Kala Kabut Telah Pulang
Entah apa yang menyebabkan kami hanya berdiam diri padahal sebelumnya tak ada kata yang salah ucap atau tingkah tak pada tempatnya, tak mungkin ada kecemburuan atau bibit perselingkuhan yang terkuak, wong bercerita panjang saja belum dinaskahkan, hanya sebatas kenal dia bernama gadis, ya, teman sepupuku yang berbaur menikmati indahnya kebun teh yang luas telanjang di depan.
Aku hanya bisa curi pandang selama itu tak dilarang, mencuri hatinya baru niatan sebelum akhirnya aku jadi penjahat pencuri jiwanya, ‘kan ku kurung di kamar-kamar hatiku yang tak berbatas karena hukum nabi pun tak mampu pancung niatan ku sebab kejahatan yang satu ini tak bersaksi, alibiku tercetak pada delapan penjuru angin, geraknya tiada berbayang bersama waktu kan tersusun ingin, pinta dan harap tindik menindik menjelma menjadi buku hidup.
Wujudmu tak samar jelas ada di antara empat tubuh yang mengantarai kita, memandang kabut yang malas turun menyembah pada embun-embun yang kian menua, aaaahhh…… mungkin seperti itulah harapku engkau hadir di balik kabut itu, berdiri, kan kuhampiri tubuhmu. Ijinkan aku menyeka embun yang nakal hinggap di rambut hitammu, lengkaplah sudah keindahan senyummu kelak saat jemariku usai mengusap tetes air yang bergulir ke pipimu.
Tapi bayangmu tak kujumpai di sana, hanya tapak-tapak kecil yang lincah berlari menyusuri jalan setapak di antara kumpulan pohon-pohon teh dan tangisan langit yang lalu melukis jejak sungguh pasti. Sungguh lincah langkahmu tinggalkan aku yang kian merapuh mencoba mengendus gerakmu, mungkinkah aku yang lama menepi mampu telusuri irama hatimu sementara cinta bagiku bukan lagi bagai permen yang hanya mampu meninggalkan manis atau asam di bibir saja. Bagiku cinta seperti buah larangan di taman eden yang dikerat oleh hawa dan adam, setelahnya kita sadar telanjang, sadar ‘tuk berniat sama, menjalani kutukan bersama, bukan sekedar mabuk oleh dawai-dawai petikan cinta dan jikalau nada menjadi sumbang kita ‘kan pasrah menyerah pada jalan yang bercabang-cabang.
Lambat laun langkahmu dapat kutarikan, tarian lalu yang pernah racuni sendi-sendi lututku, terjerembab di langkah terakhir. Kini tak kaku lagi, wangi tubuhmu terserak pada dada yang berguncang hebat, oleh ketidaksadaran mungkin atau keragu-raguan? Otakku menepis semua kepasrahan, selagi hidup bukan kendi-kedi berlubang, tak ada waktu tersisa.
* * * *
Tak terasa baju hangat ini kian menipis, angin nakal mencubit tubuhku, menyelesap lalui pori-pori membius kulit. Hangat tubuh kian terhantar keluar menjadi sama dinginnya dengan angin yang lalu. Angin itu membawa teman, kabut yang masih bermantel putih, kian lama kian manja menari di antara daun-daun teh yang pasrah pada pelukan alam.
Tapi di mata lelaki itu aku jumpai kehangatan, ribuan binar-binar yang terbang pada setiap pandangan. Adakah pemilik tanur keabadian itu? Seseorang yang setia menjaga ranting-ranting tetap marak melelehkan kebekuan. Keteduhan yang menghangatkan. Bila Tuhan ijinkan biarlah mata itu dikutuk menjadi milikku saja.
Kabut ya tetap kabut yang masih putih, entah dari mana mereka bertiup yang pasti lereng dan lembah juga bebukitan kian terwarnai. Tutupi pandangan bagi kaum pejalan yang lama merindukan teduhnya sebuah naungan, ya rumah keabadian. Peneduh yang lama aku impikan di usiaku yang masih belia, tapi aku masih was-was pada bayang-bayang di antara asap putih yang tersamar. Aku bukan kaum peragu, aku telah membangun rumah jiwa dari mimpi-mimpi. Sketsanya sungguh jelas, pondasinya kuat menahan, dinding dan atapnya tak tergoyahkan. Kesetiaan bagi mereka yang ingin bernanung di dalamnya bersamaku.
Penantianku di kursi tua di depan pendiangan api tak berbekas nyanyi, hanya percik-percik ranting yang terbakar dan suara angin kian mengusik di luar sana. Jendela telah terkunci rapat, tak kan ada suara dentuman daunnya yang saling menghantam, hanya sesekali burung hantu mencoba menggoda nakal. Akankah ada jejak-jejak melangkah mendekati pintu dan mengetuk? Andai ada suara yang memanggil namaku, kan ku buka baginya. Sebab rumahku tak bernama, tentu ia telah mengenalku. Dan biarlah di depan pendiangan ini aku berbagi kehangatan, mengisi kekosongan waktu yang kian menambah tebal debu-debu di peraduan. Merajut cerita kalahkan simpul-simpul di sudut-sudut langit rumah milik laba-laba hitam.
Oh, mungkin aku meracau. Mana mungkin ada petualang mampu tembusi badai kabut tebal itu. Langkah mereka akan terseok-seok terjegal akar-akar kayu yang lama menyelonjorkan zaman, kelelahan. Sementara mata angin lama tertidur, berputar bersama mimpinya. Mencariku adalah kesia-siaan bila mata hatinya tak lagi menjadi lentera. Dan aku bukan puan kaum penggoda yang menyalakan api unggun di padang yang luas terbuka. Aku tak mampu menjadi penari-penari bagai dewi-dewi turun ke bumi mandi di pancuran menjadi incaran kaum pengintai cinta.
Biarlah rumah jiwaku tersembunyi, rapat menjadi teka-teki bagi kejujuran cinta. Walau penat memakan waktu sendiri, tapi aku yakin akan ada langkah yang menghampiri. Seperti di detik ketika penantianku buyar di keping-keping keraguan, engkau berdiri di depan pintu hatiku. Melangkah pada tempat tubuhku bersandar. Engkau mengenaliku, mengucap nama dan menawarkan kehangatan yang aku rindukan. Matamu melelehkan penantian, menguap jauh bimbang.
Kala kabut telah pulang, engkau berkata, “Gadis, pakai baju hangat milikku ini. Kau kelihatannya mengigil sejak tadi. Mari kita pulang, teman-teman telah menunggu di mobil.”
Puncak, 7desember2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar