02 April 2003

:untuk w

Senin pagi yang biadab, lampu-lampu berhenti di semua warna kuning. Tetapi tidak ada wajahmu disitu, bahkan di bau jalanan dan bau karet ban yang terbakar, tiada sepercik pun ditinggalkan. Aku mendapatkanmu masih terkapar di tempat tidur di siang yang sama, lelah, lalu pergi tanpa mencium jejak-jejakku seperti biasa.

Hari itu memang harus dirayakan sebagai pesta kebiadaban. Awal-awal dari ketololan perang berabad-abad lamanya. Aku tertawa melihat kotak-kotak televisi yang sudah dibakar dari neraka peradaban dan dihidangkan di piring sarapan pagi, hangat-hangat.

Lalu aku melihat lukisanmu yang merah merona, seperti bibir laki-laki yang tertinju berdarah. Hasil dari semua kegilaanku padamu, begitu sahutmu menanggapi persoalan kematian kita yang begitu dekat.

Kenapa kita begitu dekat? Kucari jawabku di seluruh alur keringat tubuhmu, dan aku menemukan tangismu yang tidak terdengar disitu. Mendengar seorang lelaki menangis adalah seperti mengiris bawang di tengah jantung kita. Apalagi mendengar tangisan yang tidak terdengar? Belah saja hatiku, seperti mimikmu yang sudah kehilangan jujurnya urat muka.

Aku menemukan punggungmu dalam satu mimpiku suatu malam. Ia bergerak tanpa kusadari, bergerak tanpa kesadaranku. Kukira hanyalah sebuah mimpi yang mempermainkan ingatanku seperti bola sepak. Tapi lagi, itu hanyalah satu bentuk penyangkalanku akan mimpi-mimpi yang sudah terjadi. Mimpi-mimpi yang terjadi ketika jari-jarimu menyentuh dan membongkarku bagaikan kardus mainan kecilmu yang kautemukan di pojokan gudang. Namun kita tidak sedang berada di sana. Kita sedang berada di bawah satu meja untuk menghindari silaunya lampu yang menganggu tidur kita.

Kita sedang membongkar semua kebusukan kita dalam malam-malam yang diciptakan untuk bulan bulat penuh. Di saat yang sama, kita merutuki hujan yang selalu saja menghalangi kita untuk menemukan jalan pulang masing-masing. Bersama Tuhan, kita mencari bentuk kita dalam tampilan televisi kabel dengan empat puluh dua chanel. Doa-doa diucapkan dengan secangkir teh hangat dan bungkusan-bungkusan rokok yang tercecer. Seperti dupa katamu suatu ketika, asap-asap dan sisa abu itu.

Tidak ada komentar: