09 September 2002

Seperti apakah bentuk mu cinta?

Arakan berjalan lambat, meliuk mengikuti alurnya. Terkadang bunyi gaduh timbul dari benturan sesamanya, ritme jeg-jes melantun statis tiada tinggi tiada rendah. Pepohonan belari kencang di kiri dan kanan, petak-petak sawah terususun rapi bagai teka-teki hidup yang belum terpecahkan. Air mengalir jauh di bawah sana, tiada kebosanan pada riak-riak hidup yang terasa kaku, tapi laut membutuhkan luapan kasihnya. Sungguh sungai cermin hidup yang agung, memberi namun ia tak merasa kekurangan., laut adalah nama kumpulan kasihnya, tapi ia tak perlu memilikinya, ia tak perlu posesif. Karena mata-mata hatinya masih bening mengalir di relung-relung nadi tanah. Mata hatinya adalah mata kasihnya, kejujuran dan ketulusan tanpa pamrih.

Aku membaca habis semua gambaran alam, menelusuri jejak-jejak detik yang berlalu. Aku menjadi penikmat waktu yang tiada bosan mengamati, keingintahuanku akan hidup. Seperti keingintahuanku sejak dulu yang tak terjawab, ketika semua manusia harus mati, bumi akan dihuni oleh siapa? Dan siapakah sang pencipta itu? Bila Ia dapat mencipatakan segala macam benda, apakah Tuhan diciptakan oleh diriNya sendiri? Untuk itu tentunya Dia mempunyai “diri” sebelum menciptakan diriNya sendiri. Aku bukan seorang filosof atau anak kecil yang peka. Aku hanya merasa seorang mahluk luar biasa. Aku mahluk yang misterius, ketika aku menemukan diriku sendiri di suatu hari dengan suatu kesadaran yang sama sekali baru.

Tidak semua orang pernah bertanya pada tentang dirinya sendiri, tidak semua orang ingin mengetahui tentang kehidupan, tentang dunia. Mungkin karena telah terbiasa, atau terlalu disibukkan oleh permasalahan-permasalahan sehari-hari sehingga keheranan pada dunia tercampak ke belakang. Kita kehilangan kemampuan untuk bertanya-tanya tentang dunia. Mungkin hanya bayi-bayi yang mempunyai rasa ingin tahu. Baiknya kita kembali jadi seorang bayi, bukan menjadi mahluk dewasa yang menganggap dunia ini begini karena sudah seharusnya begini. next

Tidak ada komentar: