resah...
mengapa kau ganggu ketenangan hatiku?
30 April 2003
29 April 2003
Untitled
you come like the rain upon a grave
of a grief and drips of tears onto thy crave
o, wander
o, appear
my spirit be then dust and mist..
unseen
you sing like a lullaby to goodbye
'come what may.. come what may'
a vain is waiting on the bay
forgive my foul
forsake my soul
:this is a shattered shade and a faith
un-ended..
you come like the rain upon a grave
of a grief and drips of tears onto thy crave
o, wander
o, appear
my spirit be then dust and mist..
unseen
you sing like a lullaby to goodbye
'come what may.. come what may'
a vain is waiting on the bay
forgive my foul
forsake my soul
:this is a shattered shade and a faith
un-ended..
Pagi itu dia menangis dalam pelukanku
terus menerus membicarakan tentang kematian
"aku belum ingin mati,yang...
meski aku sadar,pelan pelan penyakit ini akan membawaku menuju kesana" isaknya
aku hanya diam
mengelus elus lengannya
"atau mungkin memang sebaiknya aku mati saja,
toh jika aku mati dan lalu dikubur pun
mereka tidak akan perduli padaku lagi "
aku masih tetap diam
masih juga sambil memandangnya
"siapa mereka,yang...siapaaa!?!?" jeritmu tertahan
kuusap airmatanya
"mereka adalah orang orang tempat dimana seharusnya aku bertumpu...."
.................
"mereka keluargaku sendiri,yang...."
dan aku masih tetap diam
"yang...?!"panggilnya
"ya...?"jawabku sambil mengusap airmatanya
"bicara yang.....bicaaaaaarrrrraaaaaaa!!!!"jeritnya sambil menarik narik ujung bajuku
dan aku tetap masih tak bisa berkata kata
hanya lalu memeluknya
dan kami menangis bersama
maaf sahabat....
aku sungguh tak bisa berkata kata
maaf sahabat...
kau tak butuh kata kata saat ini
lalu malam menjumpai peraduan
kutatap dirinya yang terlelap
wajahnya kuyu oleh airmata yang terus dia peras dari pagi tadi
kuselimuti tubuhnya...
entah kenapa tiba tiba aku merasa takut
takut kehilangan
entah kehilangan apa
hanya resah...
gelisah....
sambil memandangnya yang terlelap
aku teringat kata kata lelakiku pada suatu siang,
"bukan dia atau mereka sebenarnya yang takut kehilanganmu...
tapi kau!...kau yang sebenarnya takut kehilangan mereka!"
aku tak tau apa ada hubungannya dengan kejadian pagi ini
tapi ya....mungkin memang aku yang takut kehilangan dia dan mereka,
takut dia atau mereka berhenti membutuhkan aku lagi,
hanya.....aku terlalu angkuh untuk mengakuinya
ya.....aku ternyata begitu angkuh....
tapi ijin kan aku mengatakan bahwa "aku sayang kamu Non...."
*catatan Yayang buat seorang Non
JogjaRaya April 03
terus menerus membicarakan tentang kematian
"aku belum ingin mati,yang...
meski aku sadar,pelan pelan penyakit ini akan membawaku menuju kesana" isaknya
aku hanya diam
mengelus elus lengannya
"atau mungkin memang sebaiknya aku mati saja,
toh jika aku mati dan lalu dikubur pun
mereka tidak akan perduli padaku lagi "
aku masih tetap diam
masih juga sambil memandangnya
"siapa mereka,yang...siapaaa!?!?" jeritmu tertahan
kuusap airmatanya
"mereka adalah orang orang tempat dimana seharusnya aku bertumpu...."
.................
"mereka keluargaku sendiri,yang...."
dan aku masih tetap diam
"yang...?!"panggilnya
"ya...?"jawabku sambil mengusap airmatanya
"bicara yang.....bicaaaaaarrrrraaaaaaa!!!!"jeritnya sambil menarik narik ujung bajuku
dan aku tetap masih tak bisa berkata kata
hanya lalu memeluknya
dan kami menangis bersama
maaf sahabat....
aku sungguh tak bisa berkata kata
maaf sahabat...
kau tak butuh kata kata saat ini
lalu malam menjumpai peraduan
kutatap dirinya yang terlelap
wajahnya kuyu oleh airmata yang terus dia peras dari pagi tadi
kuselimuti tubuhnya...
entah kenapa tiba tiba aku merasa takut
takut kehilangan
entah kehilangan apa
hanya resah...
gelisah....
sambil memandangnya yang terlelap
aku teringat kata kata lelakiku pada suatu siang,
"bukan dia atau mereka sebenarnya yang takut kehilanganmu...
tapi kau!...kau yang sebenarnya takut kehilangan mereka!"
aku tak tau apa ada hubungannya dengan kejadian pagi ini
tapi ya....mungkin memang aku yang takut kehilangan dia dan mereka,
takut dia atau mereka berhenti membutuhkan aku lagi,
hanya.....aku terlalu angkuh untuk mengakuinya
ya.....aku ternyata begitu angkuh....
tapi ijin kan aku mengatakan bahwa "aku sayang kamu Non...."
*catatan Yayang buat seorang Non
JogjaRaya April 03
28 April 2003
"ON/OFF Roadshow, Tiga Kota" - Sebuah Kunjungan, Secarik Undangan
Akademi Kebudayaan Yogyakarta
Blimbingsari CT IV/38 Yogyakarta 55281
Telp : 0274-541602
Email : on_off_ya@yahoo.com
Para pembaca yang baik,
Kami kru ON/OFF akan mengunjungi anda sekalian di kotanya masing-masing. Walaupun kami sayangkan untuk sementara waktu, kami hanya mampu mengunjungi tiga kota saja. Namun tak mengapa kami akan selalu hadir dalam edisi cetak kami tiap bulan di meja anda, dan pada acara temu muka, seperti ini :
BANDUNG
Diskusi “Hidup Mati Media Alternatif”
Pembicara:
-Gustaff Hariman Iskandar (Bandung Center for New Media Art)
-Pamudji (Kolektif Kontra Kultura)
-Puthut EA (editor ON/OFF)
Moderator: Tarlen Handayani (Toko Buku Kecil)
@
Sabtu, 3 Mei 2003
Toko Buku Kecil
Jl. Kyai Gede Utama 8
15.00 WIB - selesai
MALANG
“Bedah Novel Eka Kurniawan: Cantik Itu Luka”
Pembicara:
- Raudal Tanjung Banua (Jurnal Cerpen)
- Eka Kurniawan (Penulis)
- EM Ali (Akademi Kebudayaan Yogyakarta)
Moderator: Puthut EA (editor ON/OFF)
@
Sabtu,17 Mei 2003
Universitas Merdeka Malang
10.00 WIB - selesai
SURABAYA
"Launching Kumpulan Cerpen : Sepuluh Kisah Cinta Yang Mencurigakan"
&
"Pesta Puisi dan Cerita Pendek"
Bersama Kollektif Kalpataru
Acara:
Pembacaan puisi, cerita pendek, performance art dan musik
@
Senin,19 Mei 2003
Parkir Depan Student Center
Fakultas Ilmu Sosial Politik
Universitas Airlangga (FISIP UNAIR)
19.00 WIB - selesai
Demikianlah, jadi nantilah kami, karena kami akan menuju ke tempat anda dengan segera.
Koordinator Acara
Astrid Reza Widjaja
-all events organized by sindikat kerja orang biasa-
Akademi Kebudayaan Yogyakarta
Blimbingsari CT IV/38 Yogyakarta 55281
Telp : 0274-541602
Email : on_off_ya@yahoo.com
Para pembaca yang baik,
Kami kru ON/OFF akan mengunjungi anda sekalian di kotanya masing-masing. Walaupun kami sayangkan untuk sementara waktu, kami hanya mampu mengunjungi tiga kota saja. Namun tak mengapa kami akan selalu hadir dalam edisi cetak kami tiap bulan di meja anda, dan pada acara temu muka, seperti ini :
BANDUNG
Diskusi “Hidup Mati Media Alternatif”
Pembicara:
-Gustaff Hariman Iskandar (Bandung Center for New Media Art)
-Pamudji (Kolektif Kontra Kultura)
-Puthut EA (editor ON/OFF)
Moderator: Tarlen Handayani (Toko Buku Kecil)
@
Sabtu, 3 Mei 2003
Toko Buku Kecil
Jl. Kyai Gede Utama 8
15.00 WIB - selesai
MALANG
“Bedah Novel Eka Kurniawan: Cantik Itu Luka”
Pembicara:
- Raudal Tanjung Banua (Jurnal Cerpen)
- Eka Kurniawan (Penulis)
- EM Ali (Akademi Kebudayaan Yogyakarta)
Moderator: Puthut EA (editor ON/OFF)
@
Sabtu,17 Mei 2003
Universitas Merdeka Malang
10.00 WIB - selesai
SURABAYA
"Launching Kumpulan Cerpen : Sepuluh Kisah Cinta Yang Mencurigakan"
&
"Pesta Puisi dan Cerita Pendek"
Bersama Kollektif Kalpataru
Acara:
Pembacaan puisi, cerita pendek, performance art dan musik
@
Senin,19 Mei 2003
Parkir Depan Student Center
Fakultas Ilmu Sosial Politik
Universitas Airlangga (FISIP UNAIR)
19.00 WIB - selesai
Demikianlah, jadi nantilah kami, karena kami akan menuju ke tempat anda dengan segera.
Koordinator Acara
Astrid Reza Widjaja
-all events organized by sindikat kerja orang biasa-
27 April 2003
A Piece of Kiss
A Poem by TS Pinang
: CC
let us share our lips for breakfast
for brunch for our lunch
then other kisses at dinner
and supper
then this flavor of sweat
shall wash our hectic days
then asleep we shall be
after a vigorous march
along the paved sidewalk
towards our morning church
where we again celebrate
our ritual:
our lips for breakfast
for brunch for our lunch
then other kisses at dinner
and supper
© april 26, 2003
A Poem by TS Pinang
: CC
let us share our lips for breakfast
for brunch for our lunch
then other kisses at dinner
and supper
then this flavor of sweat
shall wash our hectic days
then asleep we shall be
after a vigorous march
along the paved sidewalk
towards our morning church
where we again celebrate
our ritual:
our lips for breakfast
for brunch for our lunch
then other kisses at dinner
and supper
© april 26, 2003
25 April 2003
i dont need a mountain
nor a castle to live in
what i need is the sparkle i always see in your eyes
and how it will become the strength for the rest of my days
i dont need a diamond
nor an emerald as the make-up
what i need the most is a simple hug
to convice that i wont ever be lonely again
i dont need a superstar
nor a cassanova as my lovers
what i need is only an ordinary man
who trust me as much as i trust him
its trus,
i dont need those magical things
as long as i have you by my side
to listen, to talk, or even just to share the silence
nor a castle to live in
what i need is the sparkle i always see in your eyes
and how it will become the strength for the rest of my days
i dont need a diamond
nor an emerald as the make-up
what i need the most is a simple hug
to convice that i wont ever be lonely again
i dont need a superstar
nor a cassanova as my lovers
what i need is only an ordinary man
who trust me as much as i trust him
its trus,
i dont need those magical things
as long as i have you by my side
to listen, to talk, or even just to share the silence
24 April 2003
.....masa berkabung, saat ku berduka menuju sukacita,
menatap jejak-jejakMu yang tertatih menuju bukit tengkorak....
secarik catatan di bulan ini:
Sebuah Kesetiaan
: menjelang hari keempat puluh
Pada masa perang Utara dan Selatan di Amerika pada tahun 1861-1865 seorang serdadu Amerika ditangkap dengan tuduhan membelot. Karena tidak bisa membuktikan bahwa dia tidak bersalah, ia divonis dan dijatuhi hukuman mati sebagai pembelot. Seruannya untuk naik banding sampai ke meja Abraham Lincoln. Dan Presiden Lincoln berbelas kasihan kepada serdadu tersebut dan setuju untuk memberi pengampunan.
Serdadu tersebut kembali ke angkatannya dan ikut berperang sampai perang tersebut usai. Namun ia terbunuh di medan pertempuran yang terakhir. Ketika teman-temannya mengangkat tubuh dari serdadu itu, di kantung bajunya ditemukan surat pengampunan yang ditandatangani oleh Presiden. Kata-kata PENGAMPUNAN pemimpinnya begitu DEKAT dengan HATINYA.
Demikian juga seharusnya kita semua sudah mati, namun pengampunan itulah yang telah membawaNya ke kayu salib. Seandainya tentara Romawi tidak ada di sana, seandainya tidak ada pengadilan, seandainya tidak ada Pilatus waktu itu dan tidak ada kerumunan orang banyak, penyaliban yang sama akan tetap terjadi. Seandainya Yesus harus memaku diriNya sendiri ke kayu salib, Ia akan melakukanNya.Karena bukan tentara Romawi yang membunuhNya, bukan juga jeritan orang banyak, melainkan kesetiaanNya kepada kita.
Terima kasih buat kesetiaanMu. Bahkan kesetiaanMu ketika Engkau tergantung di kayu salib. Seharusnya Engkau sanggup untuk turun dari kayu salib itu, namun kesetiaanMu membuat Engkau memilih untuk tetap tinggal di sana. Sampai Engkau berkata “sudah selesai.”
Itu sebabnya kayu salib bukan kebetulan. Engkau menjadi miskin supaya kami menikmati kelimpahan. Engkau disakiti supaya kami disembuhkan. Engkau menanggung rasa malu supaya kami menerima kemuliaan. Engkau dihukum supaya kami menerima pengampunanMu. Engkau dijadikan dosa oleh dosa kami supaya kami dibenarkan oleh kebenaranMu. Engkau menjalani kematian supaya kami menerima kehidupan.
Atas dasar apa ya Tuhan sehingga Kau mengasihi kami, adakah sesuatu dalam diri kami yang begitu berharga, sehingga Kau rela memberikan hidupMu untuk menebus setiap kami?
Begitu berharganya hidup kami di mataMu, ya TUHAN.
taken from : Jeffry S Tjandra, Live Worship Recording
menatap jejak-jejakMu yang tertatih menuju bukit tengkorak....
secarik catatan di bulan ini:
Sebuah Kesetiaan
: menjelang hari keempat puluh
Pada masa perang Utara dan Selatan di Amerika pada tahun 1861-1865 seorang serdadu Amerika ditangkap dengan tuduhan membelot. Karena tidak bisa membuktikan bahwa dia tidak bersalah, ia divonis dan dijatuhi hukuman mati sebagai pembelot. Seruannya untuk naik banding sampai ke meja Abraham Lincoln. Dan Presiden Lincoln berbelas kasihan kepada serdadu tersebut dan setuju untuk memberi pengampunan.
Serdadu tersebut kembali ke angkatannya dan ikut berperang sampai perang tersebut usai. Namun ia terbunuh di medan pertempuran yang terakhir. Ketika teman-temannya mengangkat tubuh dari serdadu itu, di kantung bajunya ditemukan surat pengampunan yang ditandatangani oleh Presiden. Kata-kata PENGAMPUNAN pemimpinnya begitu DEKAT dengan HATINYA.
Demikian juga seharusnya kita semua sudah mati, namun pengampunan itulah yang telah membawaNya ke kayu salib. Seandainya tentara Romawi tidak ada di sana, seandainya tidak ada pengadilan, seandainya tidak ada Pilatus waktu itu dan tidak ada kerumunan orang banyak, penyaliban yang sama akan tetap terjadi. Seandainya Yesus harus memaku diriNya sendiri ke kayu salib, Ia akan melakukanNya.Karena bukan tentara Romawi yang membunuhNya, bukan juga jeritan orang banyak, melainkan kesetiaanNya kepada kita.
Terima kasih buat kesetiaanMu. Bahkan kesetiaanMu ketika Engkau tergantung di kayu salib. Seharusnya Engkau sanggup untuk turun dari kayu salib itu, namun kesetiaanMu membuat Engkau memilih untuk tetap tinggal di sana. Sampai Engkau berkata “sudah selesai.”
Itu sebabnya kayu salib bukan kebetulan. Engkau menjadi miskin supaya kami menikmati kelimpahan. Engkau disakiti supaya kami disembuhkan. Engkau menanggung rasa malu supaya kami menerima kemuliaan. Engkau dihukum supaya kami menerima pengampunanMu. Engkau dijadikan dosa oleh dosa kami supaya kami dibenarkan oleh kebenaranMu. Engkau menjalani kematian supaya kami menerima kehidupan.
Atas dasar apa ya Tuhan sehingga Kau mengasihi kami, adakah sesuatu dalam diri kami yang begitu berharga, sehingga Kau rela memberikan hidupMu untuk menebus setiap kami?
Begitu berharganya hidup kami di mataMu, ya TUHAN.
taken from : Jeffry S Tjandra, Live Worship Recording
....
aku hanya ingin membuatmu tertawa
aku hanya masih ingin melihatmu tertawa
....
menebus kesalahanku pada orang orang terdahulu
yang belum bisa kubuat tertawa
dan kulihat tawa mereka
meski aku telah hampir lelah membuat mereka tertawa
....
sungguh...
aku hanya masih begitu ingin membuatmu tertawa
seperti malam tadi
dalam lelap tidurmu
JogJaAjaDeH!
aku hanya ingin membuatmu tertawa
aku hanya masih ingin melihatmu tertawa
....
menebus kesalahanku pada orang orang terdahulu
yang belum bisa kubuat tertawa
dan kulihat tawa mereka
meski aku telah hampir lelah membuat mereka tertawa
....
sungguh...
aku hanya masih begitu ingin membuatmu tertawa
seperti malam tadi
dalam lelap tidurmu
JogJaAjaDeH!
mengenangmu adalah seperti yang sudah-sudah, tapi dirimu tidak patutlah kukenang. dahulu. jangan dulu. ini adalah hari ketiga, bukan waktunya bangkit dari waktu yang bukan kematianmu. aku menemukanmu, dalam jejak udara yang tidak kian membeku, namun dingin mengigilkan hati yang sendiri dalam pojokan kamar sunyi. bau-bau telapak kakimu menempel di karpet biru, kaus apekmu di keranjang baju serta seprai bantal, seprai ranjang juga tirai jendela kamar kita. aku tidak ingin mencuci tumpukan baju kotormu, bukan karena kekurangan deterjen tetapi karena kekurangan tutup-tutup botol untuk menyimpan sisa aroma segenapmu. sekalipun, aku tidak akan membakar semuanya. hanya menyimpannya, menyimpannya seperti kenangan yang tidak patut dikenang.
makanan di lidahku merindukan bumbu-bumbu dapurmu, yang asin dan pedas. kekhas-an masakan-masakanmu, di panci yang sudah hitam arang dan juga kompor yang tidak kalah hitamnya. lidahku, merindukanmu, segenap rasanya. keringatmu yang asin, tanganku yang pedas sehabis mengulek sambel untuk makan pagi kita. makanan satu piring yang diciptakan untuk kita. lidahku, lidahmu, lidahku merindukan lidahmu.
aku sadar, aku tidak perlu mencarimu di ratusan kilometer menyeberangi lautan. dirimu meninggalkan segala remah-remah sepanjang perjalananmu ke barat. seperti burung-burung yang sedang melintas ke selatan, aku akan memungut semua remahmu untuk mencari kepulanganku. lalu dimana kita akan sampai dan berada, di depan sebuah gundukan makam ayahmu? lelaki tegar yang selalu kau ceritakan dengan mata sendu, mati di tanah asing diiringi kepanikanmu mencari pertolongan selama sehari semalam melintasi belantara hutan sumatera. ditemani macan dan semacamnya, dengan luka-luka di lenganmu. dia sudah tiada di setengah perjalananmu ke selatan, jatuh tidak bernafas di pangkuan ibumu yang sekarang menghilang ke arah timur. dan itulah, hari terakhirmu menitikkan air mata. air matamu sudah habis kini, hanya pernah kulihat di sepotong tulisanmu, corat coret di buku notesku selagi kau menungguku. mengerang, kesakitan seperti tulisanmu. penuh dengan rasa sedih.
kau mengamati tubuhku, mengukur segalanya dengan jengkalan-jengkalan, dengan jangka, penggaris, meteran dan segala jenis ukuran. kau berhenti sejengkal setelah pusarku. matamu bertanya. penuh keluguan. mataku menjawab. penuh sudah semua. kita berhenti di dua buah titik x dan y, menghubungkan segalanya pada titik temu xy. kita berdua yang selalu mendapat jelek dalam nilai matematika versi sekolahan.
matamu penuh kesedihan, di bulan ketiga pertemuan kita. disanalah letak semua daya tarik yang tidak mempedulikan gravitasi bumi, letak geografis dan logika benda-benda. adik angkatmu terlempar dari motornya waktu itu, kau pergi ke timur untuk menguburnya. dia masih menunggumu dalam nafasnya yang terakhir, setelah itu dia selalu lahir kembali dalam mimpimu di malam-malam berikutnya. selalu dan selalu, tengah-tengah subuhmu dipenuhi dirinya. kadang-kadang teriakan, kadang-kadang rasa bingung yang tidak pernah selesai, dan terakhir datang sepercik bahagia mengetahui dirinya tetap hidup dalam mimpimu. ceritamu tidak pernah habis akannya. aku mendengarkanmu sambil sesekali mengamati rangka jendela kayu, sesekali melirik pada matamu yang masih saja terbersit rona kesedihan berwarna abu-abu.
cincin di jari manis tanganmu pernah mengecohku, bukan hanya pernah, tetapi beberapa kali membuatku tidak sengaja mengeluarkan airmata. cincin emas tipis yang tidak akan sampai lima gram jika ditimbang. sisa dari salah satu kancing baju nenek buyutmu yang dilebur jadi cincin itu. cincin itu berukuran pas pada jari manisku. kita saling sering bertukar cincin, tetapi cincin jari tengahku tetap terlalu besar untuk jari manismu. bukan itu saja, cincin perak bermotif tameng dayak itu sama sekali tidak manis untuk jari manis. ia dileburkan untuk melawan atau untuk menjadi tameng dari segala yang mengancam. seperti itulah, mengapa kita bertukar cincin dan selanjutnya mengembalikannya pada jari kita masing-masing.
makanan di lidahku merindukan bumbu-bumbu dapurmu, yang asin dan pedas. kekhas-an masakan-masakanmu, di panci yang sudah hitam arang dan juga kompor yang tidak kalah hitamnya. lidahku, merindukanmu, segenap rasanya. keringatmu yang asin, tanganku yang pedas sehabis mengulek sambel untuk makan pagi kita. makanan satu piring yang diciptakan untuk kita. lidahku, lidahmu, lidahku merindukan lidahmu.
aku sadar, aku tidak perlu mencarimu di ratusan kilometer menyeberangi lautan. dirimu meninggalkan segala remah-remah sepanjang perjalananmu ke barat. seperti burung-burung yang sedang melintas ke selatan, aku akan memungut semua remahmu untuk mencari kepulanganku. lalu dimana kita akan sampai dan berada, di depan sebuah gundukan makam ayahmu? lelaki tegar yang selalu kau ceritakan dengan mata sendu, mati di tanah asing diiringi kepanikanmu mencari pertolongan selama sehari semalam melintasi belantara hutan sumatera. ditemani macan dan semacamnya, dengan luka-luka di lenganmu. dia sudah tiada di setengah perjalananmu ke selatan, jatuh tidak bernafas di pangkuan ibumu yang sekarang menghilang ke arah timur. dan itulah, hari terakhirmu menitikkan air mata. air matamu sudah habis kini, hanya pernah kulihat di sepotong tulisanmu, corat coret di buku notesku selagi kau menungguku. mengerang, kesakitan seperti tulisanmu. penuh dengan rasa sedih.
kau mengamati tubuhku, mengukur segalanya dengan jengkalan-jengkalan, dengan jangka, penggaris, meteran dan segala jenis ukuran. kau berhenti sejengkal setelah pusarku. matamu bertanya. penuh keluguan. mataku menjawab. penuh sudah semua. kita berhenti di dua buah titik x dan y, menghubungkan segalanya pada titik temu xy. kita berdua yang selalu mendapat jelek dalam nilai matematika versi sekolahan.
matamu penuh kesedihan, di bulan ketiga pertemuan kita. disanalah letak semua daya tarik yang tidak mempedulikan gravitasi bumi, letak geografis dan logika benda-benda. adik angkatmu terlempar dari motornya waktu itu, kau pergi ke timur untuk menguburnya. dia masih menunggumu dalam nafasnya yang terakhir, setelah itu dia selalu lahir kembali dalam mimpimu di malam-malam berikutnya. selalu dan selalu, tengah-tengah subuhmu dipenuhi dirinya. kadang-kadang teriakan, kadang-kadang rasa bingung yang tidak pernah selesai, dan terakhir datang sepercik bahagia mengetahui dirinya tetap hidup dalam mimpimu. ceritamu tidak pernah habis akannya. aku mendengarkanmu sambil sesekali mengamati rangka jendela kayu, sesekali melirik pada matamu yang masih saja terbersit rona kesedihan berwarna abu-abu.
cincin di jari manis tanganmu pernah mengecohku, bukan hanya pernah, tetapi beberapa kali membuatku tidak sengaja mengeluarkan airmata. cincin emas tipis yang tidak akan sampai lima gram jika ditimbang. sisa dari salah satu kancing baju nenek buyutmu yang dilebur jadi cincin itu. cincin itu berukuran pas pada jari manisku. kita saling sering bertukar cincin, tetapi cincin jari tengahku tetap terlalu besar untuk jari manismu. bukan itu saja, cincin perak bermotif tameng dayak itu sama sekali tidak manis untuk jari manis. ia dileburkan untuk melawan atau untuk menjadi tameng dari segala yang mengancam. seperti itulah, mengapa kita bertukar cincin dan selanjutnya mengembalikannya pada jari kita masing-masing.
23 April 2003
i have learnt
that love comes in unusual way
and we simply dont know what blessings it may bring
just simply there,
like drizzle that stabs through our heart
or like the springkle that flows across our veins
i have learnt
that sometimes, love comes not like the spring
it wont bloom the flower, nor greener the prairie
there will be a lot of times when it comes like an autumn
that wither every past dreams, and shed every waves of memories that we once had
just to make you stronger, tougher for the present
i have learnt,
that love is much more than kisses on the cold nite
a box of chocolate, or a bouquet of roses on valentine
it is also a process to unite two persons
to accept the weaknesses,
forgive and forget the mistakes
i have learnt,
that love is not always as sweet as honey
not only about those sweet flattering words that were whispered,
much more than that,
love is about sacrificing .. how we give not only take,
and how we understand, not only hears
i have also learnt ..
that love is simply about love
how that magical things moves our inner ..
makes us become a better person
.. and how i was grateful to have you by my side ...
Nie @ Buya
[the best thing that happened between us is just simply how you make me become a better person each day]
that love comes in unusual way
and we simply dont know what blessings it may bring
just simply there,
like drizzle that stabs through our heart
or like the springkle that flows across our veins
i have learnt
that sometimes, love comes not like the spring
it wont bloom the flower, nor greener the prairie
there will be a lot of times when it comes like an autumn
that wither every past dreams, and shed every waves of memories that we once had
just to make you stronger, tougher for the present
i have learnt,
that love is much more than kisses on the cold nite
a box of chocolate, or a bouquet of roses on valentine
it is also a process to unite two persons
to accept the weaknesses,
forgive and forget the mistakes
i have learnt,
that love is not always as sweet as honey
not only about those sweet flattering words that were whispered,
much more than that,
love is about sacrificing .. how we give not only take,
and how we understand, not only hears
i have also learnt ..
that love is simply about love
how that magical things moves our inner ..
makes us become a better person
.. and how i was grateful to have you by my side ...
Nie @ Buya
[the best thing that happened between us is just simply how you make me become a better person each day]
adalah jendela diantara dunia dan mimpi segala yang lewat menjadi pasti dan tak pasti daun-daun yang tak penah kita dengar bisikannya kedinginan malam ini tak ada lagi senja sebab semua telah gelap gulita namun kita bisa melihatnya jendela diantara ruang dan angkasa tanpa daun pintu meski sebenarnya berpintu tapi kau tak mampu membuka dan menutupnya maka kita membacanya tiada dari segala ada yah tiada mata kita lepas dari kepala berjalan-jalan menyusuri kerikil kerikil harap yang berserakan batu batu gerak yang terbeban tak ada api tak ada kayu sesungguhnya kita tak mengerti apa-apa di alam ini semuanya hanya lewat bergerak kemudian beranjak warna-warna usang yang tertempel di dinding kau tak pernah mengerti kenapa haya mata kita melihatnya tidak juga gerbang tanpa dinding itu gerabah gerabah tanah kemudian ada dari mana kita tak juga tau kita hanya berjalan dan dibawa berjalan berputar berputar
dimana kau letakkan puisimu
desir yang mana ia temukan di dinding dinding
mungkin cuma kau yang enggan berkata kata dan merajuk
letihnya telah terbanting angin mengembara di atas aspal hitam basah
menatap wajah sendiri di penggembara yang jatuh
menatap laju jaman dan bergumam kita sedang jatuh
desir itu datang lagi tanpa kepak serangga dan unggas unggas
atau burung yang terlepas
itu merajam jaman
itu menghamburkan waktu dan melukai
dimana
dimana kau letakkan puisimu
ternyata ia serangga yang gugur kepak sayapnya
ternyata ia unggas yang kehilangan kepak sayapnya
menghadirkan tatap yang kalah
menyediakan tubuh yang kalah
seseorang mungkin akan datang menimang pasrahnya
dan kau teringat
masa mudamu yang terbawa angin melintas di atas sawah sawah
yogyakarta april 2003
desir yang mana ia temukan di dinding dinding
mungkin cuma kau yang enggan berkata kata dan merajuk
letihnya telah terbanting angin mengembara di atas aspal hitam basah
menatap wajah sendiri di penggembara yang jatuh
menatap laju jaman dan bergumam kita sedang jatuh
desir itu datang lagi tanpa kepak serangga dan unggas unggas
atau burung yang terlepas
itu merajam jaman
itu menghamburkan waktu dan melukai
dimana
dimana kau letakkan puisimu
ternyata ia serangga yang gugur kepak sayapnya
ternyata ia unggas yang kehilangan kepak sayapnya
menghadirkan tatap yang kalah
menyediakan tubuh yang kalah
seseorang mungkin akan datang menimang pasrahnya
dan kau teringat
masa mudamu yang terbawa angin melintas di atas sawah sawah
yogyakarta april 2003
aku menginginkan engkau
dalam sepiku bersama sang malam
menemaniku bersenda gurau dengan sang rembulan
bernyanyi bersama sang bintang
aku menginginkan engkau
dalam gelapku menelusuri sang waktu
o...
engkau yang selalu menghantui pikiranku
adakah sang malam telah menitipkan asaku padamu
apakah sang rembulan telah menyampaikan pesanku
ketika anak anak sang jaman tak lagi mau mendengar suaraku
o...
engkau yang selalu menertawaiku
ketika kebodohan muncul bagai anak panah menembus angkasa
ketika rasa tak lagi punya makna
--***--
engkaukah itu...
yang selalu mengganggu tidur malamku
mengetuk pintu hati yang tak pernah terkunci
terbuka bagikan lorong-lorong tanpa batas
engkaukah itu...
kenapa engkau menangis disitu
tidakkah engkau tahu didalam sini begitu menyenangkan
masuklah
masuklah hai engkau yang selalu mengganggu tidurku
pintu itu tidaklah terkunci
dalam sepiku bersama sang malam
menemaniku bersenda gurau dengan sang rembulan
bernyanyi bersama sang bintang
aku menginginkan engkau
dalam gelapku menelusuri sang waktu
o...
engkau yang selalu menghantui pikiranku
adakah sang malam telah menitipkan asaku padamu
apakah sang rembulan telah menyampaikan pesanku
ketika anak anak sang jaman tak lagi mau mendengar suaraku
o...
engkau yang selalu menertawaiku
ketika kebodohan muncul bagai anak panah menembus angkasa
ketika rasa tak lagi punya makna
--***--
engkaukah itu...
yang selalu mengganggu tidur malamku
mengetuk pintu hati yang tak pernah terkunci
terbuka bagikan lorong-lorong tanpa batas
engkaukah itu...
kenapa engkau menangis disitu
tidakkah engkau tahu didalam sini begitu menyenangkan
masuklah
masuklah hai engkau yang selalu mengganggu tidurku
pintu itu tidaklah terkunci
22 April 2003
maka apakah yang harus kau pertanggungjawabkan ketika kau dipanggil dan berhadapan dengan diriNya apa yang akan kau katakan apakah kau hanya menundukkan segala penyesalan dalam-dalam yah pasti tak lain itu yang kau lakukan kau tak kan kena tampar kau tak kan kena rajam tapi jiwamu sendiri yang merajam mu sendiri batinmu sendiri yang menamparmu sendiri !
21 April 2003
:banana split
jariku kaku. barangkali karena mengetik terlampau seru atau bisa juga oleh udara yang seperti frost membuat hilang semua kantuk. malam itu kita banyak mengetik tanda tanya. menghamburkan rahasia, paling tidak kita jujur dengan segala bohong-bohong kita pada dunia. hidup ini memang bisa disederhanakan, toh? lagian kita hanyalah manusia-manusia yang menyiasati kesepian sebagai gambar cerita
di desa belah tengah, penduduknya menyimpan saputangan motif bunga-bunga di saku sebagai jimat pencegah kesedihan..
kubilang, datanglah di musim panas tahun ini saat permukaan danau berbinar seperti safir disilau matahari. lantas bisa kita rencanakan penculikan dramatis dan baiklah kita menghilang semalaman. setelahnya akan kubawa sekarung anak kucing sebagai hadiah ulang tahunmu yang terlambat sebab kita perlu mereka mengeong-ngeong sebagai latar suara tiga obrolan kita. demikianlah. mari bersulang untuk satu lagi potongan tekateki yang terkumpul, dan untuk keakraban dimulai dari banana split. toast!
jariku kaku. barangkali karena mengetik terlampau seru atau bisa juga oleh udara yang seperti frost membuat hilang semua kantuk. malam itu kita banyak mengetik tanda tanya. menghamburkan rahasia, paling tidak kita jujur dengan segala bohong-bohong kita pada dunia. hidup ini memang bisa disederhanakan, toh? lagian kita hanyalah manusia-manusia yang menyiasati kesepian sebagai gambar cerita
di desa belah tengah, penduduknya menyimpan saputangan motif bunga-bunga di saku sebagai jimat pencegah kesedihan..
kubilang, datanglah di musim panas tahun ini saat permukaan danau berbinar seperti safir disilau matahari. lantas bisa kita rencanakan penculikan dramatis dan baiklah kita menghilang semalaman. setelahnya akan kubawa sekarung anak kucing sebagai hadiah ulang tahunmu yang terlambat sebab kita perlu mereka mengeong-ngeong sebagai latar suara tiga obrolan kita. demikianlah. mari bersulang untuk satu lagi potongan tekateki yang terkumpul, dan untuk keakraban dimulai dari banana split. toast!
Perempuan Yang Menatap Langit
seperti waktu terhenti di sini
pintu setengah terbuka
sol datar sandal murahan meleleh di lantai
selalu di penghujung senja
hanya sekian saat sebelum
gelap menuntut jatah di bale-bale bambu
diam-diam kau menatap langit..
seperti kidung suara alto selalu merayap di udara
seperti sufi bising kanakkanak menembus maya
begitu saja
entah sebab kau luput menghitung garis di tapak dan jari
lalu semuanya pergi
sunyi.
dan kau menatap langit, masih..
maka bila nanti aku pamit
terakhir kali barangkali
masih menyimpan rindu
selamanya merindu
selamanya tersesat dalam perihal cintamu
duhai, perempuan yang setia menerawangi langit,
ceritakan padaku bagaimana bisa airmata lindap di arca
serupa matamu..
seperti waktu terhenti di sini
pintu setengah terbuka
sol datar sandal murahan meleleh di lantai
selalu di penghujung senja
hanya sekian saat sebelum
gelap menuntut jatah di bale-bale bambu
diam-diam kau menatap langit..
seperti kidung suara alto selalu merayap di udara
seperti sufi bising kanakkanak menembus maya
begitu saja
entah sebab kau luput menghitung garis di tapak dan jari
lalu semuanya pergi
sunyi.
dan kau menatap langit, masih..
maka bila nanti aku pamit
terakhir kali barangkali
masih menyimpan rindu
selamanya merindu
selamanya tersesat dalam perihal cintamu
duhai, perempuan yang setia menerawangi langit,
ceritakan padaku bagaimana bisa airmata lindap di arca
serupa matamu..
19 April 2003
18 April 2003
teruntuk,
yang dimatanya kutemukan rindu ..
*tak pernah jua bisa terlukiskan rindu yang mengental di sudut bibir,
yang tak pernah sampai walau entah sudah berapa kali aku hendak merajah*
memang begitu banyak cerita,
yang usang terkoyak kenangan, ..
dalam satu dan dua luka yang masih saja memerah perih ..
*berjanjilah, bukan untuk selalu bermanis di depanku, tapi jadi kuat dalam lemahku .. dalam diam di tengah kesendiranku .. hanya itu, yang kumau*
dan jika suatu hari lagi-lagi jalan kita terpisah,
sementara gulir-gulir tangis tak mampu menetes,
kumohon .. segeralah berbalik .. dan lupakan aku
*meski jauh di sudut hatiku aku masih saja akan tetap mengenangmu,
sebagai satu sosok yang luar biasa di tengah kesederhanaan hidup ..
dan bukankah demikian indah, mengetahui begitu banyak yang tersisa dari sebuah kasih sayang*
Nie @ Mythic II
-=Lollies=-
yang dimatanya kutemukan rindu ..
*tak pernah jua bisa terlukiskan rindu yang mengental di sudut bibir,
yang tak pernah sampai walau entah sudah berapa kali aku hendak merajah*
memang begitu banyak cerita,
yang usang terkoyak kenangan, ..
dalam satu dan dua luka yang masih saja memerah perih ..
*berjanjilah, bukan untuk selalu bermanis di depanku, tapi jadi kuat dalam lemahku .. dalam diam di tengah kesendiranku .. hanya itu, yang kumau*
dan jika suatu hari lagi-lagi jalan kita terpisah,
sementara gulir-gulir tangis tak mampu menetes,
kumohon .. segeralah berbalik .. dan lupakan aku
*meski jauh di sudut hatiku aku masih saja akan tetap mengenangmu,
sebagai satu sosok yang luar biasa di tengah kesederhanaan hidup ..
dan bukankah demikian indah, mengetahui begitu banyak yang tersisa dari sebuah kasih sayang*
Nie @ Mythic II
-=Lollies=-
17 April 2003
CINTA WANITA
Jalaluddin Rumi
Jika secara lahir isterimu yang kauatur, maka secara batin engkaulah yang diatur isterimu yang kaudambakan itu
Inilah ciri khas Manusia: pada jenis binatang lain cinta kurang terdapat, dan itu menunjukkan rendahnya derajat mereka.
Nabi bersabda bahwa wanita mengungguli orang bijak, sedangkan laki-laki yang sesat mengunggulinya; karena pada mereka kebuasan binatang tetap melekat.
Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang.
Wanita adalah seberkas sinar Tuhan: dia bukanlah kekasih duniawi. Dia berdaya cipta: engkau boleh mengatakan dia bukan ciptaan.
Jalaluddin Rumi
Jika secara lahir isterimu yang kauatur, maka secara batin engkaulah yang diatur isterimu yang kaudambakan itu
Inilah ciri khas Manusia: pada jenis binatang lain cinta kurang terdapat, dan itu menunjukkan rendahnya derajat mereka.
Nabi bersabda bahwa wanita mengungguli orang bijak, sedangkan laki-laki yang sesat mengunggulinya; karena pada mereka kebuasan binatang tetap melekat.
Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang.
Wanita adalah seberkas sinar Tuhan: dia bukanlah kekasih duniawi. Dia berdaya cipta: engkau boleh mengatakan dia bukan ciptaan.
ketika kubilang jangan sayang padaku
kau tertawa
ketika kubilang jangan jatuh cinta padaku
kau terbahak bahak
ketika ku bilang kuingin membunuh jiwaku sekali lagi
kau terdiam...
lalu mendekatiku perlahan dengan sebilah pisau tajam
yang berkilau tertimpa cahaya ditangan kananmu,
menarik jiwaku,menyeretnya dan mencacahnya
tepat didepan mataku...
dengan tangan yang masih berlumuran darah segar,
sisa sisa darah jiwaku,
kau kembali berjalan mendekatiku
menatap tajam pada bola mataku
lalu meletakkan satu tangan dikepalaku...
dan lalu wangi anyir darah seketika menyadarkanku
satu rasa menyentuh ego kewanitaanku
jiwaku ternyata tak pernah benar benar mati,
meski berulang kali aku,entah dia,entah juga kau mencoba membunuhnya...
kau tertawa
ketika kubilang jangan jatuh cinta padaku
kau terbahak bahak
ketika ku bilang kuingin membunuh jiwaku sekali lagi
kau terdiam...
lalu mendekatiku perlahan dengan sebilah pisau tajam
yang berkilau tertimpa cahaya ditangan kananmu,
menarik jiwaku,menyeretnya dan mencacahnya
tepat didepan mataku...
dengan tangan yang masih berlumuran darah segar,
sisa sisa darah jiwaku,
kau kembali berjalan mendekatiku
menatap tajam pada bola mataku
lalu meletakkan satu tangan dikepalaku...
dan lalu wangi anyir darah seketika menyadarkanku
satu rasa menyentuh ego kewanitaanku
jiwaku ternyata tak pernah benar benar mati,
meski berulang kali aku,entah dia,entah juga kau mencoba membunuhnya...
aku memendam dendam pada seseorang yang membuka pintu kemudian berpaling
bayangannya terbanting sinar dari kamar dan cepat tergeletak tak berdaya
separuh wajah yang tampak kekanakan itu tak lagi akrab
kau menjauhlah ketika pintu dikejar angin dan menggebrak
sesuatu di belakangnya sering mendekap cemas di dadaku
menyapa pelan kadang mengajak singgah ke masa lalu
merayu rayu merentangkan kembali
di daun daun gori yang pernah kita buat mahkota
di kemlandingan yang kita tarungkan
dapat terbaca kita dulu begitu bahagia atas kemenangan dan kekalahan
lama tak kita lakukan kita telah lupa diri kita kita tak kecil lagi
aku telah menua di sayatan pojok mata di sayatan sayatan lain yang lebih perih
tolonglah aku telah lelah di tatap mata juga kata kata
yogya april 2003
16 April 2003
SAJAK UAP NAFAS*
dada ini keranjang yang mencoba menangguk air
tetapi bulan belum penuh, maka bersabarlah
setiap malam kita begitu lepuh, rebus dalam marah
ringas yang kerontang. lalu telah diperkenalkan
kembali danau di tanduk-tanduk kepala kita
setiap kesumat telah dijudulkan dalam sajak
tetapi ada yang meringkuk di sudut sel, menolak
menjadi musuh bagi matahari yang mencuri masuk
dari kisi-kisi. pintu telah lama ingkar terkuak
wajah yang tengadah telah mengelupas, mengerak
kita terkutuk sebagai saudara rahasia. membagi
aliran darah dalam bibir cangkir minuman kita
begitu pula lingkaran doa, malam tetap harus didada
dengan kemarahan sekali masa, isak tangis seketika
tetapi selalu ada yang bersembunyi di balik tirai
ketika cermin terbalik dan cahaya menusuk lubang
hidung. mata kita telah rabun, cekung melumpang
oleh derap hari-hari yang meninggalkan, melayang
kadang-kadang tangan ini rindu menggambar kembang
dan sayap kupu-kupu yang mulai cabik dan berlubang
ketika usia terkuak dan topeng kita telah luntur
bedaknya. tinggal debu yang tersisa di klilip mata
lalu pedas yang kita rasakan itu kita ingkari sia-sia
di mana genggaman tangan itu akan kita simpan
bila setelah perjamuan kita akan kembali tidur
dalam kandung ibu yang selamanya tak pernah kita
tinggalkan. seperti denting piano yang selalu terbaca
sebagai sobekan foto tua warna sephia: emulsi doa
mungkin waktu telah menipu selama ini, mungkin saja
pelukan kita tak akan mudah dipahami, kecuali oleh puisi
tetapi sudahlah. dada ini memang keranjang berjala
renggang. dan air biarlah tetap mengalir, atau melinang
dan seperti gembala piatu yang telah kauceritakan
semalam, bocah itu akan kembali menekur dirinya dalam
ringkuk di sudut sel. mencoba menepis matahari yang mencuri
masuk lewat kisi-kisi. menghangatkan bola mata yang pucat
hingga terbasuh semua kisah riang, semua kisah luka
lalu himne akan terdengar dari kuntum-kuntum bibir
sambil jemari kita mengurai benang-benang, menggulungnya
kembali dalam jentera yang telah kita kenali iramanya
2003
*CATATAN: puisi di atas dijuduli oleh Cecil Mariani
dada ini keranjang yang mencoba menangguk air
tetapi bulan belum penuh, maka bersabarlah
setiap malam kita begitu lepuh, rebus dalam marah
ringas yang kerontang. lalu telah diperkenalkan
kembali danau di tanduk-tanduk kepala kita
setiap kesumat telah dijudulkan dalam sajak
tetapi ada yang meringkuk di sudut sel, menolak
menjadi musuh bagi matahari yang mencuri masuk
dari kisi-kisi. pintu telah lama ingkar terkuak
wajah yang tengadah telah mengelupas, mengerak
kita terkutuk sebagai saudara rahasia. membagi
aliran darah dalam bibir cangkir minuman kita
begitu pula lingkaran doa, malam tetap harus didada
dengan kemarahan sekali masa, isak tangis seketika
tetapi selalu ada yang bersembunyi di balik tirai
ketika cermin terbalik dan cahaya menusuk lubang
hidung. mata kita telah rabun, cekung melumpang
oleh derap hari-hari yang meninggalkan, melayang
kadang-kadang tangan ini rindu menggambar kembang
dan sayap kupu-kupu yang mulai cabik dan berlubang
ketika usia terkuak dan topeng kita telah luntur
bedaknya. tinggal debu yang tersisa di klilip mata
lalu pedas yang kita rasakan itu kita ingkari sia-sia
di mana genggaman tangan itu akan kita simpan
bila setelah perjamuan kita akan kembali tidur
dalam kandung ibu yang selamanya tak pernah kita
tinggalkan. seperti denting piano yang selalu terbaca
sebagai sobekan foto tua warna sephia: emulsi doa
mungkin waktu telah menipu selama ini, mungkin saja
pelukan kita tak akan mudah dipahami, kecuali oleh puisi
tetapi sudahlah. dada ini memang keranjang berjala
renggang. dan air biarlah tetap mengalir, atau melinang
dan seperti gembala piatu yang telah kauceritakan
semalam, bocah itu akan kembali menekur dirinya dalam
ringkuk di sudut sel. mencoba menepis matahari yang mencuri
masuk lewat kisi-kisi. menghangatkan bola mata yang pucat
hingga terbasuh semua kisah riang, semua kisah luka
lalu himne akan terdengar dari kuntum-kuntum bibir
sambil jemari kita mengurai benang-benang, menggulungnya
kembali dalam jentera yang telah kita kenali iramanya
2003
*CATATAN: puisi di atas dijuduli oleh Cecil Mariani
dialah yang lapar yang membutuhkan pegangan jiwanya resah jiwanya gelisah
kegelisahan-kegelisahan yang sesungguhnya tidak perlu di wujudkan
sebab sekarang waktunya dia harus banyak menguburkan segala kegelisahan
keinginan keinginan yang tiba-tiba datang dan membayang simpan dan buang saja
ingatlah begitu banyak yang musti ia lakukan yang musti ia rubah ...
sebab mereka tak membutuhkan kata-kata mafa itu lagi meski berulangkali
kegelisahan-kegelisahan yang sesungguhnya tidak perlu di wujudkan
sebab sekarang waktunya dia harus banyak menguburkan segala kegelisahan
keinginan keinginan yang tiba-tiba datang dan membayang simpan dan buang saja
ingatlah begitu banyak yang musti ia lakukan yang musti ia rubah ...
sebab mereka tak membutuhkan kata-kata mafa itu lagi meski berulangkali
15 April 2003
:bebek
kita mengenali luka dari bentuk tubuh, tetapi jiwa, seperti lukisan tatto di tubuhmu, dia akan ada selamanya. bukan hanya sekedar luka-luka belaka. begitu juga tentang cinta. kita tidak mengenalinya dari bentuk tubuh, kita mengenalinya dari dalam sini, begitu tunjukmu pada dada. tetapi seingatku disitulah letak jantung, letak kunci hidup.
aku mengenali cinta dari bungkusan plastik sisa soto yang dia jual sepanjang siang, untuk makan malamku yang mulai jarang. makanlah, begitu sahutnya, sambil menebar semua bumbu di mangkok kami, tengah-tengah malam. semangkok soto yang tidak mengenal cuaca selalu menghangatkan hati yang mulai lelah, menutup hari dengan sendok-sendok perak.
begitulah, seperti sebotol orange juice dan sekotak susu bendera coklat yang kita beli malam-malam di circle k, sebelum menuju utara. kita berguman sepanjang jalan, sambil minum di atas motor yang tengah berjalan, berbicara tentang hidup sambil melewati jalan-jalan penuh dengan tutup botol. satu-satunya keunikan yang kita temukan lagi-lagi hanya di kota ini.
lampu bohlam berwarna merah meyambutku di pagi selanjutnya, kau akan terbang ke timur sana? tanyaku, setelah baru mengenalmu beberapa hari. aku seperti merasa kehilangan sesuatu yang sudah lama melekat. di rumah pantaimu, lihatlah ke lautan sekali-kali kawan, angin selatan akan membawa kabarku menuju rumahmu.
kita mengenali luka dari bentuk tubuh, tetapi jiwa, seperti lukisan tatto di tubuhmu, dia akan ada selamanya. bukan hanya sekedar luka-luka belaka. begitu juga tentang cinta. kita tidak mengenalinya dari bentuk tubuh, kita mengenalinya dari dalam sini, begitu tunjukmu pada dada. tetapi seingatku disitulah letak jantung, letak kunci hidup.
aku mengenali cinta dari bungkusan plastik sisa soto yang dia jual sepanjang siang, untuk makan malamku yang mulai jarang. makanlah, begitu sahutnya, sambil menebar semua bumbu di mangkok kami, tengah-tengah malam. semangkok soto yang tidak mengenal cuaca selalu menghangatkan hati yang mulai lelah, menutup hari dengan sendok-sendok perak.
begitulah, seperti sebotol orange juice dan sekotak susu bendera coklat yang kita beli malam-malam di circle k, sebelum menuju utara. kita berguman sepanjang jalan, sambil minum di atas motor yang tengah berjalan, berbicara tentang hidup sambil melewati jalan-jalan penuh dengan tutup botol. satu-satunya keunikan yang kita temukan lagi-lagi hanya di kota ini.
lampu bohlam berwarna merah meyambutku di pagi selanjutnya, kau akan terbang ke timur sana? tanyaku, setelah baru mengenalmu beberapa hari. aku seperti merasa kehilangan sesuatu yang sudah lama melekat. di rumah pantaimu, lihatlah ke lautan sekali-kali kawan, angin selatan akan membawa kabarku menuju rumahmu.
semalam aku mengingatmu ketika semua telah hilang dari balik pintu selimut yang terlipat serta baju-baju tak pernah aku hiraukan dari debu aku biarkan mereka telanjang diri tanpa almari juga jendela yang memberi ruang pada awan dan purnama barangkali kau juga menatapnya dari jendela kamarmu di ujung kursi yang tenag sebab malam memanglah tenang tapi tidak seperti hatimu pastilah kau rasa gundah seperti juga diriku akh kadang kita membutuhkan benturan-benturan hingga kita pecah karenanya pecah rindu pecah batu batu ! pecah jejak mu jejak ku selalu batas batas itu ketertekanan itu ketertekanan tekan tekan tekan tekan tekan hingga padam segala cahaya pecah segala kegelapan pecah segala kegundahan pecah hanya pecah seperti piring yang terjatuh botol botol yang terbenturkan di dinding dinding basah aku merindukanmu hanya itu hanya itu ... anak ku istri ku mengapa mata ku tak juga teduh mengapa jiwa ku belum juga bisa memelukmu ... jasad dan ruh ku belum juga bersetubuh tubuh tubuh tubuh tolong - huh sebuah pertunjukan dengan tokoh yang sungguh membosankan !
:lelaki yang menyintai hujan
di matamu hujan merinai membawa surat cinta kepada pengembara-pengembara dahaga. oase sementara. sedang di hadang kita jalan lenggang memanjang dengan tebing bertubi-tubi menusuk letih. sedih dan sunyi saling menisik. tapi kau menyulang puisi menjadi warna keemasan ladang gandum atau hijau gemulai sawah atau bening mistik telaga. demikianlah kau menyiasati alam ke dalam darahmu, menjadi satu legenda tentang lelaki yang menangisi hujan
maka tawaku tersesat di labirin sore yang terdiam sejenak. menguburkan airmata di tepi jalan di kotamu, sebagai nisan serpihan otak yang kutanam dalam-dalam. sebelum kejut sedikit dan perjalanan kembali dimulailah..
lantas hujan semakin berahi menuntut dirimu utuh-utuh. meruahkkan badai kecil, hingga mimpi terpelanting sempurna tanpa tanya tanpa pelukan apakah kau baik-baik saja. serta merta aku merasa renta dan rapuh. terlalu berkarat untuk sekedar menghabiskan poci teh di ruang tamu sebuah rumah kecil berwarna putih. aku kehilangan kunci. tapi hujan di balik punggungmu melempar tanda tanya. di mana gerangan pernah kutitipkan kunci, untukmu?
di matamu hujan merinai seperti tanda cinta semesta kepada jiwanya
begitu indah..
(akan kusimpan mantra ajaib hujan, dan kuingat kau selalu sebagai lelaki yang menyintai hujan. lelaki: hujan)
di matamu hujan merinai membawa surat cinta kepada pengembara-pengembara dahaga. oase sementara. sedang di hadang kita jalan lenggang memanjang dengan tebing bertubi-tubi menusuk letih. sedih dan sunyi saling menisik. tapi kau menyulang puisi menjadi warna keemasan ladang gandum atau hijau gemulai sawah atau bening mistik telaga. demikianlah kau menyiasati alam ke dalam darahmu, menjadi satu legenda tentang lelaki yang menangisi hujan
maka tawaku tersesat di labirin sore yang terdiam sejenak. menguburkan airmata di tepi jalan di kotamu, sebagai nisan serpihan otak yang kutanam dalam-dalam. sebelum kejut sedikit dan perjalanan kembali dimulailah..
lantas hujan semakin berahi menuntut dirimu utuh-utuh. meruahkkan badai kecil, hingga mimpi terpelanting sempurna tanpa tanya tanpa pelukan apakah kau baik-baik saja. serta merta aku merasa renta dan rapuh. terlalu berkarat untuk sekedar menghabiskan poci teh di ruang tamu sebuah rumah kecil berwarna putih. aku kehilangan kunci. tapi hujan di balik punggungmu melempar tanda tanya. di mana gerangan pernah kutitipkan kunci, untukmu?
di matamu hujan merinai seperti tanda cinta semesta kepada jiwanya
begitu indah..
(akan kusimpan mantra ajaib hujan, dan kuingat kau selalu sebagai lelaki yang menyintai hujan. lelaki: hujan)
14 April 2003
dari bawah tanah aku mendengar suara erangan kesakitan tapi entah siapa dari udara aku juga mendengar suara serupa ngilu keperihan tapi entah siapa kemudian ternyata suara-suara itu ada dimana-mana di balik bukit-bukit di atas ombak lautan diantara pantai dan badai sungai batu-batau juga debu di bawah meja di dapur dan ruang tamu di dalam dan di luar rumah tapi entah siapah itukah suara-suara yang membekas dari bekas-bekas peperangan yang ada setiap adanya peradaban dari abad ke abad mengalir dari waktu ke waktu luka demi luka terus menyambung dan terus menyambung ...
13 April 2003
12 April 2003
hahaha kini semua telah terjawab maka apa artinya gerakan turun ke jalan itu meski itu beribu-ribu orang beribu teriakan bahkan berjuta di seluruh penjuru dunia teriakan "hentikan perang!" mana yang berteriak itu ? semuanya hanya diam membisu hari itu perang telah dihentikan yah memang mana ada perang kapan sejak kapan tak ada perang itu tak ada mana ada pembunuhan mana ada pembunuhan semuanya itu hanyalah sesuatu yang memang harus dikorbankan bukan pembunuhan jadi sekali lagi tak ada pembunuhan untuk minyak dan memang tak ada semua hanyalah sesuatu yang harus di korbankan seruan seruan mu yang keluarkan di jalan-jalan itu kini semuanya membisu perang telah dihentikan tapi apakah semua telah selesai ? tidak itu baru saja dimulai yah peperangan sesungguhnya baru saja dimulai
: pada seseorang yang tak lagi ku kenal
kau hanya ingin mengepak sayapmu ketika sayup sinar sinar
diam karena tak ada angin akan mematahkan gumam
diam karena tak ada angin akan menjatuhkan desah
kau ingin bercerita tentang seorang pengembara yang pernah tersesat dan mengetuk ketuk sepi rumah ketika kau sendiri dan meminta minta dengan paksa untuk membuka
kau rindu seseorang menatap wajah yang lama tak dijumpai
bercerita tentang unggas serangga dan pohon pohon di pegunungan seribu
kau tak pernah terluka kau hanya mengasihani diri ketika terkenang masa kecil
memang kau pernah jatuh ketika menandak nandak menarikan tarian tentang dirimu
tentang ibu tentang bapak tentang senyum kanak kanak
dan bilapun kau jatuh kau takkan menangis
kau tak pernah terjamah ujung selendang ibu
bagimu tertegur angin ranting dahan daun daun dengan dada telanjang
lebih dari kasih sayang bapak
hei harusnya tak semurung ini bukan
disapanya seseorang yang menunduk ternyata rumputan
ditegurnya seseorang yang berlari ternyata angin
dijawabnya sapa seseorang ternyata hewan hewan
didekapnya kekasih yang hanya kekosongan
didekap lagi kekasihnya yang hanya kekosongan
padanya ia memohon untuk menunjukkan bahwa ia memerlukan senyum seseorang
padanya ia bersujud memohon kembali apa yang mencintai
tentang cinta telah melupakan asal usulnya
tentang rindu harus dibaca lagi di buku buku
ia merasa seseorang telah menyimpan semuanya yang pernah diajarkan lalu ia pergi dan tak berpaling
sonopakis 2003
kau hanya ingin mengepak sayapmu ketika sayup sinar sinar
diam karena tak ada angin akan mematahkan gumam
diam karena tak ada angin akan menjatuhkan desah
kau ingin bercerita tentang seorang pengembara yang pernah tersesat dan mengetuk ketuk sepi rumah ketika kau sendiri dan meminta minta dengan paksa untuk membuka
kau rindu seseorang menatap wajah yang lama tak dijumpai
bercerita tentang unggas serangga dan pohon pohon di pegunungan seribu
kau tak pernah terluka kau hanya mengasihani diri ketika terkenang masa kecil
memang kau pernah jatuh ketika menandak nandak menarikan tarian tentang dirimu
tentang ibu tentang bapak tentang senyum kanak kanak
dan bilapun kau jatuh kau takkan menangis
kau tak pernah terjamah ujung selendang ibu
bagimu tertegur angin ranting dahan daun daun dengan dada telanjang
lebih dari kasih sayang bapak
hei harusnya tak semurung ini bukan
disapanya seseorang yang menunduk ternyata rumputan
ditegurnya seseorang yang berlari ternyata angin
dijawabnya sapa seseorang ternyata hewan hewan
didekapnya kekasih yang hanya kekosongan
didekap lagi kekasihnya yang hanya kekosongan
padanya ia memohon untuk menunjukkan bahwa ia memerlukan senyum seseorang
padanya ia bersujud memohon kembali apa yang mencintai
tentang cinta telah melupakan asal usulnya
tentang rindu harus dibaca lagi di buku buku
ia merasa seseorang telah menyimpan semuanya yang pernah diajarkan lalu ia pergi dan tak berpaling
sonopakis 2003
10 April 2003
kamu tidak tau,
betapa aku kadang mengingatmu
entah saat aku selangkah lagi dari alam mimpi,
atau bahkan saat pertama kali mata terbuka
kamu tidak tau,
betapa kadang aku merindukanmu
terutama saat senja beranjak gelap
dan aku sendiri disini
(saat seharusnya aku bersamamu seperti dulu)
dan kamu juga tidak akan tau,
bahwa aku masih saja ingin menjumpaimu
bukan,
bukan karena aku ingin kembali ke pelukmu
atau sejenak menikmati kembali sentuhanmu di kulitku
ya .. anggap saja sekedar kesombongan diri
untuk sekali lagi menatap kedua bola matamu
*mata yang sama yang mencampakkanku dua belas purnama yang lalu*
dan jika mungkin membuka hatiku,
menunjukkan padamu bekas bekas luka yang kau pecutkan di situ
*yang walau mengering, kuyakin akan selalu ada disana*
ya,
mungkin sebaiknya kamu memang tidak tau
bagaimana waktu merubah semua
dan segala tetek bengek bernama cinta yang akan selalu jadi omong kosong buatku
bahwa yang ada hanyalah karat
yang menua dimakan waktu dan tiang kenangan
bukan membencimu,
hanya sudah muak mencintaimu
betapa aku kadang mengingatmu
entah saat aku selangkah lagi dari alam mimpi,
atau bahkan saat pertama kali mata terbuka
kamu tidak tau,
betapa kadang aku merindukanmu
terutama saat senja beranjak gelap
dan aku sendiri disini
(saat seharusnya aku bersamamu seperti dulu)
dan kamu juga tidak akan tau,
bahwa aku masih saja ingin menjumpaimu
bukan,
bukan karena aku ingin kembali ke pelukmu
atau sejenak menikmati kembali sentuhanmu di kulitku
ya .. anggap saja sekedar kesombongan diri
untuk sekali lagi menatap kedua bola matamu
*mata yang sama yang mencampakkanku dua belas purnama yang lalu*
dan jika mungkin membuka hatiku,
menunjukkan padamu bekas bekas luka yang kau pecutkan di situ
*yang walau mengering, kuyakin akan selalu ada disana*
ya,
mungkin sebaiknya kamu memang tidak tau
bagaimana waktu merubah semua
dan segala tetek bengek bernama cinta yang akan selalu jadi omong kosong buatku
bahwa yang ada hanyalah karat
yang menua dimakan waktu dan tiang kenangan
bukan membencimu,
hanya sudah muak mencintaimu
09 April 2003
a foul of a soul
the rhytm is dancing slowly, yet massively. i tuck my soul down to the mother of earth. perhaps she might yearn the spell of thousands ode to the nature..
it is a bird, a white dove drips a feather flying beyond the pond..
who is it that sings the lullaby to thy wanderer? far away from the tea pot with silver spots. but the voices are too loud, the calls are too wild.
this is a poetry roar
when i shift my fingers to the inner
and a scream "denied, denied"
let my foul be buried away. for this is a muting silence with no pause, as i hear not my name.
[in the rain you still mummering, o, beauty]
*yk, 03042003
the rhytm is dancing slowly, yet massively. i tuck my soul down to the mother of earth. perhaps she might yearn the spell of thousands ode to the nature..
it is a bird, a white dove drips a feather flying beyond the pond..
who is it that sings the lullaby to thy wanderer? far away from the tea pot with silver spots. but the voices are too loud, the calls are too wild.
this is a poetry roar
when i shift my fingers to the inner
and a scream "denied, denied"
let my foul be buried away. for this is a muting silence with no pause, as i hear not my name.
[in the rain you still mummering, o, beauty]
*yk, 03042003
lampu lampu berpijar
(ia masih bertanya pada sesuatu di belakang angin yang berderak derak
ia masih bertanya pada bayang bayang karena merasa terancam
kadang ia memang berpikir rendah membayangkan sosoknya melebur dan rebah
ketika datang sinar sinar
rupanya hanya engkau yang sendiri berkejab kejab
di bayangan lampu yang meliuk tak juga kau menghindar
hei bukankah kau tadi yang melintas cepat cepat
hei bukankah kau tadi yang merapat dan mendekap )
I
kau duduk kau begitu mendendam pada sore pada saput malam pada lampu lampu yang berpijar ada resah ada kesakitan
kau kibaskan pada asap rokok yang pelan mendesah mencucuki arah
seseorang yang kau pikir kadang seperti angin yang meninggalkan derak derak di dahan seseorang yang menguasai otakmu sering bertingkah seperti ular yang cepat melintas
kau akan merasa sangat terkucil dan membantai ia yang datang dengan nama nama lain
ia sungguh pandai mendandani diri menipu dan menyamar
kau bersumpah untuk mengacuhkannya
meskipun dirinya itu atau hanya bayanganmu
yang selalu datang menghadang dengan tanya
yang selalu berpapasan ketika berjalan
yang selalu membaca resah dan mengurainya ketika lampu lampu mulai berpijar
tanpa arah
II
ia berdiri tepat ketika seseorang bertanya tentang masa lalu yang kini disadarinya membuatnya berpikir aneh
yang berduyun duyun di remangnya dengan masam
masak sih kau tak pernah terhunjam panah dengan setetes darahmu menetes netes
di jalan jalan kotamu
memerankan seseorang yang tak pernah kau inginkan menampik sinar sinar
dengan kerlipnya yang kau pandang sungguh sungguh membuatmu iba
ia hanya menyambut yang telah melakukan perjalanan jauh dan panjang
kerdipnya pernah tinggal dan menyusur lorong lorong dengan tatapan lemah dan beku
kadang kau jumpai ia menjadi kabut yang mencoba mengaca
tak kau mendengar tanya atau lebih mungkin gumam dari kali
gelegak siapa ini menyusur dari luka dan nyeri tak habis habis
III
kau kah wajah yang terlihat sayu dibawah lampu taman
yang selalu menjinjing tanya dimana dimana sunyi yang di pojok trafik pergi
kadang ia menampak di mata seorang pengembara yang lelah
yang menegur dan memulai percakapan tentang pelacur
ketika lampu lampu dipaksa mati
ia berangkat pelan pelan dengan meninggalkan gaung : sampai nanti
IV
mungkin hanya sore yang membawa gincunya yang tadi melintas
ia datang dari pojok pojok kotamu dan itu membuat ia ingat tentang sesuatu
tentang kekanakannya yang terus bernyanyi memuji hewan hewan
tentang keberaniannya untuk berpisah ranjang dengan dirinya sendiri
meskipun nanti ia akan tersesat
sebentar lagi lampu pijar akan menjadi pegangan
menuntunnya menuju kerumahmu lalu mengetuk pelan untuk bertanya
apakah kau yang menyalakan sore
apakah kau yang memoleskan gincu pada sayupnya
apakah kau yang mewarna malam malam pekat
atau kau hanya seseorang penumpang dan tertawan
V
seleret cahaya mungkin resahnya ada kau tangkap
ia harus di tanyai tentang resahnya yang kan kemana dengan bersungguh sungguh
kemana juga pergi hitamnya ketika ia mendekat sembunyi dimana
di tembok tembok mungkin ia telah diam dan berbisik kesal tentang bau pesing
atau di warung angkringan ia telah dipercakapkan dengan tawa yang nyaring
liuk angin di lampu penerang akan merambat
merayapi sisi sisi yang tak kau jamah
tolong amati bibirnya sejenak adakah gincunya tebal dan merah
(ternyata petanda ini bukan yang ia impikan
segala nyala kini terbang menjadi debu
lalu apa dan siapa kau mata yang berbinar binar
ia datang dari janjinya untuk mematikan sebuah lampu
setelah senyapnya menggapai dan sedikit mewarnai celotehnya
seseorang yang melintas tadi nyatanya bukan kau
ia merasa sangat jahat dan kecewa di batang rokok yang ia nyalakan
dan bergumam tentang hitamnya yang tak lagi indah)
yogyakarta april 2003
(ia masih bertanya pada sesuatu di belakang angin yang berderak derak
ia masih bertanya pada bayang bayang karena merasa terancam
kadang ia memang berpikir rendah membayangkan sosoknya melebur dan rebah
ketika datang sinar sinar
rupanya hanya engkau yang sendiri berkejab kejab
di bayangan lampu yang meliuk tak juga kau menghindar
hei bukankah kau tadi yang melintas cepat cepat
hei bukankah kau tadi yang merapat dan mendekap )
I
kau duduk kau begitu mendendam pada sore pada saput malam pada lampu lampu yang berpijar ada resah ada kesakitan
kau kibaskan pada asap rokok yang pelan mendesah mencucuki arah
seseorang yang kau pikir kadang seperti angin yang meninggalkan derak derak di dahan seseorang yang menguasai otakmu sering bertingkah seperti ular yang cepat melintas
kau akan merasa sangat terkucil dan membantai ia yang datang dengan nama nama lain
ia sungguh pandai mendandani diri menipu dan menyamar
kau bersumpah untuk mengacuhkannya
meskipun dirinya itu atau hanya bayanganmu
yang selalu datang menghadang dengan tanya
yang selalu berpapasan ketika berjalan
yang selalu membaca resah dan mengurainya ketika lampu lampu mulai berpijar
tanpa arah
II
ia berdiri tepat ketika seseorang bertanya tentang masa lalu yang kini disadarinya membuatnya berpikir aneh
yang berduyun duyun di remangnya dengan masam
masak sih kau tak pernah terhunjam panah dengan setetes darahmu menetes netes
di jalan jalan kotamu
memerankan seseorang yang tak pernah kau inginkan menampik sinar sinar
dengan kerlipnya yang kau pandang sungguh sungguh membuatmu iba
ia hanya menyambut yang telah melakukan perjalanan jauh dan panjang
kerdipnya pernah tinggal dan menyusur lorong lorong dengan tatapan lemah dan beku
kadang kau jumpai ia menjadi kabut yang mencoba mengaca
tak kau mendengar tanya atau lebih mungkin gumam dari kali
gelegak siapa ini menyusur dari luka dan nyeri tak habis habis
III
kau kah wajah yang terlihat sayu dibawah lampu taman
yang selalu menjinjing tanya dimana dimana sunyi yang di pojok trafik pergi
kadang ia menampak di mata seorang pengembara yang lelah
yang menegur dan memulai percakapan tentang pelacur
ketika lampu lampu dipaksa mati
ia berangkat pelan pelan dengan meninggalkan gaung : sampai nanti
IV
mungkin hanya sore yang membawa gincunya yang tadi melintas
ia datang dari pojok pojok kotamu dan itu membuat ia ingat tentang sesuatu
tentang kekanakannya yang terus bernyanyi memuji hewan hewan
tentang keberaniannya untuk berpisah ranjang dengan dirinya sendiri
meskipun nanti ia akan tersesat
sebentar lagi lampu pijar akan menjadi pegangan
menuntunnya menuju kerumahmu lalu mengetuk pelan untuk bertanya
apakah kau yang menyalakan sore
apakah kau yang memoleskan gincu pada sayupnya
apakah kau yang mewarna malam malam pekat
atau kau hanya seseorang penumpang dan tertawan
V
seleret cahaya mungkin resahnya ada kau tangkap
ia harus di tanyai tentang resahnya yang kan kemana dengan bersungguh sungguh
kemana juga pergi hitamnya ketika ia mendekat sembunyi dimana
di tembok tembok mungkin ia telah diam dan berbisik kesal tentang bau pesing
atau di warung angkringan ia telah dipercakapkan dengan tawa yang nyaring
liuk angin di lampu penerang akan merambat
merayapi sisi sisi yang tak kau jamah
tolong amati bibirnya sejenak adakah gincunya tebal dan merah
(ternyata petanda ini bukan yang ia impikan
segala nyala kini terbang menjadi debu
lalu apa dan siapa kau mata yang berbinar binar
ia datang dari janjinya untuk mematikan sebuah lampu
setelah senyapnya menggapai dan sedikit mewarnai celotehnya
seseorang yang melintas tadi nyatanya bukan kau
ia merasa sangat jahat dan kecewa di batang rokok yang ia nyalakan
dan bergumam tentang hitamnya yang tak lagi indah)
yogyakarta april 2003
08 April 2003
Mari Tertawa
: buat E. S
Tertawa! Tertawalah!
Walau entah bagaimana jenis tawanya, mungkin bergantung besar rongga mulut, bentuk bibir atau jenis makanan yang melaluinya atau siapa yang tertawa. Maklum, derajat kehidupan kadang membuat pakem cara tertawa sendiri-sendiri. Tapi yang pasti intinya sebuah kelucuan. Walau itu hanya melahirkan senyum simpul atau malu-malu.
Itulah yang diajarkan sahabatku, Gabe, dalam menjalani hidup. Menyikapi segala persoalan dengan tertawa.
“Itu obat stress, melenturkan penat. Kesadaran akan kesalahan membuat kita menertawai kebodohan itu. Dan setidaknya kita pintar menemukan jawaban. Ya, kita harus berpikir merdeka. Jangan pernah dijajah oleh kesalahan. Kita bebas menemukan jawaban. Tidak menjadi budak pemikiran orang lain, karena kadang itu menjadi begitu menindas………”
“Menindas? Merdeka?” Aku bingung oleh segala ucapan-ucapannya.
“Bangun bung! Kalau kamu tak mampu memerdekakan diri sendiri, jangan pernah berpikir untuk memerdekakan orang lain. Hidup menjadi bagian dari masyarakat sosial adalah suatu kodrat. Tapi sistem di masyarakat, terlalu mematok-matok wilayah yang membangun berbagai larangan. Tak ubahnya dengan ayam potong, dikandangkan, semua diatur entah itu persoalan waktu atau makan ditempatnya, minum ditempatnya……”
“Tapi berak bebas kan bung.”
“Tetap tak bebas. Kotorannya tetap harus jatuh ke bawah bukan bisa terbang ke atas……..”
“Wah itu melanggar kodrat alam.”
“Bukan sesimpel itu. Aku hanya ingin membenturkan antara kodrat ciptaan manusia dan kodrat oleh alam. Taik jatuh ke tanah itu kodrat alam, sama seperti kematian yang suatu saat dihadapi semua manusia. Kita tidak bisa merdeka atas kematian. Tapi untuk urusan lainnya seperti keturunan, baik dan buruk, boleh dan tidak, sopan dan amoral mempunyai standar-standar tertentu yang berbeda-beda dalam masyarakat……”
“Maksudnya?”
“Misal manusia dikatakan harus berketurunan. Banyak yang stress dikejar oleh usia untuk urusan ini. Menjadi lajang tua atau perawan tua itu aib, apalagi tidak menikah untuk seumur hidup. Pandangan masyarakat membuat kita tak merdeka untuk memilih jalan hidup. Anak-anak dihasut untuk bercita-cita jadi orang kaya. Tak ada yang bangga jadi orang miskin, atau menjadi diri sendiri.”
“Hmmmm…. hubungannya dengan tertawa tadi?”
“Ya itu, pertama kita tak boleh terjebak oleh lingkar penyesalan. Kita harus tertawa ketika menemukan jawaban. Dan kedua kita tertawa ketika kita telah berhasil melawan aturan-aturan atau dogma-dogma usang. Karena kita telah menemukan kelucuan yang dikemas rapi oleh sekelompok manusia yang menepuk-nepuk dada sendiri. Kita merdeka atas kebodohan mereka!”
* * * *
Seperti biasa, aku duduk tak jauh dari sekelompok orang yang ada. Mengamati untuk berberapa waktu lamanya. Ya, itu pekerjaan yang mengasikkan. Aku akan menemukan berbagai gerak-gerik. Bahasa tubuh. Itu bahasa yang tak tercatat, karena udara tak memberi kesempatan menunjukkan salinannya, selanjutnya hilang tak tereja dibawa pergi.
Tak jarang aku akan tertawa sendiri menyadari tingkah-tingkah mereka yang terkesan bodoh, kamuflase, atau mungkin munafik. Seperti cowok itu yang berpura-pura berlaku mesra dengan gadisnya. Memeluknya erat dari belakang sambil menunggu bis kota. Sementara saat itu juga matanya tak lepas dari dada-dada bengkak milik perempuan-perempuan yang melintas. Atau si necis yang tak hanya pintar bersilat lidah, tanganyapun lihai merogoh kantong-kantong yang dimangsa.
Kebiasaan mengamati itu aku jalani semenjak di kota ini. Menyadari kamar sepetakku bisa mematikan di saat aku lengah. Di dalamnya akalku terhadang penat oleh persoalan-persoalan hidup. Akan gaji yang tiada pernah cukup-cukupnya untuk hidup. Atau persoalan keinginan untuk mengucap cinta pada seorang gadis, sementara untuk menerima penolakkan adalah sebuah kiamat. Ahh…. itu hanya sekelumit kecil, banyak hal yang terkadang membuatku mati kutu. Dan bila tak tertahan, aku biasanya lari ke luar kamar. Menuju jalan dan mengamati yang ada.
Objek yang bisa kuamati adalah pengemis-pengemis yang duduk di pinggir jalan atau di jembatan penyeberangan. Aku menemukan obat penawar keserakahan hidup. Dan aku menertawai kebodohanku. Berucap syukur, aku masih bisa makan dari keringat sendiri. Mengamati pencopet, pengamen atau gelandangan di jalanan. Ternyata aku masih bisa hidup sewajarnya.
Namun terkadang timbul persoalan baru, misalkan memandang iri pada mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Kemewahan dan kenyamanan ada di dalamnya. Tapi itu bisa kusingkirkan, sekali lagi dengan tertawa. Mentertawakan mereka yang hidup di dalam utang dan penjara uang.
Atau saat memandang sepasang kekasih yang berjalan bersama. Ada rasa iri menikmati iklim asmara yang tersembul di langkah-langkah mereka. Tapi biasanya aku akan berlari menuju tukang koran, mencari pandang dan mencuri berita. Tak harus membeli koran kriminal itu. Di tumpukkan atau yang tergantung, aku bisa melahap beritanya. Sebuah headline : “Seorang Pemuda Tega Membunuh Pacarnya yang Selingkuh.” Isinya gampang ditebak. Dan aku selanjutnya akan tertawa menemukan segala kebodohan. Setidaknya walau tak berpacaran, aku pasti takkan pernah ditipu apalagi disakiti. Dan kemungkinan untuk menjadi pembunuh tak akan ada. Mereka tega membunuh atau menyakiti lawan jenisnya oleh kedunguan akan cinta.
Kuakui, obat mujarab bernama tertawa sangat manjur. Andai itu dipakai semua orang dalam menghadapi hidup dan persoalan, mungkin tak ada berita-berita kriminal di koran-koran. Atau penuhnya orang-orang kalap dan hilang akal di penjara. Penuhnya mayat-mayat di kamar mayat rumah sakit yang tak jelas identitas dirinya. Dan kuburan tak akan menjadi begitu angker dengan arwah-arwah penasaran dan malah imbasnya kini banyak orang suka akan cerita-cerita mistis mengalahi magisnya ajaran agama.
Semakin jauh ku berjalan, terkuak semua tabir hidup. Tak lagi sembunyi-sembunyi, vulgar menyeruak dari bahasa-bahasa waktu. Di semua titik-titik ku dapatkan kata-kata sandi, menjejakinya sebagai langkah menghantarkan jawaban. Tidak usah berlama-lama melukiskan kerutan di kening, semua akan terbeberkan dengan pasti. Hidup tidak untuk dipersulit, sama mudahnya ketika menghirup dan menghembuskan nafas. Semua mengalir apa adanya selama bernafas bukan perkara yang susah untuk dilakukan.
Sampai ketika kakiku letih dan nafas tersenggal satu-satu, tubuhku membenamkan diri pada penat malam. Di sebuah taman dengan nyala lampu yang teduh. Mencoba untuk menyejukkan pandangan pada mahluk-mahluk indah yang menetek pada bumi. Akar-akarnya meremas penuh kasih pada kulit-kulit bumi. Seperti pelukan yang hangat diberikan pada bayi itu. Di dadanya mahhluk kecil itu membenamkan diri pada penciptanya dan menyusu dengan tenang. Kali ini tak mungkin ku salah melukis, ditengahnya ku dapatkan sebuah mahluk seperti diriku. Duduk di tamannya dengan nyanyian buat buah hatinya.
Pelan-pelan ku menghampiri. Mencoba tak mengganggu dan tak mengusik pagutan buat hatinya. Ia memandang pada langkahku, menatap dan tersenyum. Di depannya aku duduk bagai patung telanjang di sebuah taman. Ya hanya diam, menghantar nyanyian malam tak menjadi sumbang. Kami menikmati deru angin yang menjilati kuping-kuping dengan binalnya dan bintang-bintang begitu berahi dengan nyala yang redup menahan nikmat. Ohh…. waktu menjadi peraduan hangat tempat merebahkan detik-detik yang bersimpul menahan beban tubuh-tubuh yang bergelut dengan penatnya. Sebelum embun lahir di hangatnya hening malam dan menetes membayangi lekuk tubuh, ia ajak aku menjilati jejaknya menuju langkahnya terhenti.
Di depan kediamannya, tangannya melambai mesra, ajak aku masuk. Aku tak mampu berpikir panjang karena dadaku telah tertambat pada pesonanya. Dia letakkan bayinya di sebuah peraduan kecil dan kami menjauh tak mau meninggalkan keributan kecil yang mampu mengusiknya. Menatap punggungnya yang indah berjalan di depan menuju sebuah kolam kecil. Menghempaskan tubuh di tepiannya.
Aku kagum pada suasana kediamannya yang indah. Pada pandangan yang ditimbulkan oleh matanya yang bagus. Dan ia hanya tersenyum ketika aku ucap puja dan puji itu. Hanya menggerakkan hidungnya ketika pujianku kian bertambah rakus. Aku baru tersadar, sedari tadi aku yang terus mengusir hening melahirkan percakapan-percakapan. Dan aku mencoba diam bagai lampu dengan sorot yang menyeringai.
Dia tertawa ketika aku baru menyadari kebodohanku. Dan aku pun tak mampu hanya menahan senyum, tawa kecilku pun menyertai. Mulailah ia bercerita akan hidup dan waktu-waktu miliknya. Akan kebebasan saat-saat yang tersedia untuk mencipta sejarah, mengukir dinding batu hidup dengan tetes-tetes akal karena takdir bukanlah mata ukir yang tajam untuk menulis kata nasib. Dan masa bukanlah teman yang baik untuk diajak menanti akan datangnya burung bagau membawa bayi-bayi perubahan.
Pada setiap percakapan terkadang di antarai tawa. Aku suka caranya tertawa dan segala leluconnya. Memang hidup ini bagai parodi-parodi, dagelan yang abadi walau tersadar akan segala kesalahan di waktu yang dikemudiannya. Aku menemukan kemerdekaan pada dirinya, jiwa yang tak terjamah oleh pikiran-pikran yang menindas. Semakin lama aku kian memerdekakan nilai-nilai, bebas dari segala nilai yang mengikat erat. Seperti peluknya tak mau melepaskan degup jantung di dadaku, berbaring di pelukkan hangatku. Selanjutnya naluri kami berbicara begitu lancar dalam bahasa-bahasa gerak yang tak berkesudahan. Hingga pagi menghantarkan embun yang tawar di bulir-bulir keringat kami.
* * * * *
Sebuah tendangan terhantar ke hulu hatiku, aku tercampak bersama kesadaran membentur sebuah dinding tinggi. Belasan pasang mata menatap buas, ludah mereka tercecer bersama maki dan umpatan. Aku mundur dan tertahan di dinding tinggi ini, mataku mencari wanita dengan anaknya. Ohh..… di sana, wanita itu terduduk di tanah mencoba meronta-ronta ketika ada beberapa tangan kasar menjambak rambutnya. Dan belasan pasang mata itu melahap keindahan tubuh moleknya. Ocehan usil begitu tajam merobek ketelanjangannya.
Aku berlari ke arahnya, tak sudi bagiku memperlama penderitaannya. Mereka telah merajam sungguh laknat sebuah nilai yang diyakini wanita itu. Hanya beberapa langkah aku telah kembali terjungkal kebelakang. Kemaluanku yang menjuntai menjadi sasaran tendangan lelaki kekar itu. Dadaku begitu sesak ketika kaki itu pula yang menendang kepalaku saat aku roboh di tanah. Untunglah hal itu tak berlangsung lama, ketika empat orang berbaju putih menyelamatkanku. Seperti malaikat yang menuntunku ke sebuah surga.
Tapi kurasakan ini bukan sebuah kematian, karena aku masih bisa merasakan dinginnya dinding kabin mobil ini. Dan wanita itu pun dituntun masuk ke dalam kabin tempatku berada. Ia menangis keras ketika sadar bayinya tertinggal, ia menyebut nama bayinya. Dari kerumunan orang yang masih menatap kami di dalam kabin mobil putih ini, ada yang melempar sebuah mahluk. Ya, bayi wanita itu dan terbentur di lantai tak jauh dari pahaku. Aku memungutnya dan menyerahkannya dengan lembut pada wanita itu. Ia tersenyum senang, dan mencoba menenangkan tangis bayinya sambil memberi ujung putingnya untuk diisap.
Dan lagi-lagi mulut mereka masih berbusa, tawanya bukan lagi tawa milik kami. Tawa mereka sungguh merampas kemerdekaan kami. Tawa mereka tak membebaskan. Mereka sungguh tak paham pada arti tawa itu sendiri. Mereka seperti orang gila yang menertawakan segala kemapanan, orang-orang kalah yang kalap pada kegagalan hidup. Amarahku kian memuncak ketika mulut-mulut mereka meludahi tubuh-tubuh kami dan memaki sejuta bahasa.
“Dasar orang gila. Enyah kau dari sini, merusak pemandangan saja.”
“Iya, malah kemarin mereka bersenggama di kolong jembatan layang ini. Di tepi kali.”
“Tak bermoral. Duniamu tak di sini. Rumah sakit jiwa itu istanamu.”
“Hehhe…. para pemimpi yang gelisah. Tertawalah kau di keterasingan diri. Di kerdilnya jiwa. Meranggas menanti ajal. Jelas mimpimu tak bisa bersanding bersama kerasnya hidup yang berjalan. Manjalah kau pada dewa mimpimu. Terkuburlah kau bersama mimpi dan belatung-belatung pemberontakan.”
“Ehh… tahu enggak gara-gara dia orang pada takut membeli koranku. Orang gila itu sok pintar membaca koran, hahhaa……..”
Dan untunglah tawa-tawa yang gila itu tak berlangsung lama. Ketika sedetik kemudian pintu mulai tertutup. Namun perutku kian mual berputar-putar secepat putaran sirene bersama mobil yang berjalan menjauhi mereka. Aku jijik pada ketidakwarasan dunia.
Grogol, 5april2003
: buat E. S
Tertawa! Tertawalah!
Walau entah bagaimana jenis tawanya, mungkin bergantung besar rongga mulut, bentuk bibir atau jenis makanan yang melaluinya atau siapa yang tertawa. Maklum, derajat kehidupan kadang membuat pakem cara tertawa sendiri-sendiri. Tapi yang pasti intinya sebuah kelucuan. Walau itu hanya melahirkan senyum simpul atau malu-malu.
Itulah yang diajarkan sahabatku, Gabe, dalam menjalani hidup. Menyikapi segala persoalan dengan tertawa.
“Itu obat stress, melenturkan penat. Kesadaran akan kesalahan membuat kita menertawai kebodohan itu. Dan setidaknya kita pintar menemukan jawaban. Ya, kita harus berpikir merdeka. Jangan pernah dijajah oleh kesalahan. Kita bebas menemukan jawaban. Tidak menjadi budak pemikiran orang lain, karena kadang itu menjadi begitu menindas………”
“Menindas? Merdeka?” Aku bingung oleh segala ucapan-ucapannya.
“Bangun bung! Kalau kamu tak mampu memerdekakan diri sendiri, jangan pernah berpikir untuk memerdekakan orang lain. Hidup menjadi bagian dari masyarakat sosial adalah suatu kodrat. Tapi sistem di masyarakat, terlalu mematok-matok wilayah yang membangun berbagai larangan. Tak ubahnya dengan ayam potong, dikandangkan, semua diatur entah itu persoalan waktu atau makan ditempatnya, minum ditempatnya……”
“Tapi berak bebas kan bung.”
“Tetap tak bebas. Kotorannya tetap harus jatuh ke bawah bukan bisa terbang ke atas……..”
“Wah itu melanggar kodrat alam.”
“Bukan sesimpel itu. Aku hanya ingin membenturkan antara kodrat ciptaan manusia dan kodrat oleh alam. Taik jatuh ke tanah itu kodrat alam, sama seperti kematian yang suatu saat dihadapi semua manusia. Kita tidak bisa merdeka atas kematian. Tapi untuk urusan lainnya seperti keturunan, baik dan buruk, boleh dan tidak, sopan dan amoral mempunyai standar-standar tertentu yang berbeda-beda dalam masyarakat……”
“Maksudnya?”
“Misal manusia dikatakan harus berketurunan. Banyak yang stress dikejar oleh usia untuk urusan ini. Menjadi lajang tua atau perawan tua itu aib, apalagi tidak menikah untuk seumur hidup. Pandangan masyarakat membuat kita tak merdeka untuk memilih jalan hidup. Anak-anak dihasut untuk bercita-cita jadi orang kaya. Tak ada yang bangga jadi orang miskin, atau menjadi diri sendiri.”
“Hmmmm…. hubungannya dengan tertawa tadi?”
“Ya itu, pertama kita tak boleh terjebak oleh lingkar penyesalan. Kita harus tertawa ketika menemukan jawaban. Dan kedua kita tertawa ketika kita telah berhasil melawan aturan-aturan atau dogma-dogma usang. Karena kita telah menemukan kelucuan yang dikemas rapi oleh sekelompok manusia yang menepuk-nepuk dada sendiri. Kita merdeka atas kebodohan mereka!”
* * * *
Seperti biasa, aku duduk tak jauh dari sekelompok orang yang ada. Mengamati untuk berberapa waktu lamanya. Ya, itu pekerjaan yang mengasikkan. Aku akan menemukan berbagai gerak-gerik. Bahasa tubuh. Itu bahasa yang tak tercatat, karena udara tak memberi kesempatan menunjukkan salinannya, selanjutnya hilang tak tereja dibawa pergi.
Tak jarang aku akan tertawa sendiri menyadari tingkah-tingkah mereka yang terkesan bodoh, kamuflase, atau mungkin munafik. Seperti cowok itu yang berpura-pura berlaku mesra dengan gadisnya. Memeluknya erat dari belakang sambil menunggu bis kota. Sementara saat itu juga matanya tak lepas dari dada-dada bengkak milik perempuan-perempuan yang melintas. Atau si necis yang tak hanya pintar bersilat lidah, tanganyapun lihai merogoh kantong-kantong yang dimangsa.
Kebiasaan mengamati itu aku jalani semenjak di kota ini. Menyadari kamar sepetakku bisa mematikan di saat aku lengah. Di dalamnya akalku terhadang penat oleh persoalan-persoalan hidup. Akan gaji yang tiada pernah cukup-cukupnya untuk hidup. Atau persoalan keinginan untuk mengucap cinta pada seorang gadis, sementara untuk menerima penolakkan adalah sebuah kiamat. Ahh…. itu hanya sekelumit kecil, banyak hal yang terkadang membuatku mati kutu. Dan bila tak tertahan, aku biasanya lari ke luar kamar. Menuju jalan dan mengamati yang ada.
Objek yang bisa kuamati adalah pengemis-pengemis yang duduk di pinggir jalan atau di jembatan penyeberangan. Aku menemukan obat penawar keserakahan hidup. Dan aku menertawai kebodohanku. Berucap syukur, aku masih bisa makan dari keringat sendiri. Mengamati pencopet, pengamen atau gelandangan di jalanan. Ternyata aku masih bisa hidup sewajarnya.
Namun terkadang timbul persoalan baru, misalkan memandang iri pada mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Kemewahan dan kenyamanan ada di dalamnya. Tapi itu bisa kusingkirkan, sekali lagi dengan tertawa. Mentertawakan mereka yang hidup di dalam utang dan penjara uang.
Atau saat memandang sepasang kekasih yang berjalan bersama. Ada rasa iri menikmati iklim asmara yang tersembul di langkah-langkah mereka. Tapi biasanya aku akan berlari menuju tukang koran, mencari pandang dan mencuri berita. Tak harus membeli koran kriminal itu. Di tumpukkan atau yang tergantung, aku bisa melahap beritanya. Sebuah headline : “Seorang Pemuda Tega Membunuh Pacarnya yang Selingkuh.” Isinya gampang ditebak. Dan aku selanjutnya akan tertawa menemukan segala kebodohan. Setidaknya walau tak berpacaran, aku pasti takkan pernah ditipu apalagi disakiti. Dan kemungkinan untuk menjadi pembunuh tak akan ada. Mereka tega membunuh atau menyakiti lawan jenisnya oleh kedunguan akan cinta.
Kuakui, obat mujarab bernama tertawa sangat manjur. Andai itu dipakai semua orang dalam menghadapi hidup dan persoalan, mungkin tak ada berita-berita kriminal di koran-koran. Atau penuhnya orang-orang kalap dan hilang akal di penjara. Penuhnya mayat-mayat di kamar mayat rumah sakit yang tak jelas identitas dirinya. Dan kuburan tak akan menjadi begitu angker dengan arwah-arwah penasaran dan malah imbasnya kini banyak orang suka akan cerita-cerita mistis mengalahi magisnya ajaran agama.
Semakin jauh ku berjalan, terkuak semua tabir hidup. Tak lagi sembunyi-sembunyi, vulgar menyeruak dari bahasa-bahasa waktu. Di semua titik-titik ku dapatkan kata-kata sandi, menjejakinya sebagai langkah menghantarkan jawaban. Tidak usah berlama-lama melukiskan kerutan di kening, semua akan terbeberkan dengan pasti. Hidup tidak untuk dipersulit, sama mudahnya ketika menghirup dan menghembuskan nafas. Semua mengalir apa adanya selama bernafas bukan perkara yang susah untuk dilakukan.
Sampai ketika kakiku letih dan nafas tersenggal satu-satu, tubuhku membenamkan diri pada penat malam. Di sebuah taman dengan nyala lampu yang teduh. Mencoba untuk menyejukkan pandangan pada mahluk-mahluk indah yang menetek pada bumi. Akar-akarnya meremas penuh kasih pada kulit-kulit bumi. Seperti pelukan yang hangat diberikan pada bayi itu. Di dadanya mahhluk kecil itu membenamkan diri pada penciptanya dan menyusu dengan tenang. Kali ini tak mungkin ku salah melukis, ditengahnya ku dapatkan sebuah mahluk seperti diriku. Duduk di tamannya dengan nyanyian buat buah hatinya.
Pelan-pelan ku menghampiri. Mencoba tak mengganggu dan tak mengusik pagutan buat hatinya. Ia memandang pada langkahku, menatap dan tersenyum. Di depannya aku duduk bagai patung telanjang di sebuah taman. Ya hanya diam, menghantar nyanyian malam tak menjadi sumbang. Kami menikmati deru angin yang menjilati kuping-kuping dengan binalnya dan bintang-bintang begitu berahi dengan nyala yang redup menahan nikmat. Ohh…. waktu menjadi peraduan hangat tempat merebahkan detik-detik yang bersimpul menahan beban tubuh-tubuh yang bergelut dengan penatnya. Sebelum embun lahir di hangatnya hening malam dan menetes membayangi lekuk tubuh, ia ajak aku menjilati jejaknya menuju langkahnya terhenti.
Di depan kediamannya, tangannya melambai mesra, ajak aku masuk. Aku tak mampu berpikir panjang karena dadaku telah tertambat pada pesonanya. Dia letakkan bayinya di sebuah peraduan kecil dan kami menjauh tak mau meninggalkan keributan kecil yang mampu mengusiknya. Menatap punggungnya yang indah berjalan di depan menuju sebuah kolam kecil. Menghempaskan tubuh di tepiannya.
Aku kagum pada suasana kediamannya yang indah. Pada pandangan yang ditimbulkan oleh matanya yang bagus. Dan ia hanya tersenyum ketika aku ucap puja dan puji itu. Hanya menggerakkan hidungnya ketika pujianku kian bertambah rakus. Aku baru tersadar, sedari tadi aku yang terus mengusir hening melahirkan percakapan-percakapan. Dan aku mencoba diam bagai lampu dengan sorot yang menyeringai.
Dia tertawa ketika aku baru menyadari kebodohanku. Dan aku pun tak mampu hanya menahan senyum, tawa kecilku pun menyertai. Mulailah ia bercerita akan hidup dan waktu-waktu miliknya. Akan kebebasan saat-saat yang tersedia untuk mencipta sejarah, mengukir dinding batu hidup dengan tetes-tetes akal karena takdir bukanlah mata ukir yang tajam untuk menulis kata nasib. Dan masa bukanlah teman yang baik untuk diajak menanti akan datangnya burung bagau membawa bayi-bayi perubahan.
Pada setiap percakapan terkadang di antarai tawa. Aku suka caranya tertawa dan segala leluconnya. Memang hidup ini bagai parodi-parodi, dagelan yang abadi walau tersadar akan segala kesalahan di waktu yang dikemudiannya. Aku menemukan kemerdekaan pada dirinya, jiwa yang tak terjamah oleh pikiran-pikran yang menindas. Semakin lama aku kian memerdekakan nilai-nilai, bebas dari segala nilai yang mengikat erat. Seperti peluknya tak mau melepaskan degup jantung di dadaku, berbaring di pelukkan hangatku. Selanjutnya naluri kami berbicara begitu lancar dalam bahasa-bahasa gerak yang tak berkesudahan. Hingga pagi menghantarkan embun yang tawar di bulir-bulir keringat kami.
* * * * *
Sebuah tendangan terhantar ke hulu hatiku, aku tercampak bersama kesadaran membentur sebuah dinding tinggi. Belasan pasang mata menatap buas, ludah mereka tercecer bersama maki dan umpatan. Aku mundur dan tertahan di dinding tinggi ini, mataku mencari wanita dengan anaknya. Ohh..… di sana, wanita itu terduduk di tanah mencoba meronta-ronta ketika ada beberapa tangan kasar menjambak rambutnya. Dan belasan pasang mata itu melahap keindahan tubuh moleknya. Ocehan usil begitu tajam merobek ketelanjangannya.
Aku berlari ke arahnya, tak sudi bagiku memperlama penderitaannya. Mereka telah merajam sungguh laknat sebuah nilai yang diyakini wanita itu. Hanya beberapa langkah aku telah kembali terjungkal kebelakang. Kemaluanku yang menjuntai menjadi sasaran tendangan lelaki kekar itu. Dadaku begitu sesak ketika kaki itu pula yang menendang kepalaku saat aku roboh di tanah. Untunglah hal itu tak berlangsung lama, ketika empat orang berbaju putih menyelamatkanku. Seperti malaikat yang menuntunku ke sebuah surga.
Tapi kurasakan ini bukan sebuah kematian, karena aku masih bisa merasakan dinginnya dinding kabin mobil ini. Dan wanita itu pun dituntun masuk ke dalam kabin tempatku berada. Ia menangis keras ketika sadar bayinya tertinggal, ia menyebut nama bayinya. Dari kerumunan orang yang masih menatap kami di dalam kabin mobil putih ini, ada yang melempar sebuah mahluk. Ya, bayi wanita itu dan terbentur di lantai tak jauh dari pahaku. Aku memungutnya dan menyerahkannya dengan lembut pada wanita itu. Ia tersenyum senang, dan mencoba menenangkan tangis bayinya sambil memberi ujung putingnya untuk diisap.
Dan lagi-lagi mulut mereka masih berbusa, tawanya bukan lagi tawa milik kami. Tawa mereka sungguh merampas kemerdekaan kami. Tawa mereka tak membebaskan. Mereka sungguh tak paham pada arti tawa itu sendiri. Mereka seperti orang gila yang menertawakan segala kemapanan, orang-orang kalah yang kalap pada kegagalan hidup. Amarahku kian memuncak ketika mulut-mulut mereka meludahi tubuh-tubuh kami dan memaki sejuta bahasa.
“Dasar orang gila. Enyah kau dari sini, merusak pemandangan saja.”
“Iya, malah kemarin mereka bersenggama di kolong jembatan layang ini. Di tepi kali.”
“Tak bermoral. Duniamu tak di sini. Rumah sakit jiwa itu istanamu.”
“Hehhe…. para pemimpi yang gelisah. Tertawalah kau di keterasingan diri. Di kerdilnya jiwa. Meranggas menanti ajal. Jelas mimpimu tak bisa bersanding bersama kerasnya hidup yang berjalan. Manjalah kau pada dewa mimpimu. Terkuburlah kau bersama mimpi dan belatung-belatung pemberontakan.”
“Ehh… tahu enggak gara-gara dia orang pada takut membeli koranku. Orang gila itu sok pintar membaca koran, hahhaa……..”
Dan untunglah tawa-tawa yang gila itu tak berlangsung lama. Ketika sedetik kemudian pintu mulai tertutup. Namun perutku kian mual berputar-putar secepat putaran sirene bersama mobil yang berjalan menjauhi mereka. Aku jijik pada ketidakwarasan dunia.
Grogol, 5april2003
Malaikat Yang Menangis Di Tepi Jalan
....ada banyak jiwa-jiwa yang rapuh. Sekeras mentari yang menggiring waktu, tiap detik berucap doa dan pinta. Ucap syukur hanya titik dan koma. Itupun ketika kesadaran timbul oleh pencobaan. Sedikit yang berjaga-jaga pada kesalahan lalu, lumpur dosa berulang ada jelas tertinggal pada jejak-jejak hidup yang melangkah. Dan setan menjadi anjing-anjing dengan hidung kembang kempis membaui jejak-jejak, liurnya menetes hangat. Dirinya, wujud suci tiada kenistaan, kian menangis mencari jalan. Bukan untuk merubah alur, itu permainan Tuhan. Hanya ingin memberikan keteduhan, sayapnya akan mendamaikan jiwa-jiwa rapuh. Sungguh manusia punya banyak keterbatasan seperti dirinya hanya menjadi mahluk benar. Ia tak punya kesempatan untuk melakukan dosa.(sebuah catatan kecil)
.... bersambung
....ada banyak jiwa-jiwa yang rapuh. Sekeras mentari yang menggiring waktu, tiap detik berucap doa dan pinta. Ucap syukur hanya titik dan koma. Itupun ketika kesadaran timbul oleh pencobaan. Sedikit yang berjaga-jaga pada kesalahan lalu, lumpur dosa berulang ada jelas tertinggal pada jejak-jejak hidup yang melangkah. Dan setan menjadi anjing-anjing dengan hidung kembang kempis membaui jejak-jejak, liurnya menetes hangat. Dirinya, wujud suci tiada kenistaan, kian menangis mencari jalan. Bukan untuk merubah alur, itu permainan Tuhan. Hanya ingin memberikan keteduhan, sayapnya akan mendamaikan jiwa-jiwa rapuh. Sungguh manusia punya banyak keterbatasan seperti dirinya hanya menjadi mahluk benar. Ia tak punya kesempatan untuk melakukan dosa.(sebuah catatan kecil)
.... bersambung
ayah kau mau pergi kemana hujan belum juga reda jalanan pasti becek dan basah keheningan itu sudah tak ada kini kau harus melangkah tidak kemana-mana tapi ke satu arah yah arah yang selalu luput dari pandangan kita arah yang selalu tertutup berpuluh bayangan tak karuan hitam merah kelabu biru jingga usang ungu kuning hanya cahaya kesadaran yang bisa menembusnya kau harus melangkah kesana tanpa meredupkan yang selalu saja meredup tak perlu membuang nafas besar atau melemaskan badan itulah sebenar-benarnya pilihan apapun resikonya apapun perihnya apapun duri perigi dan segala semak menjalar itulah jalanmu ayah itulah jalanmu !
tetes demi tetes dari ujung botol terus menetes namun tak terdengar tetesnya kita hanya bisa melihatnya dibawah sinar lampu redup sesuau telah tumpah dari atas meja sisa-sisa kemarahan namun entah segalanya telah terdiam diam hanya diam ruang yang berlatar warna segalanya muntah begitu berantakannya dua tiga orang disana memendam segala yang terlintas dalam rasanya takut sesal gugup campur aduk segalanya tertahan kecuali air mata semuanya mengeluarkan air mata tetes demi tetes dari ujung mata terus menetes namun tak terdengar tetesnya
07 April 2003
masih bisakah kau rasakan
sisa sisa resahku semalam
ketika ujung kegalauan bergelantung
bergoyang goyang tertiup angin malam
lalu pohon pohon itu merunduk
menatapku
tajam...
terus....terus...
dan aku seketika terbelah
menjadi dua...tiga...empat...
lalu hancur berkeping keping...
tak bersisakah aku?
Jogja 2 April 03
sisa sisa resahku semalam
ketika ujung kegalauan bergelantung
bergoyang goyang tertiup angin malam
lalu pohon pohon itu merunduk
menatapku
tajam...
terus....terus...
dan aku seketika terbelah
menjadi dua...tiga...empat...
lalu hancur berkeping keping...
tak bersisakah aku?
Jogja 2 April 03
Masih bolehkah aku kembali...
pada garis cakrawala itu lagi
ketika langkah kurasakan sudah hampir semakin jauh
ketika langit kurasakan hampir membelai ujung rambutku
ketika suaramu bak candu yang memabukkan
Masih bolehkah aku kembali...
pada titian jalan tak bertepi
ketika kurasa aku ingin membunuh jiwaku sendiri....
aaahggghhhhhh!!
April 03
pada garis cakrawala itu lagi
ketika langkah kurasakan sudah hampir semakin jauh
ketika langit kurasakan hampir membelai ujung rambutku
ketika suaramu bak candu yang memabukkan
Masih bolehkah aku kembali...
pada titian jalan tak bertepi
ketika kurasa aku ingin membunuh jiwaku sendiri....
aaahggghhhhhh!!
April 03
Sepotong jam menggantung di dinding. melumat senja dalam kamar.
ada medali melambai. entah pada siapa. tapi lirih lagu berbisik lembut ditelinga.
seperti perahu tua. melayarkan kita pada sekeping kenangan.
Pada langit yang semakin berat menanggung ingatan. Terdiam, entah.
Lantas berharap semoga hujan luruh seperti tadi begitu indahnya.
Kali ini jazz merasuki udara. Ada apa?
Ruang dengan bisikan lagu yang tak kukenal, dan suasana resahku makin terasa.
Santai aja….itu kata-kata yang kudengar sepintas.
Hm, malam tanpa rencana, berlalu lah dengan cepat.
Dan kubergantung pada resahku,melayang layang, entah kemana….
Rasanya hidup tanpa tujuan…
Kata seorang teman hidup itu harus mempunyai tujuan…
Tapi apa kah benar setiap kehidupan harus memiliki tujuan?
Tulisan yang tercecer pada sudut kamarku 1 april 2003
(pit,mel,cha,ri)
ada medali melambai. entah pada siapa. tapi lirih lagu berbisik lembut ditelinga.
seperti perahu tua. melayarkan kita pada sekeping kenangan.
Pada langit yang semakin berat menanggung ingatan. Terdiam, entah.
Lantas berharap semoga hujan luruh seperti tadi begitu indahnya.
Kali ini jazz merasuki udara. Ada apa?
Ruang dengan bisikan lagu yang tak kukenal, dan suasana resahku makin terasa.
Santai aja….itu kata-kata yang kudengar sepintas.
Hm, malam tanpa rencana, berlalu lah dengan cepat.
Dan kubergantung pada resahku,melayang layang, entah kemana….
Rasanya hidup tanpa tujuan…
Kata seorang teman hidup itu harus mempunyai tujuan…
Tapi apa kah benar setiap kehidupan harus memiliki tujuan?
Tulisan yang tercecer pada sudut kamarku 1 april 2003
(pit,mel,cha,ri)
06 April 2003
:Lollies
seperti segalanya,
yang tidak pernah punya jeda seperti ini,
kelam kelam pucat, lorong lorong waktu, penantian tanpa akhir
ah .. cuma sepasang cicak bercanda melewati malam
seperti masa silam,
saat mata terjaga tak mau lelap,
detak detak jam dinding, boneka yang basah oleh airmata
entah mengapa, seperti suatu dejavu yang menulisi angan
seperti tiada,
rindu yang mengigiti hati ..
malam larut, bunyi jangkrik yang bercinta, biru yang tersaput kelam
ada dan tiada, siapa bisa menerka?
dan seperti waktu,
yang masih saja terpasung menjadi tua di tengah semuanya
memoar tentang masa lalu, genggam tangan yang entah sampai kapan menopang
aku masih saja disini .. ternyata, entah menanti apa ..
seperti segalanya,
yang tidak pernah punya jeda seperti ini,
kelam kelam pucat, lorong lorong waktu, penantian tanpa akhir
ah .. cuma sepasang cicak bercanda melewati malam
seperti masa silam,
saat mata terjaga tak mau lelap,
detak detak jam dinding, boneka yang basah oleh airmata
entah mengapa, seperti suatu dejavu yang menulisi angan
seperti tiada,
rindu yang mengigiti hati ..
malam larut, bunyi jangkrik yang bercinta, biru yang tersaput kelam
ada dan tiada, siapa bisa menerka?
dan seperti waktu,
yang masih saja terpasung menjadi tua di tengah semuanya
memoar tentang masa lalu, genggam tangan yang entah sampai kapan menopang
aku masih saja disini .. ternyata, entah menanti apa ..
05 April 2003
aku mendengar suara-suara itu mengalir dari kegelisahan-kegelisahan dibalik pintu ketika semuanya membisu aku terus saja berjalan cacing-cacing dijalanan mati kehabisan cairan aku masih mencarimu daun-daun gugur berserakan kemudian belalang coklat menemuiku dan berkata bahwa kau sudah meninggalkan kota ini lama sebelum aku pergi lebih lama dari kematian ayahmu lebih lama dari kematian penduduk kota ini satu-persatu ah kita masih saja harus menerima kemarau ini jalanan ini yang tak lagi berliku semua rata dengan sisa-sisa rumah terkutuk serbuan bom kita masih saja harus menerima peperangan-peperangan itu entah berapa banyak darah pernah tumpah di sepanjang jalan ini aku masih bisa mencium udara itu yang selalu mengingatkanku pada bau mesiu dan darah menjadi satu ... ah kemana dirimu tak ada siapa-siapa lagi disini selain batu dan para tentara yang tak pernah kita kenal siapa mereka darimana asalnya ... mengapa keserakahan tak juga tiada .... aku harus meneruskan perjalanan ini mencarimu mencarimu
04 April 2003
: abimanyu
kita telah samasama menghidupkan seribu makhluk dalam batin, sebab kesadaran telah dibangun pada padang pikiran yang luas. kesadaran akan hidup telah mengalirkan ribuan sungai dalam darah, menghijaukan gurun pada jantung dan aorta. maka perjalanan adalah membaca peta, menafsirkan isyarat tuhan yang dikirim angin juga senja
"telah kumasuki dunia baru, setelah perbincangan resahku dan gelisahmu menjelma pintu, menuju dunia harapan," ucapmu pada malam kelam, tempat rembulan bermukim. udara semakin beku ketika mata semutku menangkap cahaya dari kunangkunang yang dipancarkan dada malammu.
kita kembali menggali sepi dari kuil para pengembara, mencari hikmah yang tuhan sisipkan diantara kisahkisahnya.
lihat!
mungkin esok, akan ada musafir yang singgah pada ruang batinmu.
BumiAllah, 17 Nopember 2002
kita telah samasama menghidupkan seribu makhluk dalam batin, sebab kesadaran telah dibangun pada padang pikiran yang luas. kesadaran akan hidup telah mengalirkan ribuan sungai dalam darah, menghijaukan gurun pada jantung dan aorta. maka perjalanan adalah membaca peta, menafsirkan isyarat tuhan yang dikirim angin juga senja
"telah kumasuki dunia baru, setelah perbincangan resahku dan gelisahmu menjelma pintu, menuju dunia harapan," ucapmu pada malam kelam, tempat rembulan bermukim. udara semakin beku ketika mata semutku menangkap cahaya dari kunangkunang yang dipancarkan dada malammu.
kita kembali menggali sepi dari kuil para pengembara, mencari hikmah yang tuhan sisipkan diantara kisahkisahnya.
lihat!
mungkin esok, akan ada musafir yang singgah pada ruang batinmu.
BumiAllah, 17 Nopember 2002
03 April 2003
Masih kuingat saat saat itu
ketika pisau tajam menusukku pada satu malam
dan darah segarku berceceran
menggenangi kamar malam
Lalu kau membersihkannya
dengan tetesan lara diwajahmu
dengan kesakitan dimatamu
ketika menatapku yang terbujur kaku tak bergerak
dengan segala kasih dihatimu,
kau berbisik " serahkan hidupmu pada-Nya "
sembari tersenyum dan mencium keningku
kau lalu menutupi tubuhku dengan selimut tebal
berharap kehangatan bisa membuatku kembali hidup
Hawa dingin,panas,gelap,hitam,
menusuk nusuk nyeri lukaku semakin dalam
menutup jiwaku,hatiku
kecuali mataku yang tak bisa lagi terpejam
bibirkupun terkatup,tak bisa berbicara
bahkan hanya untuk mengucapkan sepatah kata buatmu
ketika kulihat kau keluar dari kamar malam
meninggalkanku sendiri
dengan kegelapan yang masih terus mencacah jiwaku
Jogjakarta 2 April 03
P.S : Bunda,how are you today?
i missed you so........ :)
ketika pisau tajam menusukku pada satu malam
dan darah segarku berceceran
menggenangi kamar malam
Lalu kau membersihkannya
dengan tetesan lara diwajahmu
dengan kesakitan dimatamu
ketika menatapku yang terbujur kaku tak bergerak
dengan segala kasih dihatimu,
kau berbisik " serahkan hidupmu pada-Nya "
sembari tersenyum dan mencium keningku
kau lalu menutupi tubuhku dengan selimut tebal
berharap kehangatan bisa membuatku kembali hidup
Hawa dingin,panas,gelap,hitam,
menusuk nusuk nyeri lukaku semakin dalam
menutup jiwaku,hatiku
kecuali mataku yang tak bisa lagi terpejam
bibirkupun terkatup,tak bisa berbicara
bahkan hanya untuk mengucapkan sepatah kata buatmu
ketika kulihat kau keluar dari kamar malam
meninggalkanku sendiri
dengan kegelapan yang masih terus mencacah jiwaku
Jogjakarta 2 April 03
P.S : Bunda,how are you today?
i missed you so........ :)
02 April 2003
:joned
sebutlah, kisahmu sebagai soemantri dan soekrosono. tetapi benar-benar caramu menyakiti kata adalah melalui gerak badan, caramu menyakiti adalah melalui semua bunyi dan juga dengan tembang-tembang. caramu menyakiti memang dengan cara-cara masoischtis sejati. pertunjukanmu mengingatkanku dengan sade, dirimu mengingatkanku semua bentuk kekerasan akan mencapai titik muak, seperti dunia yang sedang mencapai titik muak.
sebutlah, dirimu sebagai mas mantri dengan adikmu soekrosono. lalu kisah kalian adalah tentang kesetiaan dan pertanyaan-pertanyaan. mengapa harus ada kesetiaan? mengapa imej, mengapa martabat, mengapa keluarga, mengapa kedudukan, mengapa harus setia, mengapa dan mengapa selanjutnya. sebuah pertanyaan yang ditujukan pada masyarakat kita yang terlanjur berada di jebakan semua bentuk kemunafikan.
sebutlah dirimu, sebagai seseorang yang berdiri di tengah panggung, memukau segala penjuru ring pertunjukan. tubuhmu yang basah oleh semua keringat hasil gerakmu, kemilau yang menganggu mata dan rasaku. begitulah adanya, caramu yang meminjam segenap perhatianku. bahkan berhasil menjauhkan diriku dari cinta yang duduk di sebelahku.
jauh dari cinta, jauh dari kesetiaan...
sebutlah dirimu lagi, soemantri yang ingin memindahkan taman sriwedari ke kraton maospati. sebutlah soekrosono mencari dan membantumu. sebutlah dirimu terbelah. sebutlah soekrosono rebah dan mati. sebutlah soemantri si pengkhianat kesetiaan yang tinggal dalam kesepian.
sebutlah aku mencari kesepian itu.
-seusai menonton.nobody wants to kill.gardanalla & don anung theatre performance-
sebutlah, kisahmu sebagai soemantri dan soekrosono. tetapi benar-benar caramu menyakiti kata adalah melalui gerak badan, caramu menyakiti adalah melalui semua bunyi dan juga dengan tembang-tembang. caramu menyakiti memang dengan cara-cara masoischtis sejati. pertunjukanmu mengingatkanku dengan sade, dirimu mengingatkanku semua bentuk kekerasan akan mencapai titik muak, seperti dunia yang sedang mencapai titik muak.
sebutlah, dirimu sebagai mas mantri dengan adikmu soekrosono. lalu kisah kalian adalah tentang kesetiaan dan pertanyaan-pertanyaan. mengapa harus ada kesetiaan? mengapa imej, mengapa martabat, mengapa keluarga, mengapa kedudukan, mengapa harus setia, mengapa dan mengapa selanjutnya. sebuah pertanyaan yang ditujukan pada masyarakat kita yang terlanjur berada di jebakan semua bentuk kemunafikan.
sebutlah dirimu, sebagai seseorang yang berdiri di tengah panggung, memukau segala penjuru ring pertunjukan. tubuhmu yang basah oleh semua keringat hasil gerakmu, kemilau yang menganggu mata dan rasaku. begitulah adanya, caramu yang meminjam segenap perhatianku. bahkan berhasil menjauhkan diriku dari cinta yang duduk di sebelahku.
jauh dari cinta, jauh dari kesetiaan...
sebutlah dirimu lagi, soemantri yang ingin memindahkan taman sriwedari ke kraton maospati. sebutlah soekrosono mencari dan membantumu. sebutlah dirimu terbelah. sebutlah soekrosono rebah dan mati. sebutlah soemantri si pengkhianat kesetiaan yang tinggal dalam kesepian.
sebutlah aku mencari kesepian itu.
-seusai menonton.nobody wants to kill.gardanalla & don anung theatre performance-
:untuk w
Senin pagi yang biadab, lampu-lampu berhenti di semua warna kuning. Tetapi tidak ada wajahmu disitu, bahkan di bau jalanan dan bau karet ban yang terbakar, tiada sepercik pun ditinggalkan. Aku mendapatkanmu masih terkapar di tempat tidur di siang yang sama, lelah, lalu pergi tanpa mencium jejak-jejakku seperti biasa.
Hari itu memang harus dirayakan sebagai pesta kebiadaban. Awal-awal dari ketololan perang berabad-abad lamanya. Aku tertawa melihat kotak-kotak televisi yang sudah dibakar dari neraka peradaban dan dihidangkan di piring sarapan pagi, hangat-hangat.
Lalu aku melihat lukisanmu yang merah merona, seperti bibir laki-laki yang tertinju berdarah. Hasil dari semua kegilaanku padamu, begitu sahutmu menanggapi persoalan kematian kita yang begitu dekat.
Kenapa kita begitu dekat? Kucari jawabku di seluruh alur keringat tubuhmu, dan aku menemukan tangismu yang tidak terdengar disitu. Mendengar seorang lelaki menangis adalah seperti mengiris bawang di tengah jantung kita. Apalagi mendengar tangisan yang tidak terdengar? Belah saja hatiku, seperti mimikmu yang sudah kehilangan jujurnya urat muka.
Aku menemukan punggungmu dalam satu mimpiku suatu malam. Ia bergerak tanpa kusadari, bergerak tanpa kesadaranku. Kukira hanyalah sebuah mimpi yang mempermainkan ingatanku seperti bola sepak. Tapi lagi, itu hanyalah satu bentuk penyangkalanku akan mimpi-mimpi yang sudah terjadi. Mimpi-mimpi yang terjadi ketika jari-jarimu menyentuh dan membongkarku bagaikan kardus mainan kecilmu yang kautemukan di pojokan gudang. Namun kita tidak sedang berada di sana. Kita sedang berada di bawah satu meja untuk menghindari silaunya lampu yang menganggu tidur kita.
Kita sedang membongkar semua kebusukan kita dalam malam-malam yang diciptakan untuk bulan bulat penuh. Di saat yang sama, kita merutuki hujan yang selalu saja menghalangi kita untuk menemukan jalan pulang masing-masing. Bersama Tuhan, kita mencari bentuk kita dalam tampilan televisi kabel dengan empat puluh dua chanel. Doa-doa diucapkan dengan secangkir teh hangat dan bungkusan-bungkusan rokok yang tercecer. Seperti dupa katamu suatu ketika, asap-asap dan sisa abu itu.
Senin pagi yang biadab, lampu-lampu berhenti di semua warna kuning. Tetapi tidak ada wajahmu disitu, bahkan di bau jalanan dan bau karet ban yang terbakar, tiada sepercik pun ditinggalkan. Aku mendapatkanmu masih terkapar di tempat tidur di siang yang sama, lelah, lalu pergi tanpa mencium jejak-jejakku seperti biasa.
Hari itu memang harus dirayakan sebagai pesta kebiadaban. Awal-awal dari ketololan perang berabad-abad lamanya. Aku tertawa melihat kotak-kotak televisi yang sudah dibakar dari neraka peradaban dan dihidangkan di piring sarapan pagi, hangat-hangat.
Lalu aku melihat lukisanmu yang merah merona, seperti bibir laki-laki yang tertinju berdarah. Hasil dari semua kegilaanku padamu, begitu sahutmu menanggapi persoalan kematian kita yang begitu dekat.
Kenapa kita begitu dekat? Kucari jawabku di seluruh alur keringat tubuhmu, dan aku menemukan tangismu yang tidak terdengar disitu. Mendengar seorang lelaki menangis adalah seperti mengiris bawang di tengah jantung kita. Apalagi mendengar tangisan yang tidak terdengar? Belah saja hatiku, seperti mimikmu yang sudah kehilangan jujurnya urat muka.
Aku menemukan punggungmu dalam satu mimpiku suatu malam. Ia bergerak tanpa kusadari, bergerak tanpa kesadaranku. Kukira hanyalah sebuah mimpi yang mempermainkan ingatanku seperti bola sepak. Tapi lagi, itu hanyalah satu bentuk penyangkalanku akan mimpi-mimpi yang sudah terjadi. Mimpi-mimpi yang terjadi ketika jari-jarimu menyentuh dan membongkarku bagaikan kardus mainan kecilmu yang kautemukan di pojokan gudang. Namun kita tidak sedang berada di sana. Kita sedang berada di bawah satu meja untuk menghindari silaunya lampu yang menganggu tidur kita.
Kita sedang membongkar semua kebusukan kita dalam malam-malam yang diciptakan untuk bulan bulat penuh. Di saat yang sama, kita merutuki hujan yang selalu saja menghalangi kita untuk menemukan jalan pulang masing-masing. Bersama Tuhan, kita mencari bentuk kita dalam tampilan televisi kabel dengan empat puluh dua chanel. Doa-doa diucapkan dengan secangkir teh hangat dan bungkusan-bungkusan rokok yang tercecer. Seperti dupa katamu suatu ketika, asap-asap dan sisa abu itu.
en,
aku akan selalu mencintai sejuk kotamu halaman yang lebar dengan pohon pohon salak
selang selang plastik yang selalu mengalirkan air menuju kolam disamping rumah
bagaimana kabar bapakmu kabar ibumu kabar abangmu
aku telah gagal untuk tidak mengingat ingat kenangan meski ia telah lari sebagai ayam hutan
aku akan berusaha untuk mencintai kotamu terlebih bayang bayang
memandang deret toko toko yang kusam juga deret toko toko emas ada sesuatu yang lepas
dimana cincin di jemarimu
kali kali yang miskin air mengalirkan pasir dan batu batu dari merapi
mengapa aku tetap merindu wajah kanak kanakmu
ketika sore ingin menjadi kabut yang turun membatasi pandangan
aku tiba di teras penginapan dan berjejal kenangan turun
borobudur masih jauh tapi ku dengar batu batu terpahat dengan dentingan yang masih lekat
di situ mungkin kau pernah mengutuk aku menjadi kabut dan mencintai bayang bayang
en
aku akan selalu datang kekotamu dengan segala cemburu dan hati yang patah
muntilan 2003
aku akan selalu mencintai sejuk kotamu halaman yang lebar dengan pohon pohon salak
selang selang plastik yang selalu mengalirkan air menuju kolam disamping rumah
bagaimana kabar bapakmu kabar ibumu kabar abangmu
aku telah gagal untuk tidak mengingat ingat kenangan meski ia telah lari sebagai ayam hutan
aku akan berusaha untuk mencintai kotamu terlebih bayang bayang
memandang deret toko toko yang kusam juga deret toko toko emas ada sesuatu yang lepas
dimana cincin di jemarimu
kali kali yang miskin air mengalirkan pasir dan batu batu dari merapi
mengapa aku tetap merindu wajah kanak kanakmu
ketika sore ingin menjadi kabut yang turun membatasi pandangan
aku tiba di teras penginapan dan berjejal kenangan turun
borobudur masih jauh tapi ku dengar batu batu terpahat dengan dentingan yang masih lekat
di situ mungkin kau pernah mengutuk aku menjadi kabut dan mencintai bayang bayang
en
aku akan selalu datang kekotamu dengan segala cemburu dan hati yang patah
muntilan 2003
01 April 2003
Suatu pagi dikotamu
ketika bising suara lalu lintas menggugah mimpiku...
lalu setiap tarikan nafas dalam tidurmu
laksana melodi...
dan hangat pelukanmu
menyejukan sukmaku...
tiba tiba gelisah itu menghampiri..
berdiri dengan gagah
persis didepan tempat tidur kita,
menyentuhku....lembut...
tapi getarannya melemahkan sel sel darahku
kekasih.....
akankah esok pagi aku masih bisa melihat senyummu
saat kau masih terlelap?
~dalam 3 pertemuan kita~
ketika bising suara lalu lintas menggugah mimpiku...
lalu setiap tarikan nafas dalam tidurmu
laksana melodi...
dan hangat pelukanmu
menyejukan sukmaku...
tiba tiba gelisah itu menghampiri..
berdiri dengan gagah
persis didepan tempat tidur kita,
menyentuhku....lembut...
tapi getarannya melemahkan sel sel darahku
kekasih.....
akankah esok pagi aku masih bisa melihat senyummu
saat kau masih terlelap?
~dalam 3 pertemuan kita~
Sometimes, we just want the best for some one else.
How we force our beliefs and will to make others a better person
How we judge them before our eyes with options created by our selves.
Sometimes, what we thought is the best, can become the worst.
What we feel inside, is not what others feel
What we know is right, is another’s mistake
Because we forgot....
We forgot to ask them,.... what they really want.
Do not judge others before yourself
How we force our beliefs and will to make others a better person
How we judge them before our eyes with options created by our selves.
Sometimes, what we thought is the best, can become the worst.
What we feel inside, is not what others feel
What we know is right, is another’s mistake
Because we forgot....
We forgot to ask them,.... what they really want.
Do not judge others before yourself
Langganan:
Postingan (Atom)