hari lalu aku menjejak bumi
aku bersandar tanah kini
terlihat kaki kaki
berlalu ke sana dan kemari
semua bergegas
langkah lebar menebar
buru buru
peluru ....
sepasang kaki bersandal merah
diam saja ditengah
lambat pelepas alas
tak perduli jalan panas
sekelebat tetap terlihat
diantara langkah-langkah tak lambat
datanglah hujan lebat
tapi kaki tetap di tempat
dia mendekat
kamu sedang apa sobat ?
Aku sedang istirahat
berdiam diantara waktu yang jahat.
30 November 2001
surat untuk seorang kawan
apa kabarmu kawan? hari-harimu baikkah atau burukkah? sesungguhnya mereka nyaris sama, terkadang
aku menyadari itu, terkadang lagi aku lupa dan terlarut. saat ini aku hanya ingin membiarkan
jariku menari-nari membuat beberapa catatan. entah penting entah lenting aku tak tahu, aku hanya
ingin menulis sesuatu. untuk kau mengerti ataupun tidak.
aku sudah menjejakkan lagi tanah ini. pulau jawa kata mereka tapi bagiku tanah itu sama, tak bernama
dan tak berasal. bukankah kita juga dari tanah ini. tanah yang berwarna merah ini, begitu pekat begitu
lekat seperti bau darah. darah kita dan juga darah-darah mereka. semuanya merah. aku tak ingat sejak
kapan aku menjadi begitu menyukai warna merah...
aku rindu bunyi angin semilir yang mencumbu daun-daun pepohonan begitu rupa. ini sore hari, aku terbang
dengan burung-burung. kotaku ini tidak banyak berubah kawan, seruku dari secercah secerah potongan langit
sore ini. mungkin kau bertanya-tanya kemana diriku menghilang walau hanya baru seminggu-dua minggu. aku
sedang lepas kawan, entah melepas, dilepas atau terlepaskan. yang kutahu hanya aku lepas. tubuhku sejenak
ringan, walau kepalaku tiba-tiba menjadi berat.
beberapa hari terakhir badanku tak enak. terbatuk-batuk tanggung. kering. namun terkadang tenggorakanku
mengeluarkan cairan-cairan hijau. lengket dan tak berbau. seperti nanah setengah matang. mungkin aku sakit,
mungkin saja aku tahu kepalaku memang sakit. badanku kadang-kadang aku merasa tak begitu mengenalnya.
badanku sebenarnya seperti haus. lidahku seperti ingin menari-nari di antara mulut-mulut dan kerongkongan,
inikah birahi? tidak desahku, ini perayaan. lihat saja bekas-bekas pagutan itu yang sudah kutinggalkan. sejenak
aku melihat kedepan, ketika aku menoleh tak ada pagutan yang kulihat hanya luka. luka yang kubuat, yang akan dan
yang sudah. inikah goresan? tidak belaiku, ini percintaan. memang aku tidak lajang, tetapi jalang. itu jawabku
di setiap akhir persetubuhan.
kawan, aku masih ingin hilang...
apa kabarmu kawan? hari-harimu baikkah atau burukkah? sesungguhnya mereka nyaris sama, terkadang
aku menyadari itu, terkadang lagi aku lupa dan terlarut. saat ini aku hanya ingin membiarkan
jariku menari-nari membuat beberapa catatan. entah penting entah lenting aku tak tahu, aku hanya
ingin menulis sesuatu. untuk kau mengerti ataupun tidak.
aku sudah menjejakkan lagi tanah ini. pulau jawa kata mereka tapi bagiku tanah itu sama, tak bernama
dan tak berasal. bukankah kita juga dari tanah ini. tanah yang berwarna merah ini, begitu pekat begitu
lekat seperti bau darah. darah kita dan juga darah-darah mereka. semuanya merah. aku tak ingat sejak
kapan aku menjadi begitu menyukai warna merah...
aku rindu bunyi angin semilir yang mencumbu daun-daun pepohonan begitu rupa. ini sore hari, aku terbang
dengan burung-burung. kotaku ini tidak banyak berubah kawan, seruku dari secercah secerah potongan langit
sore ini. mungkin kau bertanya-tanya kemana diriku menghilang walau hanya baru seminggu-dua minggu. aku
sedang lepas kawan, entah melepas, dilepas atau terlepaskan. yang kutahu hanya aku lepas. tubuhku sejenak
ringan, walau kepalaku tiba-tiba menjadi berat.
beberapa hari terakhir badanku tak enak. terbatuk-batuk tanggung. kering. namun terkadang tenggorakanku
mengeluarkan cairan-cairan hijau. lengket dan tak berbau. seperti nanah setengah matang. mungkin aku sakit,
mungkin saja aku tahu kepalaku memang sakit. badanku kadang-kadang aku merasa tak begitu mengenalnya.
badanku sebenarnya seperti haus. lidahku seperti ingin menari-nari di antara mulut-mulut dan kerongkongan,
inikah birahi? tidak desahku, ini perayaan. lihat saja bekas-bekas pagutan itu yang sudah kutinggalkan. sejenak
aku melihat kedepan, ketika aku menoleh tak ada pagutan yang kulihat hanya luka. luka yang kubuat, yang akan dan
yang sudah. inikah goresan? tidak belaiku, ini percintaan. memang aku tidak lajang, tetapi jalang. itu jawabku
di setiap akhir persetubuhan.
kawan, aku masih ingin hilang...
29 November 2001
28 November 2001
27 November 2001
25 November 2001
23 November 2001
suatu MAKA tak berhati
Memang ...
aku bermain dengan kata
tak gamang ...
kau anggap muna
Benar ...
aku bermain kata
bisa jadi dia
aku, mereka
dan bukan siapa-siapa
Kata terhambur hambur
terlihat kabur
kau anggap kubur
barang busuk dari dubur
Aku kau buat peta
hanya dengan periksa bahasa
kau bukan jaksa
kau tidak tahu apa-apa!
Mengapa mencela
tapi siap berlalu ?
Mengapa tertawa
tapi tangan mengepal batu ?
Begini saja
aku Samadi di gua kata
kau hidup di luar sana
aku disini dengan mereka.
(dipersembahkan khusus buat para "pengkotbah" tak berhati).
Memang ...
aku bermain dengan kata
tak gamang ...
kau anggap muna
Benar ...
aku bermain kata
bisa jadi dia
aku, mereka
dan bukan siapa-siapa
Kata terhambur hambur
terlihat kabur
kau anggap kubur
barang busuk dari dubur
Aku kau buat peta
hanya dengan periksa bahasa
kau bukan jaksa
kau tidak tahu apa-apa!
Mengapa mencela
tapi siap berlalu ?
Mengapa tertawa
tapi tangan mengepal batu ?
Begini saja
aku Samadi di gua kata
kau hidup di luar sana
aku disini dengan mereka.
(dipersembahkan khusus buat para "pengkotbah" tak berhati).
22 November 2001
DAYA
Teracung tegang
tangan menuju satu
bak panah larinya kencang
tepat menembus kalbu
Terhujam dalam perut bumi
tertahan asal adalah tanah
tertutup karib lihat tengadah
nafas hanya untuk diri
Coba gali sendiri
yakin Sang kan temani
Di atas hari tetap berganti
bak tak ada satu terjadi
Terpisah jarak ujung bumi
satu senyum berisi hati
menari tak berlari
isi pentas hati disini
Kurindu mataharimu
Kuingin langitmu
Hirup nafasmu
minum tangismu
(Memang asing disini)
Kutau kau kan kata :
Kita harus tetap usaha
lepas manusia celaka
untukmu aku tetap ada.
Teracung tegang
tangan menuju satu
bak panah larinya kencang
tepat menembus kalbu
Terhujam dalam perut bumi
tertahan asal adalah tanah
tertutup karib lihat tengadah
nafas hanya untuk diri
Coba gali sendiri
yakin Sang kan temani
Di atas hari tetap berganti
bak tak ada satu terjadi
Terpisah jarak ujung bumi
satu senyum berisi hati
menari tak berlari
isi pentas hati disini
Kurindu mataharimu
Kuingin langitmu
Hirup nafasmu
minum tangismu
(Memang asing disini)
Kutau kau kan kata :
Kita harus tetap usaha
lepas manusia celaka
untukmu aku tetap ada.
19 November 2001
16 November 2001
hujan sore ini seperti airmata
yang mengembun dari mata manikammu
langit biru abu-abu menggumam sonata
atau mungkin juga hanya bunyi-bunyian semu
hujan sore ini seperti airmata
yang turun membasahi pipi seputih gading
membasuh relung lekuk wajahmu
yang masih sisa senyumanmu disana, nyata
tempias hujan dan tanah menuding-nuding
dan rumput masih menunggu, jemu
hujan sore ini seperti airmata
dan aku dibawahnya, basah, hampir melata
yang mengembun dari mata manikammu
langit biru abu-abu menggumam sonata
atau mungkin juga hanya bunyi-bunyian semu
hujan sore ini seperti airmata
yang turun membasahi pipi seputih gading
membasuh relung lekuk wajahmu
yang masih sisa senyumanmu disana, nyata
tempias hujan dan tanah menuding-nuding
dan rumput masih menunggu, jemu
hujan sore ini seperti airmata
dan aku dibawahnya, basah, hampir melata
15 November 2001
14 November 2001
13 November 2001
12 November 2001
1. Sedang dalam perjalanan
Suara kaki hanya untukku
mata-mata lama terpejam
langkah mengusar pasir
tidak ada yang lain
Lampu jalan bertudung kabut
kuning pudar emas
hembusan lambai bulu lembut
mulut sudah terkatup
Daun kering mengusap rambut,
jalan dan rumput
jatuh dari pohon gelap coklat
hilang di semak semak
Jalan basah pantul cahaya
bak kaca pecah terserak acak
terusik kaki sibak
kembali satu waktu tak lama kelak
Sayang,
aku sedang berjalan
tuk jumpa matahari terbit
sebentar lagi dia muncul
di ujung.....
awan mulai merah.
2. Takut
Aku takut memandang matamu
karna kan kau baca disana
sejarah rindu
tertulis merah darah
Ku takut memeluk
karna degup jantung
kandung tekanan rasa
tak kuasa berdusta
Ku takut menyentuh
karna tangan
sudah hapal lekuk
sahabat kulitmu
Ku takut bertemu
karna ku kan pandang,
peluk, dan sentuh mu,
lalu membuat sarang.
Suara kaki hanya untukku
mata-mata lama terpejam
langkah mengusar pasir
tidak ada yang lain
Lampu jalan bertudung kabut
kuning pudar emas
hembusan lambai bulu lembut
mulut sudah terkatup
Daun kering mengusap rambut,
jalan dan rumput
jatuh dari pohon gelap coklat
hilang di semak semak
Jalan basah pantul cahaya
bak kaca pecah terserak acak
terusik kaki sibak
kembali satu waktu tak lama kelak
Sayang,
aku sedang berjalan
tuk jumpa matahari terbit
sebentar lagi dia muncul
di ujung.....
awan mulai merah.
2. Takut
Aku takut memandang matamu
karna kan kau baca disana
sejarah rindu
tertulis merah darah
Ku takut memeluk
karna degup jantung
kandung tekanan rasa
tak kuasa berdusta
Ku takut menyentuh
karna tangan
sudah hapal lekuk
sahabat kulitmu
Ku takut bertemu
karna ku kan pandang,
peluk, dan sentuh mu,
lalu membuat sarang.
Soneta LXVI
Pablo Neruda
Aku tidak mencintaimu kecuali karena aku mencintaimu;
aku pergi dari mencintaimu menjadi tidak mencintaimu,
dari menunggu menjadi tidak menunggu dirimu
hatiku berjalan dari dingin menjadi berapi.
Aku mencintaimu hanya karena kamulah yang aku cinta;
aku membencimu tanpa henti,
dan membencimu bertekuk kepadamu
dan besarnya cintaku yang berubah untukmu adalah bila aku tidak mencintaimu tetapi mencintaimu dengan buta.
Mungkin cahaya bulan Januari akan memamah hatiku dengan sinar kejamnya,
mencuri kunciku pada ketenangan sejati.
Dalam bagian cerita ini hanya akulah yang mati, hanya satu-satunya,
dan aku akan mati karena cinta karena aku mencintaimu.
karena aku mencintaimu, cintaku, dalam api dan dalam darah.
-terjemahan gue lagi-
Pablo Neruda
Aku tidak mencintaimu kecuali karena aku mencintaimu;
aku pergi dari mencintaimu menjadi tidak mencintaimu,
dari menunggu menjadi tidak menunggu dirimu
hatiku berjalan dari dingin menjadi berapi.
Aku mencintaimu hanya karena kamulah yang aku cinta;
aku membencimu tanpa henti,
dan membencimu bertekuk kepadamu
dan besarnya cintaku yang berubah untukmu adalah bila aku tidak mencintaimu tetapi mencintaimu dengan buta.
Mungkin cahaya bulan Januari akan memamah hatiku dengan sinar kejamnya,
mencuri kunciku pada ketenangan sejati.
Dalam bagian cerita ini hanya akulah yang mati, hanya satu-satunya,
dan aku akan mati karena cinta karena aku mencintaimu.
karena aku mencintaimu, cintaku, dalam api dan dalam darah.
-terjemahan gue lagi-
mungkin aku ingin mati sekali saja untukmu
lalu kemudian berkali-kali lagi
mungkin aku ingin menyumpahi diriku
yang membiarkanmu menyampahi pikiranku
mungkin aku ingin merobek jantungku
agar tak lagi ia bisa kusiksa
dengan kehadiranmu
dengan tarikan napasmu
dengan pandangan matamu
mungkin aku ingin membelah kepalaku
agar otakku tak lagi bisa kudera
dengan ingatan-ingatan akan kau
dengan sisa rasa senyumanmu
dengan segala "bagaimana jika dulu"
ijinkan aku mati sekali saja untukmu
kemudian berkali-kali lagi
lalu kemudian berkali-kali lagi
mungkin aku ingin menyumpahi diriku
yang membiarkanmu menyampahi pikiranku
mungkin aku ingin merobek jantungku
agar tak lagi ia bisa kusiksa
dengan kehadiranmu
dengan tarikan napasmu
dengan pandangan matamu
mungkin aku ingin membelah kepalaku
agar otakku tak lagi bisa kudera
dengan ingatan-ingatan akan kau
dengan sisa rasa senyumanmu
dengan segala "bagaimana jika dulu"
ijinkan aku mati sekali saja untukmu
kemudian berkali-kali lagi
bayang-bayang hitam kadang menggelayut turun dari langit-langit kamarku
bercerita tentang seseorang yang kadang kukenal sebagai aku
kadang aku tak suka cerita itu,
kadang tak aku kenali tokohnya
hampir setiap malam,
ia memanjat kembali lewat dinding kamarku
dan hampir tiap malam,
si tokoh terpuruk di senja jiwa
bercerita tentang seseorang yang kadang kukenal sebagai aku
kadang aku tak suka cerita itu,
kadang tak aku kenali tokohnya
hampir setiap malam,
ia memanjat kembali lewat dinding kamarku
dan hampir tiap malam,
si tokoh terpuruk di senja jiwa
aku hampir selalu tak mengerti
sketsa-sketsa apa yang disodorkan nasib
kurva dan garis timpa menimpa diujung kertas
kadang senyuman menampak disana
kadang muka bermuram durja
atau anak kecil menangis
atau bibir-bibir meringis
aku hampir selalu tak mengerti
mengapa nasib selalu menyodorkan sketsa itu padaku
dan berkata "bacalah!"
sketsa-sketsa apa yang disodorkan nasib
kurva dan garis timpa menimpa diujung kertas
kadang senyuman menampak disana
kadang muka bermuram durja
atau anak kecil menangis
atau bibir-bibir meringis
aku hampir selalu tak mengerti
mengapa nasib selalu menyodorkan sketsa itu padaku
dan berkata "bacalah!"
11 November 2001
Jatuh cinta pada kata-kata
Tak terbayangkan sebelumnya
Betapa kumencintai kata-kata...
Yang mengalir dari kaca-kaca, daun-daun
Gelap malam, dan senja sore yang membunuh mentari...
Tak terbayangkan sebelumnya
Betapa kemerindukan kata-kata...
Yang tak pernah berhenti terucap dari bibirnya
Meski kata tak lagi kata
Hampa bunyi...hampa makna
Terbunuh senja merah
Aku terlanjur cinta pada kata. Meski tak lagi ia milikku...
Tak terbayangkan sebelumnya
Betapa kumencintai kata-kata...
Yang mengalir dari kaca-kaca, daun-daun
Gelap malam, dan senja sore yang membunuh mentari...
Tak terbayangkan sebelumnya
Betapa kemerindukan kata-kata...
Yang tak pernah berhenti terucap dari bibirnya
Meski kata tak lagi kata
Hampa bunyi...hampa makna
Terbunuh senja merah
Aku terlanjur cinta pada kata. Meski tak lagi ia milikku...
Di antara daun-daun yang jatuh di halaman rumah
Di antara daun-daun yang jatuh di halaman rumah
ada yang kucari;
mimpi-mimpi panjang tentang ketenangan, lalu
khayalan-khayalan tak bertepi tanpa tabu
tiap senti di situ tak ada yang kutemukan
kecuali kamu;
yang terlelap di antara daun-daun
yang jatuh di halaman rumah
senja begitu pendek
dan matahari pagi begitu lekas
tak ada yang panjang ternyata
kau pun mestinya sadar akan hal itu…
kau menjadi peri
di antara daun-daun yang jatuh di halaman rumah
kau menjadi bintang tidur
di antara daun-daun yang jatuh di halaman rumah
kau menjadi segalanya, segala rupa
yang menyeretku ke alam penuh bayangan
di antara daun-daun yang jatuh di halaman rumah
namun aku, menjadi iblis baru bagimu...
Di antara daun-daun yang jatuh di halaman rumah
ada yang kucari;
mimpi-mimpi panjang tentang ketenangan, lalu
khayalan-khayalan tak bertepi tanpa tabu
tiap senti di situ tak ada yang kutemukan
kecuali kamu;
yang terlelap di antara daun-daun
yang jatuh di halaman rumah
senja begitu pendek
dan matahari pagi begitu lekas
tak ada yang panjang ternyata
kau pun mestinya sadar akan hal itu…
kau menjadi peri
di antara daun-daun yang jatuh di halaman rumah
kau menjadi bintang tidur
di antara daun-daun yang jatuh di halaman rumah
kau menjadi segalanya, segala rupa
yang menyeretku ke alam penuh bayangan
di antara daun-daun yang jatuh di halaman rumah
namun aku, menjadi iblis baru bagimu...
gelisah...
karena cinta ternyata jauh di luar kota
yang tak satu jalan pun nembus sana;
karena sayang ternyata ada di luar pulau
yang tak satu bahtera pun menentang badainya;
karena kasih ternyata ada di langit ke tujuh
yang tak satu malaikat pun berani melintasinya;
sedang aku terus gelisah
dengan nafsu yang dibungkus cinta...
maafkan saya!
24 Juni 2001; setengah tiga sore; i h u
karena cinta ternyata jauh di luar kota
yang tak satu jalan pun nembus sana;
karena sayang ternyata ada di luar pulau
yang tak satu bahtera pun menentang badainya;
karena kasih ternyata ada di langit ke tujuh
yang tak satu malaikat pun berani melintasinya;
sedang aku terus gelisah
dengan nafsu yang dibungkus cinta...
maafkan saya!
24 Juni 2001; setengah tiga sore; i h u
tadi seperti biasa kau yang menyambutku
tapi tidak seperti biasanya, kau tak naik mobilku
(padahal dari rumah sudah kupersiapkan tempat untukmu)
lalu setelah itu kita pergi
tadi, tidak seperti biasanya, kau tutup dirimu
tapi seperti biasanya, kau pamit padaku
(setelahnya mungkin kau sadar; untuk apa pamit padaku?)
lalu setelah itu kau pergi
tak seperti biasa kita pergi tidak berdua
tapi tidak seperti biasanya, kau tak naik mobilku
(padahal dari rumah sudah kupersiapkan tempat untukmu)
lalu setelah itu kita pergi
tadi, tidak seperti biasanya, kau tutup dirimu
tapi seperti biasanya, kau pamit padaku
(setelahnya mungkin kau sadar; untuk apa pamit padaku?)
lalu setelah itu kau pergi
tak seperti biasa kita pergi tidak berdua
jangan pergi
jangan sekarang
aku terlalu butuh kamu sekarang
jangan pergi
aku takkan memintamu meninggalkannya
aku bahkan takkan memintamu mencintaiku
aku hanya butuh kau ada disini
dan kita bicara tentang kau, tentang aku, tentang dunia
seperti waktu itu
seperti waktu lilin memandikanmu dengan cahayanya
seperti waktu kita bicara dibawah selimut langit malam
seperti waktu kau bicara tentang semua
dan sekiranya boleh, ingin kupanggil dirimu sahabat
"aku tak bisa sendirian."
aku tak biasa sendirian.
jangan sekarang
aku terlalu butuh kamu sekarang
jangan pergi
aku takkan memintamu meninggalkannya
aku bahkan takkan memintamu mencintaiku
aku hanya butuh kau ada disini
dan kita bicara tentang kau, tentang aku, tentang dunia
seperti waktu itu
seperti waktu lilin memandikanmu dengan cahayanya
seperti waktu kita bicara dibawah selimut langit malam
seperti waktu kau bicara tentang semua
dan sekiranya boleh, ingin kupanggil dirimu sahabat
"aku tak bisa sendirian."
aku tak biasa sendirian.
10 November 2001
Pulang
Pernahkah kau merasakan
pelukan yang engkau rasa kenal
akrab, bersahabat
seperti harta karun mu di dapat kembali ?
Pernah kah kau lihat
tatapan yang membawamu ke rumah
tempat hatimu berdiam dulu
sebelum engkau ada di dunia ?
Pernahkah engkau mengecup bibir
dan seluruh sel tubuhmu berteriak
bergetar karena rindu asal
yang terpenuhi sudah ?
Pernahkan engkau menikmati
tenggelamnya matahari
dan hatimu damai luar biasa
mengangguk dan mengatakan "ya..." ?
:)
Pernahkah kau lihat pelangi
seakan kau mencium kembali
aroma kayu
tempat tidurmu waktu engkau bayi ?
Aku bukan dari sini
aku dalam perjalan pulang
aku rindu rumah
aku rindu asal.
Pernahkah kau merasakan
pelukan yang engkau rasa kenal
akrab, bersahabat
seperti harta karun mu di dapat kembali ?
Pernah kah kau lihat
tatapan yang membawamu ke rumah
tempat hatimu berdiam dulu
sebelum engkau ada di dunia ?
Pernahkah engkau mengecup bibir
dan seluruh sel tubuhmu berteriak
bergetar karena rindu asal
yang terpenuhi sudah ?
Pernahkan engkau menikmati
tenggelamnya matahari
dan hatimu damai luar biasa
mengangguk dan mengatakan "ya..." ?
:)
Pernahkah kau lihat pelangi
seakan kau mencium kembali
aroma kayu
tempat tidurmu waktu engkau bayi ?
Aku bukan dari sini
aku dalam perjalan pulang
aku rindu rumah
aku rindu asal.
09 November 2001
pacarmerahku
aku bilang merah itu bisa jadi darah, karena aku sudah terlalu sering melihatnya dimana-mana. bahkan terkadang pada bekas luka-luka punggungnya. dia, pacarmerahku hanya diam.
aku bilang merah itu bisa jadi luka, marah. kubuka dadaku dan merah pun mengalir. merah jugalah hati.
lalu pacarmerahku berbisik "merah itu cinta, bunga kecilku", kelopak-kelopakku pun berubah menjadi kemerahan. aku bersemu.
"biar kuhapus bekas bibirnya di bibirmu dengan bibirku" **
lagi-lagi aku tersemu merah. ah, pacarmerahku...
**dikutip bebas dari cerpen hamsad rangkuti "maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu"
aku bilang merah itu bisa jadi darah, karena aku sudah terlalu sering melihatnya dimana-mana. bahkan terkadang pada bekas luka-luka punggungnya. dia, pacarmerahku hanya diam.
aku bilang merah itu bisa jadi luka, marah. kubuka dadaku dan merah pun mengalir. merah jugalah hati.
lalu pacarmerahku berbisik "merah itu cinta, bunga kecilku", kelopak-kelopakku pun berubah menjadi kemerahan. aku bersemu.
"biar kuhapus bekas bibirnya di bibirmu dengan bibirku" **
lagi-lagi aku tersemu merah. ah, pacarmerahku...
**dikutip bebas dari cerpen hamsad rangkuti "maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu"
08 November 2001
07 November 2001
Kampung Kabut
Dari jauh terlihat
gunung berselimut kabut
kulangkah kaki cepat
saling susul tak perpagut
Kujumpai kampung
kabutnya adalah abadi
dingin ... sunyi
diam tak tertampung
Matahari menjadi bulan
tak kuasa tembusi
tak kuasa panasi
tanah basah berkekalan
Orang berjalan pelan
tak bicara tak berkata
bahasa melalui mata
serta sentuhan
Kabut bergayut awut
perempuan kabut
tak berselimut
manis senyum berkabut
Seorang anak
memeluk ibu dan bapak
saling pegang pandang
dalam penglihatan berkabut
Duduk berlulut
di tengah kampung kabut
rambut basah tersalut
menetes turun ke wajah
leher dada dan kaki
perlahan .. diam .. resah ..
bak teka teki tapi pasti
hantar rasa maut
di kampung kabut
mataku mulai berkabut
tapi aku ternyata tidak takut
Tidak takut ...
di tengah kabut.
Dari jauh terlihat
gunung berselimut kabut
kulangkah kaki cepat
saling susul tak perpagut
Kujumpai kampung
kabutnya adalah abadi
dingin ... sunyi
diam tak tertampung
Matahari menjadi bulan
tak kuasa tembusi
tak kuasa panasi
tanah basah berkekalan
Orang berjalan pelan
tak bicara tak berkata
bahasa melalui mata
serta sentuhan
Kabut bergayut awut
perempuan kabut
tak berselimut
manis senyum berkabut
Seorang anak
memeluk ibu dan bapak
saling pegang pandang
dalam penglihatan berkabut
Duduk berlulut
di tengah kampung kabut
rambut basah tersalut
menetes turun ke wajah
leher dada dan kaki
perlahan .. diam .. resah ..
bak teka teki tapi pasti
hantar rasa maut
di kampung kabut
mataku mulai berkabut
tapi aku ternyata tidak takut
Tidak takut ...
di tengah kabut.
05 November 2001
perpisahan
jalanan malam dan dermaga yang tak berujung
kegelapan yang tiba-tiba diterangi api unggun
malam ini bulan purnama ikut berpesta
saksi yang tak bermata
laut di waktu malam
pemandangan yang menjadi kenyataan
setelah sekian lama
tiga tahun kata mereka
tiga tahun kata-kata kita
siapa yang menunggu sampai subuh tiba?
dan warna-warna kita luruh dengan dunia
salah satu tepian australia barat, 31.10.01 - 1.11.01
jalanan malam dan dermaga yang tak berujung
kegelapan yang tiba-tiba diterangi api unggun
malam ini bulan purnama ikut berpesta
saksi yang tak bermata
laut di waktu malam
pemandangan yang menjadi kenyataan
setelah sekian lama
tiga tahun kata mereka
tiga tahun kata-kata kita
siapa yang menunggu sampai subuh tiba?
dan warna-warna kita luruh dengan dunia
salah satu tepian australia barat, 31.10.01 - 1.11.01
04 November 2001
PADA ALBUM MIGUEL DE COVAROBIAS
Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda,
kecuali warna sepia.
Pundakmu
yang bebas ,
akan kurampas
dari sia-sia.
Akan kuletakan sintalmu
pada tubir meja:
telanjang
yang meminta
kekar kemaluan purba,
dan zat hutan
yang jauh, dengan surya
yang datang sederhana.
Akan kubiarkan waktu
mencambukmu,
lepas. Tak ada yang tersisa
dalam pigura
juga api yang tertinggal
pada klimaks ketiga,
juga para dewa, juga kau
yang akan runduk
Kematian pun akan masuk kembali
kembali, kembali...
Mari.
Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda
kecuali
warna sepia
1996
Goenawan Mohamad
dikutip dari: Misalkan Kita Di Sarajevo, Kalam, 1998
Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda,
kecuali warna sepia.
Pundakmu
yang bebas ,
akan kurampas
dari sia-sia.
Akan kuletakan sintalmu
pada tubir meja:
telanjang
yang meminta
kekar kemaluan purba,
dan zat hutan
yang jauh, dengan surya
yang datang sederhana.
Akan kubiarkan waktu
mencambukmu,
lepas. Tak ada yang tersisa
dalam pigura
juga api yang tertinggal
pada klimaks ketiga,
juga para dewa, juga kau
yang akan runduk
Kematian pun akan masuk kembali
kembali, kembali...
Mari.
Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda
kecuali
warna sepia
1996
Goenawan Mohamad
dikutip dari: Misalkan Kita Di Sarajevo, Kalam, 1998
02 November 2001
PADAMU JUA
Habis kikis
segala cintaku hilang terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu
kaulah kandil kemerlap
pelita jendela di malam gelap
melambai pulang perlahan
sabar, setia selalu
satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa
di mana engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati
engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas
nanar aku, gila sasar
sayang berulang padamu jua
engkau pelik menarik ingin
serupa dara di balik tirai
kasihmu sunyi
menunggu seorang diri
lalu waktu - bukan giliranku
mata hari - bukan kawanku....
Amir Hamzah
Habis kikis
segala cintaku hilang terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu
kaulah kandil kemerlap
pelita jendela di malam gelap
melambai pulang perlahan
sabar, setia selalu
satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa
di mana engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati
engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas
nanar aku, gila sasar
sayang berulang padamu jua
engkau pelik menarik ingin
serupa dara di balik tirai
kasihmu sunyi
menunggu seorang diri
lalu waktu - bukan giliranku
mata hari - bukan kawanku....
Amir Hamzah
Sang Penunggu
Wajahnya terlihat jelas
bahwa dia sedang menunggu.
Seorang penunggu
tarjajah atau pemberontak waktu ?
Setiap gerak
jelas diikuti mata
setiap derak
tersaring telinga
Mulutnya terkatup
kata menguncup
karena dia adalah penunggu
walau hari tetap berlalu.
Kenapa kamu mau ?
"Arti waktuku terampas olehnya"
" Saya akan tunggu tak jemu"
Dan kami duduk bersama.
Wajahnya terlihat jelas
bahwa dia sedang menunggu.
Seorang penunggu
tarjajah atau pemberontak waktu ?
Setiap gerak
jelas diikuti mata
setiap derak
tersaring telinga
Mulutnya terkatup
kata menguncup
karena dia adalah penunggu
walau hari tetap berlalu.
Kenapa kamu mau ?
"Arti waktuku terampas olehnya"
" Saya akan tunggu tak jemu"
Dan kami duduk bersama.
01 November 2001
:(
Senjalah senja
maaf ...
kujemput engkau dengan duka
"sometimes love just ain't enough"
Sunset
lirihkan puisi tersedih
terpanah tak meleset
ku kan tak bisa memilih ?
Malamlah malam
sorry ...
kuharap engkau tenggelam
munculmu sepi berduri
Sunrise
berjanjilah
jangan bawa tangis
aku sedang parah terbelah.
Senjalah senja
maaf ...
kujemput engkau dengan duka
"sometimes love just ain't enough"
Sunset
lirihkan puisi tersedih
terpanah tak meleset
ku kan tak bisa memilih ?
Malamlah malam
sorry ...
kuharap engkau tenggelam
munculmu sepi berduri
Sunrise
berjanjilah
jangan bawa tangis
aku sedang parah terbelah.
Soneta XVII
aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar, atau batu topaz,
atau panah anyelir yang menyalakan api.
aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai,
secara rahasia, diantara bayangan dan jiwa.
aku mencintaimu seperti tumbuhan yang tak pernah mekar
tetapi membawa dalam dirinya sendiri cahaya dari bunga-bunga yang tersembunyi;
terimakasih untuk cintamu suatu wewangian padat,
bermunculan dari dalam tanah, hidup secara gelap di dalam tubuhku.
aku mencintaimu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau darimana
aku mencintaimu lurus, tanpa macam-macam tanpa kebanggaan;
demikianlah aku mencintaimu karena aku tak tahu cara lainnya
beginilah: dimana aku tiada, juga kau,
begitu dekat sehingga tanganmu di dadaku adalah tanganku,
begitu dekat sehingga ketika matamu terpejam akupun jatuh tertidur.
-Pablo Neruda
nb: coba ngedit terjemahannya eka kurniawan dgn versi gue dan ting:)
aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar, atau batu topaz,
atau panah anyelir yang menyalakan api.
aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai,
secara rahasia, diantara bayangan dan jiwa.
aku mencintaimu seperti tumbuhan yang tak pernah mekar
tetapi membawa dalam dirinya sendiri cahaya dari bunga-bunga yang tersembunyi;
terimakasih untuk cintamu suatu wewangian padat,
bermunculan dari dalam tanah, hidup secara gelap di dalam tubuhku.
aku mencintaimu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau darimana
aku mencintaimu lurus, tanpa macam-macam tanpa kebanggaan;
demikianlah aku mencintaimu karena aku tak tahu cara lainnya
beginilah: dimana aku tiada, juga kau,
begitu dekat sehingga tanganmu di dadaku adalah tanganku,
begitu dekat sehingga ketika matamu terpejam akupun jatuh tertidur.
-Pablo Neruda
nb: coba ngedit terjemahannya eka kurniawan dgn versi gue dan ting:)
Langganan:
Postingan (Atom)