PEREMPUAN YANG SELALU MENGIRIMIKU HUJAN
Oleh : Puthut E.A.
“ Setiap kali engkau mencium bau bunga melati, dan tiba-tiba udara menjadi sangat dingin, lalu bulu kudukmu meremang, segala ruang yang kau tempati pasti akan sunyi, saat seperti itulah, sayang, telah kukirim kepadamu hujan. Dari bunyi jatuhnya air, engkau tahu, bahwa itu bukan sembarang hujan. Lebih menyerupai musik yang menyayat hati. Hujan yang senantiasa kukirim kepadamu, adalah hujan dari ketidakpastian. Sehingga aku memutuskan untuk pergi masuk ke jantung angin. Kalau engkau cukup terganggu dengan itu, maafkanlah aku.”
***
Perang belum juga usai. Sementara sekujur tubuhku terus dibiasakan dengan sekerat roti, tidur yang hanya beberapa jam, briefing yang lama dengan peta dan penempatan pasukan serta tembakan yang membabi buta. Membersihkan senapan sembari menghisap cerutu, mencuri kambing, ayam atau babi milik penduduk sedemikian menyatu dalam hisapan nafasku. Perang tak juga usai. Kematian demi kematian, baik dari pihak musuh maupun anggota pasukan kami terus saja terjadi. Menambah daftar panjang mimpi-mimpi buruk ketika terlelap hanya dalam beberapa jam.
Terkadang aku sempat berpikir mengapa harus ada sesuatu yang dipertaruhkan dengan nyawa. Dengan kehidupan yang mungkin hanya sekali terjadi. Begitu mahalkah sebuah keyakinan? Sesuatu yang patut juga diragukan, apakah itu hanya cekokan yang dilakukan terus-menerus sehingga menggumpal, berkristal, dan kita bersiap sedia melakukan apa saja demi keyakinan yang patut dibela mati-matian. Lagu-lagu patriotisme, kejantanan, keberanian terus digelorakan sebagai tonikum yang senantiasa memompa semangat berperang kami. Semangat untuk memusnahkan yang lain.
Pasukan kami tinggal setengah dari jumlah ketika diberangkatkan dan dilepas oleh Jendral Besar kami. Aku adalah anggota yang paling muda, sekaligus juga anggota yang paling minim pengalaman tentang perang. Dan sejujurnya mungkin aku adalah orang yang paling penakut di antara anggota pasukan kami. Sesungguhnya aku malu untuk mengatakan, bahwa selama tujuh kali kami berhadapan dengan pihak musuh, tak seorangpun yang berhasil kulukai.
Tetapi bukan berarti aku adalah orang yang dipandang sebelah mata oleh anggota pasukan yang lain, sebab aku mempunyai beberapa kelebihan yang mereka butuhkan. pertama, aku mempunyai keahlian membaca peta. Kedua, secara kebetulan aku pernah belajar ilmu medis, walaupun di pasukan kami ada dua pakar medis, tetapi itu jauh dari mencukupi. Dan yang ketiga, aku pandai memainkan harmonika.
Sejak kecil memang cita-citaku ingin menjadi tentara, tetapi bukan menjadi seorang pembunuh. Bagiku yang menarik dari tentara adalah seragamnya. Itu saja! Entah mengapa hanya seragam tentaralah yang menghipnotis seluruh pikiranku ketika aku tahu betapa tidak mungkinnya aku mempunyai sayap seperti yang digambarkan pada malaikat.
Ternyata kenyataan menyeretku lebih jauh ketika aku berhasil menjadi seorang tentara: perang!
Apa yang menarik dari sebuah peperangan? Bagiku bermain catur atau petak umpet lebih menggairahkan. Di dunia ini sesuatu yang kalah dan menang memang menjadi warna kehidupan yang sangat dibutuhkan. Namun bukan berarti harus berakhir dengan tidak bisa memainkan kembali permainan itu jika kita kalah. Itulah bedanya perang dengan permainan catur maupun petak umpet. Jika kita kalah bermain catur atau kalah bermain petak umpet, kita bisa mencoba dan mencoba lagi untuk kemudian menang. Tetapi jika perang? Sekali kita mati terbunuh, kita tidak bisa lagi memainkannya. Jika ada anggota pasukan kita yang akan terus memainkannya, itu lain soal. Kita yang mati, tidak bisa menikmatinya. Aku memang tentara yang brengsek, tetapi bukan berarti aku manusia yang brengsek.
***
Ini adalah hari ke-empatpuluh lima, artinya kami tinggal punya waktu sepuluh hari lagi untuk menghancurkan pasukan musuh. Kabar terakhir, pihak pusat telah mengirim satu regu pasukan elit untuk menambah kekuatan kami. Dan aku tidak peduli. Satu batalyon pun yang akan dikirim untuk membantu kami, itu tidak membuatku semakin bersemangat untuk memenangkan pertempuran.
Hari ini aku mendapat perintah bersama duapuluh anggota pasukan yang lain untuk melakukan operasi pembersihan di sebuah perkampungan yang diduga selalu menyuplai bahan makanan bagi pasukan musuh. Yang itu artinya kami juga harus membawa—lebih tepatnya merampas—bahan makanan dari perkampungan tersebut. Sialnya, dalam operasi kecil ini, akulah yang ditunjuk sebagai pimpinan operasinya. Bagi anggota lain yang ditugaskan dalam misi ini tentu merupakan sebuah anugerah; sebuah kesempatan untuk melampiaskan nafsu seks mereka.
Malam ini, seusai memimpin rapat operasi yang akan kami jalankan esok fajar, aku berbaring mencoba tidur. Begitu sulit. Hanya sebentar terlelap dan aku bermimpi mendapat sepasang sayap untuk terbang.
***
Perkampungan itu kurang lebih terdiri dari limapuluh rumah. Seperti serigala kelaparan kami datang dengan semangat kelaparan, haus darah. Keberingasan yang terbawa dari sesuatu yang telah lama menumpuk, menggumpal dan mengkristal. Jalang tak terkendali. Sesungguhnya saat-saat seperti ini kepemimpinan tidak begitu banyak berfungsi.
Seluruh penduduk kami kumpulkan di sebuah tempat yang agak lapang. Pukulan, tendangan, umpatan dan tembakan gertakan ke udara menjadi musik pengiringnya. Wajah dan tubuh mereka menyatu dengan tanah. Beberapa di antaranya memandang kami dengan keberanian. Sorot matanya menyimpan kebencian yang sedemikian puak. Orang-orang dengan sorot tajam seperti inilah yang paling banyak mendapat siksaan.
Tiba-tiba ada sesuatu di dalam diriku yang membuatku beranjak menuju ke sebuah rumah. Ternyata benar, di dalamnya seorang perempuan sedang berontak terhadap salah seorang anggota kami yang hendak memperkosanya. Dengan perasaan tak karuan aku seret laki-laki itu, dan kuperingatkan bahwa akulah pemimpin mereka saat ini. Ia memandangku dengan kemarahan yang memerah bersama berahi yang tak terlampiaskan. Ia berusaha mencoba melampiaskan kemarahannya dengan sebuah tamparan di muka wanita itu. Namun sebelum terjadi, dengan cepat kutangkap tangannya dan kutodongkan senapanku persis pada jidatnya. Lalu aku suruh ia cepat menuju tanah lapang, dimana anggota pasukan yang lain berkumpul bersama penduduk di kampung ini.
Kudekati perempuan yang menggigil itu. Ia cepat beringsut sambil menutupi bagian dadanya yang robek-robek. Kuambil sebuah gaun yang ada di kursi lalu kulemparkan ke arahnya. Entah mengapa ketika kupandang wajahnya, terlintas mimpiku semalam tentang sepasang sayap. “Pergilah kemanapun engkau mau!” Lalu kutinggalkan dia dengan tetap membawa bayangan yang berganti-ganti antara paras perempuan itu dan sepasang sayap dalam mimpiku.
Aku segera menuju ke tanah lapang dimana para penduduk berkumpul dengan kepungan para anggota yang kupimpin untuk melaksanakan operasi ini. Namun, ya Tuhan, sesampai di sana, aku sudah mendapatkan banyak orang yang ditusuk dengan sangkur dan beberapa anggota pasukan yang lain sedang menindih perempuan-perempuan dengan tak memperdulikan keadaan sekelilingnya.
Aku berteriak sekuat tenaga, sambil menembak membabi buta ke arah udara. Dunia berubah menjadi hitam dan berkelebat bayang-bayang sepasang sayap yang sobek tercabik-cabik.
***
Aku dikeluarkan dari dinas militer dengan tidak terhormat, dipulangkan dan dinyatakan mengidap penyakit gangguan jiwa. Kini aku tinggal di sebuah pedesaan tempat kelahiranku dulu. Setiap hari kerjaku hanyalah menanam dan merawat bunga. Sesekali membantu ayahku di perkebunan kopinya atau menghabiskan waktu berjam-jam untuk memberi makan ikan di empang.
Keluargaku menjauhkanku dari koran, televisi, radio maupun perbincangan yang mengarah pada satu hal: perang! Namun mereka tidak bisa menguasai mimpi-mimpiku tentang perang, perempuan-perempuan yang diperkosa, perempuan yang kusuruh pergi ataupun sepasang sayap yang robek tercabik-cabik.
Satu lagi yang kemudian sering menggangguku, aku merasa perempuan yang kusuruh pergi itu telah meninggalkan tatapan mata yang semakin menggetarkan bersama tubuhnya yang menggigil. Sebuah tatapan di perbatasan antara kebencian dan rasa berterimakasih. Dan bayangan wajahnya sering muncul bukan hanya di mimpi, namun juga pada atap kamar, bunga-bunga, air empang dan lembah yang sering kupandang.
Entah mengapa pula akhir-akhir ini ia semakin kurasakan dekat sekali denganku, bersama angin yang membawa semerbak bunga melati yang kutanam, bersama bau bunga kopi dan genericik angin di empang. Sepertinya ia berusaha mengajakku bercakap-cakap, yang terkadang begitu mesra namun terkadang kurasakan sebagai sebuah gugatan. Awalnya aku berusaha menghindari itu dengan semakin memperbanyak minum obat penenang. Tetapi tetap saja ia mendekat, semakin mendekat dan bahkan hampir tiap malam mendatangiku lewat mimpi.
Akhirnya kuputuskan untuk menyapanya dalam mimpiku. Aku mencoba meminta maaf darinya, dan setiap kali itu kukatakan, tiba-tiba ia melenyap berganti sepasang sayap yang robek dan tercabik-cabik. Aku berusaha mengejarnya, mencarinya dalam mimpiku. Sedang yang kudapati adalah malam menjelang pagi dengan keringat di sekujur tubuhku.
Suatu saat dalam mimpiku, ia tersenyum sambil membentangkan tangannya dengan memakai gaun yang kulemparkan padanya. Ia seperti mengucapkan sesuatu. Namun aku tak dapat menangkap sepatah katapun. Jika aku berusaha mendekatinya untuk mendengar apa yang ia katakan, ia menjauh sambil memberi isyarat supaya aku tidak mendekatinya. Namun pada kali yang lain, ia datang dengan pakaian bagian dada yang robek-robek, matanya jalang memerah menatapku. Pada saat seperti itu, aku yang menggigil, mencoba menjauhinya. Dan kini ia yang berusaha mendekatiku. Aku menjauh sambil terus menatapnya serta memberi isyarat supaya jangan mendekatiku. Ia semakin mendekat, dan ketika hampir menyentuhku, ia lenyap lagi.
Beberapa hari ini aku bermimpi dalam hujan yang sangat deras. Hujan yang sangat berbeda dengan hujan pada alam nyata. Hujan yang bersidekap dengan kesunyian yang sangat temaram. Bunyi jatuhnya air menusuk begitu dalam mencoba menggantikan detak jantungku. Belum lagi aroma melati yang menyengat. Hujan yang tidak datang dari langit. Ia jatuh dari sepasang sayap yang robek dan tercabik-cabik.
Aku sangat lelah dengan mimpi-mimpiku. Sialnya, ternyata aku tidak bisa terus terjaga. Seakan-akan ada keharusan untukku pada hidup yang sial ini untuk tidur tepat waktu, dan hanya untuk diganggu mimpi-mimpi yang melelahkan. Dalam kesunyian hidup dan penderitaanku, mengapa masa lalu masih terus mengejarku tanpa pernah memberiku kesempatan untuk membela diri. Atau sekedar mempertanyakan sampai kapan kutukan ini berakhir.
Aku semakin merasa terganggu ketika bunga-bunga, khususnya bunga melati yang kutanam, kucabuti dan kubakar, ternyata esok harinya masih ada, dan menebar wangi yang semakin menikam. Ketika kutanya pada keluargaku, siapa yang menanam bunga-bunga melati yang telah kucabuti dan kubakar, mereka justru memandangku dengan penuh keheranan. Sebab kata mereka, setiap pagi aku merawat dan menyirami bunga-bunga melati itu. O, Tuhan!
Malam ini aku masih bermimpi tentang hujan yang sialan, namun kali ini perempuan itu hadir bersama hujan . Ia melambaikan tangannya. Dengan pelan aku mendekatinya, dan ia tidak menjauh. Seperti biasanya ia mengatakan sesuatu yang tak bisa kudengar, lalu aku semakin mendekat. Sayup-sayup aku mulai mendengar suaranya. Dan yang bisa kutangkap sebelum ia menghilang bersama lenyapnya hujan adalah, “Hujan yang senantiasa kukirim kepadamu, adalah hujan dari ketidakpastian, kalau engkau cukup terganggu dengan itu, maafkanlah aku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar