Wanita yang Bercinta dengan Iblis
-cerpen Eka Kurniawan
SUATU pagi, Alamanda mendapati seluruh tubuhnya hancur-lebur. Ia berbaring di atas tempat tidurnya tak berdaya, lusuh seperti celemek, kusut seperti lap. Ia melihat tiada apa pun; gelap dan hitam. Samar-samar terdengar olehnya suara ricau burung gereja, alunan musik senam pagi di kejauhan, dan mesin-mesin kendaraan di jalan. Ia mencoba bangun, namun tubuhnya yang serasa tercecer-cecer tak mampu ia bangkitkan. Ia membayangkan tubuhnya seperti puding yang ia tumpahkan tempo hari.Apa yang ia takutkan adalah jika ia melakukan kebodohan itu lagi: bercinta dengan iblis terkutuk itu. Selalu begitu selepas bercinta dengan si iblis, sebagaimana ia pernah melakukannya selama bertahun-tahun. Tapi bukankah iblis itu telah ia hempaskan, dihempaskan sampai ke dasar neraka, sehingga kini ia hanya merenungi hari tuanya yang sakit-sakitan, ataukah ia telah bangkit kembali dan dengan segala kekuasaannya mencoba membujuknya kembali untuk bercinta?
Tapi sang iblis sudah impoten dan ia layak dibuang. Memang si iblis tak menerima kenyataan bahwa ia impoten, sehingga ia marah sejadi-jadinya, membunuh seratus manusia di seratus kota, membakar seratus gedung di seratus pelosok dan membayar orang memperkosa seratus wanita di seratus rumah. Lantas dengan siapakah ia telah bercinta sehingga tubuhnya hancur-lebur seperti puding yang ia tumpahkan tempo hari-jika sang iblis tak mampu melakukannya lagi?
IA lahir ketika bunga-bunga bermekaran, lebah hilir-mudik berebut bersama kupu-kupu. Aroma mawar, anggrek, melati menyelimuti rumah tempat ia tumpah ke dunia. Pagi yang cantik, dan ia ditakdirkan untuk menjadi wanita cantik, secantik para bidadari yang turun dari langit meluncur dari pelangi yang melengkung meluncur ke bumi.
Tapi seekor bangkai tikus mengganggu pagi yang indah, membuat panik sang nenek yang menjerit menjadi gila. Ramalan busuk keluar dari mulutnya: "Ia akan jadi wanita tercantik di dunia, tapi iblis akan selalu bersamanya."
Mungkin iblis itulah yang mendorong Bibi merampas si gadis kecil dari rumahnya. "Karena kau aset yang baik untuk melunasi hutang ayahmu," kata si Bibi. "Dua ratus enam puluh empat juta lima ratus lima puluh ribu jumlahnya. Kalau sudah lunas kau akan kukembalikan."
Ia tinggal di rumah pelacuran Bibi sampai suatu hari seorang Paman membeli keperawanannya. Lima puluh juta dan sebuah cincin kawin seharga dua juta lima ratus ribu. Bibi berkata padanya di pagi hari yang hancur-lebur itu, "Hutangmu tinggal dua ratus dua belas juta lima puluh ribu."
PAMAN itu ternyata seorang duda, seorang mata keranjang, politikus cabul, tapi banyak uang. Ia suka pada Alamanda, mendatanginya hampir tiap hari, mengeluarkan uang dari kantungnya untuk bercinta dengannya. "Kecantikanmu memabukkanku," katanya suatu ketika. Dan di tengah-tengah keadaan mabuk karena anggur, ia bertanya, "Maukah kau jadi istriku?"
Alamanda tak pernah benar-benar menyukai si Paman. Ia selalu teringat pada dongeng tentang ramalan busuk neneknya. Ia selalu membayangkan bahwa si Paman adalah iblis itu sendiri. Tapi membayangkan bahwa hanya si paman yang banyak uang inilah yang bisa mengeluarkan dia dari rumah pelacuran Bibi, Alamanda akhirnya berkata:
"Kau harus membayar sisa hutang ayahku pada Bibi jika kau menginginkan aku."
"Berapa?"
Ada corat-coret di dinding, berisi deretan angka. Alamanda selalu menjumlahkan setiap uang yang dihasilkan tubuhnya, untuk memastikan bahwa suatu waktu, mungkin beberapa tahun yang akan datang, hutang ayahnya akan lunas. Pada si Paman ia menunjuk angka-angka tersebut.
"Baiklah," kata si Paman mabuk. "Kau cukup untuk dibayar sebanyak itu. Besok kita kawin."
IA kawin. Ia bukan pelacur lagi. Ia menjadi seorang wanita bersuami, meskipun suaminya mata keranjang dan tidur dengan selusin wanita lain. Ia melalui hari-hari pertama perkawinannya dengan menyenangkan, meskipun tetangga kiri-kanan mencibir sang bekas pelacur. Ia membersihkan rumah, menyiapkan makan, dan pada akhirnya ia memberi anak-anak yang sehat untuk sang Paman, sebagaimana wanita-wanita yang lain juga memberi anak untuk laki-laki yang sama.
Paman sangat menyanjung kecantikannya. Ia sering dibawanya ke pesta, tamasya, dan diperkenalkan pada seluruh sahabat dan musuhnya. Entah apa yang dilakukan Paman, ia punya banyak sahabat sebanyak musuhnya. Hingga pada suatu hari, khawatir dengan keselamatan istrinya yang cantik, Paman menyewa Tukang Pukul untuk menjaga rumah dan istrinya.
Tukang Pukul datang pada hari Rabu, pendek gemuk, tapi banyak membual. Saat itu Paman pulang malam, langsung berbaring di sampingnya. Pada hari Kamis pagi Alamanda memperoleh pengalaman pertama yang mengerikan itu. Ia terbangun dengan badan hancur-lebur seperti puding tumpah di lantai. Ia melihat tak suatu apa. Ia selalu hancur-lebur selepas bercinta, tetapi tak sehancur-lebur seperti hari Kamis pagi itu.
Perlahan-lahan ia mencoba mengingat-ingat apakah ia dan Paman tadi malam bercinta; rasanya tidak. Lama keadaan tak menentu itu terjadi, hingga ia mulai melihat keremangan kamar. Suara burung gereja berceracau, mesin mobil di jalanan. Angin menerobos jendela, menelusuri kulit-kulit tubuhnya. Ia sadar, ia telanjang. Jadi dengan siapa ia bercinta semalam?
Hal pertama yang ia lihat adalah tubuh Paman. Terbujur kaku dengan darah lengket di pakaiannya. Ia mati dengan sebuah belati masih menancap di dadanya. Di samping tempat tidur berdiri si Tukang Pukul dengan senyumnya yang memuakkan. Setengah telanjang. Alamanda hendak berteriak. Namun ia melihat dua buah tanduk di kepalanya. Untuk pertama kali ia melihat iblis yang disebut neneknya.
BERTAHUN-tahun ia hidup dan bercinta dengan si Tukang Pukul, mengalami horor di setiap pagi, dan kengerian melihat tanduk di kepala si iblis sejenak setelah mereka bercinta. Alamanda tak begitu mencintai si Paman, ia jauh tidak mencintai si Tukang Pukul, tapi nasib membuatnya harus hidup bersama si tukang jagal itu.
Sebagaimana pada si Paman, Alamanda memberi si Tukang Pukul anak-anak yang sehat, tampan dan cantik. Tahun berganti dan ia semakin tua, namun kecantikannya semakin mempesona, seolah itu merupakan kutukan abadi. Si Tukang Pukul tahu bagaimana memanfaatkan kecantikan itu. Dibiarkannya Alamanda disentuh, ditiduri, dan dikencani siapa pun yang mau, asal ada uang untuk keluarganya yang tampak menyenangkan. Alamanda menjadi seorang istri sekaligus seorang pelacur; dengan cara itulah mereka hidup.
Jika malam-malam datang dengan bintang-bintangnya yang menyedihkan, adakalanya Alamanda menangisi nasibnya yang buruk. Hidup dengan sang iblis jauh lebih buruk daripada hidup bersama si Paman, bahkan hidup bersama Bibi di rumah pelacuran. Ia tak bahagia dengan kemewahan yang dihisap dari tubuhnya, dan jika ia ingat kepada Tuhan, ia akan berdoa:
"Berilah aku kesempatan bercinta dengan orang yang aku inginkan sendiri."
Tahun berganti tahun dan ia belum juga diberi kesempatan untuk bercinta dengan orang yang ia inginkan sendiri. Lebih dari itu, si Tukang Pukul berlaku semakin keji. Tak hanya ia, istrinya, yang dijadikan teman tidur sahabat-sahabat kayanya, namun juga anak-anak gadisnya, baik anaknya dari si Paman maupun anaknya dari si Tukang Pukul sendiri. Dan anak-anak laki-lakinya, diperas siang malam bekerja untuk hidup royal ayah mereka.
Anak-anak itu berontak, dan di suatu malam mereka menemui Alamanda dan berkata, "Ibu, sebaiknya si Tukang Pukul itu kita campakkan ke Panti Jompo."
PAK Guru, yang seminggu sekali memberi les untuk anak-anaknya; Juru Masak, yang menyediakan makanan setelah Alamanda terlalu sibuk bekerja di atas tempat tidur; dan Tukang Kebun yang mengurus taman mawar dan anggrek dan melati kegemaran Alamanda, bersepakat dengan anak-anaknya untuk menyelematkan dirinya dari cengkraman jahat si Tukang Pukul.
"Kita masukkan ia ke panti jompo," kata si anak gadis sulungnya.
"Setelah itu kita ambil kembali uang yang ia peras dari kita," adik si sulung menambahkan.
Dan Pak Guru tak ketinggalan, "Kami akan membantu kau menemukan laki-laki yang kau sukai sendiri untuk tidur bersamamu."
"Kita cari laki-laki seperti itu dari seluruh pelosok negeri," kata si Tukang Kebun.
"Sekarang mari kita seret si Tukang Pukul itu ke panti jompo. Tubuhnya telah renta dan sakit-sakitan, ia tak akan banyak memberontak."
Alamanda terlalu sedih untuk merenungu nasibnya yang buruk, sehingga ia hanya membiarkan saja suaminya yang telah tua renta dimakan waktu diseret ke panti jompo oleh anak-anak dan pembantu-pembantunya sendiri. Namun tak semudah itu melepaskan diri dari cengkraman si iblis. Pada malam ketika suaminya dibawa ke panti jompo, seorang Profesor pikun datang ke rumah, berkata bahwa si Tukang Pukul masih berhutang kepadanya dan karena itu ia menuntut untuk tidur dengan Alamanda selama satu tahun penuh.
Waktu itu ia berumur lima puluh tiga tahun, merasa semakin tua dan semakin bau kematian meskipun kecantikan selalu menguntit di wajahnya. Karena itulah ketika di akhir kencannya yang singkat dengan si Profesor dan si Profesor bertanya apa yang ia inginkan, dengan serta merta Alamanda berkata:
"Jika tidak bisa kawin, setidaknya aku ingin tidur dengan laki-laki yang aku inginkan sendiri."
"Baiklah, Cantik."
Bersama Pak Guru, Juru Masak dan si Tukang Kebun, sang Profesor kemudian mengadakan sayembara ke seluruh negeri mencari laki-laki teman tidur si wanita tercantik di dunia. Negeri yang selama bertahun-tahun hidup membesonkan serta-merta bergelora menyambut sayembara tersebut. Laki-laki dari seluruh pelosok negeri datang melamar, tak ketinggalan Pak Guru, Juru Masak, si Tukang Kebun dan sang Profesor sendiri ikut melamar. Mereka berjanji, jika mereka diberi kesematan, mereka akan memberi Alamanda kebahagiaan sejati. Dan kepada anak-anaknya, dalam rangka mencari dukungan penuh, mereka berjanji untuk merampas kembali harta kekayaan si Tukang Pukul di panti jompo demi kesejahteraan keluarga selama tujuh turunan.
Anak-anak itu mulai bertengkar. Anak-anak pintar mendukung Pak Guru, anak-anak doyan makan mendukung Juru Masak, yang hanya suka main-main mendukung Tukang Kebun. Sang Profesor didukung anak-anaknya yang rada idiot.
Tapi Alamanda memilih seorang Kakek Tua dari negeri antah-berantah. Kakek Tua itu sudah begitu tuanya, sehingga ia tak bisa berbuat apa-apa sebagai seorang laki-laki di hadapan seorang wanita tercantik di dunia. Tapi Alamanda bahagia karena untuk pertama kali ia boleh memilih laki-laki yang disukainya. Sang Profesor kabur karena kecewa, tiga yang lainnya tetap mengabdi di rumah itu.
APAKAH iblis itu kembali dari panti jompo? Bukankah ia sudah tak mampu lagi bercinta dengannya? Dan Kakek Tua itu? Ia bahkan tak bisa membedakan wanita cantik dan wanita buruk rupa. Jadi siapa yang telah bercinta dengannya sehingga di pagi itu Alamanda merasa tubuhnya hancur-lebur seperti puding yang ia jatuhkan tempo hari? Alamanda merasa telah jadi wanita yang paling penuh noda.
Mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaannya, perlahan-lahan ia mulai bisa melihat keremangan ruangan kamar. Suara burung gereja dan mesin kendaraan di jalan mengiang. Angin mengelus tubuh telanjangnya dari jendela. Dengan siapa ia telah bercinta? Ia melihat Kakek Tua itu duduk di kursi goyangnya di pojok kamar: termangu-mangu setengah ngantuk. Kakek Tua sudah tak mengenal apa yang disebut birahi. Lalu Alamanda menoleh dan melihat siapa yang telah membuatnya merasa kembali ternoda. Mereka! Orang-orang yang pura-pura mengabdi pada si kakek Tua! Terkutuklah Mereka!
Pak Guru, Juru Masak dan Tukang Kebun berdiri di tepi tempat tidur setengah telanjang. Tertawa satu sama lain. Di kepala mereka tumbuh tanduk-tanduk menjijikkan.
Dan setengah berteriak karena marah, sambil menangis meratapi nasib, Alamanda bertanya kepada Tuhan, "Apakah semua laki-laki di negeri ini adalah iblis?" *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar