met ultah buat butre:)))
sitenya juga makin keren euy, truz nulis yah:))
28 Februari 2002
ribuan sejarah menentes
dipanasi bulan dibalik awan
bercampur dengan air mancur
dari hati yang berlubang
kenapa kau tombak aku
tepat di dada
terpancang pada dinding waktu
terjala jaring kata
dan kini aku sekarat
di atas matahari barat
tarik nafas yang satu satu
dari atmosfir milikmu
tengkorak berderak derak
didesak kepompong masak
dari ulat mulutmu
saat kau beri aku ciuman rindu
berhenti saja berdetak
darahku teracun biru
gigitan rentang waktu
aku ingin kaku beku.
terlalu, kamu ....
dipanasi bulan dibalik awan
bercampur dengan air mancur
dari hati yang berlubang
kenapa kau tombak aku
tepat di dada
terpancang pada dinding waktu
terjala jaring kata
dan kini aku sekarat
di atas matahari barat
tarik nafas yang satu satu
dari atmosfir milikmu
tengkorak berderak derak
didesak kepompong masak
dari ulat mulutmu
saat kau beri aku ciuman rindu
berhenti saja berdetak
darahku teracun biru
gigitan rentang waktu
aku ingin kaku beku.
terlalu, kamu ....
27 Februari 2002
Soneta XVII
aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar atau batu topaz
atau panah anyelir yang menyalakan api
aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai
secara rahasia, diantara bayangan dan jiwa
aku mencintaimu seperti tumbuhan yang tak pernah mekar
tetapi membawa dirinya sendiri cahaya dari bunga-bunga yang tersembunyi
terimakasih untuk cintamu suatu wewangian padat
bermunculan dari dalam tanah, hidup secara gelap di dalam tubuhku
aku mencintaimu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau darimana
aku mencintaimu lurus, tanpa macam-macam tanpa kebanggaan
demikianlah aku mencintaimu karena aku tak tahu cara lainnya
beginilah: dimana aku tiada, juga kau
begitu dekat sehingga tanganmu di dadaku adalah tanganku
begitu dekat sehingga ketika matamu terpejam akupun jatuh tertidur
-Pablo Neruda
nb: udah lama gak ber-neruda ria:) met baca terjemahan gue, yg pernah diposting disin dolo banget.
aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar atau batu topaz
atau panah anyelir yang menyalakan api
aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai
secara rahasia, diantara bayangan dan jiwa
aku mencintaimu seperti tumbuhan yang tak pernah mekar
tetapi membawa dirinya sendiri cahaya dari bunga-bunga yang tersembunyi
terimakasih untuk cintamu suatu wewangian padat
bermunculan dari dalam tanah, hidup secara gelap di dalam tubuhku
aku mencintaimu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau darimana
aku mencintaimu lurus, tanpa macam-macam tanpa kebanggaan
demikianlah aku mencintaimu karena aku tak tahu cara lainnya
beginilah: dimana aku tiada, juga kau
begitu dekat sehingga tanganmu di dadaku adalah tanganku
begitu dekat sehingga ketika matamu terpejam akupun jatuh tertidur
-Pablo Neruda
nb: udah lama gak ber-neruda ria:) met baca terjemahan gue, yg pernah diposting disin dolo banget.
Aku Ingin Bersama Selamanya
Ketika tunas ini tumbuh
Serupa tubuh yang mengakar
Satu nafas terhembus adalah kata,
Angan, debur, dan emosi tercampur
Dalam jubah terpautan
Tangan kita terikat....
Bibir kita menyatu...
Maka setiap apa yang terucap
Adalah sabda pendita Ratu
Di luar itu pasir...
Di luar itu debu...
Hanya pasir meniup saja lalu hilang
Terbang tak ada
Tapi kita tetap menari,
Tarian cuma kita yang tahu
Jiwa ini adalah tandu...
Duduk saja...maka akan kita bawa semua...
Karena kita adalah satu
(Puisi Cinta)
Ketika tunas ini tumbuh
Serupa tubuh yang mengakar
Satu nafas terhembus adalah kata,
Angan, debur, dan emosi tercampur
Dalam jubah terpautan
Tangan kita terikat....
Bibir kita menyatu...
Maka setiap apa yang terucap
Adalah sabda pendita Ratu
Di luar itu pasir...
Di luar itu debu...
Hanya pasir meniup saja lalu hilang
Terbang tak ada
Tapi kita tetap menari,
Tarian cuma kita yang tahu
Jiwa ini adalah tandu...
Duduk saja...maka akan kita bawa semua...
Karena kita adalah satu
(Puisi Cinta)
Perempuan datang atas nama cinta.
Bunda pergi karena cinta.
Atas dirinya...
Digenangi air racun jingga
Adalah...
Wajahmu seperti bulan lelap tidur di hatimu
Yang berdinding kelam dan kedinginan
Ada apa dengannya...
Meninggalkan hati untuk dicaci
Percaya...
Sampai darah ke lututpun aku tak percaya
Lalu...
Rumput tersabit
Sekali ini aku lihat karya surga
Dari mata seorang hawa
Percaya...
Tak tahu...
Ada apa dengan Cinta ?
dan...
Aku akan kembali dalam satu purnama
untuk mempertanyakan kembali cintanya...
Bukan untuknya, bukan untuk siapa
Tapi untukku, karena aku ingin kamu
Itu saja.
(ekky imanjaya, puisi ending A2DC)
Bunda pergi karena cinta.
Atas dirinya...
Digenangi air racun jingga
Adalah...
Wajahmu seperti bulan lelap tidur di hatimu
Yang berdinding kelam dan kedinginan
Ada apa dengannya...
Meninggalkan hati untuk dicaci
Percaya...
Sampai darah ke lututpun aku tak percaya
Lalu...
Rumput tersabit
Sekali ini aku lihat karya surga
Dari mata seorang hawa
Percaya...
Tak tahu...
Ada apa dengan Cinta ?
dan...
Aku akan kembali dalam satu purnama
untuk mempertanyakan kembali cintanya...
Bukan untuknya, bukan untuk siapa
Tapi untukku, karena aku ingin kamu
Itu saja.
(ekky imanjaya, puisi ending A2DC)
26 Februari 2002
aku berada dalam jurang.
rasanya mengerikan.
setiap detik peluhku jatuh menyentuh tanah, seketika itu aku merasa alam memperingatkan.
sungguh!
baikkah jika kulebur semua ini menjadi kenyataan saja.
tapi, mati merupakan sebuah ancaman yang mengerikan.
kehilangan, kesepian, dan satu lagi konsistensi manusia ku yang biologis. remuklah jiwa dan raga.
kemana nanti dia pergi?
oh, celaka!
sungguhlah dalam jurang ini sangat mencekam!
(menunggu kematian, soeharto)
rasanya mengerikan.
setiap detik peluhku jatuh menyentuh tanah, seketika itu aku merasa alam memperingatkan.
sungguh!
baikkah jika kulebur semua ini menjadi kenyataan saja.
tapi, mati merupakan sebuah ancaman yang mengerikan.
kehilangan, kesepian, dan satu lagi konsistensi manusia ku yang biologis. remuklah jiwa dan raga.
kemana nanti dia pergi?
oh, celaka!
sungguhlah dalam jurang ini sangat mencekam!
(menunggu kematian, soeharto)
serbu!
hancurkan, bakar kota itu!
remukkan semua benteng benteng kota.
tengelamkan namanya kedalam dasar jurang hina.
biar menangis bayi dalam gendongan ibunya.
agar menjanda semua para istri.
supaya celaka semua generasi keturunannya.
peliharalah dengan dendam.
jangan sekali kali matikan dian kemarahan dengan kelembutan.
jauhkan garis garis cinta dan senyum.
mari kita ciptakan!
mimpi seorang jenderal tua di pembaringan.
'jenderal'
hancurkan, bakar kota itu!
remukkan semua benteng benteng kota.
tengelamkan namanya kedalam dasar jurang hina.
biar menangis bayi dalam gendongan ibunya.
agar menjanda semua para istri.
supaya celaka semua generasi keturunannya.
peliharalah dengan dendam.
jangan sekali kali matikan dian kemarahan dengan kelembutan.
jauhkan garis garis cinta dan senyum.
mari kita ciptakan!
mimpi seorang jenderal tua di pembaringan.
'jenderal'
24 Februari 2002
prosa untuk qq
karena ciuman-ciuman kecil ini beraroma susu coklat hangat, dan kita berbagi pembicaraan tentang luka-luka kita dan patahan-patahan tulang di sekujur tubuh. luka-luka yang bersentuhan. atau tentang fanatisme agama yang mengobrak-abrik penyewaan playstation di persimpangan jalan. tawamu terlalu miris ketika buku-buku itu dibakar oleh mereka, sehingga kita bertanya-tanya pada halaman-halaman itu, bagaimanakah rasanya panas api neraka yang mengantarkan mereka ke surga? pada keremangan malam, ada yang mencuri-curi seribu kesempatan dan juga pada pelukan. kita dan abu-abu itu, seonggok tumpukan sisa rokok tertata di asbak hijau, bersebelahan dengan ranjangmu.
-prosa yg terselip kapan entah
karena ciuman-ciuman kecil ini beraroma susu coklat hangat, dan kita berbagi pembicaraan tentang luka-luka kita dan patahan-patahan tulang di sekujur tubuh. luka-luka yang bersentuhan. atau tentang fanatisme agama yang mengobrak-abrik penyewaan playstation di persimpangan jalan. tawamu terlalu miris ketika buku-buku itu dibakar oleh mereka, sehingga kita bertanya-tanya pada halaman-halaman itu, bagaimanakah rasanya panas api neraka yang mengantarkan mereka ke surga? pada keremangan malam, ada yang mencuri-curi seribu kesempatan dan juga pada pelukan. kita dan abu-abu itu, seonggok tumpukan sisa rokok tertata di asbak hijau, bersebelahan dengan ranjangmu.
-prosa yg terselip kapan entah
22 Februari 2002
untuk dapat merengkuh hatimu..
biarkan aku bicara.
agar kubisa membelaimu, ijinkan kusentuh hatimu.
agar kumampu bertahan, rindukan ku selalu dalam tidurmu.
supaya nanti kita bisa melewati rangkaian waktu cobaan
sudilah membusuk dan membiru bersamaku.
bergandengan, berciuman, berpelukan.
selamanya..
(hanya angan)
biarkan aku bicara.
agar kubisa membelaimu, ijinkan kusentuh hatimu.
agar kumampu bertahan, rindukan ku selalu dalam tidurmu.
supaya nanti kita bisa melewati rangkaian waktu cobaan
sudilah membusuk dan membiru bersamaku.
bergandengan, berciuman, berpelukan.
selamanya..
(hanya angan)
21 Februari 2002
aku memilih menghilang
melayang
aku memilih menghilang
menjadi semu, menjadi awang-awang
tak ingin aku tertelan di layar ingatan
diantara bingar keramaian
mari bicara tentangmu
tentang sayap sayapmu yang siap terbentang
kau yang bersinar cemerlang
dan tajamnya guratan cahayamu
yang melukai
yang melubangi
kemari
selami nadi nadi yang telah kaubuka ini
melayang
aku memilih menghilang
menjadi semu, menjadi awang-awang
tak ingin aku tertelan di layar ingatan
diantara bingar keramaian
mari bicara tentangmu
tentang sayap sayapmu yang siap terbentang
kau yang bersinar cemerlang
dan tajamnya guratan cahayamu
yang melukai
yang melubangi
kemari
selami nadi nadi yang telah kaubuka ini
20 Februari 2002
19 Februari 2002
Ruang Tunggu
ruang tunggu sudah dipenuhi puntungan dan kepulan asap rokok
yang seakan mengeroyok kesabaranku
jam sudah berkali kali dilirak lirik
tak juga ada suara disana
suster berbaju putih mondar mandir
tak ada kecemasan diwajahnya, yang ada hanya mata yang lelah.
kurang tidur mungkin.
atau kurang gaji, tak tahu lah.
suara yang kunanti belum juga mampir ke telinga
beker+hidupku, bayi ku, kutunggu panggil mu untuk membuatku merasa menjadi pria, seorang ayah!
(mungkin beginilah rasanya menanti seorang bayi di rumah sakit)
ruang tunggu sudah dipenuhi puntungan dan kepulan asap rokok
yang seakan mengeroyok kesabaranku
jam sudah berkali kali dilirak lirik
tak juga ada suara disana
suster berbaju putih mondar mandir
tak ada kecemasan diwajahnya, yang ada hanya mata yang lelah.
kurang tidur mungkin.
atau kurang gaji, tak tahu lah.
suara yang kunanti belum juga mampir ke telinga
beker+hidupku, bayi ku, kutunggu panggil mu untuk membuatku merasa menjadi pria, seorang ayah!
(mungkin beginilah rasanya menanti seorang bayi di rumah sakit)
lihatlah ...dia sedang tidur di pojok,dengan tangan dan kaki terlipat depan dada.Bangun seorang bayi dalam rahim. Sedang membangun kembali nyamannya dalam perut ibu. Atau tangan dan kakinya rindu dekat hati. Terlalu lelah dengan segala perjalanan , segala perbuatan. Kuambil selimut tipis, menyelimutinya. Bantal itu basah. Di dekat kaki, satu lukisan tergolek. Perahu kecil berisi pria telanjang dengan kayuh patah. Mengambang di tengah pelangi.
"Mari waktu, kita berkelahi !!! "
"Matikan aku dengan sedihmu"
Lihat .... dia bergerak bergeser.
Sekarang dengan bangun orang mati.
"Mari waktu, kita berkelahi !!! "
"Matikan aku dengan sedihmu"
Lihat .... dia bergerak bergeser.
Sekarang dengan bangun orang mati.
18 Februari 2002
17 Februari 2002
Hasil curian catatan satu penjaga warnet.
Kesunyian hari tak bermatahari menyergap. terperangkap. Para lain sudah terlelap. Tersisa penjaga malam mencari bulir bulir remah pecahan kehidupan. Mungkin, terselip diantara rombongan angin, menggantung di embun yang terkait ujung daun pohon tepian jalan berhias kuning lampu berteman laron insomnia, merasuk pukulan di tiang listrik dari peronda Pa Ilityang istrinya sedang hamil 9 bulan tapi tak berduit sulit , tertancap pada tertawa perempuan malam dengan mulut berbau bius berbaju sedikit menantang cahaya bulan yang malu malu tapi mau. "Munculah penuh , bulan. Temani aku ... "
Rokok menyedikit terhisap mulut yang menghembuskannya membentuk wajah wajah menyeringai mengejek jelek. Kemudian keluar dari kisi kisi jendela berjeruji besi, mengumpul sebentar, kemudian menyebar , menebar kabar ke seluruh dunia yang tak sabar bahwa sebuah manusia tergetar gemetar duduk menatap kehidupan dengan mata yang nanar samar.
Ayam berokok terlalu pagi membangunkan jantan lain. Mungkin dia tidak tahan sendiri menunggu pagi.
Aku juga ingin membangunkanmu. "Seandainya ...." Aku ingin berbicara tentang masa akan datang yang kulihat seperti tebing licin menjulang dijaga elang pemakan tulang dengan kepak sayap membentang ciptakan angin topan panas meradang.
Atau tidak perlu bicara apa apa. Hanya bersisian bergenggaman bersentuhan sesekali berguman dalam mulut yang beraduan berkes ....
"eh ,ada pelanggan datang ..."
Kesunyian hari tak bermatahari menyergap. terperangkap. Para lain sudah terlelap. Tersisa penjaga malam mencari bulir bulir remah pecahan kehidupan. Mungkin, terselip diantara rombongan angin, menggantung di embun yang terkait ujung daun pohon tepian jalan berhias kuning lampu berteman laron insomnia, merasuk pukulan di tiang listrik dari peronda Pa Ilityang istrinya sedang hamil 9 bulan tapi tak berduit sulit , tertancap pada tertawa perempuan malam dengan mulut berbau bius berbaju sedikit menantang cahaya bulan yang malu malu tapi mau. "Munculah penuh , bulan. Temani aku ... "
Rokok menyedikit terhisap mulut yang menghembuskannya membentuk wajah wajah menyeringai mengejek jelek. Kemudian keluar dari kisi kisi jendela berjeruji besi, mengumpul sebentar, kemudian menyebar , menebar kabar ke seluruh dunia yang tak sabar bahwa sebuah manusia tergetar gemetar duduk menatap kehidupan dengan mata yang nanar samar.
Ayam berokok terlalu pagi membangunkan jantan lain. Mungkin dia tidak tahan sendiri menunggu pagi.
Aku juga ingin membangunkanmu. "Seandainya ...." Aku ingin berbicara tentang masa akan datang yang kulihat seperti tebing licin menjulang dijaga elang pemakan tulang dengan kepak sayap membentang ciptakan angin topan panas meradang.
Atau tidak perlu bicara apa apa. Hanya bersisian bergenggaman bersentuhan sesekali berguman dalam mulut yang beraduan berkes ....
"eh ,ada pelanggan datang ..."
datangi kumpulan kelap kelip
jiwa yang terbuka tertutup
temani malam yang mengatup
waktu telah terkutip
langkah labi-labi dekati
ajak menari tarian sepi
tapi tangan berteman angin
padahal matamu sungguh ingin
keriuhan yang sendiri
dari diri-diri berdiri
pada suatu hari
cinta diperingati
tatapan bersihir
kenapa harus berahir ?
jiwa yang terbuka tertutup
temani malam yang mengatup
waktu telah terkutip
langkah labi-labi dekati
ajak menari tarian sepi
tapi tangan berteman angin
padahal matamu sungguh ingin
keriuhan yang sendiri
dari diri-diri berdiri
pada suatu hari
cinta diperingati
tatapan bersihir
kenapa harus berahir ?
15 Februari 2002
ah kenapa ?
sementara kita
sepi pada mereka
hanya kata
bermain ? entah
hari ini
detik ini
ada manusia meningal dunia
ada manusia lahir ke dunia
berapa banyak jiwa terluka
berapa banyak jiwa terinjak
berapa banyak pertanyaan
Kepada Tuhan tentang keadilan
berapa banyak keputusasaan
berapa banyak air mata
berapa banyak yang tak tersentuh
bukan tubuh-tubuh
hanya bisa dirasa
bukan kata
sementara kita
sepi pada mereka
hanya kata
bermain ? entah
hari ini
detik ini
ada manusia meningal dunia
ada manusia lahir ke dunia
berapa banyak jiwa terluka
berapa banyak jiwa terinjak
berapa banyak pertanyaan
Kepada Tuhan tentang keadilan
berapa banyak keputusasaan
berapa banyak air mata
berapa banyak yang tak tersentuh
bukan tubuh-tubuh
hanya bisa dirasa
bukan kata
14 Februari 2002
Maaf
buat engkau yang di sana
pada dunia maya
hanya saling sapa
hanya saling kata
ketika kau tanya
"ada apa dengan cinta ?"
ku jawab :
"cinta seperti maut,
gigihnya seperti dunia orang mati."
Engkau marah kurasa.
"maaf" ku kata,
apalah arti kita,
jika tuk senangkan hati saja.
nb : buat anak-anak kata , met Valentine semua. :)
buat engkau yang di sana
pada dunia maya
hanya saling sapa
hanya saling kata
ketika kau tanya
"ada apa dengan cinta ?"
ku jawab :
"cinta seperti maut,
gigihnya seperti dunia orang mati."
Engkau marah kurasa.
"maaf" ku kata,
apalah arti kita,
jika tuk senangkan hati saja.
nb : buat anak-anak kata , met Valentine semua. :)
Akar pohon gerayangi tanah
melenguh rontokan daun
mata air meresap keluar
mengalir ke samudera malam
Awan bergelut awan
bergulung pisah satu
menghitam sarat air
tercurah iringi gelegar petir
Api unggun berderak-derak
menggigit batang alam
hangatkan pengelana malam
kaku diam jadi abu arang
terbang ....
Semedi di puncak pelangi
sekali melirik ke bumi
dapat jawab sebuah tanya
cinta ada dengan apa ?
nb : Dian ,secepet sehat lagi , ya ! :)
melenguh rontokan daun
mata air meresap keluar
mengalir ke samudera malam
Awan bergelut awan
bergulung pisah satu
menghitam sarat air
tercurah iringi gelegar petir
Api unggun berderak-derak
menggigit batang alam
hangatkan pengelana malam
kaku diam jadi abu arang
terbang ....
Semedi di puncak pelangi
sekali melirik ke bumi
dapat jawab sebuah tanya
cinta ada dengan apa ?
nb : Dian ,secepet sehat lagi , ya ! :)
Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar
Namun bila Cinta kudatangi aku jadi malu pada keteranganku.
Meskipun lidahku telah menguraikannya dengan terang
Namun tanpa lidah Cinta menjadi lebih terang.
Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya
Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada Cinta.
Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tak berdaya bagaikan keledai dalam lumpur.
Cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan
Matahari membuktikan sendiri dengan sinarnya; jika bukti datang jangan palingkan wajahmu darinya.
Cinta yang tergantung pada warna bukanlah cinta:
Warna akhirnya luntur, begitulah cinta sesaat harus kau enyahkan.
Cinta sesaat harus diganti cinta hakiki dan apa saja selain "Aku" harus dienyahkan.
(Dikutip dari Sastra Sufi: Sebuah Antologi, Abdul Hadi WM, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, hal. 108)
~~~dapat dari sini
Namun bila Cinta kudatangi aku jadi malu pada keteranganku.
Meskipun lidahku telah menguraikannya dengan terang
Namun tanpa lidah Cinta menjadi lebih terang.
Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya
Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada Cinta.
Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tak berdaya bagaikan keledai dalam lumpur.
Cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan
Matahari membuktikan sendiri dengan sinarnya; jika bukti datang jangan palingkan wajahmu darinya.
Cinta yang tergantung pada warna bukanlah cinta:
Warna akhirnya luntur, begitulah cinta sesaat harus kau enyahkan.
Cinta sesaat harus diganti cinta hakiki dan apa saja selain "Aku" harus dienyahkan.
(Dikutip dari Sastra Sufi: Sebuah Antologi, Abdul Hadi WM, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, hal. 108)
~~~dapat dari sini
"aku juga sayang..."
di pagi valentine ini, salahkah bila kuucapkan kata-kata itu
bahwa aku masih menyayanginya
walau jarak yang ada dan waktu yang terus berputar
telah begitu saja memisahkan aku dan dia
bukan untuk mengharap dia kan kembali
bukan untuk mengharap dia kan mengerti
sekedar ungkapan kejujuran dalam diri...
di pagi valentine ini, salahkah bila kuucapkan kata-kata itu
bahwa aku masih menyayanginya
walau jarak yang ada dan waktu yang terus berputar
telah begitu saja memisahkan aku dan dia
bukan untuk mengharap dia kan kembali
bukan untuk mengharap dia kan mengerti
sekedar ungkapan kejujuran dalam diri...
13 Februari 2002
Sepotong Cerita Dalam Kamar
:Qq
Satu minggu sudah terlewati sejak kutinggalkan kamar bertembok merah terakota, ukurannya kurang lebih empat kali enam meter atau empat kali lima meter, entah, setiap kuhabiskan waktu disana aku tidak pernah membawa meteran. Lagu yang terlintas selalu berganti-ganti, kadang-kadang diiringi suara tawa sekumpulan laki-laki dari tembok belakang, suara motor pun kerap terdengar begitu jelas dan telanjang. Aku masih ingat bagaimana kau menari dangdut di depan kaca, di depanku dan diatas lantai yang juga merah bata, dan ijinkanlah aku tertawa lima menit sebelum melanjutkan cerita ini. Satu menit untuk membayangkan, dua menit untuk tersenyum, satu menit untuk tertawa terbahak dan satu menit terakhir untuk menenangkan nafasku yang nyaris tersedak.
Pertama kali kujejakkan kakiku di lantai merah bata itu, seperti menjejakkan lagi diriku dalam kehidupanmu, setelah nyaris, ah, tiga ratus lima puluh enam hari kulewati dengan rindu pada langit-langit kamarmu. Langit itu sudah berubah kini, tidak setinggi yang dulu tetapi juga tidak sekotor yang dulu, lebih bersih tanpa sarang laba-laba dan temboknya baru saja kau cat merah terakota dan pada pintu tergantung tas ranselmu yang juga merah. “Sejak kapan kau suka merah?”tanyaku. “Mungkin sejak kita sama-sama berdarah di bulan keenam yang lalu, kau ingat?”. Aku ingat, bulan itu aku jatuh cinta pada merah karena hatiku yang begitu berdarah, bulan itu juga ransel abu-abuku sobek parah dan sebagai gantinya kubeli ransel merah nyaris persis sama dengan yang tergantung pada belakang pintu kamarmu.
Air panas masih kau jerangkan, kau cuci cangkir besi di bawah sindiran, kemudian bubuk coklat, gula dan air panas, serta sendok kecil kau sorongkan. Waktu itu hujan menerjang tirai bambu, cangkir besi kita telan bersama dengan coklat panas, “Kau lapar?” tanyamu sambil mengunyah sepotong besi, sewaktu melihat sore tiba di kota senja.
Foto-fotomu pernah kau telanjangi sendiri, di depan mataku. Tidak hanya dirimu, orangtua, kakak, adik, kawan-kawanmu tetapi juga perempuan-perempuanmu. Aku hanya tidak melihat diriku, karena yang kutahu tentangku telah kau simpan begitu rapi pada suatu pojokan tumpukan pakaian-pakaianmu. Kuminta segelas air hanya untuk mencegah sesuatu dari dalamku, bodoh, foto warna sephiamu, bertelanjang dada nyaris mengundang nafsu. Mungkin tengah malam akan diam-diam kuselipkan pergi.
Hari yang kedua puluh satu dan malam yang kedua puluh, aku terkunci di depan pintu dan pada teras pintumu aku mengetuk, dan kaus hitammu kujadikan baju tidurku. Satu kasur berdua dan mereka begitu berbahagia, malaikat-malaikat kita, jika mereka pernah ada, dan setan pun tak masalah begitu katamu. Malam telah tiba dan semuanya gelap, hanya siluet-siluet dari lampu jalanan, pada punggung, pada leher, pada dada dan terkadang pada mata yang menyala. Potongan-potongan hitam putih yang mengganggu mataku, seperti buta warna yang tak perlu. Sudah berapa lama kasur ini kita tiduri bersama?
Cermin itu mungkin akan bersaksi nanti atau menuliskan cerita sendiri ketika kau sedang bercukur dan bayanganku berada di punggungmu, pagi-pagi sekali sewaktu kau belum juga mandi. Sejenak dunia begitu jenaka di kamar merah terakota, waktu mati, cinta mati, semua puisi dan segenap tulisan mati kecuali secarik surat yang kubuat pukul delapan pagi setelah perpisahan rasa kopi, hanya satu jam sebelum aku menggantung diri, masih juga di kamar itu yang bertembok merah terakota. Bukankah warna-warna di kamarmu akan semakin semerbak memerah?
Yogyakarta, 6 Febuari 2001
Satu minggu sudah terlewati sejak kutinggalkan kamar bertembok merah terakota, ukurannya kurang lebih empat kali enam meter atau empat kali lima meter, entah, setiap kuhabiskan waktu disana aku tidak pernah membawa meteran. Lagu yang terlintas selalu berganti-ganti, kadang-kadang diiringi suara tawa sekumpulan laki-laki dari tembok belakang, suara motor pun kerap terdengar begitu jelas dan telanjang. Aku masih ingat bagaimana kau menari dangdut di depan kaca, di depanku dan diatas lantai yang juga merah bata, dan ijinkanlah aku tertawa lima menit sebelum melanjutkan cerita ini. Satu menit untuk membayangkan, dua menit untuk tersenyum, satu menit untuk tertawa terbahak dan satu menit terakhir untuk menenangkan nafasku yang nyaris tersedak.
Pertama kali kujejakkan kakiku di lantai merah bata itu, seperti menjejakkan lagi diriku dalam kehidupanmu, setelah nyaris, ah, tiga ratus lima puluh enam hari kulewati dengan rindu pada langit-langit kamarmu. Langit itu sudah berubah kini, tidak setinggi yang dulu tetapi juga tidak sekotor yang dulu, lebih bersih tanpa sarang laba-laba dan temboknya baru saja kau cat merah terakota dan pada pintu tergantung tas ranselmu yang juga merah. “Sejak kapan kau suka merah?”tanyaku. “Mungkin sejak kita sama-sama berdarah di bulan keenam yang lalu, kau ingat?”. Aku ingat, bulan itu aku jatuh cinta pada merah karena hatiku yang begitu berdarah, bulan itu juga ransel abu-abuku sobek parah dan sebagai gantinya kubeli ransel merah nyaris persis sama dengan yang tergantung pada belakang pintu kamarmu.
Air panas masih kau jerangkan, kau cuci cangkir besi di bawah sindiran, kemudian bubuk coklat, gula dan air panas, serta sendok kecil kau sorongkan. Waktu itu hujan menerjang tirai bambu, cangkir besi kita telan bersama dengan coklat panas, “Kau lapar?” tanyamu sambil mengunyah sepotong besi, sewaktu melihat sore tiba di kota senja.
Foto-fotomu pernah kau telanjangi sendiri, di depan mataku. Tidak hanya dirimu, orangtua, kakak, adik, kawan-kawanmu tetapi juga perempuan-perempuanmu. Aku hanya tidak melihat diriku, karena yang kutahu tentangku telah kau simpan begitu rapi pada suatu pojokan tumpukan pakaian-pakaianmu. Kuminta segelas air hanya untuk mencegah sesuatu dari dalamku, bodoh, foto warna sephiamu, bertelanjang dada nyaris mengundang nafsu. Mungkin tengah malam akan diam-diam kuselipkan pergi.
Hari yang kedua puluh satu dan malam yang kedua puluh, aku terkunci di depan pintu dan pada teras pintumu aku mengetuk, dan kaus hitammu kujadikan baju tidurku. Satu kasur berdua dan mereka begitu berbahagia, malaikat-malaikat kita, jika mereka pernah ada, dan setan pun tak masalah begitu katamu. Malam telah tiba dan semuanya gelap, hanya siluet-siluet dari lampu jalanan, pada punggung, pada leher, pada dada dan terkadang pada mata yang menyala. Potongan-potongan hitam putih yang mengganggu mataku, seperti buta warna yang tak perlu. Sudah berapa lama kasur ini kita tiduri bersama?
Cermin itu mungkin akan bersaksi nanti atau menuliskan cerita sendiri ketika kau sedang bercukur dan bayanganku berada di punggungmu, pagi-pagi sekali sewaktu kau belum juga mandi. Sejenak dunia begitu jenaka di kamar merah terakota, waktu mati, cinta mati, semua puisi dan segenap tulisan mati kecuali secarik surat yang kubuat pukul delapan pagi setelah perpisahan rasa kopi, hanya satu jam sebelum aku menggantung diri, masih juga di kamar itu yang bertembok merah terakota. Bukankah warna-warna di kamarmu akan semakin semerbak memerah?
Yogyakarta, 6 Febuari 2001
12 Februari 2002
wahai, serigalaku yang kesepian
kadang aku tak mengerti apakah aku menyukaimu
membencimu
ingin membelaimu lembut
ataukah aku ingin menamparmu sekeras-kerasnya
serigalaku yang kesepian
yang menemaniku sewaktu kota senja
memasuki malamnya
pada subuh kau selalu menghilang lagi
tetapi aku tahu kau tak kan pulang ke sarangmu
karena jalanan adalah hidupmu
serigalaku yang kesepian
yang entah bagaimana kau pandang diriku
perempuan yang juga kesepian
ataukah hanya seseorang yang memberi belas kasihan
teman?
musuh?
atau suatu kekasih malam?
serigalaku yang kesepian
yang sering menampar batinku
dengan amarahnya yang meluap-luap
emosinya yang kadang kekanak-kanakkan
lalu kata-katanya yang menyakitkan
pernahkah kau terpikir
aku juga seringkali kesepian
tertidur bersebelahan dengan kecintaanku
serigalaku yang kesepian
aku tahu kita pernah juga tidur bersisian
juga pernah merasakan lugunya suatu permainan percintaan
tetapi kita hanya berbagi demikian
lalu lantas jadikah kau seorang gigolo jalanan
atau aku pelacur murahan?
melolonglah untukku sekali lagi
walau itu untuk salam perpisahan
serigalaku
yang masih saja kesepian
kadang aku tak mengerti apakah aku menyukaimu
membencimu
ingin membelaimu lembut
ataukah aku ingin menamparmu sekeras-kerasnya
serigalaku yang kesepian
yang menemaniku sewaktu kota senja
memasuki malamnya
pada subuh kau selalu menghilang lagi
tetapi aku tahu kau tak kan pulang ke sarangmu
karena jalanan adalah hidupmu
serigalaku yang kesepian
yang entah bagaimana kau pandang diriku
perempuan yang juga kesepian
ataukah hanya seseorang yang memberi belas kasihan
teman?
musuh?
atau suatu kekasih malam?
serigalaku yang kesepian
yang sering menampar batinku
dengan amarahnya yang meluap-luap
emosinya yang kadang kekanak-kanakkan
lalu kata-katanya yang menyakitkan
pernahkah kau terpikir
aku juga seringkali kesepian
tertidur bersebelahan dengan kecintaanku
serigalaku yang kesepian
aku tahu kita pernah juga tidur bersisian
juga pernah merasakan lugunya suatu permainan percintaan
tetapi kita hanya berbagi demikian
lalu lantas jadikah kau seorang gigolo jalanan
atau aku pelacur murahan?
melolonglah untukku sekali lagi
walau itu untuk salam perpisahan
serigalaku
yang masih saja kesepian
11 Februari 2002
Titipan seorang kawan :
(1) Lumpur ........
Lumpur .. dimana-mana lumpur ...
Kotor , hitam dan bau
Sisa banjir yang ada semalam
Genangan dosa yang melanda relung jiwa
Mengalir dalam nadi menuju ke hati
Seperti mawar dia berwujud..
Indah tapi berduri dan rapuh
Dalam segala hasrat dan keinginan
Terbungkus rapi dalam kelopak yang berwarna
Namun siap melukai tangan yang memegangnya
Serapuh tembok tembok pasir
Yang akan runtuh dalam sedikit sentuhan
Mata yang memandang jauh ke depan
Gamang dalam segala keadaannya
Tak tahu entah apa yang akan diperbuatnya
Kesedihan dalam matanya
Membalur bagaikan sayatan duri terangkai
Membekas meninggalkan luka merah
Sambil berlari menerjang ombak
Ingin membuang semua ..
Semua ... sampai seakan tiada berbekas
(2) Teratai di lumpur ...
Lumpur .. dimana mana lumpur ?
Lihat disana .... !!
Ada setangkai teratai putih menghias di sana
Begitu putih .. begitu bersih ...
Dalam segala keindahannya ..
Teratai yang menyegarkan ..
Meneduhkan mata yang tertunduk tanpa harapan
Seakan menyapa dalam gelapnya lumpur yang hitam
Mengatakan .. masih ada keindahan di sini
Biarpun seluruh lumpur hitam ..
Biarpun seluruh kesedihan seakan tanpa batas
Namun bagai teratai putih diantara lumpur
Masih ada cukup sukacita untuk memikul kesedihan
Diantara seluruh hitam kelamnya jalan hidup
Masih ada rangkaian teratai putih di dalamnya..
Teratai itu begitu hidup ..
Seakan hendak mengatakan pada lumpur ..
Meski hanya teratai .. tapi mampu untuk bertahan
Meski hanya teratai .. tapi mampu untuk berbunga
Meski hanya teratai .. tapi mampu mewarnai lumpur
(1) Lumpur ........
Lumpur .. dimana-mana lumpur ...
Kotor , hitam dan bau
Sisa banjir yang ada semalam
Genangan dosa yang melanda relung jiwa
Mengalir dalam nadi menuju ke hati
Seperti mawar dia berwujud..
Indah tapi berduri dan rapuh
Dalam segala hasrat dan keinginan
Terbungkus rapi dalam kelopak yang berwarna
Namun siap melukai tangan yang memegangnya
Serapuh tembok tembok pasir
Yang akan runtuh dalam sedikit sentuhan
Mata yang memandang jauh ke depan
Gamang dalam segala keadaannya
Tak tahu entah apa yang akan diperbuatnya
Kesedihan dalam matanya
Membalur bagaikan sayatan duri terangkai
Membekas meninggalkan luka merah
Sambil berlari menerjang ombak
Ingin membuang semua ..
Semua ... sampai seakan tiada berbekas
(2) Teratai di lumpur ...
Lumpur .. dimana mana lumpur ?
Lihat disana .... !!
Ada setangkai teratai putih menghias di sana
Begitu putih .. begitu bersih ...
Dalam segala keindahannya ..
Teratai yang menyegarkan ..
Meneduhkan mata yang tertunduk tanpa harapan
Seakan menyapa dalam gelapnya lumpur yang hitam
Mengatakan .. masih ada keindahan di sini
Biarpun seluruh lumpur hitam ..
Biarpun seluruh kesedihan seakan tanpa batas
Namun bagai teratai putih diantara lumpur
Masih ada cukup sukacita untuk memikul kesedihan
Diantara seluruh hitam kelamnya jalan hidup
Masih ada rangkaian teratai putih di dalamnya..
Teratai itu begitu hidup ..
Seakan hendak mengatakan pada lumpur ..
Meski hanya teratai .. tapi mampu untuk bertahan
Meski hanya teratai .. tapi mampu untuk berbunga
Meski hanya teratai .. tapi mampu mewarnai lumpur
10 Februari 2002
kemana dia...
aku cari, tapi selalu saja tak ada
otak yang seperti kaku itu, hati yang compang-camping itu,
lusuh yang selalu sama, busuk yang selalu itu-itu saja...
ke mana dia...
hujan sudah berhenti, ingkar janji lagikah ia?
seharusnya lima menit yang lalu sudah kutertawai ia
karena pasti t-shirt nya masih yang kemarin, yang sobek ketiaknya...
ke ma na dia...
matanya yang sayu, suaranya yang lamat, dan senyumnya yang dingin
tubuhnya berkeringat, atau mungkin basah, juga rambutnya, juga jeansnya,
bukankah hujan akhir-akhir ini seperti meledek...
ke ma na di a...
aku tunggu, aku cari,
terkutuklah ia...
ke ma na di a .. .
aku mati kaku
"puan..datang puan, aku di sini"
aku cari, tapi selalu saja tak ada
otak yang seperti kaku itu, hati yang compang-camping itu,
lusuh yang selalu sama, busuk yang selalu itu-itu saja...
ke mana dia...
hujan sudah berhenti, ingkar janji lagikah ia?
seharusnya lima menit yang lalu sudah kutertawai ia
karena pasti t-shirt nya masih yang kemarin, yang sobek ketiaknya...
ke ma na dia...
matanya yang sayu, suaranya yang lamat, dan senyumnya yang dingin
tubuhnya berkeringat, atau mungkin basah, juga rambutnya, juga jeansnya,
bukankah hujan akhir-akhir ini seperti meledek...
ke ma na di a...
aku tunggu, aku cari,
terkutuklah ia...
ke ma na di a .. .
aku mati kaku
"puan..datang puan, aku di sini"
Ruang tengah ranjang dan lemari ukiran
tercipta sebuah perhentian
dari perjalanan berawalan
dan lisutnya asa ke kekalan
Kotak hitam berekor menempel di dinding
suarakan karya anak negeri
beberapa topeng beberapa dari hati
tak apa ... kesendirian butuh pendamping
Sajian senyum berlapis sentuh
terhidang di tepi jurang rapuh
Suatu siang yang mulai kuncup
di sebuah ruangan tengah yang redup.
tercipta sebuah perhentian
dari perjalanan berawalan
dan lisutnya asa ke kekalan
Kotak hitam berekor menempel di dinding
suarakan karya anak negeri
beberapa topeng beberapa dari hati
tak apa ... kesendirian butuh pendamping
Sajian senyum berlapis sentuh
terhidang di tepi jurang rapuh
Suatu siang yang mulai kuncup
di sebuah ruangan tengah yang redup.
Lubang berisi bola hitam putih
berkitat putih membesar hitam
tewarkan cinta
pada seorang manusia
Dua buah tepiah beralur lekuk indah
bertemu merah
tawarkan rasa
pada suatu masa
Tertarik ke atas dua dataran
memunculkan barisan karang putih
tawarkan lawakan
pada suatu ruangan
Lembah perbukitan berselimut biru
semilir angin lekatkan bentuk
tawarkan tempat menaruh kantuk suntuk
pada suatu hari yang terburu-buru.
berkitat putih membesar hitam
tewarkan cinta
pada seorang manusia
Dua buah tepiah beralur lekuk indah
bertemu merah
tawarkan rasa
pada suatu masa
Tertarik ke atas dua dataran
memunculkan barisan karang putih
tawarkan lawakan
pada suatu ruangan
Lembah perbukitan berselimut biru
semilir angin lekatkan bentuk
tawarkan tempat menaruh kantuk suntuk
pada suatu hari yang terburu-buru.
09 Februari 2002
08 Februari 2002
tergetar tangan kanan
terguncang kiri
menggelepar hati
gapai buah larangan
Gelinjang sentak
mengurai membentuk angin
merah dua lengkungan
menyisip wicara serak
kutubku utara bermatahari lama
engkau khatulistiwa hijau adanya
kan meleleh menuju mu
pasti membeku dipelukku
penjara ini membebaskan
kebebasan itu memenjarakan
biarlah cinta kita terpenjara
nikmati siksa perkosaan rasa
terguncang kiri
menggelepar hati
gapai buah larangan
Gelinjang sentak
mengurai membentuk angin
merah dua lengkungan
menyisip wicara serak
kutubku utara bermatahari lama
engkau khatulistiwa hijau adanya
kan meleleh menuju mu
pasti membeku dipelukku
penjara ini membebaskan
kebebasan itu memenjarakan
biarlah cinta kita terpenjara
nikmati siksa perkosaan rasa
07 Februari 2002
06 Februari 2002
03 Februari 2002
Di suatu sore.
Kepalanya tandus, hanya tersisa beberapa tanggul di sana sini. T- shirt marun ketat dengan blue jeans belel. Waktu itu aku mau naik, dan dia mau turun.
"Boleh aku bicara ?" , padahal aku kemarin baru melihat fotonya. Rambutnya masih lebat, walau sudah tampak kurus.
"Di situ saja", menujuk tangga sepi sambil terseyum. Masih indah.Masih merah merah.
"Lagi pusing nih, Bang". Mulutnya bergerak-gerak biasa, tapi aku lebih memperhatikan kepalanya, ujung dari kulit yang putih, seperi dulu.
Aku menutup mata sambil berpikir. Kosong.
Saat kubuka mata, kulihat jendela kaca terbuka. Bapak sebelah sedang memperbaiki mobilnya.
Sudah sore.
"Halo, Mano masih disini ngga ya ? Tau nomor teleponnya ? oooo ... kalo Budi pacarnya tau ngga ? emmm ... oke. Makasih ya ...".
*Klikkk*
Siapa yang tau , ya ? Ah , mandi dulu.
Kepalanya tandus, hanya tersisa beberapa tanggul di sana sini. T- shirt marun ketat dengan blue jeans belel. Waktu itu aku mau naik, dan dia mau turun.
"Boleh aku bicara ?" , padahal aku kemarin baru melihat fotonya. Rambutnya masih lebat, walau sudah tampak kurus.
"Di situ saja", menujuk tangga sepi sambil terseyum. Masih indah.Masih merah merah.
"Lagi pusing nih, Bang". Mulutnya bergerak-gerak biasa, tapi aku lebih memperhatikan kepalanya, ujung dari kulit yang putih, seperi dulu.
Aku menutup mata sambil berpikir. Kosong.
Saat kubuka mata, kulihat jendela kaca terbuka. Bapak sebelah sedang memperbaiki mobilnya.
Sudah sore.
"Halo, Mano masih disini ngga ya ? Tau nomor teleponnya ? oooo ... kalo Budi pacarnya tau ngga ? emmm ... oke. Makasih ya ...".
*Klikkk*
Siapa yang tau , ya ? Ah , mandi dulu.
01 Februari 2002
aku menemukan tempatku walau harus melewati tanah-tanah hitam dan bukit-bukit keungu-unguan lalu terantuk pada: cinta, tetapi aku tak akan mati begitu saja, karena aku sudah menemukan dimana akan kuletakkan batu nisan keabu-abuan itu. di atas tanah hitam dan disinari matahari beserta payung awan kemendungan, sesekali hujan. yah, sesekali hujan sambil menatap matamu yang coklat tua kehitaman, pada sore hari dan tatakan gelas kopi hitam. kita lalu mengerti mengapa kita berdua duduk disini, berhadapan dan terkadang saling menerjang satu sama lainnya, mengigit, menikam dan berpagutan, malam hari pun kita terlelap pada dada masing-masing. kepalamu di dadaku dan kepalaku di dadamu, juga tangan yang saling bergenggaman. selalu bergenggaman, hari ini, yang lalu dan pada suatu harapan kedepanan.
PENGUMUMAN (perhatian buat yg di bandung)
buat yang ada di bandung, kaya imam, butre ama ulus dan masih ada beberapa kawan yang laennya, sepertinya gue bakalan ada di bandung minggu depan utk beberapa hari. tolong kontak gue di email: indische@lycos.com ato kontak nomer hp ku: 0816 4822074
gue bakalan dateng ke bandung sama seorang temen, klo ada yg mo nganterin gue ke pasarbuku bandung dan palasari, gue bakalan berterimakasih sekali. kebetulan temen yg gue bawa ini mau ngurusin launching terbitan bumimanusia, klo ada yang tertarik bantuin yah monggo2. kontak gue yah, gue masih ada di yogyakarta saat ini.
buat yang ada di bandung, kaya imam, butre ama ulus dan masih ada beberapa kawan yang laennya, sepertinya gue bakalan ada di bandung minggu depan utk beberapa hari. tolong kontak gue di email: indische@lycos.com ato kontak nomer hp ku: 0816 4822074
gue bakalan dateng ke bandung sama seorang temen, klo ada yg mo nganterin gue ke pasarbuku bandung dan palasari, gue bakalan berterimakasih sekali. kebetulan temen yg gue bawa ini mau ngurusin launching terbitan bumimanusia, klo ada yang tertarik bantuin yah monggo2. kontak gue yah, gue masih ada di yogyakarta saat ini.
Jadilah dua pada antara
separuh hati terikut serta
berjuta kata mungkin ku kata
tersimpul pada : aku rindu kita
Aku mencandu sosok
tak bisa lepas tak bisa henti
Aku mencandu hati
tak terkupas tak rontok
Dan ... hari tetap berlalu
kumandang bertalu-talu
hidup terus melaju
yang pasti : aku rindu kamu.
hiksss :(
separuh hati terikut serta
berjuta kata mungkin ku kata
tersimpul pada : aku rindu kita
Aku mencandu sosok
tak bisa lepas tak bisa henti
Aku mencandu hati
tak terkupas tak rontok
Dan ... hari tetap berlalu
kumandang bertalu-talu
hidup terus melaju
yang pasti : aku rindu kamu.
hiksss :(
Langganan:
Postingan (Atom)