12 Juli 2002

Ajarkan ia berjalan, karena berjalan adalah kehidupan.....

Berjalan diatas kedua kaki adalah kehidupan. Seperti akar-akar pohon atau tumbuhan belukar yang berlari menghujam kedalaman bumi. Mencari mata air kehidupan, nikmati bulir-bulirnya. Kaki dan akar takkan pernah lelah selama hidup masih dapat dinikmati, dan awan masih menjanjikan mimpi-mimpi.

Kehidupanku terhenti pada mata kakiku - mata langkahku - yang menyentuh sebuah kematian. Kematian yang berabad-abad dari hirupan waktu yang tiada pernah maju atau mundur. Sebuah jiwa yang terhenti, berjalan di satu titik.

Kutemukan gadis itu diperhentiannya. Apakah seorang penglana di kerimbunan nafas pucuk-pucuk klorofil? Tak ada nafas kehidupan, yang ada hanya senyum dan pengharapan. Jiwanya meretak dan sepertinya akan terburai.

Pohon-pohon memberikan pucuk-pucuknya. Semak-semak memberikan akarnya. Sungai-sungai menyerahkan dirinya. "Berikan ia jiwa-jiwa kami. Agar ia dapat berjalan dan berjalan."
Aliran pekat meracuni sel-sel kering, keroposkan gumpalan pekat dari jiwa yang tertahan. Perlahan dan perlahan memerahkan lapisan sendimen kerak balutan kefanaan. Detak dan degup tak terkunci lagi, pecahkan kesunyian rongga-rongga relung dan kanal-kanal, menghantarkan harapan dan impian ke setiap jengkalan tubuh dan dirinya. Dan kakinya bergerak.

Aku telah menyelamatkan satu jiwa lagi. Dan alam mau menerima kenyataan akan hidupnya. Karena angkasa adalah dinding rahim, dan udara adalah ketuban kita. Dan mata air berkata " ajarkan ia berjalan, karena berjalan adalah kehidupan....."

Langkah-langkah pertamanya begitu susah, kakinyapun masih kaku. Hidupnya baru dimulai. Kupeluk pinggangnya, menahan tubuhnya, agar langkah tak susah. Ingin terus memeluknya, merasakan bau tubuhnya, menghangatkan dadanya. Dan rasa itu terus muncrat dari rongga yang terendap, dikutub yang sunyi. Tapi ia harus hidup dengan memberinya ajaran berjalan. Agama yang menyandarkan diri pada dua kaki.

Gadis molek itu sudah bisa berjalan, agak sedikit tertatih-tatih. Aku tak perlu lagi merangkulnya. Kuyakin ia sudah milikku, dibisikan dogma-dogma tentang mimpi-mimpi diujung perjalanan. Kuajak ia menyelami rimbanya mahluk-mahluk, rasakan dinginnya sungai, meniti bebatuan. Mengenalkan teman-teman waktu dan rodanya hidup. Menghampiri dan menyembuhkan mahluk yang luka. Mendengarkan mereka menari dan berbisik. Mengajar mereka untuk bisa bertahan dan mempertahankan hidup. Rimba ini dunia dan mimpi kita, dimana kaki tidak boleh berhenti berjalan. Walau roda matahari terus berlari-lari.

Dia tak menyebutkan namanya. Karena dia tidak bisa menyebutkan apa-apa. Hanya nafas kosong seperti teriakan pohon-pohon. Tapi aku bisa mengenalinya. Mengenali lekuk tubuhnya, batas-batas hangat jaringan-jaringan otot, tak kulupakan ketinggian topografi setiap datarannya. Titik-titik indah gambaran manis kulit yang merekah. Wangi tubuhnya berbaur dikeheningan malam dengan sentuhan melodi indah serangga malam. Rintihnya menghiasi tarian percikan bara api unggun ditepi bisikanmu "jangan tinggalkan aku..."

Bukan hanya berjalan aku ajarkan, melompat dan menari aku perkenalkan. Karena hidup perlu perubahan, semuanya untuk dapat bertahan. Setiap gerakannya membuatku kagum. Alampun memuji, tiada mahluk rimba yang berpaling ke arah lain. Dan aku tak perlu sombong atas hasil itu. Karena terkadang ia pun mengajarkanku menghargai hidup. Kami merayakannya di setiap waktu, berdua merintis dan menyimpulkan detik-detik yang terus bergelantungan. Dan lagi-lagi kau berbisik "jangan pernah tinggalkan ku..."

Kali ini kau memintaku ajarkan berlari. Sesuatu yang kutakutkan. Kutakut kau lari dikeheningan malam. Tapi rengekanmu membujukku dan kau mengancam akan membiarkanku dikedinginan. Dan matahari sangat cemburu melihat lincah larimu.

Pagi ini tak kurasakan hadirmu disisiku. Setelah semalam kita bermandi rembulan ketika aku merasuki tubuhmu. Sisa lelah menggetarkan sendi-sendi lututku. Sejauh ku berjalan dan berlari tak kujumpai kau. Semua mahluk rimba tak menjawab. Hanya empat mahluk besar itu yang menghampiri dan sepertinya ku kenal; menyapaku dan mengajakku sambil memegang kedua tanganku. Dan disana kulihat gadisku. Dipelukkan lelaki kecil manja. Aku berteriak dan memanggil gadisku (apakah gadisku berlari atau dia yang mencuri). Seekor petugas mementungku dan melemparkanku ke dalam ambulan. Dan petugas memohon maaf pada ayah anak itu, karena menakutinya. Menuju rumah sakit jiwa meninggalkan "jiwa" ku di kebun binatang itu.

diperantauanku, 10 Juli '02

(buat kekasih purbaku "selamat lulus meja hijau ! ". Terimakasih memberi ijin meninggalkanmu. Aku rindu kamu)

Tidak ada komentar: