mengenangmu adalah seperti yang sudah-sudah, tapi dirimu tidak patutlah kukenang. dahulu. jangan dulu. ini adalah hari ketiga, bukan waktunya bangkit dari waktu yang bukan kematianmu. aku menemukanmu, dalam jejak udara yang tidak kian membeku, namun dingin mengigilkan hati yang sendiri dalam pojokan kamar sunyi. bau-bau telapak kakimu menempel di karpet biru, kaus apekmu di keranjang baju serta seprai bantal, seprai ranjang juga tirai jendela kamar kita. aku tidak ingin mencuci tumpukan baju kotormu, bukan karena kekurangan deterjen tetapi karena kekurangan tutup-tutup botol untuk menyimpan sisa aroma segenapmu. sekalipun, aku tidak akan membakar semuanya. hanya menyimpannya, menyimpannya seperti kenangan yang tidak patut dikenang.
makanan di lidahku merindukan bumbu-bumbu dapurmu, yang asin dan pedas. kekhas-an masakan-masakanmu, di panci yang sudah hitam arang dan juga kompor yang tidak kalah hitamnya. lidahku, merindukanmu, segenap rasanya. keringatmu yang asin, tanganku yang pedas sehabis mengulek sambel untuk makan pagi kita. makanan satu piring yang diciptakan untuk kita. lidahku, lidahmu, lidahku merindukan lidahmu.
aku sadar, aku tidak perlu mencarimu di ratusan kilometer menyeberangi lautan. dirimu meninggalkan segala remah-remah sepanjang perjalananmu ke barat. seperti burung-burung yang sedang melintas ke selatan, aku akan memungut semua remahmu untuk mencari kepulanganku. lalu dimana kita akan sampai dan berada, di depan sebuah gundukan makam ayahmu? lelaki tegar yang selalu kau ceritakan dengan mata sendu, mati di tanah asing diiringi kepanikanmu mencari pertolongan selama sehari semalam melintasi belantara hutan sumatera. ditemani macan dan semacamnya, dengan luka-luka di lenganmu. dia sudah tiada di setengah perjalananmu ke selatan, jatuh tidak bernafas di pangkuan ibumu yang sekarang menghilang ke arah timur. dan itulah, hari terakhirmu menitikkan air mata. air matamu sudah habis kini, hanya pernah kulihat di sepotong tulisanmu, corat coret di buku notesku selagi kau menungguku. mengerang, kesakitan seperti tulisanmu. penuh dengan rasa sedih.
kau mengamati tubuhku, mengukur segalanya dengan jengkalan-jengkalan, dengan jangka, penggaris, meteran dan segala jenis ukuran. kau berhenti sejengkal setelah pusarku. matamu bertanya. penuh keluguan. mataku menjawab. penuh sudah semua. kita berhenti di dua buah titik x dan y, menghubungkan segalanya pada titik temu xy. kita berdua yang selalu mendapat jelek dalam nilai matematika versi sekolahan.
matamu penuh kesedihan, di bulan ketiga pertemuan kita. disanalah letak semua daya tarik yang tidak mempedulikan gravitasi bumi, letak geografis dan logika benda-benda. adik angkatmu terlempar dari motornya waktu itu, kau pergi ke timur untuk menguburnya. dia masih menunggumu dalam nafasnya yang terakhir, setelah itu dia selalu lahir kembali dalam mimpimu di malam-malam berikutnya. selalu dan selalu, tengah-tengah subuhmu dipenuhi dirinya. kadang-kadang teriakan, kadang-kadang rasa bingung yang tidak pernah selesai, dan terakhir datang sepercik bahagia mengetahui dirinya tetap hidup dalam mimpimu. ceritamu tidak pernah habis akannya. aku mendengarkanmu sambil sesekali mengamati rangka jendela kayu, sesekali melirik pada matamu yang masih saja terbersit rona kesedihan berwarna abu-abu.
cincin di jari manis tanganmu pernah mengecohku, bukan hanya pernah, tetapi beberapa kali membuatku tidak sengaja mengeluarkan airmata. cincin emas tipis yang tidak akan sampai lima gram jika ditimbang. sisa dari salah satu kancing baju nenek buyutmu yang dilebur jadi cincin itu. cincin itu berukuran pas pada jari manisku. kita saling sering bertukar cincin, tetapi cincin jari tengahku tetap terlalu besar untuk jari manismu. bukan itu saja, cincin perak bermotif tameng dayak itu sama sekali tidak manis untuk jari manis. ia dileburkan untuk melawan atau untuk menjadi tameng dari segala yang mengancam. seperti itulah, mengapa kita bertukar cincin dan selanjutnya mengembalikannya pada jari kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar