13 Februari 2002

Sepotong Cerita Dalam Kamar
:Qq

Satu minggu sudah terlewati sejak kutinggalkan kamar bertembok merah terakota, ukurannya kurang lebih empat kali enam meter atau empat kali lima meter, entah, setiap kuhabiskan waktu disana aku tidak pernah membawa meteran. Lagu yang terlintas selalu berganti-ganti, kadang-kadang diiringi suara tawa sekumpulan laki-laki dari tembok belakang, suara motor pun kerap terdengar begitu jelas dan telanjang. Aku masih ingat bagaimana kau menari dangdut di depan kaca, di depanku dan diatas lantai yang juga merah bata, dan ijinkanlah aku tertawa lima menit sebelum melanjutkan cerita ini. Satu menit untuk membayangkan, dua menit untuk tersenyum, satu menit untuk tertawa terbahak dan satu menit terakhir untuk menenangkan nafasku yang nyaris tersedak.

Pertama kali kujejakkan kakiku di lantai merah bata itu, seperti menjejakkan lagi diriku dalam kehidupanmu, setelah nyaris, ah, tiga ratus lima puluh enam hari kulewati dengan rindu pada langit-langit kamarmu. Langit itu sudah berubah kini, tidak setinggi yang dulu tetapi juga tidak sekotor yang dulu, lebih bersih tanpa sarang laba-laba dan temboknya baru saja kau cat merah terakota dan pada pintu tergantung tas ranselmu yang juga merah. “Sejak kapan kau suka merah?”tanyaku. “Mungkin sejak kita sama-sama berdarah di bulan keenam yang lalu, kau ingat?”. Aku ingat, bulan itu aku jatuh cinta pada merah karena hatiku yang begitu berdarah, bulan itu juga ransel abu-abuku sobek parah dan sebagai gantinya kubeli ransel merah nyaris persis sama dengan yang tergantung pada belakang pintu kamarmu.

Air panas masih kau jerangkan, kau cuci cangkir besi di bawah sindiran, kemudian bubuk coklat, gula dan air panas, serta sendok kecil kau sorongkan. Waktu itu hujan menerjang tirai bambu, cangkir besi kita telan bersama dengan coklat panas, “Kau lapar?” tanyamu sambil mengunyah sepotong besi, sewaktu melihat sore tiba di kota senja.

Foto-fotomu pernah kau telanjangi sendiri, di depan mataku. Tidak hanya dirimu, orangtua, kakak, adik, kawan-kawanmu tetapi juga perempuan-perempuanmu. Aku hanya tidak melihat diriku, karena yang kutahu tentangku telah kau simpan begitu rapi pada suatu pojokan tumpukan pakaian-pakaianmu. Kuminta segelas air hanya untuk mencegah sesuatu dari dalamku, bodoh, foto warna sephiamu, bertelanjang dada nyaris mengundang nafsu. Mungkin tengah malam akan diam-diam kuselipkan pergi.

Hari yang kedua puluh satu dan malam yang kedua puluh, aku terkunci di depan pintu dan pada teras pintumu aku mengetuk, dan kaus hitammu kujadikan baju tidurku. Satu kasur berdua dan mereka begitu berbahagia, malaikat-malaikat kita, jika mereka pernah ada, dan setan pun tak masalah begitu katamu. Malam telah tiba dan semuanya gelap, hanya siluet-siluet dari lampu jalanan, pada punggung, pada leher, pada dada dan terkadang pada mata yang menyala. Potongan-potongan hitam putih yang mengganggu mataku, seperti buta warna yang tak perlu. Sudah berapa lama kasur ini kita tiduri bersama?

Cermin itu mungkin akan bersaksi nanti atau menuliskan cerita sendiri ketika kau sedang bercukur dan bayanganku berada di punggungmu, pagi-pagi sekali sewaktu kau belum juga mandi. Sejenak dunia begitu jenaka di kamar merah terakota, waktu mati, cinta mati, semua puisi dan segenap tulisan mati kecuali secarik surat yang kubuat pukul delapan pagi setelah perpisahan rasa kopi, hanya satu jam sebelum aku menggantung diri, masih juga di kamar itu yang bertembok merah terakota. Bukankah warna-warna di kamarmu akan semakin semerbak memerah?

Yogyakarta, 6 Febuari 2001

Tidak ada komentar: