obituari sunyi
sebuah catatan perjalanan di malam buta
:I O T
"Kenapa, Cintaku, ketika kau-aku bersekutu
yang lahir justru benih-benih seteru"
(Sitok Srengenge, Gurit Rindu Dendam)
siapa sangka pada akhirnya begini. suatu malam, saya
bayangkan saya di sampingmu, barangkali agak lelah,
berjalan kaki di malam yang dingin, di sebuah pinggir
kota tanpa tuan, mencari entah apa.
setumpuk puisi pernah menikam saya pelan-pelan. iseng
sendiri, saya putuskan memulai sebuah perjalanan. tak
satu pun yang saya bawa, kecuali seikat dendam pada
diri sendiri. dendam batu dari hati yang membatu.
malam itu, beberapa menit sebelumnya, ada semacam
kemewahan luar biasa yang menghinggapi
punggung-punggung saya (kamu tahu jumlah punggung
saya?). mirip seikat bunga yang dulu pernah kau
letakkan begitu saja di depan pintu kamar saya, katak
bersuara berlomba, jangkrik, meski sesekali diam,
sempat mengejek saya, menyeret seenaknya ingatan saya
menujumu.
ada yang lupa dari pembentukan kota-kota, ternyata.
seperti ada yang lupa hendak kemana perjalanan
diakhiri. apakah yang membuat kita --kamu dan saya--
lupa kalau dingin adalah hal biasa di kota ini, tapi
mengapa justeru malam ini baru kita rasakan benar
betapa dinginnya malam di sini. dingin seperti kalimat
yang dilepaskan ibu-ibu kita saat kepergian kita.
sebuah perjalanan, adakah ia mewajibkan akhir?
semalam, beberapa perhentian sengaja saya lewati. juga
malam ini: saya ingin liar, dan di tangan minuman
keras belum lagi habis. biar, sampai puas ingin saya
susun keping diri di pinggir jalan ini. adakah dengan
begitu kamu mengerti? bahwa perjalanan adalah
keniscayaan, dan dendam adalah sesuatu yang alamiah,
yang natural dan begitu sempurna? rasanya tak ada yang
sempurna selain dendam yang membatu.
siapa sangka pada akhirnya begini. sekian dosa, sekian
durhaka, sekian amarah dan tatap mata nyalang, belum
cukup untuk membuatmu, sekali saja, melihat saya di
sini, mengurai-urai waktu, menyusun keping diri. tak
ada, jika bisa, niscaya saya buat dosa terbesar
padamu, sekadar untuk menggores tubuhmu dan jiwamu,
meninggalkan bekas untuk kau kenang segenap kebodohan
saya.
juga catatan ini. catatan rapuh yang melulu hampa.
biar bulan menetes di langit kamarmu, membentuk
genangan darah bertuliskan nama saya, dan teman saya,
yang dengannya seteru begitu indah dan dosa sesuatu
yang lumrah.
karena dia, juga karena kamu, perjalanan ini begitu
penuh dendam, penuh dosa, dan begitu sempurna.
terima kasih membuat saya menjadi manusia. jangan buat
lagi perhentian buat saya....
23 februari 2003
imam gumam dosa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar