15 Mei 2002

Afeksi Satu Sisi
(catatan penggenapan)


baiklah. kujelaskan seterang-terangnya sekarang juga. apa, siapa, dan di mana diriku. barangkali ada pentingnya buatmu, dan juga barangkali buatku.

tutup matamu.
bacalah tidak dengan matamu, tapi bukalah hatimu, biarkan jendela-jendelanya dimasuki angin yang sengaja kudatangkan buatmu. aku adalah manusia. sekaligus iblis. sekaligus malaikat. sekaligus tuhan. aku adalah segala. segala yang menghujanimu dengan berkeranjang-keranjang cinta yang dengan penuh kesadaran kualirkan dari lubuk hatiku. yang mulutku, akan memuntahkannya, akan menyemburkannya, dan lantai-lantai itu, dinding-dinding itu, akan menyisakan bekasnya, menyimpan jejaknya. aku adalah raja. raja dari segenap penjuru mata angin, raja segala hutan yang berisikan binatang buas, juga pohon dengan semak paling belukar, dan akar paling membelit. aku adalah raja yang dengan segenap kuasaku keluar perintah agar terhenti semua waktu, beku semua ruang, dan abadilah rinduku kepadamu, meski tertuntaskan berkali-kali.

jangan buka matamu.
tutup pintu belakang hatimu, jangan biarkan angin-angin yang kutiupkan kepadamu tak mengendap di ruang tengah hatimu. aku adalah selembar wayang kulit, tak bernama, tak berwarna. dan aku adalah juga dalang, yang mengeluarkan suara paling menggelegar dari balik selembar putih tanpa pelita, karena sorot mataku, adalah cahaya paling benderang.

maka siapakah kamu…

tetap tutup matamu
kujelaskan kini di mana aku. sebuah sudut tanpa ruang. hampa. tempat newton diludahi, karena tak pernah ada apel yang jatuh karena terlalu matang di sini. di sini adalah tempat di mana einstein dijadikan berhala, karena absolutisme adalah omong kosong. semua yang benar, adalah semua yang salah. inilah sudut tanpa mata, karena dadamu akan tertekan, karena kakimu akan terjepit, karena tanganmu akan terikat. hanya hatimu yang merunduk. juga menggelinjang, sebuah kenikmatan paling sejati.

biarkan anginku berputar-putar di ruang tengah hatimu.
tunggulah sebentar lagi, kuajak kau nanti menari. dengarlah kini musiknya, pelajari tiap ketukannya, ketukan dari situasi yang kerap memojokkan. irama tanpa suara tanpa nada tanpa notasi yang berbaris teratur di partitur yang selalu saja terbentur. oh, berhati-hatilah, jangan terbentur. kau tidak di tempatku. tempatku satu-satunya keterbenturan diizinkan. karena di sini, semua sisi sama pendek, semua sisi menjadi begitu tak terpola, tak jelas terbaca, dan waktu, selalu saja menggeruskan titahnya dengan penghancuran-penghancuran.

tak kau rasakankah?
aku tak begitu jauh dari tempatmu, sebuah titik tempat berbungkus-bungkus nasi basi dibagikan, titik dua, bukan titik satu. titik di mana jarum panjang jam dinding berupa kematian, bergeser tanpa detakan, tanpa suara. di sini, kematian datang diam-diam. jangan sesekali kau tanya barat di sini, barat adalah masa lalu, barat adalah awal keberakhiran timur, di sini tak ada utara, di sini tak ada selatan. di sini yang ada hanya titik tengah, equalibrium tanpa variabel, keseimbangan tanpa unsur-unsur. inilah tempat di mana kosmologi adalah omong kosong. semua ada. semua tidak ada. serba ada karena serba tidak ada.

dan inilah tempatku bertahta.
bertahta atas seluruh sistem—jangan berpikir kosmologi, mikro atau makro, jangan berpikir rantai makanan, jangan berpikir reproduksi—yang berjalan lewat kedipan mataku, mata yang bukan cuma dua, tapi tiga, tapi empat, tapi lima, tapi juga satu. bertahta atas seluruh gerak tari, yeah, aku adalah penari, kuajarkan kau nanti bagaimana menari yang baik, karena yang benar itu tidak pasti baik, dan yang jahat bisa jadi baik. menari, dengan atau tanpa pakaian, adalah sistem bukan? respirasi, oksigen, karbondioksida, oksigen, karbondioksida, begitu seterusnya. dan ambillah kejutannya, bernapaslah dengan matamu, karena jika kau menari, kau harus menekan cuping hidungmu, menutup lubang gelapnya, dan kau harus membuka matamu.
jangan menghitung.
bukankah sudah kuperingatkan kepadamu, di sini hitungan cuma mainan anak-anak, dengan jenazah yang mereka temui di sisi-sisi jalan menuju rumah mereka, atau juga menuju sekolah mereka, yang kadang mereka ambil jantungnya sebagai taruhan bermain kelereng. membacalah dengan tidak menyebut nama apapun, sebutlah dirimu, dan rasakan diriku di dirimu. ulangi sekali lagi.

selamat malam. bermimpilah kau bisa melupakan aku.
esok, percayalah, aku akan berubah bentuk. kau kenali aku?

-Warung Kalde Jatinangor, 11 Mei 2002

Tidak ada komentar: