08 Februari 2003

ARKEOLOGI MASA KECIL
: muria

muria, di kakimu aku singgah dalam kepompong ibu lalu nafasmu mengisi paru-paruku, mengenalkanku pada bau-bauan padi telah bernas dan warna lumut di bebatuan berselimut lengas. di wajahmu mengalir anak sungai dari matamu yang bening, mengirimkan bau amis ikan ke dapur para ibu dan coklat lumpur ke sawah para ayah, hingga aku kauusir dari kedhungmu tanpa iba serupa kakek murka kehilangan pipa

muria, di ujung ketinggian hatimu pernah singgah para wali, nama-nama yang begitu ditakuti kanak-kanak, seperti hantu sawah mengusir kenakalan burung-burung pipit dari kepala kami, tapi aku tak pernah takut pada hantu atau wali seperti kuburan nenek-moyang menjaga tidur siangku sepulang sekolah: di sana tak ada setan atau peri

muria, dalam kesaksianmu tumbuh pohon-pohon mangga yang tua di sudut-sudut makam desa, lebat buahnya oleh arwah orang-orang mati, dengan mereka aku sering berbicara: para tetua kami. lalu dari batu-batu ketapelku aku belajar, hanya di makam-makam sunyi kutemukan ranum mangga manalagi. meski saat tiba senja, kecemasan datang juga. dera dan cubitan ibu di paha karena takut aku bermain sendiri di kuburan desa, padahal kutahu yang ibu tak mengerti: tak ada jin di cungkup puri atau setan di batu-batu nisan. ibu, aku hanya ingin berbincang dengan nenek-moyang kita dan mendengarkan cerita dari negeri orang-orang mati. pasti menarik sekali

muria, masih kusaksikan letusan-letusanmu mengirimiku batu-batu sebesar rembulan saat aku demam dan igau lalu kautenggelamkan aku dalam banjir dari curugmu: air mata ibu. lalu dalam sudut lelap kutemui diriku tergugu, antara ketakutan yang antah dan kesedihan yang menggenang

muria, ada kisah-kisah yang memfosil dalam sumsum tulang-tulangku seperti anginmu yang mengukir batu-batu berwarna abu, memahatkan kisah-kisah sejarah tentang legenda panglima saudagar cina, atau baron kembar dari eropa, atau prajurit mataram yang terdampar di hutan jati, merabuki akar pohon silsilah kami: nama mereka masih disebut dalam mantra syukuran bumi

muria, ingin kudengar kisah-kisahmu lagi, lewat awan yang menumbangkan pohon-pohon asam keranji dan petirmu yang membangunkan orang-orang mati

muria, mari berbagi asap tembakau sekali lagi, agar larung semua garis batas geografi, antara negeri masa lalu dan negeri para pemimpi


Tidak ada komentar: