Di Penghujung Masa
Di penghujung masa, sebuah rindu terserak bersimbah darah
yang mengalir dari mata hati yang lama kering.
“………………..selamat tahun baru…………………..”
Langkah bergegas meninggalkan bayangan, semilir udara dingin terus memeluk tiada jera. Dekapku makin rapat, nafas terengah membaui malam. Ku gosok-gosokkan kedua tapak tangan mencari hangat. Sia-sia, dingin menjadi raja. Kehidupan menjadi pengembara di perjalanan bumi yang mati sesaat. Hanya bintang yang hidup dengan kerlap-kerlipnya, jauh di atas sana tiada perhentian, kemarin atau esok waktu tak lagi bermasa.
Perhentian tak lagi jauh, bayangan hitamnya bersandar di balik kedua pohon raja yang menjadi gerbangnya. Kebekuanku kian mencair meninggalkan tetes-tetes jejak yang tersapu bersama angin yang terus menerpa. Pilar kehangatan menyeruak di beberapa puluh langkah ke depan. Perapian yang menyambut dengan peluk dan sapa, kecupan dari bibir istriku tak kan terlewatkan. Melumat dan mengigit bibirnya, tak memberi ruang untuk berucap lagi. Tak akan aku sudahi untuk setengah jam pertama. Si sulung pasti akan marah dan berlomba mencari dadaku. Untuknya aku sudah siapkan tenaga untuk melemparkannya ke atas kepala, ia suka bila aku permainkan begitu. Seperti biasa putri bungsuku hanya akan menatap, menguji mataku yang tak akan pernah lupa mencari tubuhnya yang gembul.
Sudah seminggu lebih aku meninggalkan mereka bertiga. Di malam penghujung tahun ini, aku akan melewatkan waktu bersama mereka. Biarlah proyek akan dilanjutkan kembali untuk beberapa hari berikutnya. Sejak siang tadi istriku sudah wanti-wanti agar malam ini sudah ada di Bandung bersama mereka. Dia berjanji malam ini akan hadir surga di kamar kami, dibaui dupa birahi yang dimiliki oleh Adam saat Hawa tercipta telanjang di pagi hari. Kesepian yang dipunahkan oleh Nya. Sesungguhnya tahun tak akan pernah berganti karena waktu akan terhenyak oleh pagutan rindu. Nafas-nafas berkubang kata dan lirih memburu detik-detik yang berjalan lambat. Oleh asmara cinta kan bertambah muda walau waktu angkuh menawan umur menuju ufuk akhir zaman.
Gerbangnya sudah kudapatkan, langkahku terhenti mengantar ketukan tangan di helai pintu. Tak usah menunggu masa, cahaya lampu menyeruak keluar dari baliknya. Seraut wajah menyambut hangat, memeluk diriku yang masih mematung.
“Apa kabar sayang? Kami sudah menunggumu, mari masuk. Kamu pasti sudah kedinginan di perjalanan. Tubuhmu tampak membeku.” Tangannya membimbingku memasuki rumah. Tangan wanita itu kemudian terlepas saat wajah-wajah lain berhamburan ke arahku.
“Wah yang ditunggu sudah datang. Bawa oleh-oleh apa nih dari Jakarta?”
“Iya nih, sejak di Jakarta kamu makin cantik aja. Udah banyak order ya sekarang.”
“Mbak, ajak aku dong kalau lagi shooting sinetron. Aku pengen juga jadi selebritis nih.” Ucapan centil yang terakhir membangkitkan tawa, membius suasana menjadi lebih ceria.
Di sudut sana, di samping pohon natal yang masih terpasang, lelaki tua itu melebarkan tangannya. Menatapku penuh rindu, raut tuanya tak mampu sembunyikan sebuah penantian. Di kakinya aku bersimpuh, memeluknya hangat. Tangan tua itu bergetar mengusap kepalaku, menjemput tubuhku. Ada kerinduan menangis di pangkuannnya. Di penghujung tahun yang terus berjalan, tubuh tua itu masih mampu meredam kematian bersama penyakit yang telah melumpuhkan syaraf-syaraf motoriknya.
“Jam berapa dari Jakarta cah ayu?” tanya ayah.
“Sore, yah. Ayah sehatkan?” tanyaku balik.
“Ayah tak akan lengkap sehatnya tanpamu. Dari tadi ia hanya menatap pintu, kalau-kalau wajah putri kesayangannya tersembul dari balik pintu. Mbak Santi, Bella aja dicuekin, padahal mereka jauh-jauh datang dari Bali. Kalau si bontot emang sudah menjadi dayangnya, tak perlu ditunggu-tunggu mungkin,” canda ibu.
“Iya nih, padahal aku sudah bawakan baju kesayangan ayah. Tapi yang diresahkan kau melulu, dikit-dikit Ratna. Emang anak ayah hanya Ratna doang?” ucap Santi, si sulung. Bibirnya menari tak kalah hebat.
“Ah mbak, jangan gitu dong. Yah, aku nggak bawa apa-apa nih. Hanya kehadiranku pengobat rindu ayah,” kataku agak malu-malu.
“Yeee…. Kalau itu mah jangan disebut-sebut. Emang kau udah tahu, kalau ayah itu nggak butuh apa-apa, selain kehadiran gadis kesayangannya,” ejek Bella.
Aku hanya bisa tersenyum malu-malu di goda oleh ibu dan saudara-saudaraku. Pelukku kian rapat padanya, menyembunyikan merah mukaku. Entah mengapa, perhatian ayah terlalu berlebih hanya padaku. Mungkin secara fisik aku memang paling ayu di antara kami berempat yang kesemuanya wanita. Dan untuk itulah ia takut bila aku tak bisa menjaga diri oleh daya pikatku pada lawan jenis yang menatap padaku tentunya. Ia pernah berkata, lelaki manapun pasti menginginkanmu, untuk itulah kamu mesti berjaga diri dari kerakusan itu.
Berbaur dengan ketiga gadis yang tak putus-putusnya bercerita membuat suasana rumah kian ceria. Masing-masing berceloteh tentang pengalamannya sambil menyiapkan santapan malam menjelang tutup tahun. Kerinduanku pada suasana inilah yang terkadang membuat hambar segala gemerlap Jakarta yang menawarkan tawa-tawa semu. Bibir-bibir merah dan perona wajah tak mampu lukiskan keramahan, di baliknya gurat-gurat kemunafikan masih membayang. Kamuflase segala persahabatan, hanya sebatas saling membutuhkan. Selebihnya kalaupun ada kejujuran itu adalah keajaiban.
Tapi waktu begitu mengunci rapat oleh ritualitas pekerjaan. Uang menjadi pecut hidup, dan jiwa-jiwa dinilai sebagai angka. Begitu terlatihnya manusia-manusia mengais lubang-lubang tempat bangkai uang yang terpendam rapat. Sehingga terkadang untuk sebuah lubang, akan ada sebuah kematian. Uang milik sang pemenang dan lubang kubur bagi yang terkalahkan. Untuk semua kenyataan yang aku hadapi itu, aku merasa sudah saatnya aku hadir bersama mereka di sini tidak lain untuk sekedar mengetahui bahwa masih ada kehidupan yang mungkin purba bagi mereka.
Sebuah ketukan di pintu menyentak lamunan ku. Siapa gerangan yang datang pada saat waktu akan memberi tahun baru untuk satu jam ke depan? Tidakkah ia berniat melepas tahun dengan keluarganya sendiri?
Sebuah tubuh menggigil berdiri di depan pintu. Kudapatkan sebuah wajah yang menawarkan keraguan. Apakah aku bermimpi?
“Apa kabar sayang? Biarkan aku menyelesaikan langkah untuk mendapatkanmu di kehangatan rumah.” Suara yang lama hilang itu kini hadir bersama pemiliknya, aku menjadi malu oleh tatapku yang begitu rakus. Seakan saat itu aku ingin memeluk mimpi yang lama sembunyi di balik bayangan. Dan aku mempersilahkannya masuk, sambil tak lepas memandang langkahnya yang tak pernah ragu-ragu.
Ayah bagai mendapatkan sebuah kado yang melengkapi gunung kerinduannya. Baginya pemuda ini adalah putra kesayangannya yang lama bertapa di ujung jagad sana. Ya, di Papua untuk sekian tahun lamanya, bekerja pada sebuah pertambangan. Dan selain ayah, akulah yang tak mampu sembunyikan gemuruh dadaku yang kian berguncang hebat. Lelaki itu mampu membuatku untuk sekian lama menepis segala rayu wangi tubuh-tubuh tampan lelaki yang mencoba menggodaku. Tidak sedikit yang menawarkan segudang mimpi dan danau kebahagiaan. Tapi sudah lama jantungku ditambat olehnya.
Tanpa menunggu masa, aku menariknya menjauh. Ayah dan ibu hanya bisa tersenyum, sementara ketiga gadis itu makin menggodaiku. Kami terjebak pada suasana saling menatap di beranda belakang rumah, tempat yang sedikit tertutup bagi mereka yang berniat mencuri tatap pada kami.
Ia tersenyum sungguh indah. Ahh…. aku kian terkulai pada rengkuhnya. Pinggangku dipeluk tangannya yang kekar, tak ada niat meronta tubuhku kian merapat. Kian jelas bibir itu di depanku, membuka dan berjalan. Menyapa, menawarkan sentuh. Dengusku menjawab pasrah, kian membiusnya. Memberinya magnit yang menautkan kutub-kutub tak berjarak. Kian hangat menyapu bibirku, melumat tak lekang. Tak meninggalkan celah, bibir tak lagi berbatas. Aku menarik kepalanya kian merapat, menghabiskan basah di bibirnya, menghisap hangat pagut, menyapu rindu yang lama tercekat di langit-langit. Aku tak mampu lagi menatap matanya, yang ku tahu kami tak lagi berbibir. Kami telah sebibir. Untuk setengah jam lamanya nafas-nafas kami telah saling meracuni, saling memberi sentuh yang memagut.
Di rengkuhnya aku dapatkan kembali sebuah kehangatan purba. Jiwa yang bangkit dari kubur yang lama. Gairah milikku kian bangkit pada dekapnya, pada dadanya yang menawarkan degup bergelora. Aku bisa membaca irama detak jantungnya, bagai mantera yang mengucapkan sejuta kata-kata sihir yang kian memasungku. Begitu lemahnya aku pada pikat sihirmu sehingga bagiku hidup tertahan hanya pada detik ini. Bila pun aku berkenan, untuk detik-detik selanjutnya hanyalah detak jantung ini yang menjadi petunjuknya. Aku akan mengabarkan pada waktu, bila detak telah menjadi detik. Bila rindu telah menjadi peluk. Bila bayang telah menjadi kasih. Pelukku kian erat. Aku tak memberi waktu baginya untuk bercerita, seolah waktu hanya akan berniat memisahkan kami.
Di rengkuhnya, aku mencium pipinya dengan lembut. Sebaris bisik aku usapkan ke telinganya, “kapan kita tak kan terpisah lagi?”
“Kalau ego kita terkalahkan oleh rindu.”
“Kapan ego kita terkalahkan oleh rindu?”
“Ketika waktu menahan detik dan akal tak lagi berbicara. Hanya hati yang menjadi kejujuran.”
“Mengapa kita tak bisa mencoba untuk jujur?”
“Kita punya hati, tapi melupakan kejujuran. Rindulah yang bisa merekatkannya. Mari kita bicara rindu, kita tak kan terpisahkan.”
Kami terdiam sesaat, hanya peluk yang berbicara di keheningan.
“Kapan rindu kita kian menebal?”
“Ketika rindu tertahan pada detik, aku ada di hatimu dan kau ada di hatiku.”
Tapi detik kian tak tertahankan, walau rindu kian menambatkan cengkramnya. Bandul waktu menyelesaikan menit, dan penghujung tahun telah tiba.
* * *
Nyeri itu kian terasa, tanganku mengusap luka yang membekas di dahi. Perihnya kian tak tertahankan. Mataku masih nanar, bintang-bintang berpendar pada pandangan. Jalan nafasku berat berlalu, remuk di dada melahirkan sesak. Untuk sekian lamanya aku mencoba mengatur nafas, merangkai waktu mencari sebab. Aku masih tertegun di depan kemudi mobil yang terperosok kedalam parit dalam. Pandangan mendapatkan kaca yang pecah berserakkan, serpihannya mengotori luka dan tubuh.
Ahh….. mobilku telah membentur dinding parit ini. Ya, jalanan yang becek kian membuatnya limbung tak karuan. Andai aku tak gelisah mungkin kejadian ini tak kan tercipta. Sisa pertengkaran tadi menyebabkan mataku tak awas lagi. Otakku entah mencari apa. Otakku muak mengingat ucapan gadis muda itu. Serapahnya masih mengiang, ia tak ingin aku tinggalkan sendiri di kota ini, Bandung. Matanya sungguh tajam menatap kepergianku, meninggalkannya sendiri di hotel itu. Tapi masih ada rindu-rindu yang menanti di kotaku, istri dan kedua anakku. Dan gadis muda itu tak mau menerima kenyataan hanya sebagai teman penghantar tidur selama aku berdinas di sini. Walau sungguh aku akui, di kesepian aku tak bisa melupakan lekuk tubuhnya yang indah dari gairah yang ditawarkannya.
Tak perlu lama gelisahku melahirkan petaka. Baru lima belas menit meninggalkan hotel, ketika penat masih berkecamuk, aku mendapati tubuh gadis muda yang lain. Yang berjalan di rintik hujan menyebarang jalan. Otakku tak dapat memberi perintah yang benar, nalarku lumpuh sedari tadi. Depan mobil menjemput tubuhnya, roda-roda menindih dan meninggalkan tubuh menggelepar. Pandanganku terhenti membentur dinding parit dalam itu. Bagaimana keadaannya?
Aku mencoba membuka pintu dengan sekuat tenaga, dan mencari bayangannya. Tak jauh di belakang sana, seonggok tubuh wanita tergeletak pasrah terhampar di aspal yang basah. Kini bukan oleh rintik hujan, oleh genangan darah yang anyir. Tak ada senyum kudapatkan pada wajahnya, tak ada mata yang menatap rindu. Tak ada bibir yang haus akan kecup pada mimpi yang masih bergayut pada bayangan. Di ketidaksadaranku sesaat tadi, aku dibawa oleh rindu yang mati. Ketika puluhan langkah lagi, wanita itu akan mendapatkan rumah kediaman jiwanya. Rumah hatinya, menunggu rindu yang tak pernah terjawab oleh takdir. Di penghujung masa, sebuah rindu terserak bersimbah darah yang mengalir dari mata hati yang lama kering.
Bekasi,29desember2002
30 Desember 2002
25 Desember 2002
Usiaku adalah rekah kelopak mawar sempurna. Dilumur kisah-kisah yang berkelebat singgah, pinta yang diam berakbar sembunyi-sembunyi diantara duri perisai diri. Jiwaku tumbuh subur oleh teman-teman setia -matahari, embun pagi, hujan, senja, halilintar, bulan, langit. Pada bola mataku adalah dedaunan gugur dan kupu-kupu buruk rupa yang tanggal sayapnya. Dan damai ada pada lampu neon yang sia-sia membakar....
Mawar ini kebetulan hidup di satu sudut kota yang ternyata masih menyisakan sepetak kecil lahan untuk berbagi dengan ilalang. Juga pohon mangga di samping yang entah sejak kapan menjulang tinggi, terlalu tinggi. Kukutuk kau! Berhentilah engkau pada pertumbuhanmu dan tunggulah aku merambat sampai ke puncakmu. Lalu ceritakan tentang bidadari yang melenggang lupa menoleh kepada kita seperti dulu lagi. Entah sampai kapan mulut ini letih menggumamkan darah!
Aku mawar salah-tumbuh berwarna putih yang tak benar-benar berwarna putih cemerlang. Barangkali ini putih yang pucat pasi membaca kata-kata yang terlalu banyak disampaikan angin. Lalu yang terlalu lama menggumuli musim dan tak luruh sebagaimana badai menikam-nikam. Atau badai gemilang yang belum datangkah?
Mawar ini kebetulan hidup di satu sudut kota yang ternyata masih menyisakan sepetak kecil lahan untuk berbagi dengan ilalang. Juga pohon mangga di samping yang entah sejak kapan menjulang tinggi, terlalu tinggi. Kukutuk kau! Berhentilah engkau pada pertumbuhanmu dan tunggulah aku merambat sampai ke puncakmu. Lalu ceritakan tentang bidadari yang melenggang lupa menoleh kepada kita seperti dulu lagi. Entah sampai kapan mulut ini letih menggumamkan darah!
Aku mawar salah-tumbuh berwarna putih yang tak benar-benar berwarna putih cemerlang. Barangkali ini putih yang pucat pasi membaca kata-kata yang terlalu banyak disampaikan angin. Lalu yang terlalu lama menggumuli musim dan tak luruh sebagaimana badai menikam-nikam. Atau badai gemilang yang belum datangkah?
Bendasari,19 Oktober 2002
Aku tiba-tiba tidak bisa bicara lagi, harus berkata apa lagi jika yang tersisa hanya tubuh-tubuh hangus di antara jalan-jalan kota dewata. Sudah, hilang saja surga dan semua kepercayaan manusia. Menjadi debu bara api yang hangus ke tanah.
Jalan-jalan malam hari semakin sepi dari bunyi-bunyi, hanya sekelompok kita yang duduk di pinggirannya. Di depan sebuah angkringan dan beberapa botol minuman. Entah untuk apa, entah untuk lelah dan lelap yang sudah menyerang berhari-hari lamanya. Perlukah subuh untuk datang begitu lama?
Untuk seorang pecinta, aku minta maaf karena kekosongan sudah semakin menerpa. Lebih baik bicara saja, lebih baik menatap saja. Cukup bukan? Jangan yang bukan-bukan, karena jangan sampai kekosongan itu mengundang sejuta amarah dari tumpukan dadaku. Karena aku masih terpaku pada dadanya, suaranya dan matanya. Yang bagiku cukup dia saja.
Bendasari, 29 Oktober 2002
Saya tidak melihat Tuhan dimana-mana, saya melihat Tuhan dimana-mana. Tetapi hari ini saya lelah, terbentur, memar-luka dan terengah-engah. Saya seperti berhenti di tengah-tengah jalan yang enggan saya lalui. Saya melihat foto-foto gagal, experimental, berwarna, buram dan hitam putih. Saya ingin bercinta dan terjatuh terseret di jalanan dalam kecelakaan motor di saat yang sama. Saya ingin sensasi. Saya ingin adrenalin saya berjalan sampai titik puncak. Biar saya bisa melepas semuanya, menghilangkan semuanya dalam satu momen kegelapan yang cukup membuat saya terdiam dan tersenyum puas sebelum saya menjadi benar-benar gila.
Isi kepala saya begitu menumpuk dan saya begitu tenang. Saya sendiri terheran-heran dan kekasih saya menjawabnya mungkin kau memang sudah terbiasa dalam keadaan yang demikian. Memang, jawab saya begitu pendek, saya memang sudah terbiasa. Saya sudah mulai sangat terbiasa dalam keadaan-keadaan yang membuat syaraf saya nyaris pecah, pikiran-pikiran saya membeku dan melumer dalam per sekian detik. Lalu saya ingat lagi wajah orang yang saya cintai itu dengan tawa sinis yang mentertawakan cinta, dimana ia membawa saya menjadi begitu konyol. Saya mentertawakan kekonyolan saya, cinta konyol saya. Cinta kontol saya. Vulgar, sederhana dan begitu sentimental.
Saya ingin muntah begitu mendengar kata bom, saya ingin muntah sungguh mendengar situasi politik dunia dan sekitar saya. Saya muak dengan satu kesungguhan yang akan memuntahkan isi perut saya berember-ember banyaknya.
Sebenar-benarnya saya ingin teriak dan ingin bantal untuk terlelap.
Bendasari, 1 November 2002
Seutas helai rambut jatuh ke ranjang, berpuluh-puluh bergumul di karpet biru kamar ini. Saya tidak bisa membedakan yang mana miliknya dan mana yang milik saya. Rambut kami sama-sama panjang. Kami sudah sejauh ini, membagi ruang, hati dan badan. Benar kata Neruda, aku tidak bisa lagi menentukan apakah tangan di dadanya adalah tanganku atau tangannya begitu pun sebaliknya. Ah, apakah ini waktunya untuk membaca soneta malam-malam di sisa tetesan daun di luar sana?
Satu bayangan muncul di kepalaku. Satu bayangan lain muncul di kepalanya. Dua kepala. Dua pikiran. Dua orang terlentang di atas ranjang, tidur berpelukan, kaki berbalutan. Sepasang bantal di atas seprai yang mendekati kumal, bantal-bantal dengan sarung yang juga tidak kalah kumalnya. Juga bau. Aroma khas dua tubuh yang bercampur menjadi satu seorang kawan yang memasuki kamar bilang.
Saya jatuh dalam mimpi untuk semalam saja. Benar-benar jatuh untuk tidak kembali.
Bendasari, 6 November 2002
Saya masih duduk saja disini, mengingkari satu demi satu keingkaran. Saya melihat pisau-pisau berjalan, saya mimpi dan saya melihat dia memimpikan saya. Saya melihat diri saya. Saya melihat pisau-pisau mendekati. Saya tidak tahu pisau-pisau itu menuju kemana. Mengalir entah kemana, entah membawa apa, entah membunuh apa.
Kemudian saya mencari botol Aqua, mencari dimana letak kekeringan tenggorokan saya. Saya sudah semakin tidak mengenali tubuh saya yang semakin tercecer dalam mimpi-mimpi dia. Tetapi saya masih ada, melayang-layang mencari letak dimana seharusnya saya tidur, dimana seharusnya saya bernafas.
Saya kehujanan, sungguh-sungguh kehujanan dan langit masih pekat.
Saya tidak sedang mencari-cari dia, karena saya kemudian hanya menemukan dia sejauh satu jengkal tangan saya. Saya tidak kemana-mana dan dia tidak kemana-mana. Namun kami tidak suka berlama-lama tinggal dan juga tidak suka berlama-lama pergi kecuali untuk meninggalkan sesuatu di belakang punggung kami. Lalu dimana letak tumpukan peti-peti kami yang berat itu, masih adakah di pojokan gudangg tua?
Saya pandangi tubuh telanjang, saya amati lekak lekuknya, saya sentuh permukaannnya. Saya ingin berada di lekukan tulang leher, saya ingin berada di antara rongga iga, saya ingin berada di atas dada. Tetapi saya hanya memandang dan tak berbuat apa-apa.
Yang saya temukan pagi itu hanya setetes hujan, serakan foto-foto dan sebuah kamera terbuka.
Bendasari, 23 November 2002
Kereta api berhenti pada suatu stasiun, saya berada di Barat beberapa pekan yang lalu, kemudian kereta api kembali membawa saya kembali ke arah Timur. Saya tiba subuh-subuh sekali, menunggu untuk bertemu, menunggu untuk bercumbu.
Minggu-minggu saya di Barat menjadi begitu kejam akan gelisah dan rindu. Saya nyaris gila, gila akan cinta, gila akan kamu. Saya kembali pada titik dimana saya begitu mencintai seorang laki-laki, jiwa raga. Saya kira saya nyaris kehilangan semua itu. Tetapi saya menemukannya lagi di kota yang sama, kota yang benar-benar saya cintai.
Dan lampu-lampu berpendar pudar bersama seberkas sinar matahari pagi, saya menemukan udara kota, menemukan tirai-tirai hijau yang setengah tersingkap, kawan-kawan yang tidur terlentang. Terakhir saya menemukan dia, menunggu saya, mendekap saya, menenangkan saya yang begitu sayu akan problema dan rindu. Saya menjadi rikuh dan jatuh. Saya menjadi saya, dia menjadi dia, dia menjadi saya, saya menjadi dia, saya tidak bisa membedakan lagi bagian tubuh mana yang seharusnya terpisah. Sebegitu dalamnyakah kami terlesak di dalam kamar tiga kali tiga seperempat meter ini.
Ah, pojokan-pojokan jendela, kasur-kasur, karpet biru dan gantungan baju. Foto-foto, buku-buku, bau-bau tubuh kami dalam kamar ini. Memori-memori yang sudah terjadi, yang akan terjadi.
Bendasari, 1 Desember 2002
Saya mengerti untuk semakin tidak mengerti bagaimana keadaan tubuh saya. Walau kata-kata sudah membayangi telinga saya dan rasa-rasa sudah menunjukkan panah-panah jalan yang harus saya lalui. Saya tidak menemukan perempatan di perjalanan saya tetapi saya merasa tersesat.
Saya butuh hutan, butuh semak hijau dan rumpunan jagung yang nyaris matang. Lalu dia membawa saya kesana, menelusuri tanah-tanah basah, air dari pematang yang jernih tak mengenal warna. Kami menemukan setapak-setapak, sawah-sawah dan ladang jagung. Saya butuh aroma alam walau udara dingin mendesak kulit sesore itu pada lereng pegunungan.
Saat ini saya butuh langit bintang yang cerah lengkap dengan bulan di tengah-tengah. Saya butuh langit untuk mengingatkan saya tentang hal-hal yang sudah dilupakan dan hal-hal yang ingin saya lupakan.
Teringat saya dengan seorang kawan yang saya habiskan berjam-jam lamanya bicara. Dan saya juga rindu akan suasana jalan malam-malam di depan sebuah benteng dan angkringan di pinggir jalanan yang sama. Saya tak ingin keramaian, saya tak ingin kota metropolitan. Saya hanya ingin satu pojokan jalanan kota yang senyap untuk melihat bintang.
Bendasari, 22 Desember 2002
:sebuah catatan untuk linda christanty
Saya pulang ke Barat beberapa waktu lalu hanya untuk menemukan kekosongan yang panjang, kamar yang pengap dan buku-buku yang tertutup debu. Sebenarnya saya ingin menemui beberapa orang termasuk kau, untuk berbagi secangkir dua cangkir kopi. Saya berhasil menemui beberapa orang kawan lama tetapi saya tetap merasa saya pulang untuk tidak membawa apa-apa atau tidak menemukan apa-apa.
Lalu sekarang disinilah lagi saya, pulang, ke kamar tiga kali tiga setengah meter. Sedang mencoba membagi ruang-ruang juga bagian-bagian tubuh saya yang terasa tercecer di sepanjang lantai kamar ini. Saya sedang membagi-bagi diri saya untuk mempelajari hubungan lelaki dan perempuan. Saya sedang mencoba membagi ruangan di kamar ini dengan seorang lelaki.
Dan lelaki itu terkapar seperti mati selesai bercinta. Seekor ayam seperti tidur terantuk-antuk lalu mati pada pukul sepuluh pagi. Lalu seorang Nietzche di akhir abad kedelapan belas berkata Tuhan sudah mati. Tiga pasang kalimat yang saya ketik ini lalu berhenti dan belum saya teruskan sampai saat ini. Tiga kalimat yang saya ketikkan untuk menggambarkan apa yang terjadi beberapa hari yang lalu, hal-hal di sekitar saya, hal-hal di depan mata saya yang lewat begitu saja.
Saya pikir saya akan membuat membuat profil dan essay foto seorang kawan kita, berhubungan dengan selesai dicetaknya novel lima ratus halamannya esok hari. Juga berhubungan dengan tugas akhir semester fotografi saya. Dan saya juga sempat memikirkannya untuk edisi perdana situs sastra januari nanti, yang saya harap bisa diselesaikan bulan besok. Saya rasa saya akan menunggu kau di kota ini pada saat launching novel teman kita itu. Sepertinya juga dia akan atau sudah memintamu untuk juga bicara disana, karena mantan putri Indonesia sepertinya belum bisa dikontak.
Sebenarnya masih banyak yang saya ingin bicarakan kepadamu, tetapi tiba-tiba kepala saya berhenti pada titik beku. Mungkin nanti saja kita lanjutkan lagi dengan secangkir kopi.
Aku tiba-tiba tidak bisa bicara lagi, harus berkata apa lagi jika yang tersisa hanya tubuh-tubuh hangus di antara jalan-jalan kota dewata. Sudah, hilang saja surga dan semua kepercayaan manusia. Menjadi debu bara api yang hangus ke tanah.
Jalan-jalan malam hari semakin sepi dari bunyi-bunyi, hanya sekelompok kita yang duduk di pinggirannya. Di depan sebuah angkringan dan beberapa botol minuman. Entah untuk apa, entah untuk lelah dan lelap yang sudah menyerang berhari-hari lamanya. Perlukah subuh untuk datang begitu lama?
Untuk seorang pecinta, aku minta maaf karena kekosongan sudah semakin menerpa. Lebih baik bicara saja, lebih baik menatap saja. Cukup bukan? Jangan yang bukan-bukan, karena jangan sampai kekosongan itu mengundang sejuta amarah dari tumpukan dadaku. Karena aku masih terpaku pada dadanya, suaranya dan matanya. Yang bagiku cukup dia saja.
Bendasari, 29 Oktober 2002
Saya tidak melihat Tuhan dimana-mana, saya melihat Tuhan dimana-mana. Tetapi hari ini saya lelah, terbentur, memar-luka dan terengah-engah. Saya seperti berhenti di tengah-tengah jalan yang enggan saya lalui. Saya melihat foto-foto gagal, experimental, berwarna, buram dan hitam putih. Saya ingin bercinta dan terjatuh terseret di jalanan dalam kecelakaan motor di saat yang sama. Saya ingin sensasi. Saya ingin adrenalin saya berjalan sampai titik puncak. Biar saya bisa melepas semuanya, menghilangkan semuanya dalam satu momen kegelapan yang cukup membuat saya terdiam dan tersenyum puas sebelum saya menjadi benar-benar gila.
Isi kepala saya begitu menumpuk dan saya begitu tenang. Saya sendiri terheran-heran dan kekasih saya menjawabnya mungkin kau memang sudah terbiasa dalam keadaan yang demikian. Memang, jawab saya begitu pendek, saya memang sudah terbiasa. Saya sudah mulai sangat terbiasa dalam keadaan-keadaan yang membuat syaraf saya nyaris pecah, pikiran-pikiran saya membeku dan melumer dalam per sekian detik. Lalu saya ingat lagi wajah orang yang saya cintai itu dengan tawa sinis yang mentertawakan cinta, dimana ia membawa saya menjadi begitu konyol. Saya mentertawakan kekonyolan saya, cinta konyol saya. Cinta kontol saya. Vulgar, sederhana dan begitu sentimental.
Saya ingin muntah begitu mendengar kata bom, saya ingin muntah sungguh mendengar situasi politik dunia dan sekitar saya. Saya muak dengan satu kesungguhan yang akan memuntahkan isi perut saya berember-ember banyaknya.
Sebenar-benarnya saya ingin teriak dan ingin bantal untuk terlelap.
Bendasari, 1 November 2002
Seutas helai rambut jatuh ke ranjang, berpuluh-puluh bergumul di karpet biru kamar ini. Saya tidak bisa membedakan yang mana miliknya dan mana yang milik saya. Rambut kami sama-sama panjang. Kami sudah sejauh ini, membagi ruang, hati dan badan. Benar kata Neruda, aku tidak bisa lagi menentukan apakah tangan di dadanya adalah tanganku atau tangannya begitu pun sebaliknya. Ah, apakah ini waktunya untuk membaca soneta malam-malam di sisa tetesan daun di luar sana?
Satu bayangan muncul di kepalaku. Satu bayangan lain muncul di kepalanya. Dua kepala. Dua pikiran. Dua orang terlentang di atas ranjang, tidur berpelukan, kaki berbalutan. Sepasang bantal di atas seprai yang mendekati kumal, bantal-bantal dengan sarung yang juga tidak kalah kumalnya. Juga bau. Aroma khas dua tubuh yang bercampur menjadi satu seorang kawan yang memasuki kamar bilang.
Saya jatuh dalam mimpi untuk semalam saja. Benar-benar jatuh untuk tidak kembali.
Bendasari, 6 November 2002
Saya masih duduk saja disini, mengingkari satu demi satu keingkaran. Saya melihat pisau-pisau berjalan, saya mimpi dan saya melihat dia memimpikan saya. Saya melihat diri saya. Saya melihat pisau-pisau mendekati. Saya tidak tahu pisau-pisau itu menuju kemana. Mengalir entah kemana, entah membawa apa, entah membunuh apa.
Kemudian saya mencari botol Aqua, mencari dimana letak kekeringan tenggorokan saya. Saya sudah semakin tidak mengenali tubuh saya yang semakin tercecer dalam mimpi-mimpi dia. Tetapi saya masih ada, melayang-layang mencari letak dimana seharusnya saya tidur, dimana seharusnya saya bernafas.
Saya kehujanan, sungguh-sungguh kehujanan dan langit masih pekat.
Saya tidak sedang mencari-cari dia, karena saya kemudian hanya menemukan dia sejauh satu jengkal tangan saya. Saya tidak kemana-mana dan dia tidak kemana-mana. Namun kami tidak suka berlama-lama tinggal dan juga tidak suka berlama-lama pergi kecuali untuk meninggalkan sesuatu di belakang punggung kami. Lalu dimana letak tumpukan peti-peti kami yang berat itu, masih adakah di pojokan gudangg tua?
Saya pandangi tubuh telanjang, saya amati lekak lekuknya, saya sentuh permukaannnya. Saya ingin berada di lekukan tulang leher, saya ingin berada di antara rongga iga, saya ingin berada di atas dada. Tetapi saya hanya memandang dan tak berbuat apa-apa.
Yang saya temukan pagi itu hanya setetes hujan, serakan foto-foto dan sebuah kamera terbuka.
Bendasari, 23 November 2002
Kereta api berhenti pada suatu stasiun, saya berada di Barat beberapa pekan yang lalu, kemudian kereta api kembali membawa saya kembali ke arah Timur. Saya tiba subuh-subuh sekali, menunggu untuk bertemu, menunggu untuk bercumbu.
Minggu-minggu saya di Barat menjadi begitu kejam akan gelisah dan rindu. Saya nyaris gila, gila akan cinta, gila akan kamu. Saya kembali pada titik dimana saya begitu mencintai seorang laki-laki, jiwa raga. Saya kira saya nyaris kehilangan semua itu. Tetapi saya menemukannya lagi di kota yang sama, kota yang benar-benar saya cintai.
Dan lampu-lampu berpendar pudar bersama seberkas sinar matahari pagi, saya menemukan udara kota, menemukan tirai-tirai hijau yang setengah tersingkap, kawan-kawan yang tidur terlentang. Terakhir saya menemukan dia, menunggu saya, mendekap saya, menenangkan saya yang begitu sayu akan problema dan rindu. Saya menjadi rikuh dan jatuh. Saya menjadi saya, dia menjadi dia, dia menjadi saya, saya menjadi dia, saya tidak bisa membedakan lagi bagian tubuh mana yang seharusnya terpisah. Sebegitu dalamnyakah kami terlesak di dalam kamar tiga kali tiga seperempat meter ini.
Ah, pojokan-pojokan jendela, kasur-kasur, karpet biru dan gantungan baju. Foto-foto, buku-buku, bau-bau tubuh kami dalam kamar ini. Memori-memori yang sudah terjadi, yang akan terjadi.
Bendasari, 1 Desember 2002
Saya mengerti untuk semakin tidak mengerti bagaimana keadaan tubuh saya. Walau kata-kata sudah membayangi telinga saya dan rasa-rasa sudah menunjukkan panah-panah jalan yang harus saya lalui. Saya tidak menemukan perempatan di perjalanan saya tetapi saya merasa tersesat.
Saya butuh hutan, butuh semak hijau dan rumpunan jagung yang nyaris matang. Lalu dia membawa saya kesana, menelusuri tanah-tanah basah, air dari pematang yang jernih tak mengenal warna. Kami menemukan setapak-setapak, sawah-sawah dan ladang jagung. Saya butuh aroma alam walau udara dingin mendesak kulit sesore itu pada lereng pegunungan.
Saat ini saya butuh langit bintang yang cerah lengkap dengan bulan di tengah-tengah. Saya butuh langit untuk mengingatkan saya tentang hal-hal yang sudah dilupakan dan hal-hal yang ingin saya lupakan.
Teringat saya dengan seorang kawan yang saya habiskan berjam-jam lamanya bicara. Dan saya juga rindu akan suasana jalan malam-malam di depan sebuah benteng dan angkringan di pinggir jalanan yang sama. Saya tak ingin keramaian, saya tak ingin kota metropolitan. Saya hanya ingin satu pojokan jalanan kota yang senyap untuk melihat bintang.
Bendasari, 22 Desember 2002
:sebuah catatan untuk linda christanty
Saya pulang ke Barat beberapa waktu lalu hanya untuk menemukan kekosongan yang panjang, kamar yang pengap dan buku-buku yang tertutup debu. Sebenarnya saya ingin menemui beberapa orang termasuk kau, untuk berbagi secangkir dua cangkir kopi. Saya berhasil menemui beberapa orang kawan lama tetapi saya tetap merasa saya pulang untuk tidak membawa apa-apa atau tidak menemukan apa-apa.
Lalu sekarang disinilah lagi saya, pulang, ke kamar tiga kali tiga setengah meter. Sedang mencoba membagi ruang-ruang juga bagian-bagian tubuh saya yang terasa tercecer di sepanjang lantai kamar ini. Saya sedang membagi-bagi diri saya untuk mempelajari hubungan lelaki dan perempuan. Saya sedang mencoba membagi ruangan di kamar ini dengan seorang lelaki.
Dan lelaki itu terkapar seperti mati selesai bercinta. Seekor ayam seperti tidur terantuk-antuk lalu mati pada pukul sepuluh pagi. Lalu seorang Nietzche di akhir abad kedelapan belas berkata Tuhan sudah mati. Tiga pasang kalimat yang saya ketik ini lalu berhenti dan belum saya teruskan sampai saat ini. Tiga kalimat yang saya ketikkan untuk menggambarkan apa yang terjadi beberapa hari yang lalu, hal-hal di sekitar saya, hal-hal di depan mata saya yang lewat begitu saja.
Saya pikir saya akan membuat membuat profil dan essay foto seorang kawan kita, berhubungan dengan selesai dicetaknya novel lima ratus halamannya esok hari. Juga berhubungan dengan tugas akhir semester fotografi saya. Dan saya juga sempat memikirkannya untuk edisi perdana situs sastra januari nanti, yang saya harap bisa diselesaikan bulan besok. Saya rasa saya akan menunggu kau di kota ini pada saat launching novel teman kita itu. Sepertinya juga dia akan atau sudah memintamu untuk juga bicara disana, karena mantan putri Indonesia sepertinya belum bisa dikontak.
Sebenarnya masih banyak yang saya ingin bicarakan kepadamu, tetapi tiba-tiba kepala saya berhenti pada titik beku. Mungkin nanti saja kita lanjutkan lagi dengan secangkir kopi.
21 Desember 2002
alpa
ada malam di balik rumput halaman
ada malam di sela batu batu jalanan
ada malam pada sinar rembulan
ada malam mengalung lenguhan
ada hitam di malam-malam jahanam
ada hitam di relung diri-diri terdalam
ada hitam di pinggir jam naas
ada hitam diujung nafas
ada yang lelah berjejak
ada yang menyerah tuk berontak
maafkan kami alpa
saat kau muak teteskan air mata
ada hitam ....
ada hitam ....
ada hitam ...
di sisi suatu malam ....
Mengenang Aga.
Itu bukan titik yang bagus, Ga ....
:(
ada malam di balik rumput halaman
ada malam di sela batu batu jalanan
ada malam pada sinar rembulan
ada malam mengalung lenguhan
ada hitam di malam-malam jahanam
ada hitam di relung diri-diri terdalam
ada hitam di pinggir jam naas
ada hitam diujung nafas
ada yang lelah berjejak
ada yang menyerah tuk berontak
maafkan kami alpa
saat kau muak teteskan air mata
ada hitam ....
ada hitam ....
ada hitam ...
di sisi suatu malam ....
Mengenang Aga.
Itu bukan titik yang bagus, Ga ....
:(
20 Desember 2002
banyak yang berubah,
kita bukan lagi dua manusia yang sama
berharap,
cukup kata untuk tunjukkan aku masih peduli
nyatanya,
jarak terbentang dan pedih merubah semua
lepaskan,
jangan biarkan cinta mengkungkungmu dalam
lalu membiarkanmu mati dalam pedih,
sedih .. aku sedih
biar kenangan,
tetap menyatu di sudut sudut bernama masa lalu
suatu saat akan ada jumpa,
kala semua rindu telah bisu
Relakan,
sayapku lama patah
bahuku kelu
Relakan, ingin pergi
biar kita,
tergulung cakar cakar keabadian
melangkah menopang walau tak akan lagi seiring
suatu saat .. pasti bahagia
kita bukan lagi dua manusia yang sama
berharap,
cukup kata untuk tunjukkan aku masih peduli
nyatanya,
jarak terbentang dan pedih merubah semua
lepaskan,
jangan biarkan cinta mengkungkungmu dalam
lalu membiarkanmu mati dalam pedih,
sedih .. aku sedih
biar kenangan,
tetap menyatu di sudut sudut bernama masa lalu
suatu saat akan ada jumpa,
kala semua rindu telah bisu
Relakan,
sayapku lama patah
bahuku kelu
Relakan, ingin pergi
biar kita,
tergulung cakar cakar keabadian
melangkah menopang walau tak akan lagi seiring
suatu saat .. pasti bahagia
19 Desember 2002
Jikalau kita harus mati malam ini
: selamat Natal
Di langit yang tiada awan semakin jelas membentang ruang yang tiada bertepi. Bumi bagai bayi di dalam ketubannya, dibaluti alam yang menawarkan berjuta misteri. Dan jauh di atas sana kemahaluasan bertahta, semakin terlihat kecil wujud dari kehidupan yang berjalan di bumi.
Seperti sukacita yang tampak pada wajah-wajah yang bernaung dalam gedung ini, malam menambah suci dari hati-hati damai pada jiwa-jiwa yang berserah pada penciptanya.
Di barisan dekat jendela yang terbuka, sepasang suami istri muda saling bertatapan. Ada keraguan pada wajah sang istri.
"Akankah malam ini sedamai langit yang indah di luar sana?"
"Damai menyelimuti pada hati yang berserah."
"Mas.......haruskah malam ini kita bertahan di sini?"
"Mengapa harus takut sayang. Bukan hanya karena aku ada di sisi mu tapi kita berada di keselamatan itu sendiri."
"Jika kita harus mati, masihkah engkau akan ingat namaku di sana nanti?"
"Di Firdaus yang suci, akan tersucikan nama-nama yang melekat di diri kita. Kita menjadi sama bernama kasih. Dan aku akan ingat engkau yang bernama kasih."
Sang istri tersenyum, digenggamnya erat tangan sang kasih. Hanya maut yang dapat memisahkan, karena mereka telah dipersatukan Tuhannya.
Tak jauh di barisan belakangnya, sepasang kakek dan nenek duduk bersanding tak kalah tenangnya. Bukan hanya oleh usia, tapi sepertinya makna kehidupan telah lama mengendap di jiwa-jiwa mereka.
"Nek, kita tak bisa bersama-sama anak dan cucu kita. Semoga mereka baik-baik saja di sana. Mungkin mereka sama dengan kita di waktu ini, mencari keselamatan padaNya."
"Jangan risau, berserahlah, tidak lama lagi kita akan berjumpa dengan mereka. Hingga kelak kita berada pada jarak dan waktu yang tak terpisahkan. Tanganmu akan kelelahan merangkul cucu-cucu kita yang kian bertambah banyak. Kasihmu tak perlu kau bendung lagi, saatnya tiba kita akan berkumpul bersama lagi untuk selamanya."
"Benarkah itu? Pada kehidupan yang abadi?"
Si Nenek mengangguk, senyum pada pipinya yang menua menyiratkan kepastian tiada menawarkan ilusi semusim.
Tak seperti mereka, di sudut sana sepasang belia tercekat dalam kesunyian. Bukan oleh nada-nada gita surgawai yang berkumandang, tapi sepertinya mereka menahan detik-detik agar tak melaju cepat.
"Gadis, akan kah esok kita masih bisa berjumpa lagi?"
"Mengapa harus kau tanyakan itu. Bukankah aku ada pada setiap tatapanmu?"
"Kuakui, aku tak bisa berpaling. Aku seperti seorang buta yang menatap hanya pada satu bentuk. Menatapmu dengan penuh kesadaran. Bukan bayangan lagi. Dirimu. Dan malam ini...... aku ingin ucapkan kata yang terpendam lama di hatiku. Tuhan penuh dengan kasih, ijinkan aku memenuhimu dengan kasih ku. Maukah kau jadi kekasihku? Cawan penyimpan tetes deras kasih milikku?"
Sesaat gadis itu terdiam, mukanya menunduk seperti kodratnya puan-puan di detik pada lakokn yang sama.
"Bila kasihmu seperti Dia yang mati bagi keselamatan mereka yang dikasihiNya, aku berserah pada darah cinta yang mengalir dari jantung yang ditombak. Aku juga sayang kamu. Sungguh ucapmu lama kunanti."
Tak terasa tangan keduanya bertautan. Mengalir sudah bulir-bulir kasih bagai burung yang lama menanti dahan.
"Bang apa benar berita-berita itu? Tentang berton-ton bahan peledak yang belum terungkap keberadaannya?"
"Yang terungkap hanya segelintir, itupun kalau benar hanya mereka pemiliknya. Mungkin malam ini gereja-gereja akan merayakan Natal dengan penuh kekhawatiran. Tapi kita semua yakin di rumah Bapa kita menuju ke keselamatan itu sendiri. Biarlah gedung-gedungnya hancur rata di muka bumi, Tapi Tuhan masih hidup di hati kita. Gereja bukanlah gedungnya, gereja adalah jemaatnya. Sama seperti lilin yang memberikan terang bagi sekelilingnya, begitulah kita menjadi sumber kasih. Dan rela memberikan diri bagi kebenaran seperti lilin yang cair menghilangkan ujudnya, tapi kita merasakan pengorbanannya."
"Jikalau kita mati malam ini. Tunggu aku di tepi taman Eden, di sumber kasih yang tak berkesudahan. Kita bersama akan menjaga beningnya kasih yang mengalir."
19desember2002
: selamat Natal
Di langit yang tiada awan semakin jelas membentang ruang yang tiada bertepi. Bumi bagai bayi di dalam ketubannya, dibaluti alam yang menawarkan berjuta misteri. Dan jauh di atas sana kemahaluasan bertahta, semakin terlihat kecil wujud dari kehidupan yang berjalan di bumi.
Seperti sukacita yang tampak pada wajah-wajah yang bernaung dalam gedung ini, malam menambah suci dari hati-hati damai pada jiwa-jiwa yang berserah pada penciptanya.
Di barisan dekat jendela yang terbuka, sepasang suami istri muda saling bertatapan. Ada keraguan pada wajah sang istri.
"Akankah malam ini sedamai langit yang indah di luar sana?"
"Damai menyelimuti pada hati yang berserah."
"Mas.......haruskah malam ini kita bertahan di sini?"
"Mengapa harus takut sayang. Bukan hanya karena aku ada di sisi mu tapi kita berada di keselamatan itu sendiri."
"Jika kita harus mati, masihkah engkau akan ingat namaku di sana nanti?"
"Di Firdaus yang suci, akan tersucikan nama-nama yang melekat di diri kita. Kita menjadi sama bernama kasih. Dan aku akan ingat engkau yang bernama kasih."
Sang istri tersenyum, digenggamnya erat tangan sang kasih. Hanya maut yang dapat memisahkan, karena mereka telah dipersatukan Tuhannya.
Tak jauh di barisan belakangnya, sepasang kakek dan nenek duduk bersanding tak kalah tenangnya. Bukan hanya oleh usia, tapi sepertinya makna kehidupan telah lama mengendap di jiwa-jiwa mereka.
"Nek, kita tak bisa bersama-sama anak dan cucu kita. Semoga mereka baik-baik saja di sana. Mungkin mereka sama dengan kita di waktu ini, mencari keselamatan padaNya."
"Jangan risau, berserahlah, tidak lama lagi kita akan berjumpa dengan mereka. Hingga kelak kita berada pada jarak dan waktu yang tak terpisahkan. Tanganmu akan kelelahan merangkul cucu-cucu kita yang kian bertambah banyak. Kasihmu tak perlu kau bendung lagi, saatnya tiba kita akan berkumpul bersama lagi untuk selamanya."
"Benarkah itu? Pada kehidupan yang abadi?"
Si Nenek mengangguk, senyum pada pipinya yang menua menyiratkan kepastian tiada menawarkan ilusi semusim.
Tak seperti mereka, di sudut sana sepasang belia tercekat dalam kesunyian. Bukan oleh nada-nada gita surgawai yang berkumandang, tapi sepertinya mereka menahan detik-detik agar tak melaju cepat.
"Gadis, akan kah esok kita masih bisa berjumpa lagi?"
"Mengapa harus kau tanyakan itu. Bukankah aku ada pada setiap tatapanmu?"
"Kuakui, aku tak bisa berpaling. Aku seperti seorang buta yang menatap hanya pada satu bentuk. Menatapmu dengan penuh kesadaran. Bukan bayangan lagi. Dirimu. Dan malam ini...... aku ingin ucapkan kata yang terpendam lama di hatiku. Tuhan penuh dengan kasih, ijinkan aku memenuhimu dengan kasih ku. Maukah kau jadi kekasihku? Cawan penyimpan tetes deras kasih milikku?"
Sesaat gadis itu terdiam, mukanya menunduk seperti kodratnya puan-puan di detik pada lakokn yang sama.
"Bila kasihmu seperti Dia yang mati bagi keselamatan mereka yang dikasihiNya, aku berserah pada darah cinta yang mengalir dari jantung yang ditombak. Aku juga sayang kamu. Sungguh ucapmu lama kunanti."
Tak terasa tangan keduanya bertautan. Mengalir sudah bulir-bulir kasih bagai burung yang lama menanti dahan.
"Bang apa benar berita-berita itu? Tentang berton-ton bahan peledak yang belum terungkap keberadaannya?"
"Yang terungkap hanya segelintir, itupun kalau benar hanya mereka pemiliknya. Mungkin malam ini gereja-gereja akan merayakan Natal dengan penuh kekhawatiran. Tapi kita semua yakin di rumah Bapa kita menuju ke keselamatan itu sendiri. Biarlah gedung-gedungnya hancur rata di muka bumi, Tapi Tuhan masih hidup di hati kita. Gereja bukanlah gedungnya, gereja adalah jemaatnya. Sama seperti lilin yang memberikan terang bagi sekelilingnya, begitulah kita menjadi sumber kasih. Dan rela memberikan diri bagi kebenaran seperti lilin yang cair menghilangkan ujudnya, tapi kita merasakan pengorbanannya."
"Jikalau kita mati malam ini. Tunggu aku di tepi taman Eden, di sumber kasih yang tak berkesudahan. Kita bersama akan menjaga beningnya kasih yang mengalir."
19desember2002
18 Desember 2002
Another poems for "The tale", you are just like a miracle
engkaulah gulita yang memupuskan setiap batasan dan alasan
engkaulah penunjuk jalan menuju palung kekosongan di dalam samudra terdalam
engkaulah sayap tanpa tepi yang membentang menuju tempat tak bernama namun terasa ada
ajarkan aku,
melebur dalam gelap tanpa harus lenyap
merengkuh rasa takut tanpa perlu surut
bangun dari illusi namun tak memilih pergi
tunngu aku,
yang hanya selangkah dari bibir jurangmu
-Dee, supernova 2-
engkaulah gulita yang memupuskan setiap batasan dan alasan
engkaulah penunjuk jalan menuju palung kekosongan di dalam samudra terdalam
engkaulah sayap tanpa tepi yang membentang menuju tempat tak bernama namun terasa ada
ajarkan aku,
melebur dalam gelap tanpa harus lenyap
merengkuh rasa takut tanpa perlu surut
bangun dari illusi namun tak memilih pergi
tunngu aku,
yang hanya selangkah dari bibir jurangmu
-Dee, supernova 2-
tak mungkin bisa tergambar wajahmu tanpa mengenang sebentuk senyum yang tak pernah lekang dari bibir, bahkan ketika gusar meraja atau rindu meraja, inikah rasanya jatuh cinta? atau cuma sekedar kapur kapur bisu yang mencoba menggarami lautan hati?
tak mungkin bisa terdesis bisikan kasih ditelingamu tanpa mengenang betapa kamu berarti buatku, bahkan ketika kecewa datang dan aku tidak lagi tau kemana aku harus menapak. Kulihat sepotong luka menganga dihatimu, adakah kau liat borok borok yang mulai mengering di hatiku
ayo ayo saling tertaut, hingga sirna bibirnya di bibir kita
tak mungkin bisa terdesis bisikan kasih ditelingamu tanpa mengenang betapa kamu berarti buatku, bahkan ketika kecewa datang dan aku tidak lagi tau kemana aku harus menapak. Kulihat sepotong luka menganga dihatimu, adakah kau liat borok borok yang mulai mengering di hatiku
ayo ayo saling tertaut, hingga sirna bibirnya di bibir kita
aku jatuh cinta,
pada sesosok lelaki dimana tak pernah terbayang akan begini jadinya,
lara tak lagi ada,
hanya rindu yang jadi raja
aku jatuh cinta,
pada sesosok lelaki yang hadir bersama masa,
bibir senandungkan gita
mungkinkah dia juga sama?
aku jatuh cinta,
pada sesosok lelaki penuh tawa,
kumbang madu berdenging di telinga
mungkinkah ada asmara?
amboi .. indahnya
pada sesosok lelaki dimana tak pernah terbayang akan begini jadinya,
lara tak lagi ada,
hanya rindu yang jadi raja
aku jatuh cinta,
pada sesosok lelaki yang hadir bersama masa,
bibir senandungkan gita
mungkinkah dia juga sama?
aku jatuh cinta,
pada sesosok lelaki penuh tawa,
kumbang madu berdenging di telinga
mungkinkah ada asmara?
amboi .. indahnya
oxymoron
di sebuah pasar seni,
yang sebenarnya bukan pasar seni.
Hai, Kau!
siapa diriMu?
siapa mereka, yang melukisMu, dari kata-kataMu.
lalu dengan lantang berkata "lukisanku yang paling benar!" "lukisan ku yang paling indah!"
sementara Kau tak tunjukkan wajahMu ke mereka.
lalu mereka berkata lagi,
"Dia ingin kau membeli lukisan dariku, tahu?"
(tidak, aku tidak tahu, dan mungkin tak akan pernah dengan pasti tahu )
"lihat lukisan ini, Obyekku pasti murka bila kau tidak beli lukisanku ini!!"
(sejak kapan Kau jadi Obyek?)
dan mereka bungah
mereka tersenyum-senyum sendiri melihat sketsaMu di kanvas mereka
"Ayo beli, biar kamu bisa ikut senyum-senyum juga!"
"Jangan lihat lukisan lain! Lukisan yang lain cacat!"
"Jangan contoh cara mereka melukis! yang benar adalah lukisanku!"
(aku muak!)
hei Kau yang (katanya) mereka lukis!
lihat mereka!
di pojok-pojok lukisan itu mereka cantumkan kaligrafi (yang kata mereka) kata-kata Mu.
(mereka bilang kaligrafi itu makna sebenarnya dari tulisanMu dulu )
Yang satu, dengan mata merah;
" Kata-kata ini milik Dia, jangan kau berani melanggarnya!"
Yang lain;
"Jangan bodoh, kata-kata Dia ada di lukisanku ini!"
(benar-benar muak!)
Di pojok pasar, seorang pelukis tua sedang berteriak-teriak lantang;
"tak usah lihat kiri-kanan! yang lain itu salah! tak perlu kita tengok lagi yang salah!"
lalu dia mulai melukis, dan lukisan si tua sama mencongnya dengan lukisan pelukis di sebelahnya
(kalau berani menengok, mungkin salahnya tak akan sama)
(tapi benarkah mencong itu salah?)
(apakah berbeda itu salah?)
Lukisan mereka sempurna, digjaya.
(itu, sekali lagi, kata mereka)
padahal mereka manusia
di sebuah pasar seni,
yang sebenarnya bukan pasar seni.
Hai, Kau!
siapa diriMu?
siapa mereka, yang melukisMu, dari kata-kataMu.
lalu dengan lantang berkata "lukisanku yang paling benar!" "lukisan ku yang paling indah!"
sementara Kau tak tunjukkan wajahMu ke mereka.
lalu mereka berkata lagi,
"Dia ingin kau membeli lukisan dariku, tahu?"
(tidak, aku tidak tahu, dan mungkin tak akan pernah dengan pasti tahu )
"lihat lukisan ini, Obyekku pasti murka bila kau tidak beli lukisanku ini!!"
(sejak kapan Kau jadi Obyek?)
dan mereka bungah
mereka tersenyum-senyum sendiri melihat sketsaMu di kanvas mereka
"Ayo beli, biar kamu bisa ikut senyum-senyum juga!"
"Jangan lihat lukisan lain! Lukisan yang lain cacat!"
"Jangan contoh cara mereka melukis! yang benar adalah lukisanku!"
(aku muak!)
hei Kau yang (katanya) mereka lukis!
lihat mereka!
di pojok-pojok lukisan itu mereka cantumkan kaligrafi (yang kata mereka) kata-kata Mu.
(mereka bilang kaligrafi itu makna sebenarnya dari tulisanMu dulu )
Yang satu, dengan mata merah;
" Kata-kata ini milik Dia, jangan kau berani melanggarnya!"
Yang lain;
"Jangan bodoh, kata-kata Dia ada di lukisanku ini!"
(benar-benar muak!)
Di pojok pasar, seorang pelukis tua sedang berteriak-teriak lantang;
"tak usah lihat kiri-kanan! yang lain itu salah! tak perlu kita tengok lagi yang salah!"
lalu dia mulai melukis, dan lukisan si tua sama mencongnya dengan lukisan pelukis di sebelahnya
(kalau berani menengok, mungkin salahnya tak akan sama)
(tapi benarkah mencong itu salah?)
(apakah berbeda itu salah?)
Lukisan mereka sempurna, digjaya.
(itu, sekali lagi, kata mereka)
padahal mereka manusia
17 Desember 2002
Kala Kabut Telah Pulang
Entah apa yang menyebabkan kami hanya berdiam diri padahal sebelumnya tak ada kata yang salah ucap atau tingkah tak pada tempatnya, tak mungkin ada kecemburuan atau bibit perselingkuhan yang terkuak, wong bercerita panjang saja belum dinaskahkan, hanya sebatas kenal dia bernama gadis, ya, teman sepupuku yang berbaur menikmati indahnya kebun teh yang luas telanjang di depan.
Aku hanya bisa curi pandang selama itu tak dilarang, mencuri hatinya baru niatan sebelum akhirnya aku jadi penjahat pencuri jiwanya, ‘kan ku kurung di kamar-kamar hatiku yang tak berbatas karena hukum nabi pun tak mampu pancung niatan ku sebab kejahatan yang satu ini tak bersaksi, alibiku tercetak pada delapan penjuru angin, geraknya tiada berbayang bersama waktu kan tersusun ingin, pinta dan harap tindik menindik menjelma menjadi buku hidup.
Wujudmu tak samar jelas ada di antara empat tubuh yang mengantarai kita, memandang kabut yang malas turun menyembah pada embun-embun yang kian menua, aaaahhh…… mungkin seperti itulah harapku engkau hadir di balik kabut itu, berdiri, kan kuhampiri tubuhmu. Ijinkan aku menyeka embun yang nakal hinggap di rambut hitammu, lengkaplah sudah keindahan senyummu kelak saat jemariku usai mengusap tetes air yang bergulir ke pipimu.
Tapi bayangmu tak kujumpai di sana, hanya tapak-tapak kecil yang lincah berlari menyusuri jalan setapak di antara kumpulan pohon-pohon teh dan tangisan langit yang lalu melukis jejak sungguh pasti. Sungguh lincah langkahmu tinggalkan aku yang kian merapuh mencoba mengendus gerakmu, mungkinkah aku yang lama menepi mampu telusuri irama hatimu sementara cinta bagiku bukan lagi bagai permen yang hanya mampu meninggalkan manis atau asam di bibir saja. Bagiku cinta seperti buah larangan di taman eden yang dikerat oleh hawa dan adam, setelahnya kita sadar telanjang, sadar ‘tuk berniat sama, menjalani kutukan bersama, bukan sekedar mabuk oleh dawai-dawai petikan cinta dan jikalau nada menjadi sumbang kita ‘kan pasrah menyerah pada jalan yang bercabang-cabang.
Lambat laun langkahmu dapat kutarikan, tarian lalu yang pernah racuni sendi-sendi lututku, terjerembab di langkah terakhir. Kini tak kaku lagi, wangi tubuhmu terserak pada dada yang berguncang hebat, oleh ketidaksadaran mungkin atau keragu-raguan? Otakku menepis semua kepasrahan, selagi hidup bukan kendi-kedi berlubang, tak ada waktu tersisa.
* * * *
Tak terasa baju hangat ini kian menipis, angin nakal mencubit tubuhku, menyelesap lalui pori-pori membius kulit. Hangat tubuh kian terhantar keluar menjadi sama dinginnya dengan angin yang lalu. Angin itu membawa teman, kabut yang masih bermantel putih, kian lama kian manja menari di antara daun-daun teh yang pasrah pada pelukan alam.
Tapi di mata lelaki itu aku jumpai kehangatan, ribuan binar-binar yang terbang pada setiap pandangan. Adakah pemilik tanur keabadian itu? Seseorang yang setia menjaga ranting-ranting tetap marak melelehkan kebekuan. Keteduhan yang menghangatkan. Bila Tuhan ijinkan biarlah mata itu dikutuk menjadi milikku saja.
Kabut ya tetap kabut yang masih putih, entah dari mana mereka bertiup yang pasti lereng dan lembah juga bebukitan kian terwarnai. Tutupi pandangan bagi kaum pejalan yang lama merindukan teduhnya sebuah naungan, ya rumah keabadian. Peneduh yang lama aku impikan di usiaku yang masih belia, tapi aku masih was-was pada bayang-bayang di antara asap putih yang tersamar. Aku bukan kaum peragu, aku telah membangun rumah jiwa dari mimpi-mimpi. Sketsanya sungguh jelas, pondasinya kuat menahan, dinding dan atapnya tak tergoyahkan. Kesetiaan bagi mereka yang ingin bernanung di dalamnya bersamaku.
Penantianku di kursi tua di depan pendiangan api tak berbekas nyanyi, hanya percik-percik ranting yang terbakar dan suara angin kian mengusik di luar sana. Jendela telah terkunci rapat, tak kan ada suara dentuman daunnya yang saling menghantam, hanya sesekali burung hantu mencoba menggoda nakal. Akankah ada jejak-jejak melangkah mendekati pintu dan mengetuk? Andai ada suara yang memanggil namaku, kan ku buka baginya. Sebab rumahku tak bernama, tentu ia telah mengenalku. Dan biarlah di depan pendiangan ini aku berbagi kehangatan, mengisi kekosongan waktu yang kian menambah tebal debu-debu di peraduan. Merajut cerita kalahkan simpul-simpul di sudut-sudut langit rumah milik laba-laba hitam.
Oh, mungkin aku meracau. Mana mungkin ada petualang mampu tembusi badai kabut tebal itu. Langkah mereka akan terseok-seok terjegal akar-akar kayu yang lama menyelonjorkan zaman, kelelahan. Sementara mata angin lama tertidur, berputar bersama mimpinya. Mencariku adalah kesia-siaan bila mata hatinya tak lagi menjadi lentera. Dan aku bukan puan kaum penggoda yang menyalakan api unggun di padang yang luas terbuka. Aku tak mampu menjadi penari-penari bagai dewi-dewi turun ke bumi mandi di pancuran menjadi incaran kaum pengintai cinta.
Biarlah rumah jiwaku tersembunyi, rapat menjadi teka-teki bagi kejujuran cinta. Walau penat memakan waktu sendiri, tapi aku yakin akan ada langkah yang menghampiri. Seperti di detik ketika penantianku buyar di keping-keping keraguan, engkau berdiri di depan pintu hatiku. Melangkah pada tempat tubuhku bersandar. Engkau mengenaliku, mengucap nama dan menawarkan kehangatan yang aku rindukan. Matamu melelehkan penantian, menguap jauh bimbang.
Kala kabut telah pulang, engkau berkata, “Gadis, pakai baju hangat milikku ini. Kau kelihatannya mengigil sejak tadi. Mari kita pulang, teman-teman telah menunggu di mobil.”
Puncak, 7desember2002
Entah apa yang menyebabkan kami hanya berdiam diri padahal sebelumnya tak ada kata yang salah ucap atau tingkah tak pada tempatnya, tak mungkin ada kecemburuan atau bibit perselingkuhan yang terkuak, wong bercerita panjang saja belum dinaskahkan, hanya sebatas kenal dia bernama gadis, ya, teman sepupuku yang berbaur menikmati indahnya kebun teh yang luas telanjang di depan.
Aku hanya bisa curi pandang selama itu tak dilarang, mencuri hatinya baru niatan sebelum akhirnya aku jadi penjahat pencuri jiwanya, ‘kan ku kurung di kamar-kamar hatiku yang tak berbatas karena hukum nabi pun tak mampu pancung niatan ku sebab kejahatan yang satu ini tak bersaksi, alibiku tercetak pada delapan penjuru angin, geraknya tiada berbayang bersama waktu kan tersusun ingin, pinta dan harap tindik menindik menjelma menjadi buku hidup.
Wujudmu tak samar jelas ada di antara empat tubuh yang mengantarai kita, memandang kabut yang malas turun menyembah pada embun-embun yang kian menua, aaaahhh…… mungkin seperti itulah harapku engkau hadir di balik kabut itu, berdiri, kan kuhampiri tubuhmu. Ijinkan aku menyeka embun yang nakal hinggap di rambut hitammu, lengkaplah sudah keindahan senyummu kelak saat jemariku usai mengusap tetes air yang bergulir ke pipimu.
Tapi bayangmu tak kujumpai di sana, hanya tapak-tapak kecil yang lincah berlari menyusuri jalan setapak di antara kumpulan pohon-pohon teh dan tangisan langit yang lalu melukis jejak sungguh pasti. Sungguh lincah langkahmu tinggalkan aku yang kian merapuh mencoba mengendus gerakmu, mungkinkah aku yang lama menepi mampu telusuri irama hatimu sementara cinta bagiku bukan lagi bagai permen yang hanya mampu meninggalkan manis atau asam di bibir saja. Bagiku cinta seperti buah larangan di taman eden yang dikerat oleh hawa dan adam, setelahnya kita sadar telanjang, sadar ‘tuk berniat sama, menjalani kutukan bersama, bukan sekedar mabuk oleh dawai-dawai petikan cinta dan jikalau nada menjadi sumbang kita ‘kan pasrah menyerah pada jalan yang bercabang-cabang.
Lambat laun langkahmu dapat kutarikan, tarian lalu yang pernah racuni sendi-sendi lututku, terjerembab di langkah terakhir. Kini tak kaku lagi, wangi tubuhmu terserak pada dada yang berguncang hebat, oleh ketidaksadaran mungkin atau keragu-raguan? Otakku menepis semua kepasrahan, selagi hidup bukan kendi-kedi berlubang, tak ada waktu tersisa.
* * * *
Tak terasa baju hangat ini kian menipis, angin nakal mencubit tubuhku, menyelesap lalui pori-pori membius kulit. Hangat tubuh kian terhantar keluar menjadi sama dinginnya dengan angin yang lalu. Angin itu membawa teman, kabut yang masih bermantel putih, kian lama kian manja menari di antara daun-daun teh yang pasrah pada pelukan alam.
Tapi di mata lelaki itu aku jumpai kehangatan, ribuan binar-binar yang terbang pada setiap pandangan. Adakah pemilik tanur keabadian itu? Seseorang yang setia menjaga ranting-ranting tetap marak melelehkan kebekuan. Keteduhan yang menghangatkan. Bila Tuhan ijinkan biarlah mata itu dikutuk menjadi milikku saja.
Kabut ya tetap kabut yang masih putih, entah dari mana mereka bertiup yang pasti lereng dan lembah juga bebukitan kian terwarnai. Tutupi pandangan bagi kaum pejalan yang lama merindukan teduhnya sebuah naungan, ya rumah keabadian. Peneduh yang lama aku impikan di usiaku yang masih belia, tapi aku masih was-was pada bayang-bayang di antara asap putih yang tersamar. Aku bukan kaum peragu, aku telah membangun rumah jiwa dari mimpi-mimpi. Sketsanya sungguh jelas, pondasinya kuat menahan, dinding dan atapnya tak tergoyahkan. Kesetiaan bagi mereka yang ingin bernanung di dalamnya bersamaku.
Penantianku di kursi tua di depan pendiangan api tak berbekas nyanyi, hanya percik-percik ranting yang terbakar dan suara angin kian mengusik di luar sana. Jendela telah terkunci rapat, tak kan ada suara dentuman daunnya yang saling menghantam, hanya sesekali burung hantu mencoba menggoda nakal. Akankah ada jejak-jejak melangkah mendekati pintu dan mengetuk? Andai ada suara yang memanggil namaku, kan ku buka baginya. Sebab rumahku tak bernama, tentu ia telah mengenalku. Dan biarlah di depan pendiangan ini aku berbagi kehangatan, mengisi kekosongan waktu yang kian menambah tebal debu-debu di peraduan. Merajut cerita kalahkan simpul-simpul di sudut-sudut langit rumah milik laba-laba hitam.
Oh, mungkin aku meracau. Mana mungkin ada petualang mampu tembusi badai kabut tebal itu. Langkah mereka akan terseok-seok terjegal akar-akar kayu yang lama menyelonjorkan zaman, kelelahan. Sementara mata angin lama tertidur, berputar bersama mimpinya. Mencariku adalah kesia-siaan bila mata hatinya tak lagi menjadi lentera. Dan aku bukan puan kaum penggoda yang menyalakan api unggun di padang yang luas terbuka. Aku tak mampu menjadi penari-penari bagai dewi-dewi turun ke bumi mandi di pancuran menjadi incaran kaum pengintai cinta.
Biarlah rumah jiwaku tersembunyi, rapat menjadi teka-teki bagi kejujuran cinta. Walau penat memakan waktu sendiri, tapi aku yakin akan ada langkah yang menghampiri. Seperti di detik ketika penantianku buyar di keping-keping keraguan, engkau berdiri di depan pintu hatiku. Melangkah pada tempat tubuhku bersandar. Engkau mengenaliku, mengucap nama dan menawarkan kehangatan yang aku rindukan. Matamu melelehkan penantian, menguap jauh bimbang.
Kala kabut telah pulang, engkau berkata, “Gadis, pakai baju hangat milikku ini. Kau kelihatannya mengigil sejak tadi. Mari kita pulang, teman-teman telah menunggu di mobil.”
Puncak, 7desember2002
16 Desember 2002
Kepada sahabat2ku yang ............LAJANG. Cinta ibarat kupu2.
Makin kau kejar, makin ia menghindar.
Tapi bila kau biarkan ia terbang, ia akan menghampirimu disaat kau tak menduganya.
Cinta bisa membahagiakanmu tapi sering pula ia menyakiti, tapi cinta itu hanya istimewa apabila kau berikan pada seseorang yang layak menerima.
Jadi tenang2 saja, jangan ter-buru2 dan pilihlah yang terbaik.
Kepada sahabat2ku yang ............TIDAK BEGITU LAJANG
Cinta bukannya perkara menjadi 'orang sempurna'nya seseorang. Justru perkara menemukan seseorang yang bisa membantumu menjadikan dirimu menjadi sesempurnanya.
Kepada sahabat2ku yang ............TIPE PLAYBOY /PLAYGIRL.
Jangan katakan 'Aku cinta padamu' bila kau tidak benar2 peduli.
Jangan bicarakan soal perasaan2 bila itu tidak benar2 ada.
Jangan kau sentuh hidup seseorang bila kau berniat mematahkan hati. Jangan menatap kedalam mata bila apa yang kau kerjakan cuma berbohong.
Hal terkejam yang bisa dilakukan ialah membuat seseorang jatuh cinta, padahal kau tidak berniat samasekali 'tuk menerimanya saat ia terjatuh.........
Kepada sahabat2ku yang ............SUDAH MENIKAH.
Cinta bukan urusan 'Ini salahmu!', tapi 'Maafkan aku, ya?'. Bukan 'Kau
dimana!', melainkan 'Aku disini, kenapa?' Bukan 'Kok bisa sih kau
begitu!' tapi 'Aku ngerti.' Dan juga bukan 'Coba, seandainya kau...'
akan tetapi 'Terima Kasih ya, kau begitu.....'
Kepada sahabat2ku yang ............BERTUNANGAN
Tolok ukur saling mencocoki bukanlah berapa lamanya waktu yang kalian habiskan bersama, melainkan untuk berapa saling baiknya anda berdua.
Kepada sahabat2ku yang ............PATAH HATI
Sakit patah hati bertahan selama kau menginginkannya dan akan mengiris luka sedalam kau membiarkannya.
Tantangannya bukanlah bagaimana bisa mengatasi melainkan apa yang bisa diambil sebagai pelajaran dan hikmatnya.
Kepada sahabat2ku yang ............NAIF
Bagaimana kalau jatuh cinta: Mau jatuh jatuhlah tapi jangan sampai
terjerumus, tetaplah konsisten tapi jangan terlalu 'ngotot', Berbagilah
dan jangan sekali2 tidak fair, berpengertianlah dan cobalah untuk tidak
menuntut, siap2lah untuk terluka dan menderita, tapi jangan kau simpan semua rasa sakitmu itu.
Kepada sahabat2ku yang ............MENGUASAI
Hatimu patah melihat yang kau cintai berbahagia dengan orang lain, tapi akan lebih sakit lagi mengetahui bahwa yang kau cintai ternyata tidak bahagia denganmu.
Kepada sahabat2ku yang ............TAKUT MENGAKUI
Cinta menyakitkan bila anda putuskan hubungan dengan seseorang.
Itu malah lebih sakit lagi bila seseorang memutuskan hubungan denganmu.
Tapi cinta paling menyakitkan bila orang yang kau cintai samasekali
tidak mengetahui perasaanmu [terhadapnya].
Kepada sahabat2ku yang ............MASIH BERTAHAN
Hal menyedihkan dalam hidup ialah bila kau bertemu seseorang lalu jatuh cinta, hanya kemudian pada akhirnya menyadari bahwa dia bukanlah jodoh Mu dan kau telah menyiakan ber-tahun2 untuk seseorang yang tidak layak.
Kalau sekarangpun ia sudah tak layak, 10 tahun dari sekarangpun ia juga tak akan layak.
Biarkan dia pergi, lupakan.......
Makin kau kejar, makin ia menghindar.
Tapi bila kau biarkan ia terbang, ia akan menghampirimu disaat kau tak menduganya.
Cinta bisa membahagiakanmu tapi sering pula ia menyakiti, tapi cinta itu hanya istimewa apabila kau berikan pada seseorang yang layak menerima.
Jadi tenang2 saja, jangan ter-buru2 dan pilihlah yang terbaik.
Kepada sahabat2ku yang ............TIDAK BEGITU LAJANG
Cinta bukannya perkara menjadi 'orang sempurna'nya seseorang. Justru perkara menemukan seseorang yang bisa membantumu menjadikan dirimu menjadi sesempurnanya.
Kepada sahabat2ku yang ............TIPE PLAYBOY /PLAYGIRL.
Jangan katakan 'Aku cinta padamu' bila kau tidak benar2 peduli.
Jangan bicarakan soal perasaan2 bila itu tidak benar2 ada.
Jangan kau sentuh hidup seseorang bila kau berniat mematahkan hati. Jangan menatap kedalam mata bila apa yang kau kerjakan cuma berbohong.
Hal terkejam yang bisa dilakukan ialah membuat seseorang jatuh cinta, padahal kau tidak berniat samasekali 'tuk menerimanya saat ia terjatuh.........
Kepada sahabat2ku yang ............SUDAH MENIKAH.
Cinta bukan urusan 'Ini salahmu!', tapi 'Maafkan aku, ya?'. Bukan 'Kau
dimana!', melainkan 'Aku disini, kenapa?' Bukan 'Kok bisa sih kau
begitu!' tapi 'Aku ngerti.' Dan juga bukan 'Coba, seandainya kau...'
akan tetapi 'Terima Kasih ya, kau begitu.....'
Kepada sahabat2ku yang ............BERTUNANGAN
Tolok ukur saling mencocoki bukanlah berapa lamanya waktu yang kalian habiskan bersama, melainkan untuk berapa saling baiknya anda berdua.
Kepada sahabat2ku yang ............PATAH HATI
Sakit patah hati bertahan selama kau menginginkannya dan akan mengiris luka sedalam kau membiarkannya.
Tantangannya bukanlah bagaimana bisa mengatasi melainkan apa yang bisa diambil sebagai pelajaran dan hikmatnya.
Kepada sahabat2ku yang ............NAIF
Bagaimana kalau jatuh cinta: Mau jatuh jatuhlah tapi jangan sampai
terjerumus, tetaplah konsisten tapi jangan terlalu 'ngotot', Berbagilah
dan jangan sekali2 tidak fair, berpengertianlah dan cobalah untuk tidak
menuntut, siap2lah untuk terluka dan menderita, tapi jangan kau simpan semua rasa sakitmu itu.
Kepada sahabat2ku yang ............MENGUASAI
Hatimu patah melihat yang kau cintai berbahagia dengan orang lain, tapi akan lebih sakit lagi mengetahui bahwa yang kau cintai ternyata tidak bahagia denganmu.
Kepada sahabat2ku yang ............TAKUT MENGAKUI
Cinta menyakitkan bila anda putuskan hubungan dengan seseorang.
Itu malah lebih sakit lagi bila seseorang memutuskan hubungan denganmu.
Tapi cinta paling menyakitkan bila orang yang kau cintai samasekali
tidak mengetahui perasaanmu [terhadapnya].
Kepada sahabat2ku yang ............MASIH BERTAHAN
Hal menyedihkan dalam hidup ialah bila kau bertemu seseorang lalu jatuh cinta, hanya kemudian pada akhirnya menyadari bahwa dia bukanlah jodoh Mu dan kau telah menyiakan ber-tahun2 untuk seseorang yang tidak layak.
Kalau sekarangpun ia sudah tak layak, 10 tahun dari sekarangpun ia juga tak akan layak.
Biarkan dia pergi, lupakan.......
Mereka Menguliti Bulan
--- menuju revolusi di bulan ke enam
Nafas malam itu
bukan lagi sebuah tafsir.
Tidur sudah terjaga, kunang-kunang
berlutut di kelahirannya.
Suara-suara menjadi batu
di tiap detik yang membunting jadi gunung.
Kian melambung, kian membumbung,
nasib tak mau lagi disunting.
Kuali retak tak bisa menanak.
Teranak perih bayi-bayi dendam
berkalung kapak-kapak.
Bernama massa, mereka merangkak.
Nurani terpanah di satu titik.
Malam ini,
nafas bukan lagi sebuah tafsir.
Di mulut gunung
kapak-kapak teracung
menguliti bulan
di purnama yang ke enam.
Bernama kota tak berbekas.
Darah berbayang di rembulan
--- menuju revolusi di bulan ke enam
Nafas malam itu
bukan lagi sebuah tafsir.
Tidur sudah terjaga, kunang-kunang
berlutut di kelahirannya.
Suara-suara menjadi batu
di tiap detik yang membunting jadi gunung.
Kian melambung, kian membumbung,
nasib tak mau lagi disunting.
Kuali retak tak bisa menanak.
Teranak perih bayi-bayi dendam
berkalung kapak-kapak.
Bernama massa, mereka merangkak.
Nurani terpanah di satu titik.
Malam ini,
nafas bukan lagi sebuah tafsir.
Di mulut gunung
kapak-kapak teracung
menguliti bulan
di purnama yang ke enam.
Bernama kota tak berbekas.
Darah berbayang di rembulan
ajari aku mencinta
sebagaimana kumandang rindu selalu berbunyi nyaring di dada
membuai seperti senja di waktu kala
ajari aku arti airmata
seperti bening yang menetes dari kelopak jiwa
menusuk mengigiti remah remah rasa
dan ajari aku setia
untuk rela menelusuri setiap rasa yang tersisa
sampai mentari karam, hingga habis masa
sebagaimana kumandang rindu selalu berbunyi nyaring di dada
membuai seperti senja di waktu kala
ajari aku arti airmata
seperti bening yang menetes dari kelopak jiwa
menusuk mengigiti remah remah rasa
dan ajari aku setia
untuk rela menelusuri setiap rasa yang tersisa
sampai mentari karam, hingga habis masa
Kini Saatnya
Muda tiada lagi masa,
bila hari kian tua
keringkan jejak-jejak menuju
mimpi bunda.
Tiada waktu,
inilah saatnya.
Setelah musim menanggalkan jubahnya
borok kian membekas.
Pintu zaman lapuk oleh syair-syair.
Benteng itu sama tuanya
dengan sejarah yang kita ciptakan
Pada jalan yang kian samar
mata muda menuntun angin
rangkul bahu ayah dan bunda
jabat tangan kasar milik petani
cium asinnya keringat nelayan
bangkitkan sadar sang buruh
untai semua harap yang kian cemas
berbekas di ujung mata
Bila kita telah lurus berbaris
Apa lagi yang kita tunggu?
Muda tiada lagi masa,
bila hari kian tua
keringkan jejak-jejak menuju
mimpi bunda.
Tiada waktu,
inilah saatnya.
Setelah musim menanggalkan jubahnya
borok kian membekas.
Pintu zaman lapuk oleh syair-syair.
Benteng itu sama tuanya
dengan sejarah yang kita ciptakan
Pada jalan yang kian samar
mata muda menuntun angin
rangkul bahu ayah dan bunda
jabat tangan kasar milik petani
cium asinnya keringat nelayan
bangkitkan sadar sang buruh
untai semua harap yang kian cemas
berbekas di ujung mata
Bila kita telah lurus berbaris
Apa lagi yang kita tunggu?
satu lagi menggelepar
tanpa satu hingar bingar
mencoba kais surga di pagi yang terkapar
nanar
cakar semua ragu
pukul semua lugu
ludahi semua kelam
ini terlalu hitam
rumput mengaku bisu
malas ikuti tarian angin
embun lambat melayang dingin
jilati waktu yang sombong berlalu
pada suatu pagi yang memuakan
burung berkicau bagai teriakan
kesia-siaan kehidupan
dan dia memberanikan diri mengingat Tuhan.
tanpa satu hingar bingar
mencoba kais surga di pagi yang terkapar
nanar
cakar semua ragu
pukul semua lugu
ludahi semua kelam
ini terlalu hitam
rumput mengaku bisu
malas ikuti tarian angin
embun lambat melayang dingin
jilati waktu yang sombong berlalu
pada suatu pagi yang memuakan
burung berkicau bagai teriakan
kesia-siaan kehidupan
dan dia memberanikan diri mengingat Tuhan.
15 Desember 2002
ada yang mengkerut
saat waktu memanjang
seperti penis susut
setelah persetubuhan panjang
ada yang menciut
pandang lalu, sekarang , depan adalah beguganjang
birahi tuak adalah selimut
hati yang selalu menggelinjang
tak selamanya adalah kijang
melompat bebas bak terbang
berjejak di batu gunung menjulang
susuri lembah penuh tualang
suatu suara lantang
"segala sesuatu di bawah matahari adalah menjaring angin"
menggugah hati tertantang
"ada apa di seberang hidup penuh ingin ?"
saat waktu memanjang
seperti penis susut
setelah persetubuhan panjang
ada yang menciut
pandang lalu, sekarang , depan adalah beguganjang
birahi tuak adalah selimut
hati yang selalu menggelinjang
tak selamanya adalah kijang
melompat bebas bak terbang
berjejak di batu gunung menjulang
susuri lembah penuh tualang
suatu suara lantang
"segala sesuatu di bawah matahari adalah menjaring angin"
menggugah hati tertantang
"ada apa di seberang hidup penuh ingin ?"
13 Desember 2002
Beribu-ribu perahu bambu, mengalirlah dari selokan, ke aliran sungai, temukan liukmu antara pusaran, karang kecil, hamparan air yang terselimuti kelopak-kelopak bunga luruh, bayang-bayang batang pohon.
[mengalirlah... mengalirlah]
Beratus-ratus ribu bangau kertas, baiklah jemari tangan ini menekuk, seperti kepalaku tertunduk, terpeta dalam setiap lipatan, sepenuh tulus, meluapi imaji satu demi satu, berserakanlah harapan terbuai awang..
[terbanglah... terbanglah]
Berjuta-juta lampion warna-warni, beriaplah bagai kunang-kunang baluri pekat ini, genangi tiap kenangan yang masih menghampar, saat ini, tak akan ada abu debu yang menggumpali kesedihan menjauh, tersia-sia..
[bersinarlah... bersinarlah cemerlang]
Beruntai-untai kata, biarlah sampai padamu malam ini,
sebab hanya ini yang kupunya...
[mengalirlah... mengalirlah]
Beratus-ratus ribu bangau kertas, baiklah jemari tangan ini menekuk, seperti kepalaku tertunduk, terpeta dalam setiap lipatan, sepenuh tulus, meluapi imaji satu demi satu, berserakanlah harapan terbuai awang..
[terbanglah... terbanglah]
Berjuta-juta lampion warna-warni, beriaplah bagai kunang-kunang baluri pekat ini, genangi tiap kenangan yang masih menghampar, saat ini, tak akan ada abu debu yang menggumpali kesedihan menjauh, tersia-sia..
[bersinarlah... bersinarlah cemerlang]
Beruntai-untai kata, biarlah sampai padamu malam ini,
sebab hanya ini yang kupunya...
seorang sahabatmu menjumpaiku semalam, dan dia mulai bertanya tentang apa kabarmu
aku tidak tau apa yang harus aku jawab,
haruskah aku bilang kalau sudah lama kita tidak bersua? haruskah kubilang kalau lebih baik dia bertanya pada kekasihmu? atau harus kujawab kamu baik-baik saja (karena aku benar2 tau kalau kamu bahagia sekarang sayang)
akhirnya kuputuskan untuk menjawab pilihan pertama, bahwa sudah lama kita tidak bercakap, kabarmu hambur dicerca gerimis, walau jujur, masih sering terkilas bayangmu disini.
Seorang sahabatmu menjumpaiku semalam, bertanya tentang kebenaran kabar tentang kehamilanku
aku tidak tau apa yang harus aku jawab,
haruskah aku bilang iya? haruskah kujawab tidak? atau sesungging senyum cukup untuknya?
dan sekali lagi kuputuskan untuk menjawab benar, walau aku tau tak mungkin kusebutkan siapa ayahnya ..
entah, dia menebak ayahnya itu kamu, lalu aku tertawa .. bukan hanya tertawa, terbahak bahak lebih tepatnya .. karena aku tau .. aku tidak seberuntung itu punya kenangan seorang anak darimu
Lalu dia terkejut, saat kubilang tak ada ayah untuk bayiku .. ditutupinya dengan canda, bahwa dia mau jadi ayah angkatnya ..
tidak tau, menangis atau tertawa yang harus kulakukan .. bagaimana mungkin kuberi tau ... bahwa ayah bayiku lelaki tua beranak dua?
Tidak, tidak mungkin aku gugurkan ..
karena toh ini darah dagingku ..
pssst pssst .. kuberi tau satu rahasia, bahwa aku bercinta sambil mengenang baumu
bahwa orgasme ku itu sambil mengerang namamu .. jadi jangan heran, kalau anakku ini nanti mirip kamu
dua botol vodka hampir kosong, televisi tanpa suara, dan pakaian dalam berserakan,
masih di hotel itu .. sayangnya tak ada kamar kita dulu .. dan lebih lagi, lelaki itu bukan kamu ..
tapi toh sosokmu masih nanar di mataku, cinta cinta cinta .. cinta kamu masih seperti dulu
rindu rindu rindu ..bisikan rindumu masih berdenging di rumah siputku
seorang sahabatmu menemuiku, mengucap selamat tanya kapan aku menikah ..
aku mengangkat bahu dan berucap satu kata, "aku hanya ingin punya anak tanpa suami" (masih ingatkah perkataan ini?)
laki laki perempuan tidak masalah, varell jika lelaki, kirana jika perempuan..
jangan takut .. akan kuajar mereka sepintarmu, main musik, berdebat, dan berorganisasi ..
seorang sahabatmu menemuiku ..
bertanya bertanya dan terus bertanya
tapi aku? masih saja orgasme .. akan kenanganku yang membludak akanmu
aku tidak tau apa yang harus aku jawab,
haruskah aku bilang kalau sudah lama kita tidak bersua? haruskah kubilang kalau lebih baik dia bertanya pada kekasihmu? atau harus kujawab kamu baik-baik saja (karena aku benar2 tau kalau kamu bahagia sekarang sayang)
akhirnya kuputuskan untuk menjawab pilihan pertama, bahwa sudah lama kita tidak bercakap, kabarmu hambur dicerca gerimis, walau jujur, masih sering terkilas bayangmu disini.
Seorang sahabatmu menjumpaiku semalam, bertanya tentang kebenaran kabar tentang kehamilanku
aku tidak tau apa yang harus aku jawab,
haruskah aku bilang iya? haruskah kujawab tidak? atau sesungging senyum cukup untuknya?
dan sekali lagi kuputuskan untuk menjawab benar, walau aku tau tak mungkin kusebutkan siapa ayahnya ..
entah, dia menebak ayahnya itu kamu, lalu aku tertawa .. bukan hanya tertawa, terbahak bahak lebih tepatnya .. karena aku tau .. aku tidak seberuntung itu punya kenangan seorang anak darimu
Lalu dia terkejut, saat kubilang tak ada ayah untuk bayiku .. ditutupinya dengan canda, bahwa dia mau jadi ayah angkatnya ..
tidak tau, menangis atau tertawa yang harus kulakukan .. bagaimana mungkin kuberi tau ... bahwa ayah bayiku lelaki tua beranak dua?
Tidak, tidak mungkin aku gugurkan ..
karena toh ini darah dagingku ..
pssst pssst .. kuberi tau satu rahasia, bahwa aku bercinta sambil mengenang baumu
bahwa orgasme ku itu sambil mengerang namamu .. jadi jangan heran, kalau anakku ini nanti mirip kamu
dua botol vodka hampir kosong, televisi tanpa suara, dan pakaian dalam berserakan,
masih di hotel itu .. sayangnya tak ada kamar kita dulu .. dan lebih lagi, lelaki itu bukan kamu ..
tapi toh sosokmu masih nanar di mataku, cinta cinta cinta .. cinta kamu masih seperti dulu
rindu rindu rindu ..bisikan rindumu masih berdenging di rumah siputku
seorang sahabatmu menemuiku, mengucap selamat tanya kapan aku menikah ..
aku mengangkat bahu dan berucap satu kata, "aku hanya ingin punya anak tanpa suami" (masih ingatkah perkataan ini?)
laki laki perempuan tidak masalah, varell jika lelaki, kirana jika perempuan..
jangan takut .. akan kuajar mereka sepintarmu, main musik, berdebat, dan berorganisasi ..
seorang sahabatmu menemuiku ..
bertanya bertanya dan terus bertanya
tapi aku? masih saja orgasme .. akan kenanganku yang membludak akanmu
lalu kembali kuseru namamu dalam dedaunan mimpiku
mencoba merangka nama nama tanpa wajah yang terus menerus mengusik damai hati
membiarkannya meranggas untuk kemudian kembali membuahi asa
menjadikannya janin dalam rahimku, telur dalam buah zakarmu..
lalu siapa tau, mimpi mimpi kita akan kembali sekuat laba laba yang merekat benang-benang halus kepunyaannya
hatimu hancur, meski ku tau kau semat harap pada sebentuk utuh keluarga
lalu aku apa? tak pernah kudengar bibir manismu itu menggumam kata tentang kita,
benarkah gugur sudah tak bisa lagi dihindari, sedangkan beku beku masih menggigilkan sumsum mudaku
"ah, haruskah kubenci perempuan itu?" ayu wajahnya berkerudung merah muda
lalu kaupun mulai kembali menjilati buah dadaku, benarkah itu aku yang ada dihatimu?
"aku birahi .. olehmu", lalu apa .. toh dosaku itulah yang kelak harus dibawa buah hatiku sampai tua
sampai dedaunan itu menguning, mati terjatuh di tanah, dan mulai berbenih kembali ..
"Tak mungkin menikahimu, ada keluarga menungguku di lembah mimpi"
ya ya ya, aku mengerti, sangat mengerti lelakiku ..
sungguhpun kurelakan kemaluanmu mencicipi vaginaku,
tak berarti aku ingin lebih dari muntahan spermamu di rahimku
jadi simpanlah semua basa basimu .. tegaklah lagi viagramu .. belikan aku 2 botol lagi vodka,
tapi kali ini, aku ingin anak kembar
mencoba merangka nama nama tanpa wajah yang terus menerus mengusik damai hati
membiarkannya meranggas untuk kemudian kembali membuahi asa
menjadikannya janin dalam rahimku, telur dalam buah zakarmu..
lalu siapa tau, mimpi mimpi kita akan kembali sekuat laba laba yang merekat benang-benang halus kepunyaannya
hatimu hancur, meski ku tau kau semat harap pada sebentuk utuh keluarga
lalu aku apa? tak pernah kudengar bibir manismu itu menggumam kata tentang kita,
benarkah gugur sudah tak bisa lagi dihindari, sedangkan beku beku masih menggigilkan sumsum mudaku
"ah, haruskah kubenci perempuan itu?" ayu wajahnya berkerudung merah muda
lalu kaupun mulai kembali menjilati buah dadaku, benarkah itu aku yang ada dihatimu?
"aku birahi .. olehmu", lalu apa .. toh dosaku itulah yang kelak harus dibawa buah hatiku sampai tua
sampai dedaunan itu menguning, mati terjatuh di tanah, dan mulai berbenih kembali ..
"Tak mungkin menikahimu, ada keluarga menungguku di lembah mimpi"
ya ya ya, aku mengerti, sangat mengerti lelakiku ..
sungguhpun kurelakan kemaluanmu mencicipi vaginaku,
tak berarti aku ingin lebih dari muntahan spermamu di rahimku
jadi simpanlah semua basa basimu .. tegaklah lagi viagramu .. belikan aku 2 botol lagi vodka,
tapi kali ini, aku ingin anak kembar
12 Desember 2002
cerita setelah bangun tidur
:untuk kahar
sebenarnya aku tidak bermaksud menceritakanmu sebuah dongeng sesiang ini, sewaktu kita baru saja terbangun dari tidur kita yang begitu panjang setelah mengunci diri kita di dalam kamar berhari-hari lamanya, berpura-pura untuk kehilangan anak kuncinya walaupun terlihat jelas di luar kamar anak kunci itu selalu menempel begitu saja. tetapi ini memang bukan waktunya untuk mengukir sejarah, mencipta sejarah ataupun sebuah legenda. legenda yang entah memang nyata, pernah nyata atau tiada sama sekali hanya karangan mulut-mulut belaka.
aku teringat, satu kali sewaktu kita berposisi seperti ini, berpose seperti ini seperti patung maria atau maryam dan yesus atau isa setelah diturunkan dari salib kayu di gereja-gereja berlantai beku. dirimu yang tergolek begitu saja di pangkuanku dan berguman ibu. bisikan yang ditujukan kepada diriku seorang, bukan pada tembok atau jendela di sebelah kiri dan kanan kita. apakah kau begitu merindukan ibumu ataukah kau menganggap diriku sebagai pengganti ibumu. lalu mengapa kau tinggalkan pangkuannya sekarang setelah bertahun-tahun kau tidur di pangkuannya dan menemukan pangkuanku enam bulan purnama yang terakhir?
ini juga bukan waktunya untuk bermain menjadi ayah dan ibu, karena kita tidak sedang menginginkan seorang anak dan meragukan aborsi sebuah dosa. karena kita percaya reinkarnasi dan karma seperti budha, seperti hindu, seperti hindu-budha walau kita berada di tanah jawa, yang mengenal agama-agama melalui sansekerta, sehingga lahir hindu-jawa, budha-jawa, hindu-budha-jawa. karena lagi, kita akan menjadi agama apa saja, kita akan menjadi apa saja, ketika orang-orang di sekitar kita berusaha memisahkan kita karena alasan-alasan konyol yang sama sekali tidak beralasan, teriakmu setengah serius setengah bercanda. lalu anjing-anjing di luar berlolongan di siang sebolong siang ini, "asu!"katamu menyatakan sumpah serapahmu, "tongseng asu!"lagi katamu menyatakan rasa laparmu, tetapi sayangku jangan kau makan anjingku.
kita besar di antara dua lautan, maka kita sama-sama merindukan asinnya air laut mencuci muka kita. sepertinya ada saatnya kita bersama-sama menatap lautan, menatap laut-laut yang diarungi nenek moyang kita masing-masing. dari pulau ke pulau, dari samudera ke samudera, sampai tiba kita di belantara jawa. kencan mendadak setengah hari di pantai selatan jawa yang ombaknya hari itu terlalu mengerikan bahkan untuk dilihat sekalipun. tetapi tetap saja kita duduk di gundukan pasir itu berjam-jam lamanya, merenungi sesuatu, merenungi pasir-pasir biru, merenungi penyu-penyu di salah satu pertunjukan teater kota kita.
peta-peta kota menjadi buram, sewaktu bunyi motor melaju sedemikian rupa sampai kita lupa dimana letak rumah kita, kamar kita yang tanpa taman bunga itu. kita memang sama-sama penyuka jalanan, adakah kita akan mengarungi pulau ini berdua dengan berjalan di pinggiran pantai berhari-hari bahkan berbulan-bulan, pertama ke kampung halamanmu lalu setelah itu kita tentukan lautan mana berikutnya untuk diseberangi. hanya saja perlukah aku menyisakan remah-remah roti di sepanjang jalan agar masih ada jalan untuk menghindari kutukan-kutukan untuk tidak pulang.
:untuk kahar
sebenarnya aku tidak bermaksud menceritakanmu sebuah dongeng sesiang ini, sewaktu kita baru saja terbangun dari tidur kita yang begitu panjang setelah mengunci diri kita di dalam kamar berhari-hari lamanya, berpura-pura untuk kehilangan anak kuncinya walaupun terlihat jelas di luar kamar anak kunci itu selalu menempel begitu saja. tetapi ini memang bukan waktunya untuk mengukir sejarah, mencipta sejarah ataupun sebuah legenda. legenda yang entah memang nyata, pernah nyata atau tiada sama sekali hanya karangan mulut-mulut belaka.
aku teringat, satu kali sewaktu kita berposisi seperti ini, berpose seperti ini seperti patung maria atau maryam dan yesus atau isa setelah diturunkan dari salib kayu di gereja-gereja berlantai beku. dirimu yang tergolek begitu saja di pangkuanku dan berguman ibu. bisikan yang ditujukan kepada diriku seorang, bukan pada tembok atau jendela di sebelah kiri dan kanan kita. apakah kau begitu merindukan ibumu ataukah kau menganggap diriku sebagai pengganti ibumu. lalu mengapa kau tinggalkan pangkuannya sekarang setelah bertahun-tahun kau tidur di pangkuannya dan menemukan pangkuanku enam bulan purnama yang terakhir?
ini juga bukan waktunya untuk bermain menjadi ayah dan ibu, karena kita tidak sedang menginginkan seorang anak dan meragukan aborsi sebuah dosa. karena kita percaya reinkarnasi dan karma seperti budha, seperti hindu, seperti hindu-budha walau kita berada di tanah jawa, yang mengenal agama-agama melalui sansekerta, sehingga lahir hindu-jawa, budha-jawa, hindu-budha-jawa. karena lagi, kita akan menjadi agama apa saja, kita akan menjadi apa saja, ketika orang-orang di sekitar kita berusaha memisahkan kita karena alasan-alasan konyol yang sama sekali tidak beralasan, teriakmu setengah serius setengah bercanda. lalu anjing-anjing di luar berlolongan di siang sebolong siang ini, "asu!"katamu menyatakan sumpah serapahmu, "tongseng asu!"lagi katamu menyatakan rasa laparmu, tetapi sayangku jangan kau makan anjingku.
kita besar di antara dua lautan, maka kita sama-sama merindukan asinnya air laut mencuci muka kita. sepertinya ada saatnya kita bersama-sama menatap lautan, menatap laut-laut yang diarungi nenek moyang kita masing-masing. dari pulau ke pulau, dari samudera ke samudera, sampai tiba kita di belantara jawa. kencan mendadak setengah hari di pantai selatan jawa yang ombaknya hari itu terlalu mengerikan bahkan untuk dilihat sekalipun. tetapi tetap saja kita duduk di gundukan pasir itu berjam-jam lamanya, merenungi sesuatu, merenungi pasir-pasir biru, merenungi penyu-penyu di salah satu pertunjukan teater kota kita.
peta-peta kota menjadi buram, sewaktu bunyi motor melaju sedemikian rupa sampai kita lupa dimana letak rumah kita, kamar kita yang tanpa taman bunga itu. kita memang sama-sama penyuka jalanan, adakah kita akan mengarungi pulau ini berdua dengan berjalan di pinggiran pantai berhari-hari bahkan berbulan-bulan, pertama ke kampung halamanmu lalu setelah itu kita tentukan lautan mana berikutnya untuk diseberangi. hanya saja perlukah aku menyisakan remah-remah roti di sepanjang jalan agar masih ada jalan untuk menghindari kutukan-kutukan untuk tidak pulang.
11 Desember 2002
Sore bersandar pada lamunan
buat : W
Sore bersandar pada lamunan
sementara angin kian menggigil.
Hanya titah terucapkan
: berikan aku air kehangatan.
Bukan sepoci air terhantar,
tapi senyum terucap
: pandang titik-titik di balik asap putih.
Ketika kabut lelah melayang, tanyaku tiada lenyap.
Seheran tatapan pada dua pasang sinar di kejauhan,
di barisan pohon-pohon teh berdiri rapat.
Kupingku kembali tersentuh nafasmu
: mereka telah lampaui badai putih.
Bukan. Bukan telah.
Mereka tak pernah lampauinya.
Binar kasih lumeri kebekuan.
Ada sekelumit waktu kelabui alam.
Toh mereka punya nyali,
tetap dua ekor anjing hitam yang berlari.
Pada senyummu tiada berpindah
Akalku mati rasa, saat ingin mengucap
: berikan aku kehangatanmu.
puncak, 6desember2002
buat : W
Sore bersandar pada lamunan
sementara angin kian menggigil.
Hanya titah terucapkan
: berikan aku air kehangatan.
Bukan sepoci air terhantar,
tapi senyum terucap
: pandang titik-titik di balik asap putih.
Ketika kabut lelah melayang, tanyaku tiada lenyap.
Seheran tatapan pada dua pasang sinar di kejauhan,
di barisan pohon-pohon teh berdiri rapat.
Kupingku kembali tersentuh nafasmu
: mereka telah lampaui badai putih.
Bukan. Bukan telah.
Mereka tak pernah lampauinya.
Binar kasih lumeri kebekuan.
Ada sekelumit waktu kelabui alam.
Toh mereka punya nyali,
tetap dua ekor anjing hitam yang berlari.
Pada senyummu tiada berpindah
Akalku mati rasa, saat ingin mengucap
: berikan aku kehangatanmu.
puncak, 6desember2002
10 Desember 2002
15 FIKSI* PUTHUT EA**
#1 tanya
anggota milis bm yang baik.....
beginilah ciri2nya, tingginya 3/4 tinggi bayang-bayang
yang jatuh ke tembok yang dihasilkan dari sebatang
pohon kelapa menginjak usia lima dalam sorot senja
hampir muntah. terakhir kali, ia mengaku beragama
pocari sweat setelah tiga tahun bersikukuh bahwa
satu2nya agama yang diyakininya adalah sepakbola.
kepergiannya meninggalkan kesan yang muram di otakku.
setelah tigaharitigamalam ia selalu membungkus kakiku
dengan sepasang kaos kaki bergambar boneka menendang
bola, berwarna cerah pula.
kutangkap kelebat itu pada pagi hari ini, lalu sesiang
ini aku mencarinya pada setiap perempatan--sebab
seingatku para pecandu bola adalah penyuka perempatan.
lalu sesore ini aku menyisir setiap jembatan--sebab
aku ingat, paling nikmat menyembah berhala ada pada
atas sungai, bukan menenggalamkan diri di dalamnya.
tak kutemui dia. jika kalian bisa menemukannya, maka
separo garis tangan kiriku yang masih berupa masa
depan, biarlah kutukar dengan beberapa kalimat yang
bisa menunjukkan dimana ia berada.
mantelnya ketinggalan di kursi kamarku, masih basah
memang, sebab aku tidak berusaha mengeringkannya.
hujan terakhir yang menguyupinya memang tidak begitu
biadab, tapi setiap basah seperti punya nyawa, entah
mengapa.
pada letih terakhirku ini, bersediakah kalian
membantu? o, ya, aku lupa. di samping kiri mata
kirinya ada tahi lalat yang tidak begitu besar. ia
juga pernah mengirim sebuah puisi di BM dengan judul
'mega dan pasir' serta sebuah fiksi berjudul 'hariraya
kurang sepekan lagi' tapi sepertinya BM tidak
menangkapnya, teramat cepat mungkin teks yang
dibangunnya untuk melipat diri dan lindap bersama
senja.
aku mencarinya, seandainya saja anda semua juga
mencarinya.....
#2 di pinggangmu ada peta-peta itu......
dan inilah peta yang sempat di tinggalkannya untukku.
di pinggangmu! pesan tak bernuansa damai itu
melengking menggores langit senja yang merah. apakah
salahku padanya? sehingga teriak itu menggarit tajam
pada memoriku. dan tetap sepi, sebab ia pun telah
melipat sisa kepak setiap burung.
(sampai di sini aku peringatkan untuk kalian semua,
agar membaca 'tanya'; sebuah titel surat untuk anda
semua)
cuaca telah berlaku murtad berulang-kali. dan
anak-anak manusia menyimpan diri dalam plastik hitam
pandora. lalu seperti kebimbangan, benda bermuka tolol
melakukan evolusi setengah hati. kepergianmu........
serahim dengan kebimbangan itu.
'lalu sebutlah nama-nama,' ucapmu kala itu. lalu
benar-benar aku sebut sejumlah nama bahkan juga
doa-doa. dan lagi-lagi teriakmu menyayat darah yang
masih merah. 'tidak untuk setiap kata kerja!' aku
bimbang dalam sekarat itu, bimbang kembali berlogika
semesta.
dan inilah kata2mu selanjutnya.......
'aku semuram wajah setiap ibu, bukan ketika
harga-harga melesat tak terkendali, tapi iklan-iklan
itu, kotak-kotak penyebar wabah dengan muka
warna-warni itu, siapa yang paling jawara menyebar
fitnah? kemuraman itu begitu lama, begitu senja. dan
tidak ada hutan-hutan yang meredam getar kecewa ini,
tidak juga ada bau humus yang menyengat, bahkan dari
kulitmu, sahabatku, kulit yang masih kerontang ketika
kata-kata tak cukup menebalkan muka, menebalkan dada.
lalu kita ambil buah semangka yang telah dipercaya
semua agama untuk menghapus dosa, sebab tujuh usapan
air dan pasir tidak cukup menghapus najis kita.'
ia terus melanjutkan ratapannya dalam minus tiga
derajad celcius, dan aku memandanginya sembari
menggunting gambar para pemain bola dunia, membukakan
kaleng-kaleng pocari sweat setiap kali ia
menghabiskannya.
'kutunda percakapan ini sampai semua cuaca melepas
sayap-sayapnya....'
#3 kepingan fiksi ketiga
lalu keheningan itu berlangsung lama, selama waktu
yang dibutuhkan surat cinta yang kita tanam dalam
botol dan kita lempar ke laut menuju semenanjung di
sebalik tiga pulau.
aku masih membuka kaleng-kaleng minuman itu, dan
hisapanmu atas rokok putih mulai menjamah bungkus
ketiga. ombak di kejauhan sana masih saling berusaha
melepas diri, menuju daratan entah mana......
lampu-lampu jalan mulai menyala, menyebar jala siluet
dalam nyeri pinggir jalan. dan gerimis tetap turun
dalam nada dasar c, cukup ritmis untuk menggamit
asap-asap menuju langit yang belum kunjung memadat.
sebuah lagu kau lantunkan.......
'jika pagar hitam itu tak pernah terbuka, maka dimana
hendak kurebahkan tubuhku dalam ketentraman yang
sempurna.....tubuhmu, tubuhmu, diraba malam,
digelayuti mimpi-mimpiku atasmu....'
kau ulang lagu itu dan kadangkala hanya berhenti pada
'tubuhmu,tubuhmu...'
sesekali dalam kesal yang pekat, kita tendangi
kaleng-kaleng yang berserak, suaranya melesat memburu
dinding malam mencari pintu-pintu, jendela-jendela
berornamen sedih.
'sebab di luar kesedihan, kematian membaptis diri di
pintu sorga' dan ketika hendak kau teruskan kalimatmu,
maka aku secepat menyergap, kuperingatkan kepadamu
sahabatku, jangan sesekali mengulang afrizal dan
borges dalam bentuk nyata, sebab virus mereka sudah
menanah dalam memori kita.
kamu tertawa, bersama lanskap malam yang tak kunjung
tenang.
kau ucapkan terima kasih dalam tiga bahasa asing.
setelah itu kau mulai lagi berkicau tentang
keterasingan, sebuah singgasana yang selalu lindap
jika hendak dijamah.
'keterasingan itu iblis. dan kepada malaikat
keputusasaan kita serahkan diri, juga puisi-puisi.'
lalu tiba-tiba engkau memandangku dengan getar tak
tentu. 'kita harus bercinta!' teriakmu persis di
mukaku dalam volume tajam.
aku terpana,'bukankah kita tidak akan melakukannya?'
'kita harus melakukannya, sebab biografi tubuhmu, aku
menginginkan, begitu menginginkan teks-teks atas
tubuhmu, erangan itu......erangan itu.....serupa puisi
yang ditutup-tutupi, disembunyikan oleh dalil-dalil
linear, dalam pangkat entah berapa, ketika seberkas
sinar dikendalikan dalam kecepatan sesungguhnya, maka
garis memutar yang dibutuhkan oleh tubuhmu untuk
menghasilkan sajak setimpal dengan rumus pitagoras
yang tidak menemukan sudut ketiganya.'
'tidak cukupkah keterasingan dan keputusasaan ini?'
tanyaku sambil mencopot ragu seluruh pakaianku, sebab
kulihat tubuhmu mulai telanjang.
'ada peta-peta di kelaminmu yang nantinya akan pulang
pada pinggangmu. peta yang membentuk negara-negara
belum merdeka bersama orang-orang yang juga belum
merdeka.'
dan ciumanmu.......
'kenapa kita harus berciuman?'
'sebab bibirmu penuh luka doa!'
ah.........
sebab lidahmu telah membasahi dadaku, maka napasku
seperti memburu sesuatu yang lenyap dan aku sedang
sangat. sangat membutuhkan.
lalu aku ingat sepuluh tahun silam, betapa masih
begitu muda dan merah tubuh kita. lalu kita curi
stensilan milik kakak perempuanmu dan kita baca di
pinggir parit, yang di sampingnya telah kita bangun
rumah-rumahan dari kardus dan ilalang. lalu kau
usulkan untuk membaca keras-keras stensilan itu,
seperti membaca puisi, katamu. dan setiap yang telah
kita selesaikan harus kita hanyutkan. sebab di hilir
sana pasti bidadari-bidadari kesepian turun dari
langit, mencari anak-anak semuda kita.
aku tertawa, dan tubuhku nyaris basah semua oleh
lidahmu.
aku ingat waktu itu, aku bertanya, mengapa
bidadari-bidadari itu tidak bercinta dengan malaikat
saja. tampan dan bersayap, bisa sama-sama bersetubuh
di atas mega-mega.
iya, bisa juga bercinta di atas pohon kelapa, asyik
bukan, bisa meliuk-liuk. dan kau tertawa ngakak.
usia awal belasan kita, kau sudah mulai bukan hanya
mengajakku membaca stensilan tapi juga mencuri uang
dan membeli bir botol kecil. 'ini parit kita, ini
rumah kita, dan bidadari-bidadari tergila-gila sama
kita, sebab kita muda dan bisa membaca puisi, bukan
hanya kitab suci.'
kenapa kita bisa sebandel ini? tanyaku waktu itu.
belum! teriakmu, sebab kita belum mencoba melompat
dari kereta yang sedang berjalan melintas di atas
sungai. haruskah seperti itu? memucat tanyaku. harus!
sebab puisi-puisi hanya indah ketika dibaca pada
perbatasan hidup dan mati, ketika tubuh kita melayang
dan tidak tahu, apakah lubuk sungai atau bebatuan yang
akan menerimanya. aku semakin pucat.
aku terhisap arus kebandelanmu, getarnya kurasa dan
hidup sampai kini.
hingga suatu saat perempuan pertamamu, menyatakan
cintanya padaku. engkau hanya meringis. biarlah aku
sama tante di stasiun saja, ucapmu tak terluka.
sipilismu pernah menguras tabunganku. engkau ngakak
lagi. sebab itulah kita dipertemukan cuaca.
tubuhku semakin basah, langit semakin basah.
#4 sebuah senja telah diperkosa daun-daun
dalam gumpalan plastik itu telah kau simpan udara yang
merekam peristiwa2 kita. sampai dimana perjalanan ini
sahabatku? sebab telah banyak yang tumpas. juga segala
berlarian ke ujung penyelamatan diri dan surga yang
entah apalagi. ya, keabadian itu, telah menumpas
semuanya.
lalu bersepakat apa kita jika memang seorang pengutip
yang baik?
ini aksesoris kata kita tebar kemana? kita sudah
sampai pada bab tak terhingga, dan cuaca di luar sana
masih bergelayut pada perempuan yang mengepang kuda
rambutnya--cantikkah? ya, sahutmu. perempuan itu tidak
hanya mengepang kuda rambutnya, juga seluruh cinta
kita.
tapi aku ingin tidur sambil memelukmu, seperti
dedaunan menggulung kepompong ulat.
#5 lipatan fiksi kelima
terkadang kitalah pemilik murka itu, pemeram dendam
dan menggantungnya pada langit malam paru-paru kita.
sejak ular-ular kita lepas pada sebuah upacara
bendera--dan padi menguning waktu itu--kita tetap
merasa ada yang angkuh pada diri negara. tapi kita
masih terlalu kecil waktu itu, untuk tahu, bagaimana
menjadi seorang warga negara yang murtad dan membilas
tubuh kita dengan cairan berontak. menjadi sepasukan
pengibar bendera adalah pilihan kita, merobeknya,
tepat ketika orang-orang bersiap sedia menghormatnya.
skorsing seminggu kita terima, alasan penguatnya:
bendera sekolah menegah pertama kita, sudah terlalu
tua!
lalu ketika usia belasan menuju jantung waktu,
kauangkat aku menjadi pemimpinmu. sebab telah
kutandaskan ratusan kitab dari pantai utara dan
kuselesaikan segala rimba persoalan kita, termasuk
sipilismu. pada tajam kataku, telah bersama kita
heningkan banyak pasar dan tanah lapang. segala
kerumunan menjadi buyar membentuk bulatan-bulatan
mufakat yang mengelilingi kita.pada setiapa purnama
kita masih mencari sudut-sudut sungai yang menyimpan
harum pohon jambu liar, sebab ada yang terus
menghindar namun tetap memantau kita. dan kita tidak
suka! tidak pernah suka!
segala telah kita belah dan nodai; juga doa, juga
mantra, juga purnama. bukankah telah menjadi sepakat
kita untuk membilas segala dengan warna berbeda?
urusan kita dengan benda-benda dan ingatan-ingatan
hampir selesai. suatu saat betapa mengganggunya,
ketika kita sadari bahwa hidup tak lebih dari sekedar
memunguti batu dan kita sendiri berdiam di sana:
menjadi bisu. sesaat pula setelah aku sadari ada tujuh
batang lidi dan duabelas sedotan menancap di
tenggorokanmu, arak mengucur deras, merambah segala,
menyebar harum yang tak bisa tandas. aku cukup tahu,
dari yang mengucur di sana, ada puisimu. hampir habis.
sedang engkau pernah berjanji di emperan toko
elektronik ketika malam dikerudungi deras hujan,
seribu sembilanratus puisi, baru mati. hanya duaratus
dari dadamu, hanya tigaratus dari dadaku. tapi kenapa
hidup kita nyaris selesai?
perjalanan omong-kosong apalagi ini? tak ada
gerbong-gerbong waktu yang memohon ampun pada
peristiwa-peristiwa.
hidup macam apa ini semua? sebangsat apakah
persahabatan kita? jawab, jawablah! sebab kita tidak
pernah menjadi diri kita sendiri, percayalah.
#6 spasispasifiksikeenam
memang, pada akhirnya.....himpunan luka ini berhasil
membuat denah di hati kita tentang hidup yang omong
kosong.....
matilah aku, ketika raungmu kali ini disertai robekan
kain batik nenekmu dan kendi berisi bunga-bunga kecil
tiga warna. mari kita selesaikan dengan cara yang
paling tidak nyaman pada hidup ini, begitu ajakmu.
lalu kuletakkan kitab setengah kubaca dengan judul
merah menyala; cinta orang-orang bermata kosong.
kubuka pocari sweat, tuhan keduamu setelah sepakbola
itu.
seekor piton yang lepas dari kutukan keluar dari laci
mejaku, ia ikut bersedih memandangi kita. aku tahu
piton itu cukup lapar, sebab sudah berpuluh-puluh hari
ia di dalam laci mejaku hanya bersama robekan kitab
tua yang mencoba kita hapal dengan cara merobeknya
halaman demi halaman. maukah engkau memangsa kami,
piton?
kau tetap meraung sambil semakin mendekap daun
jendela, kulihat pula, setiap raunganmu bertambah
panjang, kendi itu memuntahkan semakin banyak bunga,
tak habis-habisnya, dan kain batik itu semakin robek
berserpihan. betapa setiap kesedihan memang begitu
luar biasa bagi kita.
pelangi di luar, membujur membaptis diri sebagai
buletin pekabaran alam. warna birunya semakin dalam.
kita juga pernah berbincang untuk menenggelamkan diri
di sana, suatu saat.
pada kali pertama jeda raungmu, engkau menatapku
seperti belahan teka-teki silang. hanya ada
pertanyaan, dan aku hanya diberi kesempatan menjawab.
sedang dulu tidak pernah seperti ini, sebab kita akan
menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, atau membagi
banyak-banyak jawaban, jika ada satu pertanyaan yang
berani diajukan oleh siapapun kepada kita. ingatkah
kita, suatu saat pada pelajaran biologi kita bawa
sejenis ikan yang bisa melompat dan berjalan di atas
air payau? terus kita desak guru itu untuk memberi
tahu, jenis apa binatang ini? kutukan dari setiap
pergantian cuacakah? berwarna seperti tokek, berlari
seperti tikus. dan tidak ada jawaban, lalu kita
bersama keluar, tak ada pelajaran berharga di kelas
biologi ini. juga ketika fisika dengan paradoks zeno
yang kita colong dari orang gila di perempatan jalan,
dan guru kita tetap bungkam. atau kau telanjang dalam
pelajaran sastra, dan mengatakan ada puisi di balik
celana dalam yang sedang kaukenakan. dan aku muntah di
pojok kelas, muntahan beraroma vodka sambil membaca
puisi di pelajaran sastra yang itu-itu juga.
dan tak terhingga kegentingan serta keonaran yang
sering kita perbuat di rumah suci. ah, tapi ini tetap
menjadi rahasia kita, bukan?
suatu saat, hanya sekali, aku ingin membunuhmu, ketika
kau bertanya, kapan kita insyaf? jadi kau pikir selama
ini kita tidak insyaf, kita telah melakukan hal-hal
yang salah? mati saja kamu, dalam ketidakyakinan yang
busuk itu. sekali juga, engkau ingin membunuhku,
ketika aku bertanya, kenapa kita tidak mencoba
berpikir tentang hidup yang nyaman? kamu menjawab,
matilah kamu, sebab kenyamanan adalah kematian.
beri jari kelingkingmu, dan jangan tatap aku dengan
belahan teka-teki silang di matamu.
mari kita berpikir, apakah sekarang saatnya?
aku masukkan piton ke dalam laci, lihat, matanya masih
sedih. kini berhadapanlah kita. lepas daun pintu itu,
kendi itu tenang, kita ikat lagi robekan kain batik
nenekmu.
bersitataplah kita, ada pecahan jagat raya yang rumit
di tubuh kita ini. rasakanlah.
aku membuka kardus besar yang kosong, sebab mungkin
kita butuh istirahat dalam ruang yang berbeda. aku di
atas meja, kau di dalam kardus kosong. tapi kita harus
tetap saling menatap. membagi kerumitan dalam hidup
yang benar-benar omong kosong.....
#7 ternyata kematian itu tidak pada fiksi ketujuh
kusimpan petasan-petasan yang ditutup dengan pasir
pantai di langit-langit kamarku. sang penemu sekaligus
pembuat petasan itu kini sedang di kantor polisi.
pukul lima kemarin, ia ditangkap. bukan, bukan itu
jika kemudian kupasrahkan ratusan petasan itu
kepadamu, sebab sudah lama kita bermain-main dengan
penegak hukum. aku menemukan permainan baru,
sahabatku, dan aku cukup mual dengan kelicikan
meledakkan petasan. ingat, kita tidak pernah
bermusuhan dengan orang-orang cacat, sakit, dan hilang
ingatan. kita berhadapan selalu dengan arogansi
kewarasan dan hukum yang semena-mena. permainan baruku
itu kuakhiri dengan titik-titik....carilah aku, pada
arah tenggaramu. terserah kamu dengan petasan-petasan
itu, seperti pernah kupasrahkan kemurtadanku padamu,
beberapa waktu yang lalu.....
surat mungil itu kulipat. tak kusentuh petasan itu,
hanya kubuka dua genting dan berharap hujan
menyelesaikan berahi petasan yang tersimpan di
langit-langit kamarmu. pada tenggaraku, kulacak
jejakmu. sebab nafasku sudah lama tak beradu dengan
binal dan liarmu.
aku berkelebat, langit berkelebat, tirai berkelebat.
engkau dibekap merah cuaca, tak kutemui kau di segala
yang kutanya, yang kuraba. pada lengkungan macam apa
sekarang engkau menghilang? aku ingat persis akan
ruang-ruang cembung yang kau bicarakan, suatu saat
kita akan bersembunyi di sana, begitu gumammu. pada
semua benda ruang-ruang menggulung diri, melengkung,
cembung. ada sesuatu di setiap benda sehingga mereka
mampu melipat ruang. pada benda segalanya
berkonsentrasi, bendalah titik pijar segala, sehingga
pada benda segala berkah bersemayam, sekaligus
kutukan, sekaligus kebusukan. mungkin karena itulah,
tuhan banyak manusia perlu mengajari ciptaan
pertamanya untuk mengenali benda dan memberi tahu
nama-nama benda. o, ya ? puji benda!
a ha! itu siluet tubuhmu. aku hapal punggungmu yang
menawarkan rasa empedu. inikah permainan barumu?
bersama pemakai sarung yang masih membawa bau tanah
seberang dan amis ikan? ah, bukan hanya itu, aku
mencium bau garang lautan selatan dengan kapal-kapal
mungil yang gemetar.
semua habis, teriakmu padaku. aku tertawa melawan
angin rinduku. pantas saja, uang di bawah bantalku
lenyap bersamamu. dadu-dadu itu menyebar banyak
kemungkinan, seperti kita, tangkasmu membela kepergian
yang tiba-tiba. aku tidak pernah melarang, tapi mari
kita minum kopi sejenak, dan akan kutinggal kamu untuk
kemudian datang lagi membawa uang. kenyangkanlah
hasrat bertaruh, tapi aku sudah melakukannya sebelum
kamu tahu, ada berapa titik pada setiap dadu.
aku ingin jadi nelayan untuk dua bulan, membakar
ikan-ikan segar, membakar kulit sendiri, membakar
waktu, begitu tegasmu padaku. tidak seorangpun
mengajakmu kembali. orang-orang yang pulang adalah
orang-orang yang tidak berani menimbun luka. kita
berdua, adalah dua manusia yang selalu pergi tanpa
pernah berjanji untuk pulang lagi, bahkan pada diri
sendiri.
ini uang, kita bagi dua. aku akan kembali ke utara
untuk segera menuju barat daya. ingat, antara tenggara
dan barat daya, dalam titik utara selalu pasti
membentuk huruf v terbalik. kita berada di balik
segala kemenangan. apakah itu pertanda kekalahan? kita
lihat saja.
ya, seperti semesta, kita tak tahu, sedang menuju
kemana....
# 8 fiksi ke delapan: prosesi matirasa
inilah aku dan arah barat dayaku.
sebuah kota yang membanggakan kebusukannya, tak ada
cermin untuk mengaca dan mematut-matut diri. aku di
sini, kini. tidak untuk masa depan, tapi yang
bergejolak harus dilampiaskan. aku bukan seorang
penyabar, sebab aku menyukai ombak garang.
dan inilah kota kekalahan itu. kota bagi raja-raja
yang melarikan diri dari merkantilisme sekaligus
kolonialisme, raja-raja yang sudah tidak menguasai
laut sekaligus angin yang menderu di atasnya. ya,
raja-raja yang tidak berkuasa atas lautan hanyalah
seperti tubuh tak bertulang belakang. inilah kota
kekalahan itu. kota orang-orang kalah, yang tidak
cukup mengimani diri sendiri dalam segala medan
pertempuran. aku ke sini, untuk melihat sejarah
terluka itu, sejarah kekejian raja-raja yang memenggal
rakyatnya sendiri tapi tidak cukup mampu mengahadang
meriam dari negeri seberang. agar tetap terlihat
perkasa, kita memang bisa melukai orang yang lebih
lemah atau diri sendiri. cara culas orang-orang gagal.
aku datang setelah ratusan tahun raja-raja kalah itu
membangun kekuasaannya yang rapuh. aku masih melihat
mereka, orang-orang yang hanya berani berdoa. tapi
inilah kota wingit yang bagi segala benda dan manusia
yang berani mengejek kemiskinan rupanya. di sini pula,
raja manusia bersekutu dan bercinta dengan raja jin.
seni dan sastra adalah anak rohani puja-puji pada yang
ghaib. keindahan itu untuk di luar sana, tak terjamah,
tak teraba. moyang segala budi adalah percaya. inilah
diriku sekarang, bertempur terhadap diri sendiri di
tengah-tengah orang-orang yang membawa tradisi
kekalahan dan gampang percaya. dan tidak ada kamu di
sisiku, sahabatku. ada harum arak dan tuak, tapi untuk
melarikan diri, ketika yang ghaib menunda
jawaban-jawaban. aku tidak kuasa untuk meneguknya,
sebab arak kita adalah arak makar.
di tenggaramu, masihkah kau coba menghitung jarak
antar bintang? awas, hati-hati dengan biasnya.
tapi di sini, suatu saat aku dikelilingi orang-orang
berkaca mata yang sibuk menghitung tulang rusukku dan
volume otakku. juga kecepatan kata-kataku, ketepatan
ucapku. mereka bersorak. mereka menemukan sesuatu di
diriku. mereka bilang, ujung senjata sudah ditemukan,
tinggal diasah tajam-tajam.
aku dikelilingi orang-orang yang butabenda. tidak bisa
membedakan asbak dan kepala manusia. astaga....mereka
juga buta ruang, sering salah menaruh celana dalam.
mereka memperkenalkanku dengan pengetahuan baru,
sahabatku, tentang dialektika peristiwa-peristiwa,
bahkan ekspansi ruang. membawa banyak kitab dari
negeri seberang, yang berkekuatan semacam mantra tapi
bicara soal hukum-hukum dunia. tidak ada tuhan di luar
benda-benda. upacara-upacaranya adalah penyatuan
kehendak kita.
gelas-gelas berjatuhan, bintang-bintang seperti
berjatuhan.
tapi bukankah keyakinan kita adalah rel kereta? lurus
jalan berdua tanpa pernah niatan bertemu. ada di
antara medan lurus dua hal yang berkontradiksi.
permusuhan laten dua hal yang berseberangan, kita
tahu, dan kita ada di tengah-tengahnya tanpa pernah
berusaha untuk mempertemukan.
aku adalah sesuatu yang sekarang ditekuni oleh mereka.
sedari sebelum sadarku sampai sebelum lelapku. inilah
keyakinan mereka yang berusaha dipasokkan pada otakku.
bahwa segala materi tidak harus bisa diraba dan
dibejanakan. tidak harus dibalut warna-warna dan
dikerudungi bebauan. aku diperingatkan atas pentingnya
peristiwa-peristiwa, bukan sibuk atas awal mula
penciptaan. mereka tetap bersepakat pada kita tentang
titik pijar benda, yang segala berkah dan kebusukan
bersemayam. tapi terus memperingatkanku atas
pentingnya peristiwa-peristiwa......
pada benda diam, ia menelusupkan hakekat gerak. lalu
masuklah pelajaran kedua itu, pelajaran tentang
permusuhan yang laten. kontradiksi. ada yang
bersikukuh di sini dan ada yang angkuh di sana, semua
bergerak dalam model getar sederhana sampai
letusan-letusan dahsyat.
aku ingat raja-raja yang kalah dan aku ingat akan
kita.
#9 sambil lalu-nya fiksi kesembilan
.....seperti telah disarangkan bulan sabit ke dada
kotaku oleh waktu.....
demi sepi dan malam yang selalu pecah oleh berontakku,
tibalah pada suatu saat, ketika itu tak ada satu kata
yang kau dentingkan dari sana, aku begitu rindu.
dilecut dengan benda apakah, sehingga setiap kerinduan
yang tua selalu melahirkan keberanian yang luar biasa?
akan kurasa mendekapmu dalam dada hangat mendesir,
ketika kusambar segala petaka di kota ini, kota barat
dayaku. dan malam hari yang tersisa adalah menelusuri
jejakmu dalam ingatan-ingatan merahku. aku rindu
masa-masa kecil kita dan jalanan kampung yang tidak
rata. masa kecil menjadi sesuatu yang tidak bisa
dihapus oleh cuaca--bau jalanan, teriakan, dan sperma
kita yang muncrat sebelum waktunya, sehingga belum
pekat benar--berani sumpah, ada sejarah tubuhmu di
tubuhku.
tapi sudah menjadi sumpah kita untuk berpisah, ingat,
tenggara dan barat daya, dari titik utara adalah
dibalik semua kemenangan. dan menjadi janji kita untuk
terus membuktikannya, sebab hidup tidak tercukupi
dengan kemenangan demi kemenangan. di sebuah tanah
lapang dalam deras hujan, senja hampir menelungkup,
dua lawan tiga, kita kalah tipis dalam bermain bola.
dadamu dan nyeri itu, terasa sampai sekarang, di sini,
pada titik terdalam dari luka-luka pertama berkumpul.
untuk pertama pula aku menghimpitkan nyeri atas
kekalahan pada dadamu dalam telanjang. kekelahan tidak
pernah membuat tidur kita nyaman, bukan? tapi mengapa
kita tak pernah benar-benar ingin menang? dalam segala
perang dengan senjata pelepah pisang, kita selalu
berusaha untuk mati dalam pertempuran terakhir,ketika
kita begitu yakin, musuh akan kalah. aku tidak bisa
menjelaskannya, kamu terdiam juga jika kutanya.
malam-malam yang beringsut di kota ini seperti
menguntai kejemuan. manik-manik jemu itu mulai
menggelembung dalam dadaku. kamu juga merasakannya?
tapi aku tahu persis, tenggara yang telah kau pilih,
adalah tempat berlarinya para pemberontak. jadi
beruntunglah kamu, di sana, di kota pilihanmu, mungkin
sedang menggumpal merahnya marah di dadamu.
inilah tahun ketujuh yang memenjarakan kita. rentang
tahun yang kita harapkan bisa memisahkan untuk
sementara. rasa, juga harus mengalami ujian. seliat
apakah rasa di antara kita? apakah teruji hanya dalam
kebinalan, ramai dan onar? tujuh tahun kita
menguburnya dalam sepi. sebentar lagi sahabat, aku
bisa mendapatkan sebagian ketentramanku yang telah
melesat bersamamu.
pada tajam tebing waktu, kita saling menunggu.
#10 fiksi kesepuluh: puji benda! seru sekalian alam, puji benda! yang berkuasa atas segala
tenggara cukup pekat, tapi itulah tenggaraku, kota
terakhir para pemberontak untuk mati, bukan untuk
lari.
lalu tetap kuingat itu: jika pada suatu malam--sebelum
esoknya, kita berpisah benar--ada pesanmu terngiang di
diriku.sebab aku yakin ada yang di luar segala
kematian, dan sekaligus ada yang di luar segala
kematian, oleh karena itu kita harus membagi diri
secara sempurna, kita harus melacaknya, kita akan
menemukannya, entah disebut apa. sorot matamu
menajam--seperti biasa engkau menyulap ribuan orang
agar bergerak--begitu yakin, sebelum kita putuskan
benar.
aku hangus atas katamu, dan takjubku tak
selesai-selesai sampai sekarang. kata! begitu kuat
engkau menguasainya, mengendarainya. mulutmu adalah
senapan-senapan berbagai bentuk dan
jemparing-jemparing magis yang membuat bergidik banyak
orang, bahkan sebelum sebuah anak panahpun di cabut
dari tempatnya.
kecilmu, aku cukup tahu, pada tebing-tebing curam
engkau menajamkannya. ada sesuatu dalam tubuhku, yang
sepertinya sangat tajam, pertama-tama, aku harus
menguasai dan mengendalikannya, begitu keluhmu. dan
memang, kata-kata yang kau lempar selalu melesat
menghantam dengan cermat pada segala kata yang lain,
benda-benda, juga banyak manusia. kata-katamu,
ditakuti. kata-katamu, dirindukan.
hingga suatu saat engkau diam kelelahan, berpacu sepi
dalam hening.
aku ingin kafir dari kata-kata, keluhmu lagi, begitu
dalam.
apakah itu kutukan? tanyaku sambil membelah durian
yang kita rebut dari pertengkaran kecil di pinggiran
sebuah parit, pagi itu.engkau mulai menelanjangi
pakaianmu, dan kulihat kelamin yang terurai tanpa
rambut, seperti punyaku, tidak seperti punya
tetanggaku. engkau tak pernah riang benar, tapi jika
sedih terlalu benar.
engkau melempar pongge-pongge dalam tenaga yang luar
biasa. o, tidak, sebab sekaligus engkau melempar kuasa
kata-kata atas dirimu.
engkau mulai meneriakkan nama benda-benda, seperti
berusaha melepaskan dari untaiannya, mederaikannya
agar lepas. aku menatap tengkuk telanjangmu, tulang
punggungmu yang aneh. lalu kubalikkan tubuhmu,
menghadapku. airmata itu kulihat, beberapa diantaranya
menetes ke kelaminmu--hingga sekarang aku masih
menganggap kelaminmu selalu kelamin yang basah oleh
airmata, kelamin seorang anak di kelas lima sekolah
dasar. engkau menunduk, dan kucium rambutmu. aku
merasakan bara di kepalamu--dan sesungguhnya dari
sana, aku cukup tahu untuk mengangkatmu jadi
pemimpinku. memang, engkau tidak pernah menang dalam
setiap perkelahian, tidak sepertiku, tapi engkau juga
tidak pernah selalu kalah dalam perkelahian, juga
tidak sepertiku.
sepuluh tahun setelah peristiwa itu, sekarang kau di
barat dayamu, dan aku di tenggaraku. bersepakat untuk
tak berbagi apapun, sebab memang ada yang harus diuji
benar, bukan hanya lewat pertempuran demi pertempuran
dan kebersamaan demi kebersamaan.
di kamarku ini, aku terus mendengar cerita orang
tentangmu, terutama tentang perempuan-perempuanmu dan
tentang pemberontakan-pemberontakanmu.....
aku begitu rindu, dan bersiaplah pada tajam tebing
waktu......
#11, ayat-ayat durhaka, kitab-kitab omong-kosong....
di sebelah keheningan itu, seorang gadis ketigapuluh
tujuh-mu, sedang menyelesaikan sisa makan malamnya. ia
masih bersedih, ia masih menginginkanmu. seperti
gadis-gadis yang lain. pada ketakrelaan ia bersimpuh,
menyembahyangi kehilangannya atasmu.
di depan segala benda, ia tercenung, sebab pada segala
benda, ada bayang-bayangmu yang memantul.kijang
tubuhnya senantiasa melayap. ia rindu onar, dan pasti
cinta membabibutamu. ia pula yang memastikan padamu,
setelah tigapuluh enam perempuan tak juga membuatmu
yakin, tentang cinta. seperti halnya hidup, hanya ada
cinta yang omong kosong.
tapi memang ada manusia yang tercipta entah dari apa,
yang sepertimu. dari mulai tatap mata yang bisa
menggulung cuaca menuju derajat luar biasa.tak ada
ajimat dan mantra-mantra, bahkan tak ada doa-doa.
sesosok tubuh yang dibangun oleh sejarah kesedihan
demi kesedihan. boneka-boneka kau tanam pada setiap
dada mereka.
hingga kauputuskan, menendang cinta dari dada,
menendang keras kaleng kosong coca cola.
siapa tak rindu pada ranum berontakmu? tubuh
terpanggang api hidup dengan wajah kemerah-merahan
pertanda luka yang menggila?
tak perlu ada pengkhianatan yang menyakitkan, sebab
telah kau bakar cinta. setelah remuk benar setiap
hati, maka biarkanlah hati menyusun dirinya sendiri.
luka-luka tak pernah murung selamanya. setiap tubuh
tak pernah terluka, jika tubuh tersusun dari luka demi
luka.
dan gadis ke tigapuluh tujuhmu sungguh-sungguh
bersedih. seperti gadis-gadis yang lain pula, telah
kau buat ruang selamanya dalam otaknya. mengapa?
mungkin karena hari-harimu adalah
kemungkinan-kemungkinan, juga kejutan-kejutan.
di depan kamarnya, ditaruhlah sebuah pot bunga,
semenjak perpisahan itu. benih merah kehitaman ditanam
dalam rasa yang begitu malam. dan tumbuh subur benih
itu, rimbun seperti terpelihara. pada kembangnya yang
masih menguncup, gadis itu menunggu, berharap bersama
mekarnya kembang itu, angin datangmu melabrak
kesunyiannya. tapi tidak, sebab kamu tak pernah lagi
percaya atas segala cinta.
seperti yang kau tahu, pada hal cinta aku tak pernah
mengerti dan memutuskan. tak pernah ada perempuan yang
mengisi hidupku, dan kamu menuju gadis-gadis dengan
angka depan empatpuluh.....
sekali aku teringat tentang perempuan, menarik bagiku,
waktu itu. perempuan itu menyatakan cintanya padamu,
tetap tidak ada masalah bagiku, sebab aku tidak pernah
mengerti dan memutuskan tentang cinta, sesuatu yang
omong kosong bagimu seperti ruang kosong bagiku. yang
aku tahu, ada saat dimana kelaminku merasa harus
melakukan sesuatu. itu yang kulakukan, peduli sipilis,
peduli raja singa, itu yang kurasa. anehnya, engkau
tak pernah bersetubuh sekali pun, sekali pun!
aku tak pernah dikutuk oleh kata, aku dikutuk sipilis
dan raja singa.
engkau tak pernah dikutuk oleh kelamin, tapi kata?
nyaris meledakkan otak dan tubuhmu.
lalu aku mendamparkan ingatanku atas sebuah gumaman
malammu, pada malam benar: lihatlah betapa kejinya,
kematian harus dibunuh oleh keabadian, berahi
ditopengi cinta sejati, kekalahan disembunyikan oleh
surga.
aku bersepakat--pada hal apa kita tidak bersepakat?
bahkan perpisahan panjang kita sepakati, siapa tahu,
tanpa kebersamaan ketidaksepakatan memijar--bukankah
sipilisku diselesaikan tabunganmu? bukankah sakitmu
kuselesaikan dengan tanganku?
lalu darimana selebaran-selebaran kebajikan
ditebarkan? kebajikan-kebajikan menyusun dunia megah
luar biasa. dan kita meyakini, itu semua disusun oleh
pikiran-pikiran manusia yang sia-sia.
#12: cadas!
seperti anak-anak buaya yang mulai mengembara, kita
pun bersiap sedia membayar mahal, berontak dan
keingintahuan.......
dan telah kita bayar tunai beserta segala bunganya,
beserta segala anak cucu dendam atas segala yang kita
habisi, segala bid'ah pikiran sia-sia.
ah, lalu aku teringat fajar itu.....
seorang letnan muda sedang keluar dari tempat hiburan,
berahi di tubuhnya menghitam. pada jalan ia
menyeberang, menuju rumah yang menyimpan puluhan
perempan cantik. ia tergesa, sebab sloki yang
ditenggak terakhir bukan hanya mengabarkan hitungan
lebih dari duapuluh dua, tapi juga derajad berahi yang
semakin meninggi.
kita melihatnya sepintas, di bawah tiang listrik, kita
masih berbincang. bulan tak ada. sinar lampu jalan tak
pernah lupa menghujani warna yang sama dalam segala
hal.
keribuan meledak. terdengar pula bunyi meledak. lebih
dari sepuluh orang menghajar letnan muda, dan
menyeretnya dari dalam rumah itu menuju pinggir jalan.
ia ditingalkan bersama luka dan wajah angkuh dalam
uatan erahi yang tak selesai. kasihan, laki-laki muda
yang hanya mengenal hidup dalam asrama, tangsi,
barisan. pintu rumah terbuka, seorang perempuan muda
dengan wajah berdarah menghampiri si letnan muda.
perempuan itu meludah, persis di dahinya. kami tertawa
dan semakin merasa kasihan.
engkau menghampirinya, perempuan itu pergi
meningalkannya. kau nyalakan sebatang rokok putih, kau
selipkan di mulutnya yang penuh darah. dan dari sakumu
engkau mengeluarkan sesuatu. aha! beberapa puisi kita
yang sempat kita catat sore lalu. kau masukkan di
sakunya.
aku tertawa. buat apa? teriakku. engkau diam, terus
melangkah, aku mengikutimu. aku terus bertanya, engkau
terus melangkah sambil menendangi kerikil jalanan,
menendang jauh, ditangkap oleh malam.
terkadang ada banyak hal yang dilakukan tanpa bisa
dijelaskan. seperti engkau juga meninggalkan
perempuan-perempuan itu.
lalu aku ingat beberapa orang yang tak pernah
menanyakan alasan-alasan. salah satunya ibuku, yang
setelah tiga kali persingahanmu waktu kecil ke
rumahku, engkau uga memangil ibuku dengan 'ibu' pula.
tetapi oarang-orang memanggilnya dengan kata 'lonte'
di depan nama ibuku. di tanah lapang, di gardu ronda,
di terminal, di langgar, mereka selalu menanyaiku;
engkau anak masinis, pelaut, atau sopir? beberapa
sebaya kita kuselesaikan. kau selesaikan yang lebih
besar, sebab engkau cucu pejuang yang ditakuti dan
anak keluarga terhormat. mereka tak berani
menyentuhmu, walau aku tahu, caramu berkelahi tak
lebih dari sama dengan caramu menangkap ikan. tak
pintar-pintar amat. tapi pangilanmu pada ibuku,
membuat ruang hormat yang dalam di hatiku, dan
semenjak itu aku bersumpah untuk hidup dan mati
bersamamu. lalu ikrar kita teriakkan, pada malam
dimana aku aku membantumu membabak-belurkan
kakak-beradik anak mantri polisi. mereka iri, sebab
anak camat yang sudah smp menaruh hati pada anak
kecil, lantang, pemberani sepertimu. baru kelas enam,
waktu itu, dan di atas rel kereta, yang dibawahnya air
sungai deras menderu. suara kita tak kalah, begitu
garang, begitu menantang.
satu per satu, sebaya kita segera mengelilingimu.
selusin lebih sebaya, membuat kita tak pernah
disepelekan banyak orang. termasuk mereka orang dewasa
yang sudah mulai berani bermabuk-mabukan di pos ronda.
perkelahian demi perkelahian membesarkan kita. sebab
kita diperlakukan tidak adil dimana-mana, kita
melawan, kita berdarah, kita menang. dan sebagai
penguasa baru pos ronda, kita harus menenggak arak dan
vodka.
aku juga teringat seorang kakek berwajah getir, di
pojok kampung. engkau memangilnya 'guru'. dia tak
lebih dari tukang memperbaiki sepatu. sebelum kami
terbiasa dengan caranya bicara, engkau terbiasa bicara
berlama-lama dengannya. sementara, kami menunggumu di
seberang jalan sambil main kartu.
ada lagi orang gila yang bersahabat
denganmu.kemana-mana naik sepeda angin dengan cambang
dan kumis yang hampir menutup wajahnya. matanya! ya,
matanya, yang membuat kami takut dan penduduk kampung
kita takut. mata yang tajam, dan hanya kamu yang
sanggup menatapnya. juga membuat ia turun dari
sepeda.pada orang gila itu, kamu juga sanggup bicara
berlama-lama.
aku tersenyum. di sebuah kamar, di tenggaraku, aku
mendengar cerita tentangmu dan aku mengingat-ingat
kamu waktu dulu.
#13, volume lirih lagu-lagu sedih
ini sedihku, yang juga sedihmu.
perempuan itu menyalakan lilin bersama setengah
hatinya yang terbakar. dia lah perempuan yang
mengirimi doa-doa semenjak kabar pulang yang dibawa
ombak mengatakan dengan pasti; serdadu itu, suamimu,
pecah kepalanya, bukan karena peluru musuh-musuhnya,
tapi sebatang pohon rengkah dihantam badai, roboh, dan
salah satu dahannya tepat menghantam kepala suamimu.
pecah. sekali lagi bukan karena perang, tapi tetap ada
bendera dua warna yang diselimutkan, tetap ada doa-doa
dan tembakan di udara. setidaknya dia tetap tentara.
dibunuh atau membunuh, diculik atau menculik, dia
tetap tentara dan kematiannya layak dihormati,
setidaknya oleh tentara sendiri. sebab selain tentara
sudah lama membuang muka.
perempuan itu tak pernah mencintai suaminya, bukan
karena dia tentara dan tahu kebiadabannya. tidak. dia
jauh dari prasangka dan pikiran seperti itu. tapi
karena hal yang sepele; tak ada perasaan tergetar itu.
sebab yang selama ini menggetarkan hatinya adalah
kamu! laki-laki yang duabelas tahun lebih muda dari
usianya.
tetap saja ia bersedih, setidaknya harus bersedih. dan
kamu bersorak girang, menyoraki kematian seorang
tentara, tentu, juga bukan karena kamu tahu, tentara
itu sedang diperintah untuk membunuh orang di pulau
seberang. tapi karena dendammu karena pernah kau
pergoki ia bersetubuh dengan istrinya, di ruang
tamunya yang terbuka. dan waktu kecilmu, karena sebuah
petasan yang menyalak ringan, kepalamu dihantam gagang
senapan.
perempuan itu menatapmu dengan getar dan pengharapan
yang mulai tersulut, ada sesuatu dalam hidupnya.
tatapan mata seorang perempuan pada menjelang sore, di
sebuah beranda. bukan hanya kesepian, aku pikir. tapi
sesuatu lebih menggetarkan karena tak pernah disangka,
tak pernah diduga.
sore itu, seusai bermain bola, beberapa durian ada di
tangan. kemenangan memang harus dirayakan, sekalipun
dengan keberanian yang lain, mencuri misalnya. dan itu
biasa kita lakukan.
ia duduk, tercenung menghadap segelas teh, dan menatap
pagar putih rumahnya, pagar yang semua orang bisa tahu
bahwa itu pagar rumah tentara dengan pangkat yang
tidak sederhana.
dan lewatlah kita, bersama bau durian yang menyengat.
ia melengak. memanggil, memberi sekian ribu untuk dua
dari tiga durian kita. kita butuh rokok, bukan?
bersepakat, merelakan dua durian. ia menatapmu, tidak
seperti menatap pagar rumahnya. dan kau menatapnya,
memerah wajahmu, wajah orang yang kelaminnya baru
selesai dikhitan.
ia cantik, aku menginginkannya, bisikmu, sepulang dari
bermain bola, sore berikutnya. dan yang kutahu, kamu
bercinta dengan perempuan itu. tapi tidak kumasukkan,
katamu. aku kaget. jadi memang ada orang bercinta yang
tidak dengan memasukkan kelamin laki-laki ke kelamin
perempuan. ia takut dosa, dan kasihan padaku,
sambungmu. aku semakin kaget dan tidak mengerti.
dua tahun kemudian, kabar kematian suaminya datang.
kamu bersorak girang, tapi segera bersedih, sebab ia
harus pergi entah kemana. ia tetap tidak mau
bersetubuh yang sesungguhnya, dan kamu menangis
meminta. tapi berkali-kali ia mengejang, pertanda
kenikmatan luar biasa menyerangnya. dan sperma mudamu,
nyaris tak keluar lagi, sebab muncrat berkali-kali.
kamu semakin sedih, sebab melekat di ingatanmu, lewat
lembut suara, pelajaran bercinta, dan basah tubuhnya.
di tepi kali pinggiran desa, sebuah jembatan panjang
di atasnya--tempat pertama yang dikenang jika pergi
lama dari desa--kau tulis sebuah nama, entah nama
siap, bukan namanya. kutahu kemudian, kaujeritkan nama
yang ia pinta, setiap kali sperma mudamu muncrat
bersama tubuh mengejangnya.
lalu anak camat itu, putih sekali. ia selalu bicara
dalam bahasa yang aneh, mungkin karena di rumahnya ada
banyak buku dan koran dan televisinya sudah berwarna.
lalu kita pura-pura ingin menonton tv. ia duduk sambil
memegang buku, lalu kau tebar beberapa kata, tentang
buku yang dipegangnya. ayah ibunya sedang tak ada. aku
tetap menonton tv, dan kau masuk kamar bersamanya,
main catur dan berciuman.
lalu yang ketiga dan seterusnya. kusulut sebatang
rokok, berpindah pada ingatan lainnya.
#14: petabuta
beradu kelingking, saling meminjami kecemasan dan
kekuasaan. setiap sore, sebab itulah pagar waktu masa
kecil, dan malam adalah ujian dari setiap kecemasan.
jika keinginan untuk bertemu menggila, sebab ada
kegilaan yang harus dipertautkan, jika tidak, malam
menjadi semakin gerah, esoknya segala kelaknatan
berlipat-lipat, menggunung, tak terkendali. cukup
berbahaya, bukan? meledakkan petasan di pantat musuh,
misalnya.
engkaulah si pembagi layang-layang. jika ada kerajaan
yang kau cengkeram, maka selain menguasai banyak pohon
besar, engkau selalu memilih tanah lapang. tanah
lapang adalah medan perang, di sana, silih berganti
peperangan. tapi engkau selalu berkuasa atas bola atau
benang dan layang-layang.
beri kesempatan berkali-kali bagi para pecundang. beri
layang-layang setiap kali layang-layangmu menunjukkan
kedigdayaannya. beri lagi layang-layang pada setiap
musuh yang kalah, sampai bosan, sampai kemudian mereka
bisa mengatakan pada diri mereka sendiri, bahwa mereka
semua pecundang, dan lebih baik pulang menonton film
kartun di rumah-rumah gedong mereka, atau belajar
matematika. inilah udara segar kemenangan, yang tak
sesungguhnya menang. beri layang-layang, beri
lagi....sampai bosan!
terlalu banyak melihat awang-awang yang panas
menyilaukan, mata kecilmu adalah mata kanak yang
sepertinya selalu ingin menghindar. mata kanak yang
sangat berani pada malam, sebab setiap siang meminjami
banyak kemenangan. mata kanak, yang kelak kemudian
menggetarkan banyak perempuan.
tapi dari kecil dulu, engkau tak pernah
tanggung-tanggung. keberanianmu selalu merah, dan
lubuk sungai itu membuktikannya.
akulah si perenang, yang bisa menggigit dua ekor ikan
setiap kali menyelam. lalu aku tahu, engkau harus bisa
berenang, sebab memburu burung bukanlah garis
tanganmu. dan pertama kali, kau harus teruji untuk
memakan udang hidup-hidup yang harus kau cari sendiri
di sela-sela bebatuan. kau bisa mendapatkan dan kau
tak muntah, tiga bahkan. ada harapan!
sampai sekarang, engkau tak bisa lagi memakan udang,
engkau telah membayar mahal dan layak mendapatkan.
hingga laut utara pun berkali-kali mengujimu. tapi
rupanya ketakutan yang bersemayam dengan puak di hati
setiap manusia mampu kau olah, menjelma karang-karang
dan ombak pasang.
aku beralih pada ingatan selanjutnya, kunyalakan lagu,
kunyalakan rokok, kunyalakan napas. sebab masih ada
tahun-tahun yang layak untuk ingatanku kepadamu,
sungguh.
#15, lagi-lagi ttg hujan
pada saat tubuh kita kuyup oleh hujan yang lembut.
malam membekap dengan selimut hitamnya yang pekat,
sangat pekat. sesungguhnya pada apakah kita bisa
menyandarkan segala kelelahan? dan engkau tidak juga
terlihat lelah, tapi aku tahu, sebab segala isi tulang
belakang dan bau sumsummu aku tahu, ada kelelahan yang
serupa dengan warna pastel tembok rumahmu yang
mendekam dalam tingkat kepadatan tinggi di otakmu.
tapi engkau terus menerus maju untuk berperang dan
melawan. seakan ada ketentraman berwarna biru laut di
ujung sana yang senantiasa engkau kejar dengan derajat
berontak tinggi. seakan ada yang siap untuk
terus-menerus kau tikam dari liarnya dadamu yang
selalu terhunus. aku di depanmu, mengendarai kuda
fiksi yang terus kita pacu, pengejaran abadi atas
badai yang harus segera ditaklukkan. engkau berteriak,
menggertak segala cuaca juga terus-menerus membabi
buta mengayunkan pedang fiksimu. mati lagi, mati lagi,
musuh-musuh terbantai, mengeluarkan suara-suara
kekalahan yang membosankan.
tapi aku mencintaimu, lebih dari yang bisa kuucapkan
dan kubuktikan untuk terus bersamamu. keringatmu yang
panas selalu menebar gairah lain tentang perjalanan
ini. dekapmu lebih dari vitamin-vitamin dan
tonikum-tonikum lain, memberi lebih banyak kekuatan.
seperti disuntikkan dari pusar bumi.
hingga suatu saat aku tangkap jerit sakitmu dalam
volume tinggi, ketika itu aku sudah pada tahun kedua
di tenggaraku. engkau menghadapi hidup serumit
kalkulus. mengidentifikasi bahwa ada negara dan arus
modal yang menerkammu dari segala arah. membagi habis
seluruh tubuh dan fiksimu dalam bilangan-bilangan
prima dan segitiga-segitiga retak. sudut-sudutnya tak
terjangkau lagi, tak teraba lagi. engkau menemukan
sebuah musuh yang mulai bisa menanamkan kepercayaan
pada otakmu: bahwa engkau akan kalah!
tapi benarkah seperti itu? inilah tahun-tahun yang
sangat mencekam........
*diambil dari milis bumimanusia
**Puthut EA, seorang penulis muda dari Yogyakarta, buku cerpennya sudah beredar "Kitab Yang Tak Suci", editor on/off
#1 tanya
anggota milis bm yang baik.....
beginilah ciri2nya, tingginya 3/4 tinggi bayang-bayang
yang jatuh ke tembok yang dihasilkan dari sebatang
pohon kelapa menginjak usia lima dalam sorot senja
hampir muntah. terakhir kali, ia mengaku beragama
pocari sweat setelah tiga tahun bersikukuh bahwa
satu2nya agama yang diyakininya adalah sepakbola.
kepergiannya meninggalkan kesan yang muram di otakku.
setelah tigaharitigamalam ia selalu membungkus kakiku
dengan sepasang kaos kaki bergambar boneka menendang
bola, berwarna cerah pula.
kutangkap kelebat itu pada pagi hari ini, lalu sesiang
ini aku mencarinya pada setiap perempatan--sebab
seingatku para pecandu bola adalah penyuka perempatan.
lalu sesore ini aku menyisir setiap jembatan--sebab
aku ingat, paling nikmat menyembah berhala ada pada
atas sungai, bukan menenggalamkan diri di dalamnya.
tak kutemui dia. jika kalian bisa menemukannya, maka
separo garis tangan kiriku yang masih berupa masa
depan, biarlah kutukar dengan beberapa kalimat yang
bisa menunjukkan dimana ia berada.
mantelnya ketinggalan di kursi kamarku, masih basah
memang, sebab aku tidak berusaha mengeringkannya.
hujan terakhir yang menguyupinya memang tidak begitu
biadab, tapi setiap basah seperti punya nyawa, entah
mengapa.
pada letih terakhirku ini, bersediakah kalian
membantu? o, ya, aku lupa. di samping kiri mata
kirinya ada tahi lalat yang tidak begitu besar. ia
juga pernah mengirim sebuah puisi di BM dengan judul
'mega dan pasir' serta sebuah fiksi berjudul 'hariraya
kurang sepekan lagi' tapi sepertinya BM tidak
menangkapnya, teramat cepat mungkin teks yang
dibangunnya untuk melipat diri dan lindap bersama
senja.
aku mencarinya, seandainya saja anda semua juga
mencarinya.....
#2 di pinggangmu ada peta-peta itu......
dan inilah peta yang sempat di tinggalkannya untukku.
di pinggangmu! pesan tak bernuansa damai itu
melengking menggores langit senja yang merah. apakah
salahku padanya? sehingga teriak itu menggarit tajam
pada memoriku. dan tetap sepi, sebab ia pun telah
melipat sisa kepak setiap burung.
(sampai di sini aku peringatkan untuk kalian semua,
agar membaca 'tanya'; sebuah titel surat untuk anda
semua)
cuaca telah berlaku murtad berulang-kali. dan
anak-anak manusia menyimpan diri dalam plastik hitam
pandora. lalu seperti kebimbangan, benda bermuka tolol
melakukan evolusi setengah hati. kepergianmu........
serahim dengan kebimbangan itu.
'lalu sebutlah nama-nama,' ucapmu kala itu. lalu
benar-benar aku sebut sejumlah nama bahkan juga
doa-doa. dan lagi-lagi teriakmu menyayat darah yang
masih merah. 'tidak untuk setiap kata kerja!' aku
bimbang dalam sekarat itu, bimbang kembali berlogika
semesta.
dan inilah kata2mu selanjutnya.......
'aku semuram wajah setiap ibu, bukan ketika
harga-harga melesat tak terkendali, tapi iklan-iklan
itu, kotak-kotak penyebar wabah dengan muka
warna-warni itu, siapa yang paling jawara menyebar
fitnah? kemuraman itu begitu lama, begitu senja. dan
tidak ada hutan-hutan yang meredam getar kecewa ini,
tidak juga ada bau humus yang menyengat, bahkan dari
kulitmu, sahabatku, kulit yang masih kerontang ketika
kata-kata tak cukup menebalkan muka, menebalkan dada.
lalu kita ambil buah semangka yang telah dipercaya
semua agama untuk menghapus dosa, sebab tujuh usapan
air dan pasir tidak cukup menghapus najis kita.'
ia terus melanjutkan ratapannya dalam minus tiga
derajad celcius, dan aku memandanginya sembari
menggunting gambar para pemain bola dunia, membukakan
kaleng-kaleng pocari sweat setiap kali ia
menghabiskannya.
'kutunda percakapan ini sampai semua cuaca melepas
sayap-sayapnya....'
#3 kepingan fiksi ketiga
lalu keheningan itu berlangsung lama, selama waktu
yang dibutuhkan surat cinta yang kita tanam dalam
botol dan kita lempar ke laut menuju semenanjung di
sebalik tiga pulau.
aku masih membuka kaleng-kaleng minuman itu, dan
hisapanmu atas rokok putih mulai menjamah bungkus
ketiga. ombak di kejauhan sana masih saling berusaha
melepas diri, menuju daratan entah mana......
lampu-lampu jalan mulai menyala, menyebar jala siluet
dalam nyeri pinggir jalan. dan gerimis tetap turun
dalam nada dasar c, cukup ritmis untuk menggamit
asap-asap menuju langit yang belum kunjung memadat.
sebuah lagu kau lantunkan.......
'jika pagar hitam itu tak pernah terbuka, maka dimana
hendak kurebahkan tubuhku dalam ketentraman yang
sempurna.....tubuhmu, tubuhmu, diraba malam,
digelayuti mimpi-mimpiku atasmu....'
kau ulang lagu itu dan kadangkala hanya berhenti pada
'tubuhmu,tubuhmu...'
sesekali dalam kesal yang pekat, kita tendangi
kaleng-kaleng yang berserak, suaranya melesat memburu
dinding malam mencari pintu-pintu, jendela-jendela
berornamen sedih.
'sebab di luar kesedihan, kematian membaptis diri di
pintu sorga' dan ketika hendak kau teruskan kalimatmu,
maka aku secepat menyergap, kuperingatkan kepadamu
sahabatku, jangan sesekali mengulang afrizal dan
borges dalam bentuk nyata, sebab virus mereka sudah
menanah dalam memori kita.
kamu tertawa, bersama lanskap malam yang tak kunjung
tenang.
kau ucapkan terima kasih dalam tiga bahasa asing.
setelah itu kau mulai lagi berkicau tentang
keterasingan, sebuah singgasana yang selalu lindap
jika hendak dijamah.
'keterasingan itu iblis. dan kepada malaikat
keputusasaan kita serahkan diri, juga puisi-puisi.'
lalu tiba-tiba engkau memandangku dengan getar tak
tentu. 'kita harus bercinta!' teriakmu persis di
mukaku dalam volume tajam.
aku terpana,'bukankah kita tidak akan melakukannya?'
'kita harus melakukannya, sebab biografi tubuhmu, aku
menginginkan, begitu menginginkan teks-teks atas
tubuhmu, erangan itu......erangan itu.....serupa puisi
yang ditutup-tutupi, disembunyikan oleh dalil-dalil
linear, dalam pangkat entah berapa, ketika seberkas
sinar dikendalikan dalam kecepatan sesungguhnya, maka
garis memutar yang dibutuhkan oleh tubuhmu untuk
menghasilkan sajak setimpal dengan rumus pitagoras
yang tidak menemukan sudut ketiganya.'
'tidak cukupkah keterasingan dan keputusasaan ini?'
tanyaku sambil mencopot ragu seluruh pakaianku, sebab
kulihat tubuhmu mulai telanjang.
'ada peta-peta di kelaminmu yang nantinya akan pulang
pada pinggangmu. peta yang membentuk negara-negara
belum merdeka bersama orang-orang yang juga belum
merdeka.'
dan ciumanmu.......
'kenapa kita harus berciuman?'
'sebab bibirmu penuh luka doa!'
ah.........
sebab lidahmu telah membasahi dadaku, maka napasku
seperti memburu sesuatu yang lenyap dan aku sedang
sangat. sangat membutuhkan.
lalu aku ingat sepuluh tahun silam, betapa masih
begitu muda dan merah tubuh kita. lalu kita curi
stensilan milik kakak perempuanmu dan kita baca di
pinggir parit, yang di sampingnya telah kita bangun
rumah-rumahan dari kardus dan ilalang. lalu kau
usulkan untuk membaca keras-keras stensilan itu,
seperti membaca puisi, katamu. dan setiap yang telah
kita selesaikan harus kita hanyutkan. sebab di hilir
sana pasti bidadari-bidadari kesepian turun dari
langit, mencari anak-anak semuda kita.
aku tertawa, dan tubuhku nyaris basah semua oleh
lidahmu.
aku ingat waktu itu, aku bertanya, mengapa
bidadari-bidadari itu tidak bercinta dengan malaikat
saja. tampan dan bersayap, bisa sama-sama bersetubuh
di atas mega-mega.
iya, bisa juga bercinta di atas pohon kelapa, asyik
bukan, bisa meliuk-liuk. dan kau tertawa ngakak.
usia awal belasan kita, kau sudah mulai bukan hanya
mengajakku membaca stensilan tapi juga mencuri uang
dan membeli bir botol kecil. 'ini parit kita, ini
rumah kita, dan bidadari-bidadari tergila-gila sama
kita, sebab kita muda dan bisa membaca puisi, bukan
hanya kitab suci.'
kenapa kita bisa sebandel ini? tanyaku waktu itu.
belum! teriakmu, sebab kita belum mencoba melompat
dari kereta yang sedang berjalan melintas di atas
sungai. haruskah seperti itu? memucat tanyaku. harus!
sebab puisi-puisi hanya indah ketika dibaca pada
perbatasan hidup dan mati, ketika tubuh kita melayang
dan tidak tahu, apakah lubuk sungai atau bebatuan yang
akan menerimanya. aku semakin pucat.
aku terhisap arus kebandelanmu, getarnya kurasa dan
hidup sampai kini.
hingga suatu saat perempuan pertamamu, menyatakan
cintanya padaku. engkau hanya meringis. biarlah aku
sama tante di stasiun saja, ucapmu tak terluka.
sipilismu pernah menguras tabunganku. engkau ngakak
lagi. sebab itulah kita dipertemukan cuaca.
tubuhku semakin basah, langit semakin basah.
#4 sebuah senja telah diperkosa daun-daun
dalam gumpalan plastik itu telah kau simpan udara yang
merekam peristiwa2 kita. sampai dimana perjalanan ini
sahabatku? sebab telah banyak yang tumpas. juga segala
berlarian ke ujung penyelamatan diri dan surga yang
entah apalagi. ya, keabadian itu, telah menumpas
semuanya.
lalu bersepakat apa kita jika memang seorang pengutip
yang baik?
ini aksesoris kata kita tebar kemana? kita sudah
sampai pada bab tak terhingga, dan cuaca di luar sana
masih bergelayut pada perempuan yang mengepang kuda
rambutnya--cantikkah? ya, sahutmu. perempuan itu tidak
hanya mengepang kuda rambutnya, juga seluruh cinta
kita.
tapi aku ingin tidur sambil memelukmu, seperti
dedaunan menggulung kepompong ulat.
#5 lipatan fiksi kelima
terkadang kitalah pemilik murka itu, pemeram dendam
dan menggantungnya pada langit malam paru-paru kita.
sejak ular-ular kita lepas pada sebuah upacara
bendera--dan padi menguning waktu itu--kita tetap
merasa ada yang angkuh pada diri negara. tapi kita
masih terlalu kecil waktu itu, untuk tahu, bagaimana
menjadi seorang warga negara yang murtad dan membilas
tubuh kita dengan cairan berontak. menjadi sepasukan
pengibar bendera adalah pilihan kita, merobeknya,
tepat ketika orang-orang bersiap sedia menghormatnya.
skorsing seminggu kita terima, alasan penguatnya:
bendera sekolah menegah pertama kita, sudah terlalu
tua!
lalu ketika usia belasan menuju jantung waktu,
kauangkat aku menjadi pemimpinmu. sebab telah
kutandaskan ratusan kitab dari pantai utara dan
kuselesaikan segala rimba persoalan kita, termasuk
sipilismu. pada tajam kataku, telah bersama kita
heningkan banyak pasar dan tanah lapang. segala
kerumunan menjadi buyar membentuk bulatan-bulatan
mufakat yang mengelilingi kita.pada setiapa purnama
kita masih mencari sudut-sudut sungai yang menyimpan
harum pohon jambu liar, sebab ada yang terus
menghindar namun tetap memantau kita. dan kita tidak
suka! tidak pernah suka!
segala telah kita belah dan nodai; juga doa, juga
mantra, juga purnama. bukankah telah menjadi sepakat
kita untuk membilas segala dengan warna berbeda?
urusan kita dengan benda-benda dan ingatan-ingatan
hampir selesai. suatu saat betapa mengganggunya,
ketika kita sadari bahwa hidup tak lebih dari sekedar
memunguti batu dan kita sendiri berdiam di sana:
menjadi bisu. sesaat pula setelah aku sadari ada tujuh
batang lidi dan duabelas sedotan menancap di
tenggorokanmu, arak mengucur deras, merambah segala,
menyebar harum yang tak bisa tandas. aku cukup tahu,
dari yang mengucur di sana, ada puisimu. hampir habis.
sedang engkau pernah berjanji di emperan toko
elektronik ketika malam dikerudungi deras hujan,
seribu sembilanratus puisi, baru mati. hanya duaratus
dari dadamu, hanya tigaratus dari dadaku. tapi kenapa
hidup kita nyaris selesai?
perjalanan omong-kosong apalagi ini? tak ada
gerbong-gerbong waktu yang memohon ampun pada
peristiwa-peristiwa.
hidup macam apa ini semua? sebangsat apakah
persahabatan kita? jawab, jawablah! sebab kita tidak
pernah menjadi diri kita sendiri, percayalah.
#6 spasispasifiksikeenam
memang, pada akhirnya.....himpunan luka ini berhasil
membuat denah di hati kita tentang hidup yang omong
kosong.....
matilah aku, ketika raungmu kali ini disertai robekan
kain batik nenekmu dan kendi berisi bunga-bunga kecil
tiga warna. mari kita selesaikan dengan cara yang
paling tidak nyaman pada hidup ini, begitu ajakmu.
lalu kuletakkan kitab setengah kubaca dengan judul
merah menyala; cinta orang-orang bermata kosong.
kubuka pocari sweat, tuhan keduamu setelah sepakbola
itu.
seekor piton yang lepas dari kutukan keluar dari laci
mejaku, ia ikut bersedih memandangi kita. aku tahu
piton itu cukup lapar, sebab sudah berpuluh-puluh hari
ia di dalam laci mejaku hanya bersama robekan kitab
tua yang mencoba kita hapal dengan cara merobeknya
halaman demi halaman. maukah engkau memangsa kami,
piton?
kau tetap meraung sambil semakin mendekap daun
jendela, kulihat pula, setiap raunganmu bertambah
panjang, kendi itu memuntahkan semakin banyak bunga,
tak habis-habisnya, dan kain batik itu semakin robek
berserpihan. betapa setiap kesedihan memang begitu
luar biasa bagi kita.
pelangi di luar, membujur membaptis diri sebagai
buletin pekabaran alam. warna birunya semakin dalam.
kita juga pernah berbincang untuk menenggelamkan diri
di sana, suatu saat.
pada kali pertama jeda raungmu, engkau menatapku
seperti belahan teka-teki silang. hanya ada
pertanyaan, dan aku hanya diberi kesempatan menjawab.
sedang dulu tidak pernah seperti ini, sebab kita akan
menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, atau membagi
banyak-banyak jawaban, jika ada satu pertanyaan yang
berani diajukan oleh siapapun kepada kita. ingatkah
kita, suatu saat pada pelajaran biologi kita bawa
sejenis ikan yang bisa melompat dan berjalan di atas
air payau? terus kita desak guru itu untuk memberi
tahu, jenis apa binatang ini? kutukan dari setiap
pergantian cuacakah? berwarna seperti tokek, berlari
seperti tikus. dan tidak ada jawaban, lalu kita
bersama keluar, tak ada pelajaran berharga di kelas
biologi ini. juga ketika fisika dengan paradoks zeno
yang kita colong dari orang gila di perempatan jalan,
dan guru kita tetap bungkam. atau kau telanjang dalam
pelajaran sastra, dan mengatakan ada puisi di balik
celana dalam yang sedang kaukenakan. dan aku muntah di
pojok kelas, muntahan beraroma vodka sambil membaca
puisi di pelajaran sastra yang itu-itu juga.
dan tak terhingga kegentingan serta keonaran yang
sering kita perbuat di rumah suci. ah, tapi ini tetap
menjadi rahasia kita, bukan?
suatu saat, hanya sekali, aku ingin membunuhmu, ketika
kau bertanya, kapan kita insyaf? jadi kau pikir selama
ini kita tidak insyaf, kita telah melakukan hal-hal
yang salah? mati saja kamu, dalam ketidakyakinan yang
busuk itu. sekali juga, engkau ingin membunuhku,
ketika aku bertanya, kenapa kita tidak mencoba
berpikir tentang hidup yang nyaman? kamu menjawab,
matilah kamu, sebab kenyamanan adalah kematian.
beri jari kelingkingmu, dan jangan tatap aku dengan
belahan teka-teki silang di matamu.
mari kita berpikir, apakah sekarang saatnya?
aku masukkan piton ke dalam laci, lihat, matanya masih
sedih. kini berhadapanlah kita. lepas daun pintu itu,
kendi itu tenang, kita ikat lagi robekan kain batik
nenekmu.
bersitataplah kita, ada pecahan jagat raya yang rumit
di tubuh kita ini. rasakanlah.
aku membuka kardus besar yang kosong, sebab mungkin
kita butuh istirahat dalam ruang yang berbeda. aku di
atas meja, kau di dalam kardus kosong. tapi kita harus
tetap saling menatap. membagi kerumitan dalam hidup
yang benar-benar omong kosong.....
#7 ternyata kematian itu tidak pada fiksi ketujuh
kusimpan petasan-petasan yang ditutup dengan pasir
pantai di langit-langit kamarku. sang penemu sekaligus
pembuat petasan itu kini sedang di kantor polisi.
pukul lima kemarin, ia ditangkap. bukan, bukan itu
jika kemudian kupasrahkan ratusan petasan itu
kepadamu, sebab sudah lama kita bermain-main dengan
penegak hukum. aku menemukan permainan baru,
sahabatku, dan aku cukup mual dengan kelicikan
meledakkan petasan. ingat, kita tidak pernah
bermusuhan dengan orang-orang cacat, sakit, dan hilang
ingatan. kita berhadapan selalu dengan arogansi
kewarasan dan hukum yang semena-mena. permainan baruku
itu kuakhiri dengan titik-titik....carilah aku, pada
arah tenggaramu. terserah kamu dengan petasan-petasan
itu, seperti pernah kupasrahkan kemurtadanku padamu,
beberapa waktu yang lalu.....
surat mungil itu kulipat. tak kusentuh petasan itu,
hanya kubuka dua genting dan berharap hujan
menyelesaikan berahi petasan yang tersimpan di
langit-langit kamarmu. pada tenggaraku, kulacak
jejakmu. sebab nafasku sudah lama tak beradu dengan
binal dan liarmu.
aku berkelebat, langit berkelebat, tirai berkelebat.
engkau dibekap merah cuaca, tak kutemui kau di segala
yang kutanya, yang kuraba. pada lengkungan macam apa
sekarang engkau menghilang? aku ingat persis akan
ruang-ruang cembung yang kau bicarakan, suatu saat
kita akan bersembunyi di sana, begitu gumammu. pada
semua benda ruang-ruang menggulung diri, melengkung,
cembung. ada sesuatu di setiap benda sehingga mereka
mampu melipat ruang. pada benda segalanya
berkonsentrasi, bendalah titik pijar segala, sehingga
pada benda segala berkah bersemayam, sekaligus
kutukan, sekaligus kebusukan. mungkin karena itulah,
tuhan banyak manusia perlu mengajari ciptaan
pertamanya untuk mengenali benda dan memberi tahu
nama-nama benda. o, ya ? puji benda!
a ha! itu siluet tubuhmu. aku hapal punggungmu yang
menawarkan rasa empedu. inikah permainan barumu?
bersama pemakai sarung yang masih membawa bau tanah
seberang dan amis ikan? ah, bukan hanya itu, aku
mencium bau garang lautan selatan dengan kapal-kapal
mungil yang gemetar.
semua habis, teriakmu padaku. aku tertawa melawan
angin rinduku. pantas saja, uang di bawah bantalku
lenyap bersamamu. dadu-dadu itu menyebar banyak
kemungkinan, seperti kita, tangkasmu membela kepergian
yang tiba-tiba. aku tidak pernah melarang, tapi mari
kita minum kopi sejenak, dan akan kutinggal kamu untuk
kemudian datang lagi membawa uang. kenyangkanlah
hasrat bertaruh, tapi aku sudah melakukannya sebelum
kamu tahu, ada berapa titik pada setiap dadu.
aku ingin jadi nelayan untuk dua bulan, membakar
ikan-ikan segar, membakar kulit sendiri, membakar
waktu, begitu tegasmu padaku. tidak seorangpun
mengajakmu kembali. orang-orang yang pulang adalah
orang-orang yang tidak berani menimbun luka. kita
berdua, adalah dua manusia yang selalu pergi tanpa
pernah berjanji untuk pulang lagi, bahkan pada diri
sendiri.
ini uang, kita bagi dua. aku akan kembali ke utara
untuk segera menuju barat daya. ingat, antara tenggara
dan barat daya, dalam titik utara selalu pasti
membentuk huruf v terbalik. kita berada di balik
segala kemenangan. apakah itu pertanda kekalahan? kita
lihat saja.
ya, seperti semesta, kita tak tahu, sedang menuju
kemana....
# 8 fiksi ke delapan: prosesi matirasa
inilah aku dan arah barat dayaku.
sebuah kota yang membanggakan kebusukannya, tak ada
cermin untuk mengaca dan mematut-matut diri. aku di
sini, kini. tidak untuk masa depan, tapi yang
bergejolak harus dilampiaskan. aku bukan seorang
penyabar, sebab aku menyukai ombak garang.
dan inilah kota kekalahan itu. kota bagi raja-raja
yang melarikan diri dari merkantilisme sekaligus
kolonialisme, raja-raja yang sudah tidak menguasai
laut sekaligus angin yang menderu di atasnya. ya,
raja-raja yang tidak berkuasa atas lautan hanyalah
seperti tubuh tak bertulang belakang. inilah kota
kekalahan itu. kota orang-orang kalah, yang tidak
cukup mengimani diri sendiri dalam segala medan
pertempuran. aku ke sini, untuk melihat sejarah
terluka itu, sejarah kekejian raja-raja yang memenggal
rakyatnya sendiri tapi tidak cukup mampu mengahadang
meriam dari negeri seberang. agar tetap terlihat
perkasa, kita memang bisa melukai orang yang lebih
lemah atau diri sendiri. cara culas orang-orang gagal.
aku datang setelah ratusan tahun raja-raja kalah itu
membangun kekuasaannya yang rapuh. aku masih melihat
mereka, orang-orang yang hanya berani berdoa. tapi
inilah kota wingit yang bagi segala benda dan manusia
yang berani mengejek kemiskinan rupanya. di sini pula,
raja manusia bersekutu dan bercinta dengan raja jin.
seni dan sastra adalah anak rohani puja-puji pada yang
ghaib. keindahan itu untuk di luar sana, tak terjamah,
tak teraba. moyang segala budi adalah percaya. inilah
diriku sekarang, bertempur terhadap diri sendiri di
tengah-tengah orang-orang yang membawa tradisi
kekalahan dan gampang percaya. dan tidak ada kamu di
sisiku, sahabatku. ada harum arak dan tuak, tapi untuk
melarikan diri, ketika yang ghaib menunda
jawaban-jawaban. aku tidak kuasa untuk meneguknya,
sebab arak kita adalah arak makar.
di tenggaramu, masihkah kau coba menghitung jarak
antar bintang? awas, hati-hati dengan biasnya.
tapi di sini, suatu saat aku dikelilingi orang-orang
berkaca mata yang sibuk menghitung tulang rusukku dan
volume otakku. juga kecepatan kata-kataku, ketepatan
ucapku. mereka bersorak. mereka menemukan sesuatu di
diriku. mereka bilang, ujung senjata sudah ditemukan,
tinggal diasah tajam-tajam.
aku dikelilingi orang-orang yang butabenda. tidak bisa
membedakan asbak dan kepala manusia. astaga....mereka
juga buta ruang, sering salah menaruh celana dalam.
mereka memperkenalkanku dengan pengetahuan baru,
sahabatku, tentang dialektika peristiwa-peristiwa,
bahkan ekspansi ruang. membawa banyak kitab dari
negeri seberang, yang berkekuatan semacam mantra tapi
bicara soal hukum-hukum dunia. tidak ada tuhan di luar
benda-benda. upacara-upacaranya adalah penyatuan
kehendak kita.
gelas-gelas berjatuhan, bintang-bintang seperti
berjatuhan.
tapi bukankah keyakinan kita adalah rel kereta? lurus
jalan berdua tanpa pernah niatan bertemu. ada di
antara medan lurus dua hal yang berkontradiksi.
permusuhan laten dua hal yang berseberangan, kita
tahu, dan kita ada di tengah-tengahnya tanpa pernah
berusaha untuk mempertemukan.
aku adalah sesuatu yang sekarang ditekuni oleh mereka.
sedari sebelum sadarku sampai sebelum lelapku. inilah
keyakinan mereka yang berusaha dipasokkan pada otakku.
bahwa segala materi tidak harus bisa diraba dan
dibejanakan. tidak harus dibalut warna-warna dan
dikerudungi bebauan. aku diperingatkan atas pentingnya
peristiwa-peristiwa, bukan sibuk atas awal mula
penciptaan. mereka tetap bersepakat pada kita tentang
titik pijar benda, yang segala berkah dan kebusukan
bersemayam. tapi terus memperingatkanku atas
pentingnya peristiwa-peristiwa......
pada benda diam, ia menelusupkan hakekat gerak. lalu
masuklah pelajaran kedua itu, pelajaran tentang
permusuhan yang laten. kontradiksi. ada yang
bersikukuh di sini dan ada yang angkuh di sana, semua
bergerak dalam model getar sederhana sampai
letusan-letusan dahsyat.
aku ingat raja-raja yang kalah dan aku ingat akan
kita.
#9 sambil lalu-nya fiksi kesembilan
.....seperti telah disarangkan bulan sabit ke dada
kotaku oleh waktu.....
demi sepi dan malam yang selalu pecah oleh berontakku,
tibalah pada suatu saat, ketika itu tak ada satu kata
yang kau dentingkan dari sana, aku begitu rindu.
dilecut dengan benda apakah, sehingga setiap kerinduan
yang tua selalu melahirkan keberanian yang luar biasa?
akan kurasa mendekapmu dalam dada hangat mendesir,
ketika kusambar segala petaka di kota ini, kota barat
dayaku. dan malam hari yang tersisa adalah menelusuri
jejakmu dalam ingatan-ingatan merahku. aku rindu
masa-masa kecil kita dan jalanan kampung yang tidak
rata. masa kecil menjadi sesuatu yang tidak bisa
dihapus oleh cuaca--bau jalanan, teriakan, dan sperma
kita yang muncrat sebelum waktunya, sehingga belum
pekat benar--berani sumpah, ada sejarah tubuhmu di
tubuhku.
tapi sudah menjadi sumpah kita untuk berpisah, ingat,
tenggara dan barat daya, dari titik utara adalah
dibalik semua kemenangan. dan menjadi janji kita untuk
terus membuktikannya, sebab hidup tidak tercukupi
dengan kemenangan demi kemenangan. di sebuah tanah
lapang dalam deras hujan, senja hampir menelungkup,
dua lawan tiga, kita kalah tipis dalam bermain bola.
dadamu dan nyeri itu, terasa sampai sekarang, di sini,
pada titik terdalam dari luka-luka pertama berkumpul.
untuk pertama pula aku menghimpitkan nyeri atas
kekalahan pada dadamu dalam telanjang. kekelahan tidak
pernah membuat tidur kita nyaman, bukan? tapi mengapa
kita tak pernah benar-benar ingin menang? dalam segala
perang dengan senjata pelepah pisang, kita selalu
berusaha untuk mati dalam pertempuran terakhir,ketika
kita begitu yakin, musuh akan kalah. aku tidak bisa
menjelaskannya, kamu terdiam juga jika kutanya.
malam-malam yang beringsut di kota ini seperti
menguntai kejemuan. manik-manik jemu itu mulai
menggelembung dalam dadaku. kamu juga merasakannya?
tapi aku tahu persis, tenggara yang telah kau pilih,
adalah tempat berlarinya para pemberontak. jadi
beruntunglah kamu, di sana, di kota pilihanmu, mungkin
sedang menggumpal merahnya marah di dadamu.
inilah tahun ketujuh yang memenjarakan kita. rentang
tahun yang kita harapkan bisa memisahkan untuk
sementara. rasa, juga harus mengalami ujian. seliat
apakah rasa di antara kita? apakah teruji hanya dalam
kebinalan, ramai dan onar? tujuh tahun kita
menguburnya dalam sepi. sebentar lagi sahabat, aku
bisa mendapatkan sebagian ketentramanku yang telah
melesat bersamamu.
pada tajam tebing waktu, kita saling menunggu.
#10 fiksi kesepuluh: puji benda! seru sekalian alam, puji benda! yang berkuasa atas segala
tenggara cukup pekat, tapi itulah tenggaraku, kota
terakhir para pemberontak untuk mati, bukan untuk
lari.
lalu tetap kuingat itu: jika pada suatu malam--sebelum
esoknya, kita berpisah benar--ada pesanmu terngiang di
diriku.sebab aku yakin ada yang di luar segala
kematian, dan sekaligus ada yang di luar segala
kematian, oleh karena itu kita harus membagi diri
secara sempurna, kita harus melacaknya, kita akan
menemukannya, entah disebut apa. sorot matamu
menajam--seperti biasa engkau menyulap ribuan orang
agar bergerak--begitu yakin, sebelum kita putuskan
benar.
aku hangus atas katamu, dan takjubku tak
selesai-selesai sampai sekarang. kata! begitu kuat
engkau menguasainya, mengendarainya. mulutmu adalah
senapan-senapan berbagai bentuk dan
jemparing-jemparing magis yang membuat bergidik banyak
orang, bahkan sebelum sebuah anak panahpun di cabut
dari tempatnya.
kecilmu, aku cukup tahu, pada tebing-tebing curam
engkau menajamkannya. ada sesuatu dalam tubuhku, yang
sepertinya sangat tajam, pertama-tama, aku harus
menguasai dan mengendalikannya, begitu keluhmu. dan
memang, kata-kata yang kau lempar selalu melesat
menghantam dengan cermat pada segala kata yang lain,
benda-benda, juga banyak manusia. kata-katamu,
ditakuti. kata-katamu, dirindukan.
hingga suatu saat engkau diam kelelahan, berpacu sepi
dalam hening.
aku ingin kafir dari kata-kata, keluhmu lagi, begitu
dalam.
apakah itu kutukan? tanyaku sambil membelah durian
yang kita rebut dari pertengkaran kecil di pinggiran
sebuah parit, pagi itu.engkau mulai menelanjangi
pakaianmu, dan kulihat kelamin yang terurai tanpa
rambut, seperti punyaku, tidak seperti punya
tetanggaku. engkau tak pernah riang benar, tapi jika
sedih terlalu benar.
engkau melempar pongge-pongge dalam tenaga yang luar
biasa. o, tidak, sebab sekaligus engkau melempar kuasa
kata-kata atas dirimu.
engkau mulai meneriakkan nama benda-benda, seperti
berusaha melepaskan dari untaiannya, mederaikannya
agar lepas. aku menatap tengkuk telanjangmu, tulang
punggungmu yang aneh. lalu kubalikkan tubuhmu,
menghadapku. airmata itu kulihat, beberapa diantaranya
menetes ke kelaminmu--hingga sekarang aku masih
menganggap kelaminmu selalu kelamin yang basah oleh
airmata, kelamin seorang anak di kelas lima sekolah
dasar. engkau menunduk, dan kucium rambutmu. aku
merasakan bara di kepalamu--dan sesungguhnya dari
sana, aku cukup tahu untuk mengangkatmu jadi
pemimpinku. memang, engkau tidak pernah menang dalam
setiap perkelahian, tidak sepertiku, tapi engkau juga
tidak pernah selalu kalah dalam perkelahian, juga
tidak sepertiku.
sepuluh tahun setelah peristiwa itu, sekarang kau di
barat dayamu, dan aku di tenggaraku. bersepakat untuk
tak berbagi apapun, sebab memang ada yang harus diuji
benar, bukan hanya lewat pertempuran demi pertempuran
dan kebersamaan demi kebersamaan.
di kamarku ini, aku terus mendengar cerita orang
tentangmu, terutama tentang perempuan-perempuanmu dan
tentang pemberontakan-pemberontakanmu.....
aku begitu rindu, dan bersiaplah pada tajam tebing
waktu......
#11, ayat-ayat durhaka, kitab-kitab omong-kosong....
di sebelah keheningan itu, seorang gadis ketigapuluh
tujuh-mu, sedang menyelesaikan sisa makan malamnya. ia
masih bersedih, ia masih menginginkanmu. seperti
gadis-gadis yang lain. pada ketakrelaan ia bersimpuh,
menyembahyangi kehilangannya atasmu.
di depan segala benda, ia tercenung, sebab pada segala
benda, ada bayang-bayangmu yang memantul.kijang
tubuhnya senantiasa melayap. ia rindu onar, dan pasti
cinta membabibutamu. ia pula yang memastikan padamu,
setelah tigapuluh enam perempuan tak juga membuatmu
yakin, tentang cinta. seperti halnya hidup, hanya ada
cinta yang omong kosong.
tapi memang ada manusia yang tercipta entah dari apa,
yang sepertimu. dari mulai tatap mata yang bisa
menggulung cuaca menuju derajat luar biasa.tak ada
ajimat dan mantra-mantra, bahkan tak ada doa-doa.
sesosok tubuh yang dibangun oleh sejarah kesedihan
demi kesedihan. boneka-boneka kau tanam pada setiap
dada mereka.
hingga kauputuskan, menendang cinta dari dada,
menendang keras kaleng kosong coca cola.
siapa tak rindu pada ranum berontakmu? tubuh
terpanggang api hidup dengan wajah kemerah-merahan
pertanda luka yang menggila?
tak perlu ada pengkhianatan yang menyakitkan, sebab
telah kau bakar cinta. setelah remuk benar setiap
hati, maka biarkanlah hati menyusun dirinya sendiri.
luka-luka tak pernah murung selamanya. setiap tubuh
tak pernah terluka, jika tubuh tersusun dari luka demi
luka.
dan gadis ke tigapuluh tujuhmu sungguh-sungguh
bersedih. seperti gadis-gadis yang lain pula, telah
kau buat ruang selamanya dalam otaknya. mengapa?
mungkin karena hari-harimu adalah
kemungkinan-kemungkinan, juga kejutan-kejutan.
di depan kamarnya, ditaruhlah sebuah pot bunga,
semenjak perpisahan itu. benih merah kehitaman ditanam
dalam rasa yang begitu malam. dan tumbuh subur benih
itu, rimbun seperti terpelihara. pada kembangnya yang
masih menguncup, gadis itu menunggu, berharap bersama
mekarnya kembang itu, angin datangmu melabrak
kesunyiannya. tapi tidak, sebab kamu tak pernah lagi
percaya atas segala cinta.
seperti yang kau tahu, pada hal cinta aku tak pernah
mengerti dan memutuskan. tak pernah ada perempuan yang
mengisi hidupku, dan kamu menuju gadis-gadis dengan
angka depan empatpuluh.....
sekali aku teringat tentang perempuan, menarik bagiku,
waktu itu. perempuan itu menyatakan cintanya padamu,
tetap tidak ada masalah bagiku, sebab aku tidak pernah
mengerti dan memutuskan tentang cinta, sesuatu yang
omong kosong bagimu seperti ruang kosong bagiku. yang
aku tahu, ada saat dimana kelaminku merasa harus
melakukan sesuatu. itu yang kulakukan, peduli sipilis,
peduli raja singa, itu yang kurasa. anehnya, engkau
tak pernah bersetubuh sekali pun, sekali pun!
aku tak pernah dikutuk oleh kata, aku dikutuk sipilis
dan raja singa.
engkau tak pernah dikutuk oleh kelamin, tapi kata?
nyaris meledakkan otak dan tubuhmu.
lalu aku mendamparkan ingatanku atas sebuah gumaman
malammu, pada malam benar: lihatlah betapa kejinya,
kematian harus dibunuh oleh keabadian, berahi
ditopengi cinta sejati, kekalahan disembunyikan oleh
surga.
aku bersepakat--pada hal apa kita tidak bersepakat?
bahkan perpisahan panjang kita sepakati, siapa tahu,
tanpa kebersamaan ketidaksepakatan memijar--bukankah
sipilisku diselesaikan tabunganmu? bukankah sakitmu
kuselesaikan dengan tanganku?
lalu darimana selebaran-selebaran kebajikan
ditebarkan? kebajikan-kebajikan menyusun dunia megah
luar biasa. dan kita meyakini, itu semua disusun oleh
pikiran-pikiran manusia yang sia-sia.
#12: cadas!
seperti anak-anak buaya yang mulai mengembara, kita
pun bersiap sedia membayar mahal, berontak dan
keingintahuan.......
dan telah kita bayar tunai beserta segala bunganya,
beserta segala anak cucu dendam atas segala yang kita
habisi, segala bid'ah pikiran sia-sia.
ah, lalu aku teringat fajar itu.....
seorang letnan muda sedang keluar dari tempat hiburan,
berahi di tubuhnya menghitam. pada jalan ia
menyeberang, menuju rumah yang menyimpan puluhan
perempan cantik. ia tergesa, sebab sloki yang
ditenggak terakhir bukan hanya mengabarkan hitungan
lebih dari duapuluh dua, tapi juga derajad berahi yang
semakin meninggi.
kita melihatnya sepintas, di bawah tiang listrik, kita
masih berbincang. bulan tak ada. sinar lampu jalan tak
pernah lupa menghujani warna yang sama dalam segala
hal.
keribuan meledak. terdengar pula bunyi meledak. lebih
dari sepuluh orang menghajar letnan muda, dan
menyeretnya dari dalam rumah itu menuju pinggir jalan.
ia ditingalkan bersama luka dan wajah angkuh dalam
uatan erahi yang tak selesai. kasihan, laki-laki muda
yang hanya mengenal hidup dalam asrama, tangsi,
barisan. pintu rumah terbuka, seorang perempuan muda
dengan wajah berdarah menghampiri si letnan muda.
perempuan itu meludah, persis di dahinya. kami tertawa
dan semakin merasa kasihan.
engkau menghampirinya, perempuan itu pergi
meningalkannya. kau nyalakan sebatang rokok putih, kau
selipkan di mulutnya yang penuh darah. dan dari sakumu
engkau mengeluarkan sesuatu. aha! beberapa puisi kita
yang sempat kita catat sore lalu. kau masukkan di
sakunya.
aku tertawa. buat apa? teriakku. engkau diam, terus
melangkah, aku mengikutimu. aku terus bertanya, engkau
terus melangkah sambil menendangi kerikil jalanan,
menendang jauh, ditangkap oleh malam.
terkadang ada banyak hal yang dilakukan tanpa bisa
dijelaskan. seperti engkau juga meninggalkan
perempuan-perempuan itu.
lalu aku ingat beberapa orang yang tak pernah
menanyakan alasan-alasan. salah satunya ibuku, yang
setelah tiga kali persingahanmu waktu kecil ke
rumahku, engkau uga memangil ibuku dengan 'ibu' pula.
tetapi oarang-orang memanggilnya dengan kata 'lonte'
di depan nama ibuku. di tanah lapang, di gardu ronda,
di terminal, di langgar, mereka selalu menanyaiku;
engkau anak masinis, pelaut, atau sopir? beberapa
sebaya kita kuselesaikan. kau selesaikan yang lebih
besar, sebab engkau cucu pejuang yang ditakuti dan
anak keluarga terhormat. mereka tak berani
menyentuhmu, walau aku tahu, caramu berkelahi tak
lebih dari sama dengan caramu menangkap ikan. tak
pintar-pintar amat. tapi pangilanmu pada ibuku,
membuat ruang hormat yang dalam di hatiku, dan
semenjak itu aku bersumpah untuk hidup dan mati
bersamamu. lalu ikrar kita teriakkan, pada malam
dimana aku aku membantumu membabak-belurkan
kakak-beradik anak mantri polisi. mereka iri, sebab
anak camat yang sudah smp menaruh hati pada anak
kecil, lantang, pemberani sepertimu. baru kelas enam,
waktu itu, dan di atas rel kereta, yang dibawahnya air
sungai deras menderu. suara kita tak kalah, begitu
garang, begitu menantang.
satu per satu, sebaya kita segera mengelilingimu.
selusin lebih sebaya, membuat kita tak pernah
disepelekan banyak orang. termasuk mereka orang dewasa
yang sudah mulai berani bermabuk-mabukan di pos ronda.
perkelahian demi perkelahian membesarkan kita. sebab
kita diperlakukan tidak adil dimana-mana, kita
melawan, kita berdarah, kita menang. dan sebagai
penguasa baru pos ronda, kita harus menenggak arak dan
vodka.
aku juga teringat seorang kakek berwajah getir, di
pojok kampung. engkau memangilnya 'guru'. dia tak
lebih dari tukang memperbaiki sepatu. sebelum kami
terbiasa dengan caranya bicara, engkau terbiasa bicara
berlama-lama dengannya. sementara, kami menunggumu di
seberang jalan sambil main kartu.
ada lagi orang gila yang bersahabat
denganmu.kemana-mana naik sepeda angin dengan cambang
dan kumis yang hampir menutup wajahnya. matanya! ya,
matanya, yang membuat kami takut dan penduduk kampung
kita takut. mata yang tajam, dan hanya kamu yang
sanggup menatapnya. juga membuat ia turun dari
sepeda.pada orang gila itu, kamu juga sanggup bicara
berlama-lama.
aku tersenyum. di sebuah kamar, di tenggaraku, aku
mendengar cerita tentangmu dan aku mengingat-ingat
kamu waktu dulu.
#13, volume lirih lagu-lagu sedih
ini sedihku, yang juga sedihmu.
perempuan itu menyalakan lilin bersama setengah
hatinya yang terbakar. dia lah perempuan yang
mengirimi doa-doa semenjak kabar pulang yang dibawa
ombak mengatakan dengan pasti; serdadu itu, suamimu,
pecah kepalanya, bukan karena peluru musuh-musuhnya,
tapi sebatang pohon rengkah dihantam badai, roboh, dan
salah satu dahannya tepat menghantam kepala suamimu.
pecah. sekali lagi bukan karena perang, tapi tetap ada
bendera dua warna yang diselimutkan, tetap ada doa-doa
dan tembakan di udara. setidaknya dia tetap tentara.
dibunuh atau membunuh, diculik atau menculik, dia
tetap tentara dan kematiannya layak dihormati,
setidaknya oleh tentara sendiri. sebab selain tentara
sudah lama membuang muka.
perempuan itu tak pernah mencintai suaminya, bukan
karena dia tentara dan tahu kebiadabannya. tidak. dia
jauh dari prasangka dan pikiran seperti itu. tapi
karena hal yang sepele; tak ada perasaan tergetar itu.
sebab yang selama ini menggetarkan hatinya adalah
kamu! laki-laki yang duabelas tahun lebih muda dari
usianya.
tetap saja ia bersedih, setidaknya harus bersedih. dan
kamu bersorak girang, menyoraki kematian seorang
tentara, tentu, juga bukan karena kamu tahu, tentara
itu sedang diperintah untuk membunuh orang di pulau
seberang. tapi karena dendammu karena pernah kau
pergoki ia bersetubuh dengan istrinya, di ruang
tamunya yang terbuka. dan waktu kecilmu, karena sebuah
petasan yang menyalak ringan, kepalamu dihantam gagang
senapan.
perempuan itu menatapmu dengan getar dan pengharapan
yang mulai tersulut, ada sesuatu dalam hidupnya.
tatapan mata seorang perempuan pada menjelang sore, di
sebuah beranda. bukan hanya kesepian, aku pikir. tapi
sesuatu lebih menggetarkan karena tak pernah disangka,
tak pernah diduga.
sore itu, seusai bermain bola, beberapa durian ada di
tangan. kemenangan memang harus dirayakan, sekalipun
dengan keberanian yang lain, mencuri misalnya. dan itu
biasa kita lakukan.
ia duduk, tercenung menghadap segelas teh, dan menatap
pagar putih rumahnya, pagar yang semua orang bisa tahu
bahwa itu pagar rumah tentara dengan pangkat yang
tidak sederhana.
dan lewatlah kita, bersama bau durian yang menyengat.
ia melengak. memanggil, memberi sekian ribu untuk dua
dari tiga durian kita. kita butuh rokok, bukan?
bersepakat, merelakan dua durian. ia menatapmu, tidak
seperti menatap pagar rumahnya. dan kau menatapnya,
memerah wajahmu, wajah orang yang kelaminnya baru
selesai dikhitan.
ia cantik, aku menginginkannya, bisikmu, sepulang dari
bermain bola, sore berikutnya. dan yang kutahu, kamu
bercinta dengan perempuan itu. tapi tidak kumasukkan,
katamu. aku kaget. jadi memang ada orang bercinta yang
tidak dengan memasukkan kelamin laki-laki ke kelamin
perempuan. ia takut dosa, dan kasihan padaku,
sambungmu. aku semakin kaget dan tidak mengerti.
dua tahun kemudian, kabar kematian suaminya datang.
kamu bersorak girang, tapi segera bersedih, sebab ia
harus pergi entah kemana. ia tetap tidak mau
bersetubuh yang sesungguhnya, dan kamu menangis
meminta. tapi berkali-kali ia mengejang, pertanda
kenikmatan luar biasa menyerangnya. dan sperma mudamu,
nyaris tak keluar lagi, sebab muncrat berkali-kali.
kamu semakin sedih, sebab melekat di ingatanmu, lewat
lembut suara, pelajaran bercinta, dan basah tubuhnya.
di tepi kali pinggiran desa, sebuah jembatan panjang
di atasnya--tempat pertama yang dikenang jika pergi
lama dari desa--kau tulis sebuah nama, entah nama
siap, bukan namanya. kutahu kemudian, kaujeritkan nama
yang ia pinta, setiap kali sperma mudamu muncrat
bersama tubuh mengejangnya.
lalu anak camat itu, putih sekali. ia selalu bicara
dalam bahasa yang aneh, mungkin karena di rumahnya ada
banyak buku dan koran dan televisinya sudah berwarna.
lalu kita pura-pura ingin menonton tv. ia duduk sambil
memegang buku, lalu kau tebar beberapa kata, tentang
buku yang dipegangnya. ayah ibunya sedang tak ada. aku
tetap menonton tv, dan kau masuk kamar bersamanya,
main catur dan berciuman.
lalu yang ketiga dan seterusnya. kusulut sebatang
rokok, berpindah pada ingatan lainnya.
#14: petabuta
beradu kelingking, saling meminjami kecemasan dan
kekuasaan. setiap sore, sebab itulah pagar waktu masa
kecil, dan malam adalah ujian dari setiap kecemasan.
jika keinginan untuk bertemu menggila, sebab ada
kegilaan yang harus dipertautkan, jika tidak, malam
menjadi semakin gerah, esoknya segala kelaknatan
berlipat-lipat, menggunung, tak terkendali. cukup
berbahaya, bukan? meledakkan petasan di pantat musuh,
misalnya.
engkaulah si pembagi layang-layang. jika ada kerajaan
yang kau cengkeram, maka selain menguasai banyak pohon
besar, engkau selalu memilih tanah lapang. tanah
lapang adalah medan perang, di sana, silih berganti
peperangan. tapi engkau selalu berkuasa atas bola atau
benang dan layang-layang.
beri kesempatan berkali-kali bagi para pecundang. beri
layang-layang setiap kali layang-layangmu menunjukkan
kedigdayaannya. beri lagi layang-layang pada setiap
musuh yang kalah, sampai bosan, sampai kemudian mereka
bisa mengatakan pada diri mereka sendiri, bahwa mereka
semua pecundang, dan lebih baik pulang menonton film
kartun di rumah-rumah gedong mereka, atau belajar
matematika. inilah udara segar kemenangan, yang tak
sesungguhnya menang. beri layang-layang, beri
lagi....sampai bosan!
terlalu banyak melihat awang-awang yang panas
menyilaukan, mata kecilmu adalah mata kanak yang
sepertinya selalu ingin menghindar. mata kanak yang
sangat berani pada malam, sebab setiap siang meminjami
banyak kemenangan. mata kanak, yang kelak kemudian
menggetarkan banyak perempuan.
tapi dari kecil dulu, engkau tak pernah
tanggung-tanggung. keberanianmu selalu merah, dan
lubuk sungai itu membuktikannya.
akulah si perenang, yang bisa menggigit dua ekor ikan
setiap kali menyelam. lalu aku tahu, engkau harus bisa
berenang, sebab memburu burung bukanlah garis
tanganmu. dan pertama kali, kau harus teruji untuk
memakan udang hidup-hidup yang harus kau cari sendiri
di sela-sela bebatuan. kau bisa mendapatkan dan kau
tak muntah, tiga bahkan. ada harapan!
sampai sekarang, engkau tak bisa lagi memakan udang,
engkau telah membayar mahal dan layak mendapatkan.
hingga laut utara pun berkali-kali mengujimu. tapi
rupanya ketakutan yang bersemayam dengan puak di hati
setiap manusia mampu kau olah, menjelma karang-karang
dan ombak pasang.
aku beralih pada ingatan selanjutnya, kunyalakan lagu,
kunyalakan rokok, kunyalakan napas. sebab masih ada
tahun-tahun yang layak untuk ingatanku kepadamu,
sungguh.
#15, lagi-lagi ttg hujan
pada saat tubuh kita kuyup oleh hujan yang lembut.
malam membekap dengan selimut hitamnya yang pekat,
sangat pekat. sesungguhnya pada apakah kita bisa
menyandarkan segala kelelahan? dan engkau tidak juga
terlihat lelah, tapi aku tahu, sebab segala isi tulang
belakang dan bau sumsummu aku tahu, ada kelelahan yang
serupa dengan warna pastel tembok rumahmu yang
mendekam dalam tingkat kepadatan tinggi di otakmu.
tapi engkau terus menerus maju untuk berperang dan
melawan. seakan ada ketentraman berwarna biru laut di
ujung sana yang senantiasa engkau kejar dengan derajat
berontak tinggi. seakan ada yang siap untuk
terus-menerus kau tikam dari liarnya dadamu yang
selalu terhunus. aku di depanmu, mengendarai kuda
fiksi yang terus kita pacu, pengejaran abadi atas
badai yang harus segera ditaklukkan. engkau berteriak,
menggertak segala cuaca juga terus-menerus membabi
buta mengayunkan pedang fiksimu. mati lagi, mati lagi,
musuh-musuh terbantai, mengeluarkan suara-suara
kekalahan yang membosankan.
tapi aku mencintaimu, lebih dari yang bisa kuucapkan
dan kubuktikan untuk terus bersamamu. keringatmu yang
panas selalu menebar gairah lain tentang perjalanan
ini. dekapmu lebih dari vitamin-vitamin dan
tonikum-tonikum lain, memberi lebih banyak kekuatan.
seperti disuntikkan dari pusar bumi.
hingga suatu saat aku tangkap jerit sakitmu dalam
volume tinggi, ketika itu aku sudah pada tahun kedua
di tenggaraku. engkau menghadapi hidup serumit
kalkulus. mengidentifikasi bahwa ada negara dan arus
modal yang menerkammu dari segala arah. membagi habis
seluruh tubuh dan fiksimu dalam bilangan-bilangan
prima dan segitiga-segitiga retak. sudut-sudutnya tak
terjangkau lagi, tak teraba lagi. engkau menemukan
sebuah musuh yang mulai bisa menanamkan kepercayaan
pada otakmu: bahwa engkau akan kalah!
tapi benarkah seperti itu? inilah tahun-tahun yang
sangat mencekam........
*diambil dari milis bumimanusia
**Puthut EA, seorang penulis muda dari Yogyakarta, buku cerpennya sudah beredar "Kitab Yang Tak Suci", editor on/off
Langganan:
Postingan (Atom)