Bendasari,19 Oktober 2002
Aku tiba-tiba tidak bisa bicara lagi, harus berkata apa lagi jika yang tersisa hanya tubuh-tubuh hangus di antara jalan-jalan kota dewata. Sudah, hilang saja surga dan semua kepercayaan manusia. Menjadi debu bara api yang hangus ke tanah.
Jalan-jalan malam hari semakin sepi dari bunyi-bunyi, hanya sekelompok kita yang duduk di pinggirannya. Di depan sebuah angkringan dan beberapa botol minuman. Entah untuk apa, entah untuk lelah dan lelap yang sudah menyerang berhari-hari lamanya. Perlukah subuh untuk datang begitu lama?
Untuk seorang pecinta, aku minta maaf karena kekosongan sudah semakin menerpa. Lebih baik bicara saja, lebih baik menatap saja. Cukup bukan? Jangan yang bukan-bukan, karena jangan sampai kekosongan itu mengundang sejuta amarah dari tumpukan dadaku. Karena aku masih terpaku pada dadanya, suaranya dan matanya. Yang bagiku cukup dia saja.
Bendasari, 29 Oktober 2002
Saya tidak melihat Tuhan dimana-mana, saya melihat Tuhan dimana-mana. Tetapi hari ini saya lelah, terbentur, memar-luka dan terengah-engah. Saya seperti berhenti di tengah-tengah jalan yang enggan saya lalui. Saya melihat foto-foto gagal, experimental, berwarna, buram dan hitam putih. Saya ingin bercinta dan terjatuh terseret di jalanan dalam kecelakaan motor di saat yang sama. Saya ingin sensasi. Saya ingin adrenalin saya berjalan sampai titik puncak. Biar saya bisa melepas semuanya, menghilangkan semuanya dalam satu momen kegelapan yang cukup membuat saya terdiam dan tersenyum puas sebelum saya menjadi benar-benar gila.
Isi kepala saya begitu menumpuk dan saya begitu tenang. Saya sendiri terheran-heran dan kekasih saya menjawabnya mungkin kau memang sudah terbiasa dalam keadaan yang demikian. Memang, jawab saya begitu pendek, saya memang sudah terbiasa. Saya sudah mulai sangat terbiasa dalam keadaan-keadaan yang membuat syaraf saya nyaris pecah, pikiran-pikiran saya membeku dan melumer dalam per sekian detik. Lalu saya ingat lagi wajah orang yang saya cintai itu dengan tawa sinis yang mentertawakan cinta, dimana ia membawa saya menjadi begitu konyol. Saya mentertawakan kekonyolan saya, cinta konyol saya. Cinta kontol saya. Vulgar, sederhana dan begitu sentimental.
Saya ingin muntah begitu mendengar kata bom, saya ingin muntah sungguh mendengar situasi politik dunia dan sekitar saya. Saya muak dengan satu kesungguhan yang akan memuntahkan isi perut saya berember-ember banyaknya.
Sebenar-benarnya saya ingin teriak dan ingin bantal untuk terlelap.
Bendasari, 1 November 2002
Seutas helai rambut jatuh ke ranjang, berpuluh-puluh bergumul di karpet biru kamar ini. Saya tidak bisa membedakan yang mana miliknya dan mana yang milik saya. Rambut kami sama-sama panjang. Kami sudah sejauh ini, membagi ruang, hati dan badan. Benar kata Neruda, aku tidak bisa lagi menentukan apakah tangan di dadanya adalah tanganku atau tangannya begitu pun sebaliknya. Ah, apakah ini waktunya untuk membaca soneta malam-malam di sisa tetesan daun di luar sana?
Satu bayangan muncul di kepalaku. Satu bayangan lain muncul di kepalanya. Dua kepala. Dua pikiran. Dua orang terlentang di atas ranjang, tidur berpelukan, kaki berbalutan. Sepasang bantal di atas seprai yang mendekati kumal, bantal-bantal dengan sarung yang juga tidak kalah kumalnya. Juga bau. Aroma khas dua tubuh yang bercampur menjadi satu seorang kawan yang memasuki kamar bilang.
Saya jatuh dalam mimpi untuk semalam saja. Benar-benar jatuh untuk tidak kembali.
Bendasari, 6 November 2002
Saya masih duduk saja disini, mengingkari satu demi satu keingkaran. Saya melihat pisau-pisau berjalan, saya mimpi dan saya melihat dia memimpikan saya. Saya melihat diri saya. Saya melihat pisau-pisau mendekati. Saya tidak tahu pisau-pisau itu menuju kemana. Mengalir entah kemana, entah membawa apa, entah membunuh apa.
Kemudian saya mencari botol Aqua, mencari dimana letak kekeringan tenggorokan saya. Saya sudah semakin tidak mengenali tubuh saya yang semakin tercecer dalam mimpi-mimpi dia. Tetapi saya masih ada, melayang-layang mencari letak dimana seharusnya saya tidur, dimana seharusnya saya bernafas.
Saya kehujanan, sungguh-sungguh kehujanan dan langit masih pekat.
Saya tidak sedang mencari-cari dia, karena saya kemudian hanya menemukan dia sejauh satu jengkal tangan saya. Saya tidak kemana-mana dan dia tidak kemana-mana. Namun kami tidak suka berlama-lama tinggal dan juga tidak suka berlama-lama pergi kecuali untuk meninggalkan sesuatu di belakang punggung kami. Lalu dimana letak tumpukan peti-peti kami yang berat itu, masih adakah di pojokan gudangg tua?
Saya pandangi tubuh telanjang, saya amati lekak lekuknya, saya sentuh permukaannnya. Saya ingin berada di lekukan tulang leher, saya ingin berada di antara rongga iga, saya ingin berada di atas dada. Tetapi saya hanya memandang dan tak berbuat apa-apa.
Yang saya temukan pagi itu hanya setetes hujan, serakan foto-foto dan sebuah kamera terbuka.
Bendasari, 23 November 2002
Kereta api berhenti pada suatu stasiun, saya berada di Barat beberapa pekan yang lalu, kemudian kereta api kembali membawa saya kembali ke arah Timur. Saya tiba subuh-subuh sekali, menunggu untuk bertemu, menunggu untuk bercumbu.
Minggu-minggu saya di Barat menjadi begitu kejam akan gelisah dan rindu. Saya nyaris gila, gila akan cinta, gila akan kamu. Saya kembali pada titik dimana saya begitu mencintai seorang laki-laki, jiwa raga. Saya kira saya nyaris kehilangan semua itu. Tetapi saya menemukannya lagi di kota yang sama, kota yang benar-benar saya cintai.
Dan lampu-lampu berpendar pudar bersama seberkas sinar matahari pagi, saya menemukan udara kota, menemukan tirai-tirai hijau yang setengah tersingkap, kawan-kawan yang tidur terlentang. Terakhir saya menemukan dia, menunggu saya, mendekap saya, menenangkan saya yang begitu sayu akan problema dan rindu. Saya menjadi rikuh dan jatuh. Saya menjadi saya, dia menjadi dia, dia menjadi saya, saya menjadi dia, saya tidak bisa membedakan lagi bagian tubuh mana yang seharusnya terpisah. Sebegitu dalamnyakah kami terlesak di dalam kamar tiga kali tiga seperempat meter ini.
Ah, pojokan-pojokan jendela, kasur-kasur, karpet biru dan gantungan baju. Foto-foto, buku-buku, bau-bau tubuh kami dalam kamar ini. Memori-memori yang sudah terjadi, yang akan terjadi.
Bendasari, 1 Desember 2002
Saya mengerti untuk semakin tidak mengerti bagaimana keadaan tubuh saya. Walau kata-kata sudah membayangi telinga saya dan rasa-rasa sudah menunjukkan panah-panah jalan yang harus saya lalui. Saya tidak menemukan perempatan di perjalanan saya tetapi saya merasa tersesat.
Saya butuh hutan, butuh semak hijau dan rumpunan jagung yang nyaris matang. Lalu dia membawa saya kesana, menelusuri tanah-tanah basah, air dari pematang yang jernih tak mengenal warna. Kami menemukan setapak-setapak, sawah-sawah dan ladang jagung. Saya butuh aroma alam walau udara dingin mendesak kulit sesore itu pada lereng pegunungan.
Saat ini saya butuh langit bintang yang cerah lengkap dengan bulan di tengah-tengah. Saya butuh langit untuk mengingatkan saya tentang hal-hal yang sudah dilupakan dan hal-hal yang ingin saya lupakan.
Teringat saya dengan seorang kawan yang saya habiskan berjam-jam lamanya bicara. Dan saya juga rindu akan suasana jalan malam-malam di depan sebuah benteng dan angkringan di pinggir jalanan yang sama. Saya tak ingin keramaian, saya tak ingin kota metropolitan. Saya hanya ingin satu pojokan jalanan kota yang senyap untuk melihat bintang.
Bendasari, 22 Desember 2002
:sebuah catatan untuk linda christanty
Saya pulang ke Barat beberapa waktu lalu hanya untuk menemukan kekosongan yang panjang, kamar yang pengap dan buku-buku yang tertutup debu. Sebenarnya saya ingin menemui beberapa orang termasuk kau, untuk berbagi secangkir dua cangkir kopi. Saya berhasil menemui beberapa orang kawan lama tetapi saya tetap merasa saya pulang untuk tidak membawa apa-apa atau tidak menemukan apa-apa.
Lalu sekarang disinilah lagi saya, pulang, ke kamar tiga kali tiga setengah meter. Sedang mencoba membagi ruang-ruang juga bagian-bagian tubuh saya yang terasa tercecer di sepanjang lantai kamar ini. Saya sedang membagi-bagi diri saya untuk mempelajari hubungan lelaki dan perempuan. Saya sedang mencoba membagi ruangan di kamar ini dengan seorang lelaki.
Dan lelaki itu terkapar seperti mati selesai bercinta. Seekor ayam seperti tidur terantuk-antuk lalu mati pada pukul sepuluh pagi. Lalu seorang Nietzche di akhir abad kedelapan belas berkata Tuhan sudah mati. Tiga pasang kalimat yang saya ketik ini lalu berhenti dan belum saya teruskan sampai saat ini. Tiga kalimat yang saya ketikkan untuk menggambarkan apa yang terjadi beberapa hari yang lalu, hal-hal di sekitar saya, hal-hal di depan mata saya yang lewat begitu saja.
Saya pikir saya akan membuat membuat profil dan essay foto seorang kawan kita, berhubungan dengan selesai dicetaknya novel lima ratus halamannya esok hari. Juga berhubungan dengan tugas akhir semester fotografi saya. Dan saya juga sempat memikirkannya untuk edisi perdana situs sastra januari nanti, yang saya harap bisa diselesaikan bulan besok. Saya rasa saya akan menunggu kau di kota ini pada saat launching novel teman kita itu. Sepertinya juga dia akan atau sudah memintamu untuk juga bicara disana, karena mantan putri Indonesia sepertinya belum bisa dikontak.
Sebenarnya masih banyak yang saya ingin bicarakan kepadamu, tetapi tiba-tiba kepala saya berhenti pada titik beku. Mungkin nanti saja kita lanjutkan lagi dengan secangkir kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar