09 September 2002

Anak kecil itu masih bersandar di dinding taman

Siang itu begitu panas, rambut seakan telah terbakar menjadi arang dan baranya meresap melalui kulit. Mungkin kutu-kutu di kepala akan gelisah dan beranjak pergi. Dan kerak-kerak kotoran yang katanya ketombe mengering, memberi nuansa baru. Pada rambut yang sejujurnya tak bisa dikatakan hitam lagi, terasa asing bagi segala produk-produk pembersih apalagi perawatannya. Bagi pemiliknya isi kepala jauh lebih berharga dari pada yang menghinggapinya.

Bibirnya jelas mengering, ada sedikit kerak kering disudut bibirnya. Ingusnya pun tak diseka bersih. Cairan kuning itu masih mengganggu jalan nafasnya, pelan-pelan turun dan naik kembali setiap kali ia bernafas. Punggung telapak tangannya terayun mengusap hidung, sedikit meninggalkan bekas yang membasahi pipinya. Disekanya sekenanya. Badannya terasa menggigil, demam. Bukan oleh panas. Terik mentari sudah menjadi teman, bagai pemecut untuk tak jadi malas. Karena teman pemalas hanyalah bulan.

Dia bersandar di dinding taman, duduk diatas tanah. Menatapi lalu lalang kenderaan yang antri di persimpangan, begitu patuh pada rambu-rambu yang hidup dan mati. Semua terhipnotis pada simbol-simbol itu, sebuah aturan dari benda mati yang begitu dipatuhi. Tak ada yang berani melanggarnya. Mungkin ini sebuah dewa maut atau berhala yang mengatur keselamatan buat mereka untuk menyeberangi persimpangan.

Pikiran nakalnya menerawang, andai dipersimpangan itu ditambahkan sebuah rambu :
“Silahkan lempar recehan anda kepada anak pengamen ini”.
Dan perhentian hanya lima menit. Untuk waktu selama itu ia akan menghibur para pengemudi dan penumpang segala kenderaan di hadapannya. Terbayang berapa banyak recehan yang akan dipungutnya. Dan mereka akan mendapatkan kelancaran perjalanan, keselamatan hingga persimpangan berikutnya. Karena teman-temannya yang lain akan menunggu disana dengan segala nyanyian keselamatan. Tak perlu lagi ada anak-anak jalanan yang berhimpitan dan bergantungan di angkutan kota. Tak akan ada kecelakaan bagi mereka akibat terpeleset di tangga angkutan kota atau terserempet motor dan mobil yang selalu grasak-grusuk. Seakan nyawa mereka tak berharga, para pengemudi lebih takut menabrak kucing dari pada anak kecil.

Bibirnya masih mengering. Dibasahinya dengan ujung lidah, tapi terasa pahit di mulut. Perutnya agak perih, suara penghuninya begitu merdu. Nyaring ditelan deru knalpot. Sejak pagi ia tak makan. Uang recehannya hanya sembilan keping, itupun kena palak lelaki bermata merah itu. Ingin saat itu ia memberontak, tapi tangannya tak lagi keras, tak sekeras niat. Suatu saat nanti otot ini akan kembali teracung, pembalasan akan lahir. next

Tidak ada komentar: