Jikalau kita harus mati malam ini
: selamat Natal
Di langit yang tiada awan semakin jelas membentang ruang yang tiada bertepi. Bumi bagai bayi di dalam ketubannya, dibaluti alam yang menawarkan berjuta misteri. Dan jauh di atas sana kemahaluasan bertahta, semakin terlihat kecil wujud dari kehidupan yang berjalan di bumi.
Seperti sukacita yang tampak pada wajah-wajah yang bernaung dalam gedung ini, malam menambah suci dari hati-hati damai pada jiwa-jiwa yang berserah pada penciptanya.
Di barisan dekat jendela yang terbuka, sepasang suami istri muda saling bertatapan. Ada keraguan pada wajah sang istri.
"Akankah malam ini sedamai langit yang indah di luar sana?"
"Damai menyelimuti pada hati yang berserah."
"Mas.......haruskah malam ini kita bertahan di sini?"
"Mengapa harus takut sayang. Bukan hanya karena aku ada di sisi mu tapi kita berada di keselamatan itu sendiri."
"Jika kita harus mati, masihkah engkau akan ingat namaku di sana nanti?"
"Di Firdaus yang suci, akan tersucikan nama-nama yang melekat di diri kita. Kita menjadi sama bernama kasih. Dan aku akan ingat engkau yang bernama kasih."
Sang istri tersenyum, digenggamnya erat tangan sang kasih. Hanya maut yang dapat memisahkan, karena mereka telah dipersatukan Tuhannya.
Tak jauh di barisan belakangnya, sepasang kakek dan nenek duduk bersanding tak kalah tenangnya. Bukan hanya oleh usia, tapi sepertinya makna kehidupan telah lama mengendap di jiwa-jiwa mereka.
"Nek, kita tak bisa bersama-sama anak dan cucu kita. Semoga mereka baik-baik saja di sana. Mungkin mereka sama dengan kita di waktu ini, mencari keselamatan padaNya."
"Jangan risau, berserahlah, tidak lama lagi kita akan berjumpa dengan mereka. Hingga kelak kita berada pada jarak dan waktu yang tak terpisahkan. Tanganmu akan kelelahan merangkul cucu-cucu kita yang kian bertambah banyak. Kasihmu tak perlu kau bendung lagi, saatnya tiba kita akan berkumpul bersama lagi untuk selamanya."
"Benarkah itu? Pada kehidupan yang abadi?"
Si Nenek mengangguk, senyum pada pipinya yang menua menyiratkan kepastian tiada menawarkan ilusi semusim.
Tak seperti mereka, di sudut sana sepasang belia tercekat dalam kesunyian. Bukan oleh nada-nada gita surgawai yang berkumandang, tapi sepertinya mereka menahan detik-detik agar tak melaju cepat.
"Gadis, akan kah esok kita masih bisa berjumpa lagi?"
"Mengapa harus kau tanyakan itu. Bukankah aku ada pada setiap tatapanmu?"
"Kuakui, aku tak bisa berpaling. Aku seperti seorang buta yang menatap hanya pada satu bentuk. Menatapmu dengan penuh kesadaran. Bukan bayangan lagi. Dirimu. Dan malam ini...... aku ingin ucapkan kata yang terpendam lama di hatiku. Tuhan penuh dengan kasih, ijinkan aku memenuhimu dengan kasih ku. Maukah kau jadi kekasihku? Cawan penyimpan tetes deras kasih milikku?"
Sesaat gadis itu terdiam, mukanya menunduk seperti kodratnya puan-puan di detik pada lakokn yang sama.
"Bila kasihmu seperti Dia yang mati bagi keselamatan mereka yang dikasihiNya, aku berserah pada darah cinta yang mengalir dari jantung yang ditombak. Aku juga sayang kamu. Sungguh ucapmu lama kunanti."
Tak terasa tangan keduanya bertautan. Mengalir sudah bulir-bulir kasih bagai burung yang lama menanti dahan.
"Bang apa benar berita-berita itu? Tentang berton-ton bahan peledak yang belum terungkap keberadaannya?"
"Yang terungkap hanya segelintir, itupun kalau benar hanya mereka pemiliknya. Mungkin malam ini gereja-gereja akan merayakan Natal dengan penuh kekhawatiran. Tapi kita semua yakin di rumah Bapa kita menuju ke keselamatan itu sendiri. Biarlah gedung-gedungnya hancur rata di muka bumi, Tapi Tuhan masih hidup di hati kita. Gereja bukanlah gedungnya, gereja adalah jemaatnya. Sama seperti lilin yang memberikan terang bagi sekelilingnya, begitulah kita menjadi sumber kasih. Dan rela memberikan diri bagi kebenaran seperti lilin yang cair menghilangkan ujudnya, tapi kita merasakan pengorbanannya."
"Jikalau kita mati malam ini. Tunggu aku di tepi taman Eden, di sumber kasih yang tak berkesudahan. Kita bersama akan menjaga beningnya kasih yang mengalir."
19desember2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar