aku kembali ke kotamu. tapi bukan karena angin yang begitu besar menerpaku
yang menuntun kaki ini melangkah kembali ke kota dimana seribu resah mengabur.
aku kembali, karena aku ingin kembali!
gejayan pagi hari
28 Mei 2003
26 Mei 2003
RASA ITUKAH LAGI
percikan menuntut muram
mengeja setiap dusta manis
yah, digunung pinang itu
ikrar kesetiaan merangkai penantian
masih ingatkah lidah-lidah ombak
hamparan pasir dan raja siang
menyaksikan jalinan kita
walaupun hari mulai beralih tugas
menyisakan nan indah mega mega merah
yang seakan menyatu dengan dinginnya lautan
itu sulu dan terkubur sudah
walaupun berakhir dengan kobaran api
takdir membawaku beralih benua
menapaki dunia baru, namun
rasa itukah lagi yang menghantui ??
cairo, 020403
percikan menuntut muram
mengeja setiap dusta manis
yah, digunung pinang itu
ikrar kesetiaan merangkai penantian
masih ingatkah lidah-lidah ombak
hamparan pasir dan raja siang
menyaksikan jalinan kita
walaupun hari mulai beralih tugas
menyisakan nan indah mega mega merah
yang seakan menyatu dengan dinginnya lautan
itu sulu dan terkubur sudah
walaupun berakhir dengan kobaran api
takdir membawaku beralih benua
menapaki dunia baru, namun
rasa itukah lagi yang menghantui ??
cairo, 020403
25 Mei 2003
kelingking
setelah malam dengan bahasa usai. kutarikkan jemari
di alis yang gemetar oleh hujan dan puisi patah
setengah depa ke wajah yang mengirim airmata
di sini, kubakar peta ke jantung dengan api jatuh
menjadi doa mati
seperti pemberkatan, lolongan adalah mantra
tepukan seadanya tapi ingin kucabik-cabik
seluruh sungai dengan muara ke bilik
lukamu
sedang yang tergaris di jendela buram sebelum pamit hanyalah
kelingking tak tertaut..
setelah malam dengan bahasa usai. kutarikkan jemari
di alis yang gemetar oleh hujan dan puisi patah
setengah depa ke wajah yang mengirim airmata
di sini, kubakar peta ke jantung dengan api jatuh
menjadi doa mati
seperti pemberkatan, lolongan adalah mantra
tepukan seadanya tapi ingin kucabik-cabik
seluruh sungai dengan muara ke bilik
lukamu
sedang yang tergaris di jendela buram sebelum pamit hanyalah
kelingking tak tertaut..
24 Mei 2003
ajari aku bermimpi,
seperti mimpi kanak-kanakku tentang ksatria berbaju zirah mengendarai kuda putih,
yang kemudian datang membebaskanku dari belitan penyihir jahat
untuk kemudian terbang menuju pelangi keabadian
ajari aku bermimpi,
seperti mimpi masa remajaku tentang apa itu cinta sejati
sesosok lelaki tampan dengan senyum secerah matahari
yang mengenakan tudung kebaikan hati dan baju kerendahanhati
sosok lelaki dimana aku tau akan kuhabiskan masa tuaku bersamanya
ajari aku bermimpi ..
seperti mimpi kanak-kanakku tentang ksatria berbaju zirah mengendarai kuda putih,
yang kemudian datang membebaskanku dari belitan penyihir jahat
untuk kemudian terbang menuju pelangi keabadian
ajari aku bermimpi,
seperti mimpi masa remajaku tentang apa itu cinta sejati
sesosok lelaki tampan dengan senyum secerah matahari
yang mengenakan tudung kebaikan hati dan baju kerendahanhati
sosok lelaki dimana aku tau akan kuhabiskan masa tuaku bersamanya
ajari aku bermimpi ..
23 Mei 2003
dia telah menyusuri jam demi jam di dada lelaki yang murung
dengan segala remah remah waktu dan segala sia sia wajahnya akan terlihat merdu
ketika bangun dari tidurnya yang berpeluh
dia akan terlihat larut dengan sprei selimut dan bantal yang masih basah oleh keringat
sejak itu ada yang tumbuh perlahan
pada debur yang jauh pada lembab angin laut dan dingin kabut pegunungan
sesuatu yang sulit untuk di tanggalkan dan mengamuk dikala sepi dikala ia penuh tekanan
dia akan menyediakan diri sebagai korban sebagai seseorang yang pantas terbantai
tapi kau menentukan tapi kau menguasai tubuh tubuh yang terkulai
yang memohon yang menghiba yang merajuk
yang terus menerus meminta dan sesal dan berpaling
lalu di dapatinya pada seseorang yang terkapar dengan tatap aduh
yang akan dijawabnya dengan teriak yeah dan tergesa
dengan segala remah remah waktu dan segala sia sia wajahnya akan terlihat merdu
ketika bangun dari tidurnya yang berpeluh
dia akan terlihat larut dengan sprei selimut dan bantal yang masih basah oleh keringat
sejak itu ada yang tumbuh perlahan
pada debur yang jauh pada lembab angin laut dan dingin kabut pegunungan
sesuatu yang sulit untuk di tanggalkan dan mengamuk dikala sepi dikala ia penuh tekanan
dia akan menyediakan diri sebagai korban sebagai seseorang yang pantas terbantai
tapi kau menentukan tapi kau menguasai tubuh tubuh yang terkulai
yang memohon yang menghiba yang merajuk
yang terus menerus meminta dan sesal dan berpaling
lalu di dapatinya pada seseorang yang terkapar dengan tatap aduh
yang akan dijawabnya dengan teriak yeah dan tergesa
lempuyangan
hidup menjadi asing ketika engkau menjelma
igauanigauan dalam mimpi burukku yang panjang.
cinta yang kau kirimkan menjelma batu pada sungai harap,
mengalirkan seluruh resah dalam perahu tanpa sampan.
stasiun dalam kebisuan, menangisi anakanak kecemasan
yang setia melantunkan dongeng negeri dari tutuptutup botol
tak bermerk. hujan batu di negeriku, membawa logamlogam
hitam, menyimpan belati pada belahan jantung paling kiri.
lampu merkuri berdarah dalam pekat,
mengumpulkan seluruh tanda tanya yang tersebar
di atas tanah kecemasan.
lihat! sebuah kepala tergeletak tanpa tubuh,
tanpa nama, tanpa asalusul.
BumiAllah, 04 agustus 2002
istirahatlah sebelum kepulangan itu, aku menemanimu di sini.
hidup menjadi asing ketika engkau menjelma
igauanigauan dalam mimpi burukku yang panjang.
cinta yang kau kirimkan menjelma batu pada sungai harap,
mengalirkan seluruh resah dalam perahu tanpa sampan.
stasiun dalam kebisuan, menangisi anakanak kecemasan
yang setia melantunkan dongeng negeri dari tutuptutup botol
tak bermerk. hujan batu di negeriku, membawa logamlogam
hitam, menyimpan belati pada belahan jantung paling kiri.
lampu merkuri berdarah dalam pekat,
mengumpulkan seluruh tanda tanya yang tersebar
di atas tanah kecemasan.
lihat! sebuah kepala tergeletak tanpa tubuh,
tanpa nama, tanpa asalusul.
BumiAllah, 04 agustus 2002
istirahatlah sebelum kepulangan itu, aku menemanimu di sini.
22 Mei 2003
21 Mei 2003
ingin
ingin kutelan bibirmu, bibirmu tersenyum
ingin kulumat senyummu, matamu melotot
ingin kuludahi matamu, dadamu berguncang
ingin kujilati dadamu, tanganmu menghempang
ingin kucengkram tanganmu, pinggulmu berontak
ingin kudekap pinggulmu, kelaminmu marak
terbakarlah kitab-kitab tua
dan padanya malaikat menghambur keluar
gema terompet menjajah diri
memasung ingin menjadi hamba
dan kakimu kelak bemahkota
19mei2003
ingin kutelan bibirmu, bibirmu tersenyum
ingin kulumat senyummu, matamu melotot
ingin kuludahi matamu, dadamu berguncang
ingin kujilati dadamu, tanganmu menghempang
ingin kucengkram tanganmu, pinggulmu berontak
ingin kudekap pinggulmu, kelaminmu marak
terbakarlah kitab-kitab tua
dan padanya malaikat menghambur keluar
gema terompet menjajah diri
memasung ingin menjadi hamba
dan kakimu kelak bemahkota
19mei2003
tulisan:
JOE TAMPUBOLON from Yogya
1.
Kesendirianku disini
dikota pelajar ini
aku selalu teringat padamu
wajahmu selalu mengikutiku
kesendirianku ini
slalu....ingin...
entah kapan...
kesendirianku begini
kesendirianku ini...
slalu kuingat kenangan itu
kenangan manis waktu yang silam
akankah semua ini terulang...
kesendirianku ini
slalu bertanya tanya
adakah hatimu tetap seperti dulu
bilakah kesendirianku ini berlalu
apakah kau ingin juga dalam kesendirianmu?
tanyalah pada hatimu...
rasanya kesendirianku sulit tuk terobati
rasanya....diriku lemah tanpamu...
24 januari 1999
2.
kasih........
disenja itu kau termenung
seakan akan kau bisu
tak satu katapun terucap dari mulutmu
memang disana itu
aku sedang bingung
dan sedang banyak masalah
kurelakan kau diam seribu kata
tapi...kuingin kau bisu hanya saat itu saja
tapi esok janganlah kau membisu lagi...
03 november 2002
JOE TAMPUBOLON from Yogya
1.
Kesendirianku disini
dikota pelajar ini
aku selalu teringat padamu
wajahmu selalu mengikutiku
kesendirianku ini
slalu....ingin...
entah kapan...
kesendirianku begini
kesendirianku ini...
slalu kuingat kenangan itu
kenangan manis waktu yang silam
akankah semua ini terulang...
kesendirianku ini
slalu bertanya tanya
adakah hatimu tetap seperti dulu
bilakah kesendirianku ini berlalu
apakah kau ingin juga dalam kesendirianmu?
tanyalah pada hatimu...
rasanya kesendirianku sulit tuk terobati
rasanya....diriku lemah tanpamu...
24 januari 1999
2.
kasih........
disenja itu kau termenung
seakan akan kau bisu
tak satu katapun terucap dari mulutmu
memang disana itu
aku sedang bingung
dan sedang banyak masalah
kurelakan kau diam seribu kata
tapi...kuingin kau bisu hanya saat itu saja
tapi esok janganlah kau membisu lagi...
03 november 2002
SAYAP-SAYAP ANUGRAHMU
Guratan pena joyko saksi naluriku
Tuk julurkan sayap berpacu dengan waktu
Meniti setiap helai dedaunan
Seiring denyut nadi dan rotasi bumi
Hamparan padang pasir
Dan bangunan serba beton
Lurus jalanan Nasr City
Saksi anugrah indahmu
Tiga ribu sayap-sayap anugrahmu disini
Berjuta nan jauh disana
Bahu-membahu tuk wujudkan cita
Meraih tanah air damai tentram dan sejahtera
Merenopasi taqlid
Mencoba terobos pencerahan
Tuk wujudkan kedamaian
Baldatun toyibatun warobun gopur
10 th District, mutsallats, Cairo
December 01, 2002 C
Guratan pena joyko saksi naluriku
Tuk julurkan sayap berpacu dengan waktu
Meniti setiap helai dedaunan
Seiring denyut nadi dan rotasi bumi
Hamparan padang pasir
Dan bangunan serba beton
Lurus jalanan Nasr City
Saksi anugrah indahmu
Tiga ribu sayap-sayap anugrahmu disini
Berjuta nan jauh disana
Bahu-membahu tuk wujudkan cita
Meraih tanah air damai tentram dan sejahtera
Merenopasi taqlid
Mencoba terobos pencerahan
Tuk wujudkan kedamaian
Baldatun toyibatun warobun gopur
10 th District, mutsallats, Cairo
December 01, 2002 C
20 Mei 2003
18 Mei 2003
sayang,
untuk segala hal yang sudah kau berikan
segala hal yang telah pula aku relakan
marilah kita saling belajar ..
untuk tidak pernah melupakan 1 hal yang paling penting, "kasih sayang"
dan untuk setiap waktu yang kita habiskan bersama,
malam dan siang dimana kita berdua
mari kita saling mengingatkan,
untuk tidak pernah melupakan yang terutama, "rasa percaya"
sehingga meskipun dari kita akan timbul begitu banyak hal,
senyum, ataupun airmata ..
senang, ataupun kepedihan ..
tetap saja akan ada satu percaya,
bahwa selama kita tidak menyerah maka segalanya akan baik baik saja,
ya .. akan baik2 saja .
untuk segala hal yang sudah kau berikan
segala hal yang telah pula aku relakan
marilah kita saling belajar ..
untuk tidak pernah melupakan 1 hal yang paling penting, "kasih sayang"
dan untuk setiap waktu yang kita habiskan bersama,
malam dan siang dimana kita berdua
mari kita saling mengingatkan,
untuk tidak pernah melupakan yang terutama, "rasa percaya"
sehingga meskipun dari kita akan timbul begitu banyak hal,
senyum, ataupun airmata ..
senang, ataupun kepedihan ..
tetap saja akan ada satu percaya,
bahwa selama kita tidak menyerah maka segalanya akan baik baik saja,
ya .. akan baik2 saja .
16 Mei 2003
Ayo-ayo, rame-rame ke acara ini:
MALANG
“Bedah Novel Eka Kurniawan: Cantik Itu Luka”
Pembicara:
- Raudal Tanjung Banua (Jurnal Cerpen)
- Eka Kurniawan (Penulis)
- EM Ali (Akademi Kebudayaan Yogyakarta)
Moderator: Puthut EA (editor ON/OFF)
@
Sabtu,17 Mei 2003
Universitas Merdeka Malang
10.00 WIB - selesai
SURABAYA
"Launching Antologi Cerpen: 10 Kisah Cinta Yang Mencurigakan"
"Pesta Puisi dan Cerita Pendek"
Bersama Kollektif Kalpataru
Acara:
Pembacaan puisi, cerita pendek, performance art dan musik
@
Senin,19 Mei 2003
Parkir Depan Student Center
Fakultas Ilmu Sosial Politik
Universitas Airlangga (FISIP UNAIR)
19.00 WIB - selesai
Nb: Zam, aku nyampe besok pagi di Malang.
MALANG
“Bedah Novel Eka Kurniawan: Cantik Itu Luka”
Pembicara:
- Raudal Tanjung Banua (Jurnal Cerpen)
- Eka Kurniawan (Penulis)
- EM Ali (Akademi Kebudayaan Yogyakarta)
Moderator: Puthut EA (editor ON/OFF)
@
Sabtu,17 Mei 2003
Universitas Merdeka Malang
10.00 WIB - selesai
SURABAYA
"Launching Antologi Cerpen: 10 Kisah Cinta Yang Mencurigakan"
"Pesta Puisi dan Cerita Pendek"
Bersama Kollektif Kalpataru
Acara:
Pembacaan puisi, cerita pendek, performance art dan musik
@
Senin,19 Mei 2003
Parkir Depan Student Center
Fakultas Ilmu Sosial Politik
Universitas Airlangga (FISIP UNAIR)
19.00 WIB - selesai
Nb: Zam, aku nyampe besok pagi di Malang.
15 Mei 2003
: Malam
aku ingin bercinta dengan malam
mencumbui kesendirian
berpeluh napsu dengan kesepian
seperti terbius asap rokok
seperti perbincangan kita tentang pencarian
yang menggiringku kesatu titik temu
dengan jalan yang terjal diwajahku
aku ingin bercinta dengan malam
dimana bintang bintang dan bulan
menyaksikan pergumulan kita dengan kecemburuan
seperti saat kopi dan rokok menjadi sejoli
lalu teh mencemburuinya
yaa...aku ingin bercinta dengan malam
sangat ingin....
dan...maukah kau bercinta denganku sayang?
Colombo Mei 2003
aku ingin bercinta dengan malam
mencumbui kesendirian
berpeluh napsu dengan kesepian
seperti terbius asap rokok
seperti perbincangan kita tentang pencarian
yang menggiringku kesatu titik temu
dengan jalan yang terjal diwajahku
aku ingin bercinta dengan malam
dimana bintang bintang dan bulan
menyaksikan pergumulan kita dengan kecemburuan
seperti saat kopi dan rokok menjadi sejoli
lalu teh mencemburuinya
yaa...aku ingin bercinta dengan malam
sangat ingin....
dan...maukah kau bercinta denganku sayang?
Colombo Mei 2003
: H.M
pernah kubertanya pada malam,
saat mata tak bisa terpejam
saat yang ada hanya binatang malam
kemana perginya sebuah rasa yang bisa mengumpulkan
semua sumber air mata?
ada mata yang begitu sayu
tak lagi bening
ada bibir yang begitu beku
tak lagi manis
ada wajah yang begitu lelah
tak lagi bercahaya
pernah kumenangis pada malam,
saat belati tajam itu tergeletak bersimbah darah disampingku
dan aku tak lagi bisa bergerak
genangan darah itu....darahku sendiri.....membuatku mual,
membuatku ingin muntah..
tapi aku tetap tak bisa bergerak
pernah kumengadu pada malam,
saat yang terdengar hanya lolongan anjing malam
yang menyayat kalbu...
haaah......
sudah tak memiliki rasakah aku?
pernah kubertanya pada malam,
saat mata tak bisa terpejam
saat yang ada hanya binatang malam
kemana perginya sebuah rasa yang bisa mengumpulkan
semua sumber air mata?
ada mata yang begitu sayu
tak lagi bening
ada bibir yang begitu beku
tak lagi manis
ada wajah yang begitu lelah
tak lagi bercahaya
pernah kumenangis pada malam,
saat belati tajam itu tergeletak bersimbah darah disampingku
dan aku tak lagi bisa bergerak
genangan darah itu....darahku sendiri.....membuatku mual,
membuatku ingin muntah..
tapi aku tetap tak bisa bergerak
pernah kumengadu pada malam,
saat yang terdengar hanya lolongan anjing malam
yang menyayat kalbu...
haaah......
sudah tak memiliki rasakah aku?
14 Mei 2003
DARNIESA
Biru dan ungu berpadu
Walaupun merah dan kuning
Mencoba tuk jadikan hitam
Lukisan indah anugrah yang maha segalanya
Ketika merah muda hinggap
Unguku hilang entah kemana
Jahat memang, tapi itu adanya
Walaupun telah kucoba korbankan biruku
Janji-janji mungkin tinggal janji
Kini kuberusaha tuk jadi putih
Bebas dari segala beban walaupun menyakitkan
Dan melukai darniesa paduan kita
Suara keledai dan cekikikan putri duyung
Itu semua resiko dan akan lebih baik
Ketimbang auman macan dan lolongan srigala
Walaupun harus menghapus wanginya darniesa kita
Maapkan aku kasih
Mudah-mudahan kita bisa menemukan paduan yang tepat
Dari kesalahan paduan antara kita
Dibalik tragedi pasti ada hikmah yang bisa kita petik
23 Okt 2002
Biru dan ungu berpadu
Walaupun merah dan kuning
Mencoba tuk jadikan hitam
Lukisan indah anugrah yang maha segalanya
Ketika merah muda hinggap
Unguku hilang entah kemana
Jahat memang, tapi itu adanya
Walaupun telah kucoba korbankan biruku
Janji-janji mungkin tinggal janji
Kini kuberusaha tuk jadi putih
Bebas dari segala beban walaupun menyakitkan
Dan melukai darniesa paduan kita
Suara keledai dan cekikikan putri duyung
Itu semua resiko dan akan lebih baik
Ketimbang auman macan dan lolongan srigala
Walaupun harus menghapus wanginya darniesa kita
Maapkan aku kasih
Mudah-mudahan kita bisa menemukan paduan yang tepat
Dari kesalahan paduan antara kita
Dibalik tragedi pasti ada hikmah yang bisa kita petik
23 Okt 2002
13 Mei 2003
ini seperti dejavu
ini seperti kembali ke masa lalu, dimana perbincangan tentang cinta dan semesta
adalah malammalam panjang milik kita yang selalu menyisakan sebuah tanya,
: hendak singgah dimana jiwa ini?
lalu kita melihat gubukgubuk dibangun sepanjang jalan yang dilalui
ratapan pun melengking sepanjang langkah, sedang luka yang memuncratkan
darah berbau amis itu masih setia dalam dada, dan alunan kecapi itu pun sepertinya
sudah tak asing lagi. kita mengenalnya jauh sebelum malam menjadi kelam
ini seperti dejavu!
tapi kita lantas cepat menjadi yakin
bukankah kita tak pernah duduk di bangkubangku dengan bayangan yang sama?*
kita tidak kembali ke masa lalu, tapi kita tak lagi asing
sebab pernah dalam mimpimu, ini begitu nyata.
*) dikutip dari puisi W. Haryanto yang berjudul "Jalan-jalan Penuh Nyanyian"
ini seperti kembali ke masa lalu, dimana perbincangan tentang cinta dan semesta
adalah malammalam panjang milik kita yang selalu menyisakan sebuah tanya,
: hendak singgah dimana jiwa ini?
lalu kita melihat gubukgubuk dibangun sepanjang jalan yang dilalui
ratapan pun melengking sepanjang langkah, sedang luka yang memuncratkan
darah berbau amis itu masih setia dalam dada, dan alunan kecapi itu pun sepertinya
sudah tak asing lagi. kita mengenalnya jauh sebelum malam menjadi kelam
ini seperti dejavu!
tapi kita lantas cepat menjadi yakin
bukankah kita tak pernah duduk di bangkubangku dengan bayangan yang sama?*
kita tidak kembali ke masa lalu, tapi kita tak lagi asing
sebab pernah dalam mimpimu, ini begitu nyata.
*) dikutip dari puisi W. Haryanto yang berjudul "Jalan-jalan Penuh Nyanyian"
12 Mei 2003
Hari ini cinta datang mengetuk
tapi pergi sebelum pintu dibuka
berapa ya....jumlah orang yang dapat mendengar suara hati?
haah......kelihatannya lebih sedikit lagi yang mengikutinya...
selama ini kita telah tumbuh menjadi generasi yang
dibuai oleh dongeng klasik
dimana cinta adalah kunci kebahagiaan...
tapi kenapa kita tidak pernah tahu bagaimana mencari cinta?
apalagi untuk mengetahui
kapan cinta datang berkunjung,
tidak ada dari kita yang tahu
tapi saat ini aku berharap
Andai Ia Tau.........
*From Andai Ia Tau
tapi pergi sebelum pintu dibuka
berapa ya....jumlah orang yang dapat mendengar suara hati?
haah......kelihatannya lebih sedikit lagi yang mengikutinya...
selama ini kita telah tumbuh menjadi generasi yang
dibuai oleh dongeng klasik
dimana cinta adalah kunci kebahagiaan...
tapi kenapa kita tidak pernah tahu bagaimana mencari cinta?
apalagi untuk mengetahui
kapan cinta datang berkunjung,
tidak ada dari kita yang tahu
tapi saat ini aku berharap
Andai Ia Tau.........
*From Andai Ia Tau
akulah sungai itu
akulah sungai yang bermuara tanpa tujuan
yang menggeliat dengan belaian matahari
yang menjadi cermin dari wajahwajah penuh luka
akulah sungai yang mengalirkan seribu satu cerita
dari anakanak negeri yang teraniaya
ada darah yang mengalir
ada sampah yang menyumbat
ada ikan yang mati karena busa
ada engkau yang setia membasuh kaki di tepian
akulah sungai itu
yang telah memendam seluruh bahasa semesta
menjadi bahasa bumi paling purba
BumiAllah, 12 Mei 2003
akulah sungai yang bermuara tanpa tujuan
yang menggeliat dengan belaian matahari
yang menjadi cermin dari wajahwajah penuh luka
akulah sungai yang mengalirkan seribu satu cerita
dari anakanak negeri yang teraniaya
ada darah yang mengalir
ada sampah yang menyumbat
ada ikan yang mati karena busa
ada engkau yang setia membasuh kaki di tepian
akulah sungai itu
yang telah memendam seluruh bahasa semesta
menjadi bahasa bumi paling purba
BumiAllah, 12 Mei 2003
11 Mei 2003
ingin terbang
seseorang membuat gua di awan
dalam kesendirian manusia pertama
tergantung antara bumi dan surga
antara nyata dan maya
"dapatkah aku membedakan air matamu dan hujan ?"
seorang berkesah keluh di awan
lelah pada semua peran
pada semua suara gerak
rasa aksara makna
"dapatkah aku membedakan lirihmu dan kesunyian jagad" ?
seseorang membuat gua di awan
dalam kesendirian manusia pertama
tergantung antara bumi dan surga
antara nyata dan maya
"dapatkah aku membedakan air matamu dan hujan ?"
seorang berkesah keluh di awan
lelah pada semua peran
pada semua suara gerak
rasa aksara makna
"dapatkah aku membedakan lirihmu dan kesunyian jagad" ?
10 Mei 2003
KEPOMPONG
Kapas bertebaran mawar mulai merekah
Dibalik besi berani yang mulai pudar keberaniannya
Sang surya kini berkedip kupu mulai punah
Gerimis sore tadi jadikan sejuk suasana
Malam ini kapas itu mulai dipintal jadi kain
Dan mawar tambah merekah
Mentari bersinar tapi di belahan bumi sana
Sedang kupu hinggap kepompong kini di dahan
Tiga jarum itu terus berputar
Malam mulai mendekati petang
Selokan membesar menjadi sungai
Satu hal yang perlu kita sadari
Kain itu akan memudar
Dan mawar mulai menunduk
Serta mentari menampakan mega merah
Seakan mengiring kepompong jadi kupu dan mati
Booring room
First Oct 2002
Kapas bertebaran mawar mulai merekah
Dibalik besi berani yang mulai pudar keberaniannya
Sang surya kini berkedip kupu mulai punah
Gerimis sore tadi jadikan sejuk suasana
Malam ini kapas itu mulai dipintal jadi kain
Dan mawar tambah merekah
Mentari bersinar tapi di belahan bumi sana
Sedang kupu hinggap kepompong kini di dahan
Tiga jarum itu terus berputar
Malam mulai mendekati petang
Selokan membesar menjadi sungai
Satu hal yang perlu kita sadari
Kain itu akan memudar
Dan mawar mulai menunduk
Serta mentari menampakan mega merah
Seakan mengiring kepompong jadi kupu dan mati
Booring room
First Oct 2002
09 Mei 2003
08 Mei 2003
perjalanan belum saatnya diselesaikan, tapi telah kutuntun penaku
mengakrabi peta yang kau buat di jendela. seperti rindu ibu
pada tangis pertama makhluk di rahimnya, seperti itu pula kurindui
seluruh cuaca yang mampu mengantarku pada peristirahatan pertama.
tangkap mimpiku dan rasai, disana akan kau temukan betapa besar
rinduku pada kampung halaman. seperti rinduku pada patahan huruf
hurufmu yang takkan pernah padam.
mengakrabi peta yang kau buat di jendela. seperti rindu ibu
pada tangis pertama makhluk di rahimnya, seperti itu pula kurindui
seluruh cuaca yang mampu mengantarku pada peristirahatan pertama.
tangkap mimpiku dan rasai, disana akan kau temukan betapa besar
rinduku pada kampung halaman. seperti rinduku pada patahan huruf
hurufmu yang takkan pernah padam.
sore yang sepi serta disertai hujan saling berlomba menancapkan dinginnya senja.
anak itu masih disitu, tak perduli manusia-manusia saling berlomba mencari perlindungan dari serbuan ribuan, jutaan titik hujan. sepertinya mereka takut dengan hujan, ibarat ketakutan akan seorang raksasa yang tiba-tiba memasuki kota itu. berhamburan.. cari selamat.
ya.dia masih disitu bersila bagaikan dukun membaca mantra. kotaknya yang biasa dibuat untuk menengadah mengaharapkan sekeping koin dari orang-orang yang kasihan kepadanya. kotak itu...hah kotak itu telah penuh... tapi kenapa dia masih disitu?
kotak itu penuh dengan air hujan. anak itu tidak takut dengan hujan.. yang dia takutkan adalah teman-teman sang hujan yang ribuan, bakan jutaan banyaknya menyerbu bagaikan seribu pasukan lebah mengamuk karena rajanya telah dibunuh. ya anak itu takut pada teman-teman sang hujan. yang lebih dia takutkan adalah para senior-seniornya, yang telah melewati masa bersila dengan mantra kotak. yang telah menjadi serdadu-serdadu jalanan, yang siap diturunkan untuk sebuah misi. misi kekerasan. mereka telah teruji... dengan bekal semedi pinggir jalan, dan jurus-jurus cari selamat, dan penggunaan senjata tajam tingkat tinggi...
tak ada yang mereka takutkan.. yang ditakuti hanyalah para senior. senior segalanya. tidak takut polisi. yang ditakutkan adalah serbuan seribu hujan. ataupun serbuan seribu manusia yang mendapati mereka yang sedang mempraktekkan ilmu semedi pinggir jalan
yah mereka tidak takut dengan manusia, tidak takut hujan. ternyata mereka akan takluk dengan seribu
seribu... apalah seribu... dan mereka akan melakukan apa saja dengan seribu
anak itu masih disitu, tak perduli manusia-manusia saling berlomba mencari perlindungan dari serbuan ribuan, jutaan titik hujan. sepertinya mereka takut dengan hujan, ibarat ketakutan akan seorang raksasa yang tiba-tiba memasuki kota itu. berhamburan.. cari selamat.
ya.dia masih disitu bersila bagaikan dukun membaca mantra. kotaknya yang biasa dibuat untuk menengadah mengaharapkan sekeping koin dari orang-orang yang kasihan kepadanya. kotak itu...hah kotak itu telah penuh... tapi kenapa dia masih disitu?
kotak itu penuh dengan air hujan. anak itu tidak takut dengan hujan.. yang dia takutkan adalah teman-teman sang hujan yang ribuan, bakan jutaan banyaknya menyerbu bagaikan seribu pasukan lebah mengamuk karena rajanya telah dibunuh. ya anak itu takut pada teman-teman sang hujan. yang lebih dia takutkan adalah para senior-seniornya, yang telah melewati masa bersila dengan mantra kotak. yang telah menjadi serdadu-serdadu jalanan, yang siap diturunkan untuk sebuah misi. misi kekerasan. mereka telah teruji... dengan bekal semedi pinggir jalan, dan jurus-jurus cari selamat, dan penggunaan senjata tajam tingkat tinggi...
tak ada yang mereka takutkan.. yang ditakuti hanyalah para senior. senior segalanya. tidak takut polisi. yang ditakutkan adalah serbuan seribu hujan. ataupun serbuan seribu manusia yang mendapati mereka yang sedang mempraktekkan ilmu semedi pinggir jalan
yah mereka tidak takut dengan manusia, tidak takut hujan. ternyata mereka akan takluk dengan seribu
seribu... apalah seribu... dan mereka akan melakukan apa saja dengan seribu
07 Mei 2003
selebihnya adalah jarak yang dituntun menuju muara rasa
iring iringan pengantar jenazah itu telah lewat sejak lama
dan kita telah melewati seribu satu peristiwa
hingga kita menemukan kembali sebuah sungai bening
: tempatmu membasuh muka, mengambil wudhu lalu istirah di batubatu
tak ada yang tak mungkin di telapak tangan-Nya.
iring iringan pengantar jenazah itu telah lewat sejak lama
dan kita telah melewati seribu satu peristiwa
hingga kita menemukan kembali sebuah sungai bening
: tempatmu membasuh muka, mengambil wudhu lalu istirah di batubatu
tak ada yang tak mungkin di telapak tangan-Nya.
05 Mei 2003
setelah pertemuan denganmu, dan sebuah cerita panjang tentang masa silam. -masa lalu yang tak mungkin kembali-
aku seperti dihempaskan dari sebuah puncak yang teramat tinggi. sebuah dunia yang indah, namun baru kusadari sekarang keindahannya. kita mungkin menginginkan untuk kembali ke sana, sama seperti kita tidak menginginkannya luka itu tertoreh kembali. maka dengan kesadaran seorang pejalan, kita telah saling bergandengtangan, tapi tidak kembali ke masa lalu sebab sudah kukatakan, kita tak ingin merasakan lagi luka yang teramat dalam. meski luka, bukan lagi hal asing bagi seorang pejalan seperti kita.
kita telah bergandengtangan atas nama persaudaraan.
ini darahku! dan darahmu telah mengucur sejak malam ke dalam nadiku.
aku seperti dihempaskan dari sebuah puncak yang teramat tinggi. sebuah dunia yang indah, namun baru kusadari sekarang keindahannya. kita mungkin menginginkan untuk kembali ke sana, sama seperti kita tidak menginginkannya luka itu tertoreh kembali. maka dengan kesadaran seorang pejalan, kita telah saling bergandengtangan, tapi tidak kembali ke masa lalu sebab sudah kukatakan, kita tak ingin merasakan lagi luka yang teramat dalam. meski luka, bukan lagi hal asing bagi seorang pejalan seperti kita.
kita telah bergandengtangan atas nama persaudaraan.
ini darahku! dan darahmu telah mengucur sejak malam ke dalam nadiku.
04 Mei 2003
03 Mei 2003
Pasar Kota
Tembok muram itu, masih menyimpan di tiap-tiap kelupasan catnya tentang kita. Hitam, kusam, legam. Retakannya seperti aliran sungai yang membawa cerita dari hulu gelap masa silam. Tembok pasar kota. Di bawahnya masih kita lihat pecahan-pecahan kaca, kaca jendela warna gelap. Pecah oleh batu yang dulu. Batu-batu yang digenggam. Batu-batu yang dicintai. Batu-batu yang bicara. Langit-langit itu pun seperti menontonkan kembali pada kita percintaan kita. Kau memunggunginya, aku tak melihatnya. Sprei itu, entah di mana ia sekarang. Tentunya dapat kita lihat bekas-bekas kita di situ. Bekas-bekas yang menjadi jejak semestinya, mengabadikan mutiara-mutiara yang jatuh lewat peluh-peluh kita.
Berapa tahun yang lalu itu? Sudah lama. Bahkan aku telah lupa bagaimana caramu mendesahkan nafasmu di sela-sela rambutku, bagaimana caramu menelanjangiku dengan dua matamu yang mulai sayu. Kamu takut. Apa lagi aku. Tapi cinta bukan linear, sesuatu yang rasional, bulat atau lurus, katamu. Dan kita memulainya.
Waktu itu senja. sore akan berakhir, sebentar lagi. Tapi toko sudah kamu tutup. Karena pembeli semakin jarang pikirku. Tapi bukan katamu, membuka toko itu berdagang, walau tak ada pembeli. Mungkin, tapi apa? Dan kau tidak menjelaskannya, melainkan mulai menyeret tirai jendela; dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Kau letakkan gelas yang sejak tadi kau genggam. Langit-langit mulai merunduk malu melihat kita berdua di kamar ini tanpa pakaian, di toko pasar kota.
Sadarkah kamu waktu itu? Aku adalah anak tuanmu, dan kau tak lebih dari sekadar hamba bapakku. Sadarkah aku? Tidak, aku tidak sadar, (cinta tidak linear, bukan?), kesadaran adalah apa yang kita raih sama-sama waktu itu. Di bawah langit-langit, di atas sprei merah muda, yang dengan sangat sempurna direfleksikan gelas yang kau taruh di samping ranjangku. Sudah hampir malam…
Lelaki. Pekerja. Hamba bapakku. Tapi juga malaikatku, teman tidurku kalau bapakku sedang tak ada di sini, mengurusi niaganya yang semakin terlihat asing bagiku. Kau bukan hambaku karena aku adalah hambamu, yang mengagumi tiap-tiap sel yang menghimpun menjadi tubuh, dan cahaya-cahaya yang menggumpal, memancarkan sinar yang menyilaukan. Tapi kau bukan tuanku, karena pernah juga kau ciumi ujung kakiku, dan kau berlindung di kedua sayapku. Aku juga malaikatmu, katamu.
***
Lalu cerita itu dimulai, cerita tentang bagaimana kita lupa terhadap siapa kita, dan binatang macam apakah kita. Cerita yang tersusun sendiri lewat warna hitam darah. Massa. Makhluk yang berkerumun dan meneriakan kata-kata sucinya. Batu yang mengeras menjadi doa, bukan lewat tengadahan tangan, tapi lontaran.
Bapak memang sedang tak ada. Tapi, kau tidak sedang menjadi teman tidurku kala itu. Di kamar aku merajut ait mata dan merendamkan kaki ke dalam api sambil bernyanyi. Ya, aku bernyanyi. Cuma ada asap dan lagu yang kudendangkan. Lagu tentangmu. Gelas itu masih ada di atas meja samping ranjangku.
Sampai sebuah batu memecahkannya. Jendela kamarku, lalu gelasmu. Massa: Makhluk yang berkerumun dan meneriakan kata-kata sucinya. Tapi, makhluk apakah itu? Karena mereka bukan cuma memecahkan jendelaku dan gelasmu, tapi juga mematahkan sayapku dan menghentikan nyanyianku. Lagu tentangmu berhenti sebelum selesai, karena ujung kakiku, yang dulu pernah kau ciumi, dilumati mereka. Malaikatku…
Langit-langit itu tak lagi merunduk malu. Padahal aku telanjang, ditelanjangi makhluk itu. Dan perlahan kudengar ia menangis, meruntuhkan tiap meter yang melekat di wajahnya. Satu-satu.
Lelaki. Atom sebuah gumpalan. Makhluk bukan manusia, menghimpun menjadi massa. Berkerumun dan berteriak. Memecahkan jendelaku dan gelasmu. Membakar dan mematahkan sayapku. Sejenismu. Malaikatku…
Aku bernyanyi. Lagu tentangmu. Di kamar sebuah rumah sakit jiwa.
***
Tembok pasar kota. Tempat di mana sayap kita saling mengadu, saling melindungi. Menyimpan baik-baik relief itu, berwarna hitam kusam. Relief yang bercerita tentang mutiara-mutiara dari peluh-peluh kita yang jatuh saat langit-langit merunduk malu. Juga cerita tentang tangisannya.
Tahun berapa itu? 1998? Mei? Sudah lama. Dan sayapku masih tak kujumpai. Di telingamukah, malaikatku… di sela-sela lagu tentangmu?
-cibiru, 17 maret 2002
mengenang nama-nama yang menjadi darah dan hitam di bulan mei 1998
Tembok muram itu, masih menyimpan di tiap-tiap kelupasan catnya tentang kita. Hitam, kusam, legam. Retakannya seperti aliran sungai yang membawa cerita dari hulu gelap masa silam. Tembok pasar kota. Di bawahnya masih kita lihat pecahan-pecahan kaca, kaca jendela warna gelap. Pecah oleh batu yang dulu. Batu-batu yang digenggam. Batu-batu yang dicintai. Batu-batu yang bicara. Langit-langit itu pun seperti menontonkan kembali pada kita percintaan kita. Kau memunggunginya, aku tak melihatnya. Sprei itu, entah di mana ia sekarang. Tentunya dapat kita lihat bekas-bekas kita di situ. Bekas-bekas yang menjadi jejak semestinya, mengabadikan mutiara-mutiara yang jatuh lewat peluh-peluh kita.
Berapa tahun yang lalu itu? Sudah lama. Bahkan aku telah lupa bagaimana caramu mendesahkan nafasmu di sela-sela rambutku, bagaimana caramu menelanjangiku dengan dua matamu yang mulai sayu. Kamu takut. Apa lagi aku. Tapi cinta bukan linear, sesuatu yang rasional, bulat atau lurus, katamu. Dan kita memulainya.
Waktu itu senja. sore akan berakhir, sebentar lagi. Tapi toko sudah kamu tutup. Karena pembeli semakin jarang pikirku. Tapi bukan katamu, membuka toko itu berdagang, walau tak ada pembeli. Mungkin, tapi apa? Dan kau tidak menjelaskannya, melainkan mulai menyeret tirai jendela; dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Kau letakkan gelas yang sejak tadi kau genggam. Langit-langit mulai merunduk malu melihat kita berdua di kamar ini tanpa pakaian, di toko pasar kota.
Sadarkah kamu waktu itu? Aku adalah anak tuanmu, dan kau tak lebih dari sekadar hamba bapakku. Sadarkah aku? Tidak, aku tidak sadar, (cinta tidak linear, bukan?), kesadaran adalah apa yang kita raih sama-sama waktu itu. Di bawah langit-langit, di atas sprei merah muda, yang dengan sangat sempurna direfleksikan gelas yang kau taruh di samping ranjangku. Sudah hampir malam…
Lelaki. Pekerja. Hamba bapakku. Tapi juga malaikatku, teman tidurku kalau bapakku sedang tak ada di sini, mengurusi niaganya yang semakin terlihat asing bagiku. Kau bukan hambaku karena aku adalah hambamu, yang mengagumi tiap-tiap sel yang menghimpun menjadi tubuh, dan cahaya-cahaya yang menggumpal, memancarkan sinar yang menyilaukan. Tapi kau bukan tuanku, karena pernah juga kau ciumi ujung kakiku, dan kau berlindung di kedua sayapku. Aku juga malaikatmu, katamu.
***
Lalu cerita itu dimulai, cerita tentang bagaimana kita lupa terhadap siapa kita, dan binatang macam apakah kita. Cerita yang tersusun sendiri lewat warna hitam darah. Massa. Makhluk yang berkerumun dan meneriakan kata-kata sucinya. Batu yang mengeras menjadi doa, bukan lewat tengadahan tangan, tapi lontaran.
Bapak memang sedang tak ada. Tapi, kau tidak sedang menjadi teman tidurku kala itu. Di kamar aku merajut ait mata dan merendamkan kaki ke dalam api sambil bernyanyi. Ya, aku bernyanyi. Cuma ada asap dan lagu yang kudendangkan. Lagu tentangmu. Gelas itu masih ada di atas meja samping ranjangku.
Sampai sebuah batu memecahkannya. Jendela kamarku, lalu gelasmu. Massa: Makhluk yang berkerumun dan meneriakan kata-kata sucinya. Tapi, makhluk apakah itu? Karena mereka bukan cuma memecahkan jendelaku dan gelasmu, tapi juga mematahkan sayapku dan menghentikan nyanyianku. Lagu tentangmu berhenti sebelum selesai, karena ujung kakiku, yang dulu pernah kau ciumi, dilumati mereka. Malaikatku…
Langit-langit itu tak lagi merunduk malu. Padahal aku telanjang, ditelanjangi makhluk itu. Dan perlahan kudengar ia menangis, meruntuhkan tiap meter yang melekat di wajahnya. Satu-satu.
Lelaki. Atom sebuah gumpalan. Makhluk bukan manusia, menghimpun menjadi massa. Berkerumun dan berteriak. Memecahkan jendelaku dan gelasmu. Membakar dan mematahkan sayapku. Sejenismu. Malaikatku…
Aku bernyanyi. Lagu tentangmu. Di kamar sebuah rumah sakit jiwa.
***
Tembok pasar kota. Tempat di mana sayap kita saling mengadu, saling melindungi. Menyimpan baik-baik relief itu, berwarna hitam kusam. Relief yang bercerita tentang mutiara-mutiara dari peluh-peluh kita yang jatuh saat langit-langit merunduk malu. Juga cerita tentang tangisannya.
Tahun berapa itu? 1998? Mei? Sudah lama. Dan sayapku masih tak kujumpai. Di telingamukah, malaikatku… di sela-sela lagu tentangmu?
-cibiru, 17 maret 2002
mengenang nama-nama yang menjadi darah dan hitam di bulan mei 1998
02 Mei 2003
Dan Tuhanpun Menangis
Kabarnya ada tangis yang berlari-lari, berlomba-lomba mengejar pantai
dan angin tertunduk lesu, bisikkan derita pada camar yang lupa akan sarang.
Saat nyiur meronta-ronta, jejak-jejak kian tersapu,
menelan cerita yang tak pernah lapang
Kabarnya ada tangis yang menari-nari, di antara bulir-bulir padi kosong
Perih kian bunting bersama waktu menguning
Saat hari meratapi diri, angin teduh menyapa, menjilati tetes-tetes keringat
terlukislah peta harta karun pada tengkuk terbakar
Kabarnya ada tangis yang menderu-deru,
pecah terluka meluncur di lereng-lereng curam
Sementara awan-awan memberi jubahnya, petir tak kalah histeris
Ohh….. tangisku bukan lagi sendiri menggapai-gapai langit
Di ketinggian hati, aku mendengar ratapMu,
saat menatap dinding hati terlukis sejuta luka
Di sini dalam kapal tua Nuh,
aku menggiring berjuta pasang resah dan turunannya
menunggu masa saat karamkan di lautan tangisMu
Kabarnya ada tangis yang berlari-lari, berlomba-lomba mengejar pantai
dan angin tertunduk lesu, bisikkan derita pada camar yang lupa akan sarang.
Saat nyiur meronta-ronta, jejak-jejak kian tersapu,
menelan cerita yang tak pernah lapang
Kabarnya ada tangis yang menari-nari, di antara bulir-bulir padi kosong
Perih kian bunting bersama waktu menguning
Saat hari meratapi diri, angin teduh menyapa, menjilati tetes-tetes keringat
terlukislah peta harta karun pada tengkuk terbakar
Kabarnya ada tangis yang menderu-deru,
pecah terluka meluncur di lereng-lereng curam
Sementara awan-awan memberi jubahnya, petir tak kalah histeris
Ohh….. tangisku bukan lagi sendiri menggapai-gapai langit
Di ketinggian hati, aku mendengar ratapMu,
saat menatap dinding hati terlukis sejuta luka
Di sini dalam kapal tua Nuh,
aku menggiring berjuta pasang resah dan turunannya
menunggu masa saat karamkan di lautan tangisMu
Ya Abba
Katanya, dentang malam itu hanya satu
sepi doa yang membauinya
: “Ya Abba, jangan biarkan aku mati dalam mimpi.”
Dan berangkatlah imaji liar berkenderaan hitam
lalui lorong sejuta titik-titik entah berdimensi apa
Kabarnya, dentang malam itu tak lagi satu
saat ada aku, dia dan dia.
Layarnya tak mengucap kata, larut dalam garis-garis yang saling menenun diri.
Kala aku, dia dan dia berlakon pudar, rindu memberi bingkai.
Nyanyian sunyi melepaskan tawanannya,
senyum yang hadir titipan tawa lalu.
Nyatanya, kini malam tak lagi berdentang,
saat pagi berbisik di telinga
Getar bibir mengucap bait-bait
: “Ya Abba, biarlah aku mati di dalam mimpi. Saat sadar di mimpi pun aku kalah, cemburu pada mereka yang berpagutan. Aku resah di dua sisi”
Katanya, dentang malam itu hanya satu
sepi doa yang membauinya
: “Ya Abba, jangan biarkan aku mati dalam mimpi.”
Dan berangkatlah imaji liar berkenderaan hitam
lalui lorong sejuta titik-titik entah berdimensi apa
Kabarnya, dentang malam itu tak lagi satu
saat ada aku, dia dan dia.
Layarnya tak mengucap kata, larut dalam garis-garis yang saling menenun diri.
Kala aku, dia dan dia berlakon pudar, rindu memberi bingkai.
Nyanyian sunyi melepaskan tawanannya,
senyum yang hadir titipan tawa lalu.
Nyatanya, kini malam tak lagi berdentang,
saat pagi berbisik di telinga
Getar bibir mengucap bait-bait
: “Ya Abba, biarlah aku mati di dalam mimpi. Saat sadar di mimpi pun aku kalah, cemburu pada mereka yang berpagutan. Aku resah di dua sisi”
Langganan:
Postingan (Atom)