semenjak pertemuan kita yang pertama. lalu berkali-kali, lalu ada jeda, kali-kali lagi, lalu jeda. kemudian waktu berhenti, terkungkung di antara asap rokok dan bau makanan yang masih hangat. jejeran bergelas-gelas teh menyadarkanku, aku hanya punya lima menit untuk melihatmu lagi seperti ini di tempat ini.

kau bilang, datanglah ke performanceku hari rabu. aku mencoba datang. tetapi kau tidak ada. jadwalmu mundur sekian jam, dan aku harus lembur malam ini dengan segenap tumpukan pekerjaan. aku mencarimu di sarangmu, dimana kau mendekam selama ini. itulah kali pertamanya aku menjejakkan diriku di keberadaanmu lagi, setelah sekian hari, dan sekian kali.

dimana kita harus mulai, jika tidak hari ini lagi? aku memberikan sepotong tiket untuk kita bertemu lagi. karena hari-hari ini hanya memberikan kita kebetulan dan kesingkatan yang amat mendalam. kita harus mulai dari mana lagi? pertanyaan yang sama merubungi kepalaku seperti nyamuk-nyamuk yang tengah mengigit orang-orang disekitarku. aku tidak. nyamuk-nyamuk membenciku, hanya menganggu dengan suaranya, karena rasa darahku pahit.

ada sesuatu yang pahit tengah mengudara...
III.
memang benar ada sesuatu yang pahit tengah mengudara, sesuatu yang pahit itu adalah pembunuhan yang pernah kita sama-sama lakukan. kupikir kita sudah saling membunuh di suatu waktu. membekukan kenangan dan melemparnya ke lautan dalam. kukira seperti itu. tetapi kini bau tubuhmu masih saja menempel di tubuhku. aku tak ingin mencucinya sampai tujuh hari.

peta apa yang tengah kau goreskan? lagi untuk kesekian kali, setelah empat ratus hari. kita tidak mungkin berhenti lagi, lalu sekali lagi melakukan pembunuhan atas nama kenangan. karena kita sudah muak menghitung senja yang kesekian.

kau hadir tiba-tiba muncul dari kegelapan, memang masih malam. tetapi kehadiranmu lebih kelam daripada malam. menyeretku begitu saja dalam kegelapan yang menyenangkan. menarikku dari kebusukan senja.

kita lalu bergumul dalam teks, dalam naskah drama, dialog dan monolog yang kita lakukan sendirian, sepi dan tanpa pemandangan pantai. dalam satu kali dua puluh empat jam, sampai kusut, sampai luruh kesemua-muanya. menjadi potongan teka-teki kata yang tidak terjelaskan oleh logika teks manapun.

aku tidak bisa menjelaskan apa yang ada di hadapanku pagi itu, seorang laki-laki yang sedang sunyi sendiri!
IV.
apa yang akan menjelaskan kelima jarimu yang terluka, tidak hanya di tangan kiri, tidak hanya di sebelah kiri dadamu yang tergores-gores. kau yang melibat dirimu dengan tali, menyalib dirimu sendiri dan menjatuhkan dirimu dari menara dengan ketinggian kesekian. aku melewatkanmu, begitu saja, tanpa aku sadari. aku pun bukan seorang bunda maria yang menangisimu dan menurunkanmu dari salib. kau berhasil turun sendiri, tanpa mati dan bangkit di hari ketiga.

itulah dirimu, dalam segala rangkuman empat ratus hariku, yang kini lebih lima hari, setelah kita kembali bertemu. pasir-pasir pantai malam itu tidak berbicara apa-apa, hanya malam, yang mendekati kekelaman yang sama dengan baju hitammu. kau yang hitam dan tanpa nama, pecah dalam semesta langit jawa. malam yang pecah dan benar-benar tanpa nama, bahkan aku, bahkan aku!

seperti di awal semesta, sewaktu segala sesuatu belum lagi bernama, kegelapan yang pekat memenuhi langit, bulan cekat dan kamar dengan sekat-sekat. dua puluh empat jam yang panjang lamanya. geliatmu ekspresimu mulai menghancurkan segalanya. ekspresimu yang terkadang dingin dan hangat, gelap namun menyenangkan, wajah itulah yang lambang sejarah yang tidak pernah selesai. kita yang tidak pernah selesai di suatu waktu.

apa-apa yang tidak selesai, selalu menganggu tidur kita. nyenyak tidak pernah ada di kamus perbendaharaan otak kita. karena ide-ide revolusi seperti embrio yang semakin membesar, seperti kanker otak yang tidak terhentikan. tetapi lagi, revolusi bukanlah makan pagi kita, bukan apa-apa yang terhidang di meja makan kita. tidur kita seperti saling menelanjangi diri. tanpa apa-apa, tanpa siapa-siapa.

ada sesuatu yang memaksaku menengok ke arah tatapan matamu. berkali-kali lagi, tanpa jeda dan rasa sedih yang selalu merubungi kita. kita memang orang-orang yang menyedihkan, tetapi kesedihan tidak menghalangi kita saling menikmati satu dengan yang lain, menikmati kehidupan yang walaupun nyaris membusuk dan sedih, tetap dan tetap saja kita nikmati. berkali-kali, berkali-kali, kita tidak pernah selesai, selalu dan selalu tidak pernah selesai.

apa yang menjadikan kita tidak pernah menemui batas halaman akhir, kertas-kertas yang habis, bahkan jutaan kata yang sudah kita lewati bersama? bahkan selama itu, selama empat ratus lima hari.

Tidak ada komentar: