03 Mei 2003

Pasar Kota

Tembok muram itu, masih menyimpan di tiap-tiap kelupasan catnya tentang kita. Hitam, kusam, legam. Retakannya seperti aliran sungai yang membawa cerita dari hulu gelap masa silam. Tembok pasar kota. Di bawahnya masih kita lihat pecahan-pecahan kaca, kaca jendela warna gelap. Pecah oleh batu yang dulu. Batu-batu yang digenggam. Batu-batu yang dicintai. Batu-batu yang bicara. Langit-langit itu pun seperti menontonkan kembali pada kita percintaan kita. Kau memunggunginya, aku tak melihatnya. Sprei itu, entah di mana ia sekarang. Tentunya dapat kita lihat bekas-bekas kita di situ. Bekas-bekas yang menjadi jejak semestinya, mengabadikan mutiara-mutiara yang jatuh lewat peluh-peluh kita.

Berapa tahun yang lalu itu? Sudah lama. Bahkan aku telah lupa bagaimana caramu mendesahkan nafasmu di sela-sela rambutku, bagaimana caramu menelanjangiku dengan dua matamu yang mulai sayu. Kamu takut. Apa lagi aku. Tapi cinta bukan linear, sesuatu yang rasional, bulat atau lurus, katamu. Dan kita memulainya.

Waktu itu senja. sore akan berakhir, sebentar lagi. Tapi toko sudah kamu tutup. Karena pembeli semakin jarang pikirku. Tapi bukan katamu, membuka toko itu berdagang, walau tak ada pembeli. Mungkin, tapi apa? Dan kau tidak menjelaskannya, melainkan mulai menyeret tirai jendela; dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Kau letakkan gelas yang sejak tadi kau genggam. Langit-langit mulai merunduk malu melihat kita berdua di kamar ini tanpa pakaian, di toko pasar kota.

Sadarkah kamu waktu itu? Aku adalah anak tuanmu, dan kau tak lebih dari sekadar hamba bapakku. Sadarkah aku? Tidak, aku tidak sadar, (cinta tidak linear, bukan?), kesadaran adalah apa yang kita raih sama-sama waktu itu. Di bawah langit-langit, di atas sprei merah muda, yang dengan sangat sempurna direfleksikan gelas yang kau taruh di samping ranjangku. Sudah hampir malam…

Lelaki. Pekerja. Hamba bapakku. Tapi juga malaikatku, teman tidurku kalau bapakku sedang tak ada di sini, mengurusi niaganya yang semakin terlihat asing bagiku. Kau bukan hambaku karena aku adalah hambamu, yang mengagumi tiap-tiap sel yang menghimpun menjadi tubuh, dan cahaya-cahaya yang menggumpal, memancarkan sinar yang menyilaukan. Tapi kau bukan tuanku, karena pernah juga kau ciumi ujung kakiku, dan kau berlindung di kedua sayapku. Aku juga malaikatmu, katamu.

***

Lalu cerita itu dimulai, cerita tentang bagaimana kita lupa terhadap siapa kita, dan binatang macam apakah kita. Cerita yang tersusun sendiri lewat warna hitam darah. Massa. Makhluk yang berkerumun dan meneriakan kata-kata sucinya. Batu yang mengeras menjadi doa, bukan lewat tengadahan tangan, tapi lontaran.

Bapak memang sedang tak ada. Tapi, kau tidak sedang menjadi teman tidurku kala itu. Di kamar aku merajut ait mata dan merendamkan kaki ke dalam api sambil bernyanyi. Ya, aku bernyanyi. Cuma ada asap dan lagu yang kudendangkan. Lagu tentangmu. Gelas itu masih ada di atas meja samping ranjangku.
Sampai sebuah batu memecahkannya. Jendela kamarku, lalu gelasmu. Massa: Makhluk yang berkerumun dan meneriakan kata-kata sucinya. Tapi, makhluk apakah itu? Karena mereka bukan cuma memecahkan jendelaku dan gelasmu, tapi juga mematahkan sayapku dan menghentikan nyanyianku. Lagu tentangmu berhenti sebelum selesai, karena ujung kakiku, yang dulu pernah kau ciumi, dilumati mereka. Malaikatku…

Langit-langit itu tak lagi merunduk malu. Padahal aku telanjang, ditelanjangi makhluk itu. Dan perlahan kudengar ia menangis, meruntuhkan tiap meter yang melekat di wajahnya. Satu-satu.

Lelaki. Atom sebuah gumpalan. Makhluk bukan manusia, menghimpun menjadi massa. Berkerumun dan berteriak. Memecahkan jendelaku dan gelasmu. Membakar dan mematahkan sayapku. Sejenismu. Malaikatku…

Aku bernyanyi. Lagu tentangmu. Di kamar sebuah rumah sakit jiwa.

***

Tembok pasar kota. Tempat di mana sayap kita saling mengadu, saling melindungi. Menyimpan baik-baik relief itu, berwarna hitam kusam. Relief yang bercerita tentang mutiara-mutiara dari peluh-peluh kita yang jatuh saat langit-langit merunduk malu. Juga cerita tentang tangisannya.

Tahun berapa itu? 1998? Mei? Sudah lama. Dan sayapku masih tak kujumpai. Di telingamukah, malaikatku… di sela-sela lagu tentangmu?

-cibiru, 17 maret 2002

mengenang nama-nama yang menjadi darah dan hitam di bulan mei 1998

Tidak ada komentar: